Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59289 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Didi Kurniadhi
"Latar belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Diluar dari faktor risiko konservatif yang sudah diketahui berhubungan PJK ternyata didapatkan pula sejumlah faktor non konservatif yang berhubungan dengan PJK, salah satu faktor risiko yang paling menonjol adalah resistensi insulin. Data penelitian yang melihat peranan dan hubungan antara resistensi insulin dengan kejadian dan beratnya PJK masih menjadi kontrovesi, dimana sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang bertentangan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran nilai resistensi insulin pada pasien PJK dan tersangka PJK yang menjalani angiografi koroner dan korelasi antara resistensi insulin dengan beratnya PJK, yang dinilai dengan derajat stenosis arteri koroner.
Metode: Resistensi insulin dinilai dengan menggunakan HOMA IR sedangkan beratnya derajat stenosis koroner dinilai dengan sistem skoring dari Gensini.
Hasil: Sebanyak 39 subyek yang menjalani angiografi koroner karena PJK dan tersangka PJK mengikuti penelitian ini. Nilai HOMA IR pada penelitian ini tidak mengikuti distribusi normal, dengan nilai median 4,63 (0,73 – 26,9). HOMA IR menunjukkan korelasi yang bermakna dengan beratnya derajat stenosis arteri koroner dengan arah korelasi positif dan kekuatan korelasi sedang (r: 0,44, p < 0,05). Korelasi ini tetap bermakna meskipun telah dilakukan penyesuaian dengan sejumlah variabel perancu.
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna antara resistensi insulin dengan beratnya PJK yang dinilai dengan Gensini skor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Afian Setyanto SP
"Di dalam dunia industri semakin dituntut adanya peningkatan efisiensi dan produktifitas dalam menghasilkan suatu produk. Salah satu hal yang menjadi tolok ukur dalam menilai produktifitas dan efisiensi suatu industri adalah dengan melihat tingkat cacat produk yang terjadi dalam menghasilkan suatu produk. Dengan tingkat cacat produk yang tinggi suatu industri bisa dikategorikan sebagai industri dengan produktifitas dan efisiensi yang buruk. Hal inilah yang menjadi acuan terhadap dunia industri untuk semakin memperbaiki sistem kerja untuk menurunkan angka cacat produk sehingga diperoleh tingkat produktifitas dan efisiensi yang tinggi. Produk plastik yang dihasilkan dari proses plastic injection moulding juga tidak terlepas dari masalah cacat produk.
Salah satunya adalah pada PT X yang bergerak di bidang industri plastic injection moulding. Dengan persentase tingkat cacat produk (rejection ) yang masih tinggi dan diatas kebijakan perusahaan yaitu 0,9 % dituntut untuk melakukan perbaikan dari proses produksi yang ada. Tingkat cacat yang tinggi dengan tipe-tipe cacat yang berbeda - beda serta selalu berulang setiap saat tanpa adanya penyelesaian yang tuntas, tidak adanya acuan yang pasti dalam melakukan setting produk terutama pada waktu setting produk baru, berakibat masalah akan selalu muncul dan tidak dapat diperbaiki dengan cepat.
Berdasarkan atas permasalahan diatas maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisa penyebab-penyebab cacat pada produk plastic injection moulding, melakukan analisa penyebab cacat produk berdasarkan parameter tekanan dan temperatur pada barrel. Penelitian ini selain dengan melakukan pengumpulan data-data dari lapangan juga dilakukan uji coba untuk membuktikan analisa yang sudah diperoleh dari data-data yang ada.
Hasil akhir yang didapatkan dari penelitian ini adalah didapatkan korelasi antara parameter setting temperature dan tekanan barrel mesin plastic injection moulding terhadap cacat produk hasil injeksi, batasan standar setting temperatur dan tekanan barrel pada produk dengan jenis material dan bentuk produk yang berbeda beda dan analisa yang pasti mengenai penyebab cacat produk beserta penyelesaiannya.

Industry at this time more need of efficiency and productivity to produce a part. One thing that become reference to make evaluation of productivity and efficiency an industry is with see rejection level of product. Industries can be categorized as bad productivity and efficiency if they have high level of rejection. This case can become reference industries have to improve their system of production to make better productivity and efficiency. Plastic product can be produced with plastic injection moulding process also have problem with rejection of product.
PT X is manufacture of producing plastic injection moulding product. Rejection product level at this manufacture still high, higher than policy of management, that is 0,9 %. They still need improvement to reduce rejection level. Different type of rejection product, and always continue everytime without good solution, no reference of setting machine when they make and produce new product, all of this case make problem discontinue to be solved.
According to all the background problem above, so we make a research in order to analyze main causes of the problem, and this analysis base on parameter temperature and pressure of barrel plastic injection moulding machine. This research not only collect data from machine and other reference, but triall also done to prove result of analysis from data.
Finish result is get a correlation between temperature and pressure of barrel plastic injection moulding machine with rejection of product, clear boundary of setting value of temperature and pressure base on each material of product, and also analysis of the problem.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S37363
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adri Dwi Anggayana
"Latar Belakang: Prolaps organ panggul merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita wanita usia lanjut. Salah satu gejala yang diakibatkan dari prolaps organ panggul adalah inkontinensia urin. Inkontinensia urin jenis tekanan merupakan jenis inkontinensia urin terbanyak. Pada beberapa penelitian sebelumnya didapatkan bahwa dengan meningkatnya derajat prolaps organ panggul akan meningkatkan kejadian inkontinensia urin jenis tekanan, akan tetapi hanya terdapat beberapa penelitian yang mendukung hipotesis ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara derajat prolaps kompartemen anterior dengan derajat inkontinensia urin jenis tekanan.
Metode: Penelitian ini merupakan analitik observasional berdesain potong lintang menggunakan data dari rekam medis pada wanita dengan prolaps organ panggul dan inkontinensia urin jenis tekanan yang datang ke poli uroginekologi periode Juli 2019 – Mei 2020 di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo. Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah subyek dengan infeksi saluran kemih, riwayat pembedahan di pelvis, riwayat tumor abdomen atau massa di pelvis. Derajat prolaps kompartemen anterior diukur dengan menggunakan titik-Ba dari POP-Q, sedangkan derajat inkontinensia urin jenis tekanan diukur berdasarkan hasil tes pad 1 jam.
Hasil: Sebanyak 32 subyek yang masuk dalam penelitian ini. Didapatkan tidak terdapat korelasi antara derajat prolaps kompartemen anterior dengan derajat inkontinensia urin jenis tekanan (r = 0,240, p = 0,182). Inkontinensia urin jenis tekanan yang tersembunyi dapat ditemukan pada prolaps kompartemen anterior derajat III dan IV.
Kesimpulan: Meningkatnya derajat prolaps kompartemen anterior tidak diikuti dengan meningkatnya derajat inkontinensia urin jenis tekanan.

Background: Pelvic organ prolapse is one of the most prevalent health problems in elderly women. One of its main symptoms is urinary incontinence. Stress urinary incontinence (SUI) is the most common type of urinary incontinence. Previous researches had indicated that the degree of anterior prolapse would increase the degree incidence of stress urinary incontinence. However, there are only a few studies supporting this hypothesis. This study aims to investigate the correlation between the degree of anterior compartment prolapse and stress urinary incontinence.
Methods: An analytic observational study using cross sectional design by the medical record was done on women with pelvic organ prolapse and stress urinary incontinence that came to urogynecology clinic during the period of July 2019 to May 2020 in Cipto Mangunkusumo Hospital. Subjects with urinary tract infection, history of pelvic surgery, or history of abdominal/pelvic malignancy were excluded. The degree of anterior organ prolapse was measured using POP-Q system (Ba point) while the degree of SUI was measured using 1-hour pad test in grams.
Results: A total of 32 subjects were included in the study. There was no correlation observed between the degree of anterior compartment prolapse and SUI degree (r = 0.240, p = 0.182). Occult type of SUI can be found in grade III and IV of anterior compartement prolapse.
Conclusion: Higher stress urinary incontinence degree was not found in higher anterior prolapse degree in pelvic organ prolapse patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Jessica
"Latar Belakang: Stroke iskemik merupakan penyebab kematian terbanyak kedua dan penyebab utama disabilitas di seluruh dunia. Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui diantaranya pola hidup, penyakit komorbid, usia, jenis kelamin, dan ras. Namun, kadar serum vitamin D yang kurang ternyata juga dikaitkan dengan penyakit neurodegeneratif, serta luaran klinis yang lebih buruk. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan pada stroke iskemik yang dinilai berdasarkan NIHSS. Pada penelitian ini juga akan menilai asupan vitamin D serta pajanan sinar matahari.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien stroke iskemik di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, faktor risiko, penyakit komorbid dengan komplikasi, asupan protein, asupan lemak, asupan vitamin D, pajanan sinar matahari, kadar serum vitamin D, serta derajat keparahan. Dilakukan analisis korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan berdasarkan NIHSS.
Hasil: Terdapat 59 subjek dengan diagnosis stroke iskemik dengan rerata usia 63 tahun dan mayoritas laki-laki (62,7%). Faktor risiko terbanyak adalah hipertensi (83,1%), berat badan lebih dan obesitas (64,4%), merokok (57,6%), dan diabetes melitus (42,4%). Penyakit komorbid dengan komplikasi tersering yang ditemukan adalah gangguan jantung (35,6%). Sebanyak 79,7% subjek penelitian memiliki asupan protein yang kurang, sedangkan asupan lemak seluruhnya tergolong cukup. Sebagian besar (52,5%) subjek penelitian memiliki status asupan vitamin D kurang, 5 orang mengonsumsi suplementasi vitamin D secara rutin, derajat pajanan sinar matahari rendah (89,8%). Sebanyak 59,3% memiliki status kadar serum vitamin D defisiensi dengan derajat keparahan terbanyak adalah skor NIHSS 5-15 (76,3%). Terdapat korelasi antara asupan vitamin D dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,307, p 0,018).
Kesimpulan: Kadar serum vitamin D memiliki korelasi dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,469, p <0,001). Kadar serum vitamin D yang kurang berbanding terbalik dengan skor NIHSS yang didapatkan pada penderita stroke iskemik onset akut.

Background: Ischemic stroke is the second leading cause of death and the leading cause of disability worldwide. Some of the known risk factors include lifestyle, comorbid diseases, age, gender, and race. However, deficient serum vitamin D levels are also associated with neurodegenerative diseases, as well as worse clinical outcomes. This study was conducted to determine the correlation of serum vitamin D levels with severity in ischemic stroke as assessed by the NIHSS. This study will also assess vitamin D intake and sunlight exposure.
Methods: This study is a cross-sectional study on ischemic stroke patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and University of Indonesia Hospital. Characteristics of the study subjects included age, gender, risk factors, comorbid diseases with complications, protein intake, fat intake, vitamin D intake, sun exposure, serum vitamin D levels, and severity. Correlation analysis of serum vitamin D levels with severity based on NIHSS was conducted.
Results: There were 59 subjects with a diagnosis of ischemic stroke with an average age of 63 years and the majority were male (62.7%). The most common risk factors were hypertension (83.1%), overweight and obesity (64.4%), smoking (57.6%), and diabetes mellitus (42.4%). Comorbid disease with the most common complication found were cardiac disorders (35.6%). A total of 79.7% of the study subjects had insufficient protein intake, while the fat intake was entirely considered adequate. Most (52.5%) of the study subjects had deficient vitamin D intake status, 5 people took vitamin D supplementation regularly, the degree of sun exposure was low (89.8%). A total of 59.3% had vitamin D deficiency serum level status with the most severity being NIHSS score 5-15 (76.3%). There was a correlation between vitamin D intake and ischemic stroke severity (r -0,307, p 0,018).
Conclusion: Serum vitamin D levels have a correlation with ischemic stroke severity (r -0,469, p <0,001). Insufficient serum vitamin D levels are inversely proportional to the NIHSS score obtained in patients with acute onset ischemic stroke.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Budi Widiasih
"Lignoselulosa merupakan salah satu sumber terbarukan yang dapat digunakan untuk menghasilkan selulosa. Proses untuk menghasilkan selulosa yakni pretreatment yang meliputi dewax dan delignifikasi. Penggunaan NaOH 10% dalam penelitian ini dapat menurunkan kadar lignin lebih dari 10%, hal ini lebih baik dibandingkan penggunaan NaOH 20%. Glukosa dapat dihasilkan dari selulosa melalui proses hidrolisis asam. Glukosa hasil hidrolisis limbah kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) selanjutnya dikonversi menjadi asam levulinat melalui reaksi dehidrasi. Asam levulinat merupakan bahan kimia yang pemanfaatannya cukup luas dalam bidang industri dan energi. Konversi glukosa hasil hidrolisis dari selulosa limbah kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) menjadi asam levulinat dalam sistem mirip fenton dengan katalis Mn/ZSM-5 mesopori telah dilakukan dan hasilnya adalah penggunaannya dapat meningkatkan % yield dari asam levulinat pada waktu maksimum 4 jam.

Lignocellulose is one of the renewable source which can produce cellulose. Process for produce cellulose is pretreatment, which dewax and delignification. The use NaOH 10% in this research can degrade more than 10%, more better than NaOH 20%. Glucose can produce from cellulose with acid hydrolisis process, and after that, glucose from mahoni wood waste (Swietenia macrophylla King) can conversion to be levulinic acid using dehydration reaction. Levulinic acid is platform chemical, which can usage for industrial and energy area. The conversion of glucose from cellulose of mahoni wood (Swietenia macrophylla King) under heterogeneous fenton-like system with Mn.ZSM-5 mesopori catalyst have been investigated and the result is using Mn/ZSM-5 mesopori catalyst can increase yield of levulinic acid in optimum time of 4 hour."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S47294
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anjar Margisari
"Pembuatan polimer Core-Shell Stirena Butil Akrilat, telan dicoba dengan metoda polimeriSaSi emulsi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan iniSator rec|okS [H2O2-ASam Askorbat] dengan ammonium persulfat untuk mendapatkan optimasi core Stirena. VariaSi yang dilakukan untuk membandingkan keduanya pada tanapan core Stirena meliputi variaSi konSentraSi Surfaktan di ataS nilai cmc, konSentraSi iniSiator, dan teknik po|imeriSaSi, Serta pengarun penggunaan pengikat Silang Glisidil IV|etakri|at [GIVIA] pada tanapan core Shell. Polimer yang dinasilkan ditentukan perSen konverSi, ukuran partikel dan diStribuSi ukuran partikel, guguS fungSi dengan FTIR, dan nilai Tg dengan DSC. Penelitian ini menemukan bahwa pada teknk Seeding iniSiator recloks mampu memberikan ukuran partikel Iebih beSar dibanding APS, Serta teknik polimerisasi Seeding Semikontinu mengnaSi|kan %konverSi yang Iebin tinggi dibandingkan teknik Seeding, tetapi ukuran partikel menjadi Iebin kecil. Hasil juga menunjukkan Semakin kecil konSentraSi Surfaktan, Semakin beSar ukuran partikelnya, Serta pengunaan konSentraSi Surfaktan diatas nilai cmc menghasilkan polimer dengan Struktur kopolimer."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2007
S30427
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Tri Antika
"Miskonsepsi merupakan masalah pendidikan yang sampai saat ini menjadi masalah besar dalam pembelajaran di berbagai lingkungan pendidikan di dunia, dan terjadi pada semua tingkatan pendidikan. Salah satu materi yang sering terjadi miskonsepsi adalah teori evolusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara miskonsepsi teori evolusi dengan hasil belajar. Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa program studi Pendidikan Biologi Universitas Islam Madura. Penelitian ini menggunakan desain penelitian korelasional untuk menjelaskan hubungan antara prediktor dan kriterium. Pengukuran miskonsepsi dilakukan dengan cara memberi skor pada hasil angket. Pada penelitian ini, angket beserta rubrik yang digunakan adalah Measure of Acceptance of the Theory of Evolution (MATE). Sedangkan hasil belajar diukur dengan cara tes tulis berupa essay pada pre test dan post test. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara identifikasi miskonsepsi teori evolusi dengan hasil belajar. Identifikasi miskonsepsi yang dilakukan dalam penelitian ini memberikan gambaran tentang materi evolusi yang mempunyai tingkat miskonsespi tinggi. Oleh karena itu, treatment pembelajaran aktif dilakukan untuk menanggulangi tingginya miskonsepsi tentang teori evolusi dan hasilnya adalah meningkatnya hasil belajar mahasiswa mengenai teori evolusi."
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018
370 JPK 3:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kemas Syamsudin
"ABSTRAK
Selama kurun waktu 25 tahun khususnya sepuluh tahun terakhir dari tahun 1985 sampai 1995 pembangunan di berbagai sektor di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat. Pertumbuhan sektor pembangunan yang pesat diikuti pula oleh pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Pertumbuhan penduduk yang pesat ini umumnya terjadi pada propinsi-propinsi tertentu saja, sehingga propinsi yang sudah padat penduduknya akan menjadi semakin padat.
Propinsi yang kepadatan penduduknya tinggi akan berkorelasi terhadap kualitas lingkungan. Yang menjadi permasalahan di sini adalah sektor pembangunan meningkat, jumlah penduduk rneningkat tetapi kualitas liugkungan khususnya kualitas udara menurun.
Sebaran penduduk yang belum merata ini diduga ada korelasinya dengan penduduk masih terpusat pada daerah-daerah tertentu. Sebaran industri maupun sebaran penduduk yang belum merata, khususnya di daerahdaerah yang sangat padat penduduknya tentu akan berdampak pada kualitas lingkungan khususnya kualitas udara.
Untuk mengetahui apakah sebaran industri manufaktur mempunyai korelasi terhadap sebaran penduduk maupun terhadap kualitas lingkungan, khususnya kualitas udara maka dilakukan studi ini.
Studi ini dilakukan dengan mengolah data sekunder, terutama dan Sensus Ekonomi 1985, Sensus Ekonomi 1995, Supas 1985, Supas 1995 dan Neraca Kependudukan Lingkungan Hidup Daerah 1995.
Manfaat studi ini adalah untuk memberikan masukan pada .suatu pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang.
Pada studi ini diajukan empat hipotesis yaitu: (i) Penyebaran industri manufaktur mempunyai korelasi yang kuat terhadap penyebaran penduduk di tiap-tiap propinsi di Indonesia, (ii) Sektor usaha jasa (perdagangan besar, eceran, rumah makan, restoran, serta hotel; angkutan, penggudangan, komunikasi; jasa keuangan, asuransi, usaha persewaan, bangunan tanah, jasa prusahaan; jasa kemasyarakatan dan sosial hiburan dan peroraugan) mempunyai korelasi yang lebih kuat dibandingkan dengan sektor industri (pertambangan dan penggalian; manufakur; lisirik, gas, dan air, bangunan dan konstruksi) terhadap penyebaran penduduk di tiap-tiap propinsi di Indonesia, (iii) Sektor industri manufaktur secara umum mempunyai korelasi yang kuat terhadap pertumbuhan sektor-sektor usaha jasa industri lain terutama sektor usaha jasa, (iv) Sebaran industri manufaktur maupun sebaran penduduk mempunyai korelasi yang kuat terhadap kualitas udara.
Dari hasil analisis data dengan menggunakan persarnaan regresi dan korelasi melalui Program Statistika 5 maka dapat disimpulkan bnhwa hipotesis 1, 2, 3, dan 4 dapat diterima. Dalam hal korelasi antara penyebaran industri, penyebaran penduduk dan kualitas lingkungan, khususnya kualitas udara dapat dikatakan bahwa :
Semakin padat industri manufaktur di suatu daerah maka semakin padat penduduknya, demikian juga pencemaran udaranya akan semakin meningkat. Bahan pencemar udara yang berkorelasi dengan meningkatnya kepadatan industri manufaktur adalah debu, NOx, HC, CO, dan CO2, sedangkan bahan pencemar udara yang berkorelasi laugsung dengan uktivitas kepadatan penduduk adalah debu, CO, dan CO2 ini menunjukkan bahwa sebaran industri manufaktur dan sebaran penduduk mempunyai korelasi yang kuat terhadap kualitas lingkungan khususnya kualitas udara. Semakin padat industri manufaktur di suatu propinsi, maka semakin padat penduduknya sedangkan kualitas udaranya menjadi semakin rendah.

ABSTRACT
During the last quarter of a century, especially the last decade, from 1985 to 1995, development in every sector in Indonesia has shown a rapid ,growth_ The rapid growth was followed by an increase in population too. The growth of this population, generally, occurs in certain provinces. Hence, these provinces that are already crowded became even more crowded. Provinces which have a huge population will correlate with environmental quality. The problem here is that development. and population increased but environmental quality, especially air quality, decreased.
Unbalanced population distribution pattern may be due to the distribution are of manufacturing firms. The distribution of both manufacturing firms and population focussed in a certain region. Both these unbalanced distributions will certainly influence environmental quality.
To find out whether or not the distribution of manufacturing firms correlate closely with population distribution, and environmental quality, especially air quality, therefore this research was undertaken.
This research was conducted by processing secondary data, mostly from the economic census 1985, economic census 1995, Supas 1985, Supas 1995 and NKLU 1995.
This research is useful inproviding input for making decisions for site plan. This research proposed four hypotheses as follows:
1. The distribution of manufacturing firms have strong correlations with population distribution in each province in Indonesia
2. Services sectors (big trade, retail, restaurants and hotels, transport, finance services, insurance. rentals, real estates, services company, community social and personal services) have stronger correlations compared to industry sectors (mining and quarrying, manufacturing, electricity, gas and water supply, construction) towards population distribution in every province in Indonesia
3. Manufacturing, generally, has strong correlations towards the growth of service establishment or other industry, especially service establishment.
4. Manufacturing industry distribution as well as population distribution has strong correlations towards air quality.
Results of data analyses by using regression equation and correlation through Statistic Program 5, it could be concluded that hypothesis 1, 2, 3, and 4 can be accepted. Correlations between industry distribution, population distribution and air quality it could be stated that:
The more crowded the manufacturing industries in one region, the more dense population will be; the same is true with air pollution.
The air pollutant that have correlations with increasing manufacturing industries were dust, NOx, HC, CO, and C02. Whilst air pollutants that have correlations with population were dust, CO, and C02. These indicate that the Beater the population in one region, the lower the environmental quality will be, especially air quality.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efriadi
"ABSTRAK
Latar belakang : Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengukur kapasitas
difusi paru DLCO-SB ipada pasien PPOK di RSUP Persahabatan Jakarta untuk
mengetahui prevalens penurunan nilai DLCO pada pasien PPOK.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang (cross sectional
study) pada pasien PPOK yang berkunjung di Poliklinik Asma-PPOK RSUP
Persahabatan Jakarta. Dilakukan uji spirometri dan DLCO pada pasien PPOK
yang diambil secara konsekutif antara bulan Mei-Juli 2015. Komorbiditas juga
dicatat.
Hasil : Uji Spirometri and DLCO dilakukan pada 65 subjek didapatkan 7 subjek
(10,8%) termasuk kedalam PPOK Grup A, 19 subjek (29,2%) PPOK Grup B, 21
subjek (32,3%) PPOK grup C dan 18 subjek (27,7%) PPOK grup D. rerata usia
64,15 (45-89) tahun;rerata VEP
1
% 46,05%, rerata nilai DLCO 19,42
ml/menit/mmHg dan rerata DLCO % adalah 72.00%. prevalens penurunan
DLCO pasien PPOK adalah 56,92% (37/65 subjek) sedangkan 28 subjek dengan
nilai DLCO normal. Ditemukan 15 subjek (23,07%) dengan penurunan ringan, 18
subjek (27.69%) penurunan sedang dan 4 subjek (6,15%) dengan penurunan berat.
Ditemukan 47 subjek (72,3%) memiliki komorbid. Terdapat hubungan bermakna
antara grup PPOK, derajat spirometri, VEP
1
, IMT dan komorbiditas dengan nilai
hasil uji DLCO. Tidak terdapat hubungan bermakna antara nilai DLCO dengan
jenis kelamin, umur, riwayat merokok, Indeks Brinkmann, obstruksi-restriksi dan
lama terdiagnosis PPOK.
Kesimpulan : Proporsi penurunan nilai DLCO pada pasien PPOK adalah
56,92%. Terdapat hubungan bermakna antara grup PPOK, derajat spirometri,
VEP
1
, IMT dan riwayat TB dengan nilai hasil uji DLCO. Tidak terdapat
hubungan bermakna antara nilai DLCO dengan jenis kelamin, umur, riwayat
merokok, Indeks Brinkmann, obstruksi-restriksi, komorbid dan lama terdiagnosis
PPOK.ABSTRACT
Background and the aim of study : This is a preliminary study to measure
DLCO-SB in COPD patients in Persahabatan Hospital. The aim of the study is to
know the magnitude of disturbance in diffusing capacity of the lung in COPD
patients.
Methods : This was a cross sectional study in which COPD patients attending
COPD-Asthma clinic in Persahabatan Hospital Jakarta were performed spirometry
and DLCO-SB consecutively between May 2015?July 2015. Comorbidities
conditions were also recorded.
Results : Spirometry and DLCO-SB measurement were conducted on 65 COPD
subjects of which 7 subjects (10.8%) were COPD Group A, 19 subjects (29.2%)
were Group B, 21 subjects (32.3%) were COPD group C and 18 subjects (27.7%)
were COPD group D. The mean age was 64.15 (45-89); mean FEV
1
% was
46.05%, mean DLCO measured was 19.42 ml/min/mmHg and the mean DLCO%
was 72.00%. The prevalence of decreasing in diffusing capacity of the lung in
COPD patients was 56.92% (37 subjects) While 28 subjects were normal. There
were 15 subjects (23.07%) with mild decrease in DLCO, 18 subjects (27.69%)
were moderate decrease and 4 subjects (6.15%) with severe decrease. 47 subjects
(72.3%) had comorbid conditions. There was significant correlation between grup
COPD, GOLD COPD grade, VEP
1
, BMI and comorbidities with magnitude of
decreasing DLCO value. There was no correlation between DLCO value with sex,
smoking history, Brinkmann index, age, obstruction-mix criteria, length of COPD
period.
Conclusion : The proportion of decreasing in DLCO in COPD patients are
56.92%. There is significant correlation among the group of COPD, GOLD
COPD grade, VEP
1
, BMI and previous TB history with magnitude of decreasing
DLCO value. There is no correlation between DLCO value with sex, smoking
history, brinkmann index, age, obstruction-mix criteria, comorbidities and length
of COPD period. ;Background and the aim of study : This is a preliminary study to measure
DLCO-SB in COPD patients in Persahabatan Hospital. The aim of the study is to
know the magnitude of disturbance in diffusing capacity of the lung in COPD
patients.
Methods : This was a cross sectional study in which COPD patients attending
COPD-Asthma clinic in Persahabatan Hospital Jakarta were performed spirometry
and DLCO-SB consecutively between May 2015?July 2015. Comorbidities
conditions were also recorded.
Results : Spirometry and DLCO-SB measurement were conducted on 65 COPD
subjects of which 7 subjects (10.8%) were COPD Group A, 19 subjects (29.2%)
were Group B, 21 subjects (32.3%) were COPD group C and 18 subjects (27.7%)
were COPD group D. The mean age was 64.15 (45-89); mean FEV
1
% was
46.05%, mean DLCO measured was 19.42 ml/min/mmHg and the mean DLCO%
was 72.00%. The prevalence of decreasing in diffusing capacity of the lung in
COPD patients was 56.92% (37 subjects) While 28 subjects were normal. There
were 15 subjects (23.07%) with mild decrease in DLCO, 18 subjects (27.69%)
were moderate decrease and 4 subjects (6.15%) with severe decrease. 47 subjects
(72.3%) had comorbid conditions. There was significant correlation between grup
COPD, GOLD COPD grade, VEP
1
, BMI and comorbidities with magnitude of
decreasing DLCO value. There was no correlation between DLCO value with sex,
smoking history, Brinkmann index, age, obstruction-mix criteria, length of COPD
period.
Conclusion : The proportion of decreasing in DLCO in COPD patients are
56.92%. There is significant correlation among the group of COPD, GOLD
COPD grade, VEP
1
, BMI and previous TB history with magnitude of decreasing
DLCO value. There is no correlation between DLCO value with sex, smoking
history, brinkmann index, age, obstruction-mix criteria, comorbidities and length
of COPD period. ;Background and the aim of study : This is a preliminary study to measure
DLCO-SB in COPD patients in Persahabatan Hospital. The aim of the study is to
know the magnitude of disturbance in diffusing capacity of the lung in COPD
patients.
Methods : This was a cross sectional study in which COPD patients attending
COPD-Asthma clinic in Persahabatan Hospital Jakarta were performed spirometry
and DLCO-SB consecutively between May 2015?July 2015. Comorbidities
conditions were also recorded.
Results : Spirometry and DLCO-SB measurement were conducted on 65 COPD
subjects of which 7 subjects (10.8%) were COPD Group A, 19 subjects (29.2%)
were Group B, 21 subjects (32.3%) were COPD group C and 18 subjects (27.7%)
were COPD group D. The mean age was 64.15 (45-89); mean FEV
1
% was
46.05%, mean DLCO measured was 19.42 ml/min/mmHg and the mean DLCO%
was 72.00%. The prevalence of decreasing in diffusing capacity of the lung in
COPD patients was 56.92% (37 subjects) While 28 subjects were normal. There
were 15 subjects (23.07%) with mild decrease in DLCO, 18 subjects (27.69%)
were moderate decrease and 4 subjects (6.15%) with severe decrease. 47 subjects
(72.3%) had comorbid conditions. There was significant correlation between grup
COPD, GOLD COPD grade, VEP
1
, BMI and comorbidities with magnitude of
decreasing DLCO value. There was no correlation between DLCO value with sex,
smoking history, Brinkmann index, age, obstruction-mix criteria, length of COPD
period.
Conclusion : The proportion of decreasing in DLCO in COPD patients are
56.92%. There is significant correlation among the group of COPD, GOLD
COPD grade, VEP
1
, BMI and previous TB history with magnitude of decreasing
DLCO value. There is no correlation between DLCO value with sex, smoking
history, brinkmann index, age, obstruction-mix criteria, comorbidities and length
of COPD period. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>