Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137975 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sugianto Notowibowo
"Experiments were carried out to see the influence of the infusion and extracts of Symphytum officinale L leaves on the contraction of the isolated guinea oig uterus. The size of the contraction caused by the infusion and extracts were compared to the contraction by Syntocinon injection.
A modification of the H.J. Wilkens and F. Sieger method was used to determine the potency.
- The infusion and extraction had a stimulating effect on the guinea pig isolated uterus.
- The active principle is probably found in the fraction soluble in polar solvents. There is a dose effect relationship.
- 3055' infusion is more potent to the fraction soluble in polar solvent (fraction I,IV,V) and is more potent than the fraction soluble in non polar solvent (fraction 11,111).
The potency of the 30%.infusion and 0,02 unit of Syntocinon are almost equal The fraction soluble, in polar solvent increased- the contrac tion of the isolated uterus,which urge an investigation o the influence of the plant on pregnant animals to know the abortive effect."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1981
S31707
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanti Puspita Sari
"Ibu hamil di Sumatera Barat memiliki kepercayaan bahwa mengkonsumsi buah nanas pada usia kehamilan sejak usia kehamilan diatas 36 minggu dapat membantu melancarkan proses persalinan. Penelitian case control ini bertujuan untuk menilai pengaruh konsumsi nanas oleh ibu hamil terhadap konstraksi uterus ibu bersalin. Penelitian dilaksanakan di tujuh Puskesmas di Kota Padang Sumatera Barat. Sampel adalah ibu dengan usia kehamilan diatas 37 minggu, 40 kelompok kasus, 40 kelompok kontrol.
Hasil penelitian didapatkan bahwa konsumsi nanas, paritas dan tanda klinis anemia memiliki pengaruh terhadap konstraksi uterus ibu bersalin. Diperlukan uji laboratorium dan uji klinis ebih lanjut tentang manfaat buah nanas terhadap konstraksi uterus ibu bersalin.

Pregnant women in West sumatra has a belief that consuming pineapple at gestational age from the age above 36 weeks of pregnancy can help smooth the process of childbirth. The case control research was aimed to assess the effect of pineapple consumption by pregnant women on mother's uterine contraction of childbirth. The research was conducted in seven health centers in Padang, West Smatra. Samples were mothers with gestational age above 37 weeks, 40 groups of cases, 40 group of control.
The results are several factors that influence the mother's uterine contractions of childbirth, is pineapple consumption, parity, and clinical signs of anemia. Necessary laboratory tests and clinical trials more about the benefits of pineapple on mother's uterine contractions of childbirth.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T28395
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Dian Novita
"Latar belakang : Implan kontrasepsi adalah batang subdermal yang melepaskan progestin selama 3-5 tahun. Efek samping implan yang paling umum dan sering terjadi adalah perdarahan uterus abnormal (PUA). Berbagai teknik diagnostik tersedia untuk menentukan penyebab PUA. Namun, belum ada penelitian tentang temuan patologi endometrium dari ultrasonografi (USG) transvaginal dan histeroskopi yang dikonfirmasi dengan histopatologi endometrium pada akseptor kontrasepsi implan satu batang Monoplant®. Tujuan : Untuk menentukan temuan patologi endometrium dari USG transvaginal, histeroskopi, dan histopatologi pada akseptor kontrasepsi implan satu batang Monoplant® Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan metode cross sectionaldilakukan pada akseptor implan levonorgestrel batang tunggal yang mengalami perdarahan uterus abnormal usia 20-35 tahun. Wanita dengan kanker serviks, stenosis serviks, penyakit radang panggul, atau penyakit yang tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan ini dieksklusikan dari penelitian ini. Semua subjek dalam penelitian ini diperiksa menggunakan USG transvaginal, histeroskopi, dan pemeriksaan histopatologi. Data yang terkumpul kemudian dianalisis. Hasil : Sebanyak 20 subjek direkrut untuk penelitian ini. Semua subjek diperiksa menggunakan USG transvaginal, histeroskopi, dan pemeriksaan histopatologi. Tidak ada patologi lain selain penipisan endometrium dan atrofi endometrium. Hasil USG transvaginal dan histeroskopi dibandingkan dengan hasil histopatologi. Kesimpulan : Atrofi endometrium adalah penyebab utama perdarahan uterus abnormal pada wanita yang menggunakan implan satu batang levonorgestrel. Namun, pemeriksaan harus dilakukan untuk menyingkirkan etiologi tambahan yang menyebabkan perdarahan uterus abnormal.

Background:Contraceptive implants are subdermal rods that release progestins over a 3-5 year period. The most common and frequent side effect of implants is abnormal uterine bleeding (AUB). Various diagnostic techniques are available to determine the cause of AUB. However, there have been no studies on the findings of endometrial pathology from transvaginal ultrasound and hysteroscopy confirmed by endometrial histopathology in single-rod Monoplant®implant contraceptive acceptors Objective : To determine the findings of endometrial pathology from transvaginal ultrasound, hysteroscopy, and histopathology in single-rod Monoplant®implant contraceptive acceptors Methods:An observational descriptive study using cross sectional method was performed on acceptors of single rod levonorgestrel implant having abnormal uterine bleeding aged 20-35 years old. Women with cervical cancer, cervical stenosis, pelvic inflammatory disease, or any disease that would the examination impossible were excluded. All of the subjects in this study was examined using transvaginal ultrasound, hysteroscopy, and histopathology examination. Collected data was then analyzed accordingly. Results: A total of 20 subjects was recruited to the study. All of the subjects were examined using transvaginal ultrasound, hysteroscopy, and histopathology examination. There was no other pathology other than endometrial thinning and endometrial atrophy. Results of transvaginal ultrasound and hysteroscopy were compared to histopathologic results. Conclusion:Endometrial atrophy is the main cause of abnormal uterine bleeding in women using single rod levonorgestrel implant. However, examinations should be performed to eliminate additional etiologies causing abnormal uterine bleeding."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrijono
"Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) sampai saat ini masih merupakan satu cara kotrasepsi yang efektif. Akibat sampingan yang ditimbulkan oleh AKDR antara lain pendarahan dan rasa nyeri. Untuk lebih meningkatkan pelayanan terhadap akseptor AKDR, perlu diciptakan suatu usaha untuk mengurangi bahkan meniadakan akibat samping pada akseptor AKDR sehingga upaya pengayoman terhadap akseptor AKDR menjadi kenyataan.
Diantara sekian banyak pengobatan pendarahan AKDR dengan preparat antiprostaglandin salah satu diantaranya ialah sodium neproxen. Penggunaan sodium noproxen ternyata dapat menurunkan jumlah darah haid sampai 22-23%. Dalam penelitian tersebut tidak didapatkan akbiat samping penggunaan noproxen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat penggunaan antiprostaglandin untuk menurunkan jumlah darah haid pada akseptor AKDR dan pendarahan pada akseptor AKDR. Serta menilai penaruh preparat tersebut untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri haid atau di luar haid pada akseptor AKDR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyanti Oktapia
"Persalinan dibedakan menjadi persalinan secara normal dan persalinan secara sectio caesarea (SC). Pasien post sectio caesarea biasanya akan merasakan ketidaknyamanan seperti merasa nyeri, sulit untuk melakukan pergerakan, kebas dan kesemutan pada area ekstremitas. Mobilisasi dini merupakan salah satu intervensi keperawatan yang diberikan pada pasien sectio caesarea (SC). Mobilisasi dini dapat meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi ke area luka seksio. Karya ilmiah ini, akan membahas dan memaparkan hasil pemberian asuhan keperawatan pada pasien post sectio caesarea yang berfokus pada penerapan mobilisasi dini dengan melihat proses involusi uterus. Metode yang digunakan adalah case study pada pasien post sectio caesarea dengan status obstetrik P1A0 usia 25 tahun. Pemberian intervensi mobilisasi dini dilakukan selama tiga hari dengan penerapan 6 jam pertama, 12-24 jam pertama, serta 24 jam pertama pasca pembedahan dan kemudian dilakukan evaluasi setiap harinya dengan melakukan pengukuran tinggi fundus uterus (TFU), kontraksi uterus, dan pengeluaran lokia. Hasil intervensi penerapan mobilisasi dini pada pasien post sectio caesarea efektif untuk mempercepat proses involusi uterus ditandai dengan terjadinya penurunan TFU 3,8 cm atau 4 jari di bawah pusat selama tiga hari dengan kontraksi uterus kuat serta pengeluaran lokia rubra sedang (3/4 pembalut penuh) menjadi sangat sedikit (1/4 pembalut penuh). Oleh karena itu, penulis merekomendasikan untuk dilakukannya penerapan mobilisasi dini pada pasien post sectio caesarea ( SC) untuk mempercepat proses involusi uterus.

Delivery is divided into normal delivery and delivery by sectio caesarea (SC). Post sectio caesarea patients will usually feel discomfort such as feeling pain, difficulty moving, numbness, and tingling in the extremities. Early mobilization is one of the nursing interventions given to sectio caesarea (SC) patients. Early mobilization can improve circulation and oxygenation to the wound site. This scientific work will discuss and describe the results of providing nursing care to post sectio caesarea patients which focused on implementing early mobilization by looking at the process of uterine involution. The method used is a case study in post-sectio caesarea patients with P1A0 obstetric status aged 25 years. The provision of early mobilization interventions was carried out for three days with the implementation of the first 6 hours, the first 12-24 hours, and the first 24 hours after surgery and then evaluated every day by measuring the height of the uterine fundus, uterine contractions, and lochia removal. The results of the intervention of implementing early mobilization in post-sectio caesarea patients are effective in accelerating the process of uterine involution characterized by a decrease in TFU 3.8 cm or four fingers below the center for three days with strong uterine contractions and moderate lochia rubra expenditure (3/4 full pads) to be very little (1/4 full dressing). Therefore, the authors recommend implementing early mobilization in post-sectio caesarea (SC) patients to accelerate the process of uterine involution."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sat Titi Hamranani
"Salah satu penyebab pendarahan post partum adalah atonia uteri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pijat oksitosin terhadap involusi uterus. Desain penelitian adalah Kohort Prospektif. Sampel diambil dengan consecutive sebanyak 82 orang di tiga Rumah sakit di wilayah Kabupaten Klaten. Instruen penelitian berupa lembar observasi untuk mengamati involusi uterus selama empat kali yaitu pada hatri pertama, kedua, ketiga dan hari kesepuluh post partum.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pijat oksitosin dengan involusi uterus (p<0.05), dengan nilai relative risk berturut turut 5.250, 10.667, 4.125, dan 2.857. Penelitian selanjutnya untuk menindaklanjuti penelitian ini adalah Pengaruh Paritas dan cara bersalin terhadap produksi ASI dan involusi uterus.

One of cause post partum bleeding is the uterine atonia. The aim of this researc his to know the effect of rolling massage on uterus involution. Research design was prospective cohort. Sample was taken by consecutive sampling with 82 people in 3 hospital in Klaten region. Instrument is an observation sheet to evaluate the uterine involution in four times at first, second, third and tenth day post partum.
The result show that was significant between rolling massage with uterine involution (p<0.005), with relative risk 5.250, 10.667, 4.125, and 2.857. The recommended of the research is effect of paritas and the way of delivered on breastmilk production and uterus involution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T28397
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Gozali
"ABSTRAK
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suatu model prediksi diagnosis adenomiosis berdasarkan faktor risiko, tanda dan gejala klinis.
Metode : Penelitian ini merupakan uji diagnostik, didapatkan 62 subjek penelitian dari data sekunder rekam medis dari pasien yang terdiagnosis adenomiosis dari pemeriksaan patologi anatomi dan 62 subjek yang didiagnosis bukan adenomiosis berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi sebagai kontrol. Faktor risiko, tanda dan gejala klinis yang diteliti adalah usia, paritas, indeks massa tubuh, dismenorea, perdarahan uterus abnormal, massa uterus, disparunea, dan infertilitas. Dan dilakukan uji statistik dengan menggunakan analisa bivariat setiap variabel. Variabel-variabel yang dianggap bermakna selanjutnya akan dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik. Dari faktor risiko yang didapatkan akan dibuat model prediksi diagnosis adenomiosis.
Hasil : Berdasarkan analisa bivariat dan analisa multivariat dengan regresi logistik pada variabel yang dinilai didapatkan hanya dismenorea yang menjadi faktor risiko adenomiosis dengan OR 12.972 dan nilai P <0.001. Didapatkan dari dismenorea nilai sensifiitas 91%, nilai spesifisitas 78%, nilai prediksi positif 66% dan nilai prediksi negatif 86%.
Kesimpulan : Hanya dismenorea yang memiliki hubungan yang bermakna terhadap adenomiosis dibandingkan non adenomiosis.Suatu model prediksi diagnosis adenomiosis tidak dapat dibentuk karena tidak ada variabel lain seperti usia, IMT, Paritas, disparunea, PUA, maupun infertilitas yang bermakna.

ABSTRACT
Objectives : We sought to formulate a predictive model for diagnosis of Adenomyosis by means of risk factors, clinical signs and symptoms.
Method : This was a diagnostic study.From medical record, We obtained 62 subjects diagnosed as Adenomyosis with another 62 patients as control subjects. Both groups have had proven diagnosis by pathology examination. Age, parity, body mass index, dysmenorrhea, abnormal uterine bleeding, uterus mass, dyspareunia, and infertility were the items researched. For statistical analysis, bivariate analysis was done for every variable. Significant associations will further be analyzed with logistic regression to formulate a predictive model for diagnosis of Adenomyosis.
Result : from bivariate analysis, followed by logistic regression, only dysmenorrhea stands out as risk factor for Adenomyosis. Odds ratio for dysmenorrhea was 12.972 with P value <0.001. Sensitivity and specificity for dysmenorrhea to diagnose Adenomyosis were 91% and 78%,respectively. Positive predictive value 66%. Negative predictive value 86%.
Conclusion : We found only dysmenorrhea with strong association with Adenomyosis. Thus, no predictive model for diagnosis of Adenomyosis can be made. Variables such as age, body mass index, parity, dyspareunia, abnormal uterine bleeding and infertility did not show any significance statistically."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laras Lembahmanah
"Latar Belakang: Pada umumnya penderita kanker serviks di Indonesia berpendidikan rendah. Selain itu belum ada data yang menggambarkan tentang sebaran dan hubungan antara tingkat pendidikan dengan terjadinya lesi prakanker serviks di Indonesia, khususnya di Jakarta. Sementara angka kejadian kanker serviks di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi wanita peserta program skrining “see & treat” berdasarkan usia, tingkat pendidikan, usia pertama menikah, dan hasil penemuan tes IVA pada bulan April-Mei 2009 di 4 puskesmas Jatinegara dan mengetahui keterkaitan antara tingkat pendidikan dengan hasil penemuan tes IVA, serta pengaruhnya terhadap terjadinya lesi pra-kanker serviks. Metode: Penelitian cross-sectional dengan sampel minimal 106 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data kuesioner program dari bulan April hingga Mei 2009 di 4 puskesmas daerah Jatinegara, Jakarta Timur, yang telah dikumpulkan sebelumnya. Hasil: Jumlah responden pada kelompok tingkat pendidikan rendah 44.4% sedangkan tingkat pendidikan tinggi/lanjutan 47.1%. Jumlah responden dengan hasil tes IVA positif 98.5% dan negatif 1.1%. Dari 559 orang responden, 0.6% wanita berpendidikan rendah/dasar dengan IVA positif dan 0.4% berada pada tingkat pendidikan tinggi/lanjutan. Hasil analisa statistik tidak mendapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan hasil tes IVA (p=0.610; RP= 1.58 dengan IK 95% 0.27-9.50). Sementara itu terdapat hubungan yang sangat bermakna antara tingkat pendidikan dengan usia pertama menikah responden (p<0.001; RP=7.78 dengan IK 95% 5.27-11.47). Kesimpulan: Jumlah responden lebih banyak berada pada kelompok tingkat pendidikan tinggi/lanjutan (47.1%). Tingkat pendidikan yang rendah tidak berhubungan dan bukan merupakan faktor risiko terhadap penemuan hasil tes IVA yang positif pada 559 responden di 4 puskesmas di Jatinegara. Namun tingkat pendidikan yang rendah berpengaruh bermakna terhadap usia pertama menikah responden yang lebih muda.

Introduction: Generally, the cervical cancer patients in Indonesia have low educational level. In addition, there was no data which describe the distribution and the correlation between educational level and prevalence of precancer’s lesion in Indonesia, particularly in Jakarta. Whereas the amount of cervical cancer in Indonesia is increasing every year. Objective: To discover the prevalence of “See and treat” screening programme’s participants based on their age, educational level, age of first marriage, and prevalence of VIA test’s results from April until May, 2009, at 4 Community Health Centers in Jatinegara, East Jakarta, and to discover the correlation between educational level and the number of VIA test’s results, also the influence that possibly concomit the precancer’s lesion. Method: A cross-sectional study with 106 minimal samples. The datas were collected by using programme’s questionnaires started from April until May, 2009, at 4 Community Health Centers in Jatinegara that had already been collected before. Result: The number of percentage of responders who had low-leveled of education was 44.4%, while the high-leveled of education percentages was 47.1%. The number of percentages of the responders who had positive VIA result was 1.1% and the negative result was 98.5%. From 559 responders, 0.6% of women with positive VIA results had low-leveled of education and 0.4% of women had high-leveled of education. The statistical analysis result showed that there was no meaningful correlations between the educational level and the number of VIA test result (p=0.610; PR=1.58 with 95% IC 0.27-9.50). Meanwhile, there was a very meaningful correlation between the educational level and age of first marriage (p<0.001; PR=7.78 with 95% IC 5.27-11.47). Conclusion: The majority of responders were from high-leveled of education (47.1%). Lower educational level did not correlated and was not the risk factor of the positive finding of VIA test results in 526 responders at 4 Community Health Centers in Jatinegara. However, lower educational level was meaningfully correlated to a younger age of first marriage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lestari Mustika Rini
"Latar Belakang: Saat ini telah diketahui di beberapa negara bahwa puncak insidensi lesi prakanker serviks terjadi pada kelompok usia 30-39 tahun. Namun belum ada data yang menggambarkan tentang sebaran dan hubungan antara usia dengan terjadinya lesi prakanker serviks di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Tujuan: Untuk mengidentifikasi target kelompok usia pada wanita peserta program skrining "see and treat" dan mengetahui hubungan antara faktor usia, jumlah melahirkan dan hasil Tes Inspeksi Visual Asam asetat (IVA).
Metodologi: Desain yang digunakan adalah uji potong lintang pada wanita peserta program di 4 puskesmas Jatinegara April - Mei 2009, untuk mengevaluasi frekuensi usia peserta, ketergantungan usia dan jumlah melahirkan.
Hasil: Partisipasi skrining tertinggi adalah pada kelompok usia 35 - 39 tahun (20,8% dari n=612), dan menurun pada usia lebih tua. Usia diatas 35 tahun 3 kali lebih besar kecenderungan memiliki jumlah melahirkan lebih dari 1 kali dibandingakan usia ≤ 35 tahun dengan RO=2,87, IK 95%=1,94 ; 4,24, p<0,0001, PPV 80%. Usia lebih dari 35 tahun memiliki risiko 2 kali lebih besar mendapatkan hasil Tes IVA positif dibandingkan responden yang berusia ≤ 35 tahun dengan RO 1,99, IK 95%= 0,38 ; 10,38, p=0,648. Terdapat hubungan bermakna antara usia, jumlah melahirkan dan usia pertama menikah dengan temuan hasil Tes IVA (0,05 < p< 0,10).
Kesimpulan: Data ini menunjukkan bahwa wanita dengan usia diatas 35 tahun dan telah memiliki jumlah melahirkan lebih dari sekali, lebih cenderung memiliki hasil Tes IVA positif.

Background: There were some medical researches from some countries, showed that the peak incidence of premalignant cervical cancer occurred in the 30-39 age group. However, report about distribution and correlation between age and premalignant cervical cancer in Indonesia, especially in Jakarta, are poorly understood.
Purpose/Aim: To identify the age group target amongst the female participants of "see and treat" screening program, and to analyze the correlation of age, parity and Visual Inspection Acetic acid (VIA) test result.
Methodology: We used a crosssectional test to analyze data from Jatinegara female participants in 4 clinics in Jatinegara during April - May 2009, in order to evaluate the frequency of the age of participants, age dependency, and the number of parity.
Result: It showed that the highest screening participation was in women between 35-39 age group (20,8% in n=612), and a little less in elderly women. The ages above 35 has a triple possibility to give birth more than one time than ages below 35 with OR=2,87, CI 95%=1,94 ; 4,24, p<0,0001, PPV 80%. Ages above 35 years occupy double risk to get positive IVA Test result than respondents of ages below 35, with OR=1,99, CI 95%= 0,38 ; 10,38, p=0,648 There were significantly correlation between age, number of parity and the first age of marriage with positive IVA test result (0,05 < p < 0,10).
Conclusion: These data suggest that in women > 35 years and had birth more than one time, were possibilities to have positive pre-cancer detected by VIA."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S09049fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ajiraga Amrantara
"Latar Belakang: Saat ini telah diketahui di beberapa negara bahwa puncak insidensi lesi prakanker serviks terjadi pada kelompok usia pertama kali menikah 12-17 tahun. Namun belum ada data yang menggambarkan tentang sebaran dan hubungan antara usia pertama kali menikah dengan terjadinya lesi prakanker serviks di Indonesia, khususnya di Jakarta. Tujuan: Untuk mengidentifikasi target kelompok usia pertama kali menikah pada wanita peserta program skrining “see and treat” dan mengetahui hubungan antara usia pertama kali menikah, kesadaran dan hasil Tes Inspeksi Visual Asam asetat (IVA). Metodologi: Desain yang digunakan adalah uji potong lintang pada wanita peserta program di 4 puskesmas Jatinegara April – Mei 2009, untuk mengevaluasi frekuensi usia pertama kali menikah peserta, dan kesadaran. Hasil: Partisipasi skrining tertinggi adalah pada usia pertama kali menikah pada umur 20 tahun (14,5% dari n=612). Terdapat hubungan yang bermakna antara usia pertama kali menikah dan kesadaran dengan Uji Chi-Square (p=0,002) dengan OR=5,83, IK 95%=3,68 ; 50,22. Tidak terdapat hubungan bermakna antara usia pertama kali menikah dan temuan hasil Tes IVA dengan Uji Chi-Square (p=0,267) dengan OR4,59, CI 95%=0,53;39,52. Terdapat hubungan bermakna antara usia, jumlah melahirkan dan usia pertama menikah dengan temuan hasil Tes IVA (0,05 < p < 0,10). Kesimpulan: Pada penelitian ini tidak terdapat korelasi antara usia pertama kali menikah, kesadaran dan hasil Tes IVA.

Background: There are some medical research from other country that identified the peak incidence of premalignant cervical cancer was in the age of first marriage 12- 17 age group. But report for distribution and relation between age and premalignant cervical cancer in Indonesia, especially in Jakarta, are poorly understood. Purpose: To identify the target age of first marriage amongst women participant of “see and treat” screening program and to analyze relation of age of first marriage, awareness and IVA test result. Methodology: We used a cross-sectional test to analyze data from Jatinegara female participants in 4 clinics in Jatinegara during April – May 2009, to evaluate frequency of participant age of first marriage, awareness. Result: The highest screening participation was amongst age of first marriage women at 20 year (14,5% in n=612). There was significance relation between age of first marriage and awareness with Chi-Square Test (p =0,002) with OR=5,83, CI 95%=3,68 ; 50,22. There was no significance relation between age of first marriage and VIA test result with Chi-Square Test (p =0,276) with OR=4,59, CI 95%=0,53;39,52. Conclusions: There was no correlation between age of first marriage, awareness and IVA test result. The increasing age of fisrs marriage the participant, more frequencies awareness, will also have more positif pre-cancer detected by VIA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>