Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125034 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irma Hastuti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S25374
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berlian Try Meisya
"Hak milik sebagaimana dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA pada dasarnya memiliki pengertian yang sama dengan yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU Cagar Budaya yaitu hak terkuat dan terpenuh. Selain itu dalam Pasal 6 UUPA menjelaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial sebagaimana halnya dengan hak milik atas Cagar Budaya. Namun kepemilikan atas Cagar Budaya tidak sama dengan hak milik atas kebendaan lainnya secara umum, karena untuk kepemilikan objek Cagar Budaya dibatasi oleh UU Cagar Budaya, khususnya terkait pengalihannya yang membutuhkan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan tingkatannya. Pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang melekat unsur-unsur nilai Cagar Budaya melalui tindakan hukum jual beli memerlukan sistem administrasi yang khusus dan melibatkan peran penting dari beberapa profesi yang bekerja sama dengan instansi pemerintahan tertentu yaitu Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Direktorat Jenderal Dinas Kebudayaan. Notaris berperan dalam menyusun akta otentik yang sah secara hukum dalam bentuk PPJB, sementera PPAT berperan membuat AJB setelah memeriksa kesesuaian sertifikat kepada BPN dalam memastikan bahwa tidak ada sengketa atau blokir terkait objek yang terkandung nilai-nilai Cagar Budaya tersebut. Selanjutnya, BPN sebelum menerbitkan sertifikat hak milik atas tanah serta bangunan perlu memverifikasi tanah dan bangunan yang berstatus Cagar Budaya melalui sistem Registrasi Nasional yang dimiliki oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang membawahi Direktorat Jenderal Dinas Kebudayaan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemilik baru terkait keterangan status dari objek tersebut. Melalui kolaborasi dari pihak yang saling berkaitan tersebut diharapkan dapat berjalan dengan tertib, aman, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terlebih dari itu diperlukannya perhatian khusus yang dibalut dalam bentuk Peraturan Menteri yang mengatur seccara terperinci mengenai sistem Register Nasional yang terintegrasi dengan sistem verifikasi yang dilakukan oleh BPN dalam pengecekkan status hak atas tanah dan bangunan.

Property rights as in Article 20 paragraph (1) of the UUPA basically have the same meaning as those regulated in Article 1 paragraph 7 of the Cultural Heritage Law, namely the strongest and fullest rights. Apart from that, Article 6 of the UUPA explains that all rights to land have a social function as do property rights to Cultural Heritage. However, ownership of Cultural Heritage is not the same as ownership rights over other objects in general, because ownership of Cultural Heritage objects is limited by the Cultural Heritage Law, especially regarding transfers which require permission from the Minister, governor, or regent/mayor according to their level. The transfer of rights to land and buildings which contain elements of Cultural Heritage value through legal acts of sale and purchase requires a special administrative system and involves the important role of several professions who collaborate with certain government agencies, namely Notaries, Land Deed Officials (PPAT), National Land Agency (BPN), and Directorate General of Cultural Services. Notary plays a role in compiling authentic deed which legally valid in the form of PPJB, while PPAT plays a role in making AJB after checking the suitability of the certificate with BPN to ensure that there are no disputes or blocks related to objects containing Cultural Heritage values. Furthermore, before issuing certificates of ownership of land and buildings, BPN needs to verify that land and buildings have Cultural Heritage status through the National Registration system owned by the Ministry of Education, Culture, Research and Technology which oversees the Directorate General of Cultural Services to provide legal certainty to new owners related to the status information of the object. Through the collaboration of these interrelated parties, it is hoped that it can run orderly, safely and in accordance with applicable laws and regulations. Moreover, special attention is needed which is covered in the form of a Ministerial Regulation which regulates in detail the National Register system which is integrated with the verification system carried out by BPN in checking the status of rights to land and buildings."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1995
915.98 BAN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Simponi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S25929
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Riawan
"Upaya pelestarian bangunan cagar budaya di wilayah DKI Jakarta banyak mengalami tantangan serta rumit ditangani. Hal ini dikarenakan banyaknya pihak yang berkepentingan dengan bangunan cagar budaya itu sendiri. Penetapan bangunan cagar budaya di wilayah DKI Jakarta yang pemah dilakukan masih banyak mengundang permasalahan. Dalam penetapan bangunan cagar budaya dirasakan adanya kendala pada lemahnya sistem penilaian yang diterapkan. Penetapan yang dilakukan tidak didasarkan penelitian, masih bersifat sektoral sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu tertentu. Kriteria penilaian dibuat oleh pembuat kebijakan tanpa melibatkan masyarakat pemilik bangunan cagar budaya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dibuat suatu sistem penilaian bangunan cagar budaya yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan penilaian dari berbagai kepentingan. Sistem Penilaian yang diusutkan terdiri dari penilaian secara akademis, yaitu penilaian secara ilmiah didasarkan kepada keseimbangan penilaian diantara disiplin ilmu Arkeologi, Sejarah dan Arsitektur serta mempertimbangkan aspek hukum. Penilaian akademis terdiri dari delapan kriteria, yakni kriteria sejarah didasarkan pada empat tolok ukur, kriteria keaslian didasarkan pada empat tolok ukur, kriteria umur didasarkan pada dua tolok ukur, kriteria manfaat didasarkan pada enam tolok ukur, kriteria estetika didasarkan pada dua tolok ukur, kriteria gaya didasarkan pada lima tolok ukur, kriteria kelangkaan didasarkan dua tolok ukur, kriteria kondisi bangunan didasarkan tiga tolok ukur. Pada pelaksanaan penilaian, dilakukan pembobotan pada masing-masing kriteria untuk mengetahui seberapa penting kriteria tersebut relatif satu dengan lainnya. Pembobotan mempertimbangkan kepentingan pemilik bangunan cagar budaya. Untuk mengetahui kepentingan pemilik bangunan diajukan sistem penilaian dengan menggunakan kuisioner. Hasil kuisioner diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh kebutuhan pelestarian bangunan cagar budaya dari sisi pemilik bangunan. Sehingga kebijakan penilaian mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak (win-win solution). Selain itu dilakukan pula penilaian secara non akademis, yaitu permasalahan yang terjadi di lapangan akibat dari diterapkannya kriteria penilaian yang pernah dibuat. Permasalahan yang ada terdiri dari enam permasalahan, yakni birokrasi pelestarian, ketatakotaan, fisik bangunan, kurangnya partisipasi pemilik bangunan, anti kolonialisme dan etnis tertentu, ekonomi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T13370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adia Misqa Imtiyaz Rohman
"Terdapat konsekuensi hukum terkait pengalihan dan pengubahan bentuk bangunan cagar budaya yang dikuasai secara pribadi, yang tidak bisa dilakukan tanpa izin pemerintah yang berwenang. Sengketa TUN berkaitan dengan penetapan status bangunan cagar budaya tanpa izin ditemukan di Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung Nomor 121/G/2019/PTUN.Bdg dengan pihak penggugat para ahli waris Alrmarhum ES melawan Bupati Sumedang. Tesis ini berbasis metode penelitian doktrinal, dengan mengangkat dua pembahasan masalah yakni permasalahan mengenai kesesuaian penerbitan penetapan status bangunan cagar budaya pada putusan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta perlindungan hukum yang dapat dilakukan pemilik bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tanpa persetujuan. Sesuai peraturan perundang-undangan yaitu UU Administrasi Pemerintahan dan UU PTUN serta UU Cagar Budaya, penetapan status cagar budaya pada putusan PTUN Bandung Nomor 121/G/2019/PTUN.Bdg cacat prosedur dan substansi. Tersedia penyelesaian sengketa TUN melalui upaya administratif (antara lain berupa keberatan dan banding administrasi) dan gugatan ke PTUN. Masih dapat ditemukan kekosongan hukum dalam penetapan bangunan cagar budaya sehingga seharusnya pemilik dilibatkan dalam proses penetapannya dan selain diberitahukan penetapannya pada pemilik tanah status cagar budaya juga harus dicatatkan dalam buku tanah. Hal ini menjadi sorotan guna terselenggaranya kepastian hukum sebagai perlindungan hak kepada penguasa bangunan. Peraturan perundang-undangan hanya mengatur tentang pendaftaran cagar budaya, sehingga pengaturan mengenai pendataan dan publikasi cagar budaya perlu diatur lebih lanjut dan membutuhkan kerjasama antara BPN dan Dinas Budaya. Penting juga untuk memperhatikan keterlibatan profesi Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas bangunannya.

Legal consequences exist related to the transfer and change of form of privately controlled cultural heritage buildings. The dispute relating to determining the status of cultural heritage buildings was found in the Bandung State Administrative Court (PTUN) Decision Number 121/G/2019/PTUN.Bdg between the bulding owner against the Regent of Sumedang. Based on doctrinal research methods, this thesis spotlights specifically about the conformity of publication of the determination of the status of cultural heritage buildings based on applicable laws and regulations and the legal protection that can be done by cultural heritage building owner without owner’s approval. Based on the Government Administration Law and PTUN Law as well as the Cultural Heritage Law, the determination of cultural heritage status in the Bandung PTUN decision Number 121/G/2019/PTUN.Bdg is procedurally and substantively flawed. TUN settlements are available through administrative measures (including approval and administrative appeals) and lawsuits to the PTUN. Legal vacuum exists in determining cultural heritage buildings, so apart from involvement of the owner in the determining process and notifying the owner with the result, the status of cultural heritage land must also be recorded in the land book. This is highlighted in order to emphasize legal certainty as a protection for the rights of building owners. Legislative regulations only regulate the registration of cultural heritage, so regulations regarding data collection and publication of cultural heritage need to be regulated and require cooperation between BPN. It is also important to pay attention to the involvement of the Notary profession and Land Deed Officials."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Marihot Pahala
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008
690.026 SIA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Dina Widieaster
"Kota Lama Semarang merupakan kawasan bernilai sejarah tinggi dengan banyak peninggalan bangunan kolonial yang dilestarikan dan dihidupkan kembali. Salah satunya adalah Gedung Monod Diephuis & Co, sebuah bangunan cagar budaya yang awalnya berfungsi sebagai kantor perusahaan broker hasil bumi. Gedung ini menjadi milik pribadi pada tahun 2011 dan dikonservasi mulai Maret 2016, kemudian diubah menjadi bangunan mixed-use untuk kegiatan seni, budaya, dan sosial. Transformasi ini membutuhkan perhatian pada nilai-nilai bangunan cagar budaya, konteks Kota Lama Semarang, serta strategi adaptive reuse yang merupakan tindakan konservasi pada bangunan cagar budaya.
Penelitian ini menggunakan metode kajian literatur dan studi kasus dengan observasi langsung terhadap bangunan, wawancara subjek terkait, serta rekonstruksi gambar denah dan potongan bangunan. Hasil penelitian ini mengevaluasi kesesuaian nilai-nilai bangunan cagar budaya dan strategi adaptive reuse bahwa dari enam strategi adaptive reuse yang ada, empat strategi yaitu passive, referential, aemulatio, dan ruination sesuai diterapkan pada Gedung Monod Diephuis & Co, sementara strategi performative dan facadism hanya sesuai secara parsial. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun tidak semua strategi sesuai, adaptive reuse tetap mampu menghidupkan kembali Gedung Monod Diephuis & Co sebagai bagian dari pelestarian budaya di Kota Lama Semarang.

Kota Lama Semarang is a historically significant area with numerous preserved colonial buildings that have been revitalized. One such building is the Monod Diephuis & Co building, a cultural heritage site that originally served as the office for an agricultural brokerage company. This building became privately owned in 2011 and underwent conservation starting in March 2016. It has since been transformed into a mixed-use facility for artistic, cultural, and social activities. This transformation required careful attention to the heritage values of the building, the context of Kota Lama Semarang, and adaptive reuse strategies which are conservation actions for heritage buildings.
This research employs literature review and case study methods, including direct observation of the building, interviews with relevant subjects, and reconstruction of building plans and sections. The findings of this study evaluate the appropriateness of heritage building values and adaptive reuse strategies. Out of six existing adaptive reuse strategies, four strategies—passive, referential, aemulatio, and ruination—are deemed suitable for application to the Monod Diephuis & Co building, while the performative and facadism strategies are only partially suitable. This study demonstrates that although not all strategies are applicable, adaptive reuse can still successfully revitalize the Monod Diephuis & Co building as part of cultural preservation in Kota Lama Semarang.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Figra Ardham
"ABSTRAK
Prinsip-prinsip perlindungan benda budaya pada masa konflik bersenjata merupakan
prinsip-prinsip lama yang telah dikodifikasikan dalam berbagai ketentuan hukum
perang dan hukum humaniter internasional yang saat ini berlaku seperti Convention
(IV) respecting to the Laws and Customs of War on Land 1907 dan The Hague
Convention for the Protection of the Cultural Property in the Event of Armed Conflict
1954. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum tersebut
diaplkasikan dalam berbagai lembaga-lembaga peradilan internasional seperti The
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia.(ICTY) Salah satu kasus
yang ditangani ICTY adalah kasus Jadranko Prlic et al yang berkaitan dengan
penghancuran benda budaya Stari Most di Mostar, Bosnia-Herzegovina.

ABSTRACT
The principles of the protection of cultural property during armed conflict is an
old principles that have been codified in various provisions of the laws of war and
international humanitarian law currently in force such as the Convention (IV)
respecting to the Laws and Customs of War on Land in 1907 and The Hague
Convention for the Protection of the Cultural Property in the Event of Armed
Conflict, 1954. The principles set forth in the provisions of the law in various
international judicial institutions such as the International Criminal Tribunal for
the Former Yugoslavia (ICTY). One of the cases handled by the ICTY is Jadranko
Prlic et al case relating to the destruction of cultural property Stari Most in
Mostar, Bosnia-Herzegovina."
2015
S58144
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran, 2000
R 720.959 IND bt
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>