Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7215 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutagalung, Fernandez
"Penyandang tuna netra mesnpi nyai keterbatasan penglihatan. Karena keterbatasan itu,mereka menghadapi masalah ketergantungan gads yang lain. Adanya tenipat bergaul Berta mengalami pendiddcan dan pelatihan, akan membuat penyandang cacat perlahan-lahan metepaskan din dari berbagai keterganhmgan. Proses belajar-mengajar ini perlu sedini mungkin, sejak seseorang mengetahui menyandang tuna netra, agar semaldn cepat pula si penyandang cacat mandiri seperti yang normal."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
S48087
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kecacatan tunanetra dapat terjadi sejak lahir ataupun setelah lahir, anak umur 1-3 tahun pada umumnya suka meniru apa yang dilihatnya, dan dirasakan...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Yudiek Suhermawan
"Although with the help of mobility aid and the use of other senses, people with visual impairment still experience some difficulty when they navigate on the pavement due to the presence of obstacles. This condition happens because they do not rely on the sense of vision. This problem can cause reduction in travel frequency and furthermore may result in social isolation. Based on that, this study aims to understand the safety concern of blind and partially blind pedestrians in pedestrian environments, to understand the relationship between socio-demographic data with safety concern choices and to identify interventions to diminish the danger associated with the pavement based on the need from visually impaired pedestrian. The methods used in this study are Henry Garret's ranking method, the Fisher- Freeman-Halton exact test, and thematic analysis. The result from this study shows that 48% of the respondents feel unsafe when walking on the pavement, partially-sighted and blind pedestrian have different safety concern related to obstacles when walking on pavements, the visual impairment category and O&M training variables have relationship with the selection of safety concerns related to obstacles, six themes for interventions desired by visually impaired pedestrians to feel safe when walking on pavements were identified.

Meskipun dengan bantuan alat bantu mobilitas dan penggunaan indera lainnya, penyandang tunanetra masih mengalami kesulitan saat menavigasi di trotoar karena adanya rintangan. Kondisi ini terjadi karena mereka tidak mengandalkan indera penglihatan. Masalah ini dapat menyebabkan berkurangnya frekuensi perjalanan dan lebih jauh lagi dapat mengakibatkan isolasi sosial. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk memahami kekhawatiran keselamatan pejalan kaki tunanetra di lingkungan pejalan kaki, memahami hubungan antara data sosio-demografi dengan pilihan kekhawatiran keselamatan dan mengidentifikasi intervensi untuk mengurangi bahaya yang terkait dengan trotoar berdasarkan kebutuhan pejalan kaki tunanetra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pemeringkatan Henry Garret, uji eksak Fisher-Freeman-Halton, dan analisis tematik. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa 48% responden merasa tidak aman ketika berjalan di trotoar, pejalan kaki dengan penglihatan sebagian dan tunanetra memiliki masalah keamanan yang berbeda terkait dengan rintangan ketika berjalan di trotoar, kategori gangguan penglihatan dan variabel pelatihan O&M memiliki hubungan dengan pemilihan masalah keamanan yang terkait dengan rintangan, terdapat enam tema untuk intervensi yang diinginkan oleh pejalan kaki tunanetra untuk merasa aman ketika berjalan di trotoar.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilona
"Tunanetra merupakan bentuk cacat yang khas, di mans individu kehilangan Jaya sensorinya berupa daya penglihatan. Bentuk cacat ini juga merupakan cacat yang paling ditakuti oleh orang lain, bahkan oleh penyandang cacat sekalipun (Vash, 1981). Hal ini dikarenakan manusia cenderung mengandalkan daya penglihatannya dalam kehidupan sehari-hari. Penyandang tunanetra umumnya mengalami konsep diri yang rendah, karena mereka merasa diri mereka lebih inferior dibanding orang lain. Akibatnya mereka dapat memiliki konsep diri yang lebih rendah, malu karena menganggap dirinya tidak dapat diterima oleh lingkungan dan tidak memiliki anti di hadapan orang lain (Wright, 1960).
Kecemasan sosial (social anxiety) merupakan suatu bentuk rasa cemas yang diarahkan pada lingkungan sosialnya. Individu khawatir dirinya akan mendapat penilaian negatif dari orang lain, khawatir tidak mampu mendapat persetujuan dari orang lain serta takut melakukan perilaku yang memalukan di muka umum. Menurut Wakefield, Horwitz & Schmitz (2005), kecemasan sosial umum terjadi pada tiap orang, namun intensitasnya dapat berbeda-beda. Aspek-aspek dari kecemasan sosial adalah aspek kognitif, berupa penilaian dan ekspektasi bahwa individu akan dinilai negatif, aspek afektif, berupa ketakutan dan rasa cemas saat berhadapan dalam situasi sosial, dan aspek perilaku, yaitu adanya perilaku aman.
Wells & Clark (dalam Davey, 1997) menyatakan bahwa kecemasan sosial dipengaruhi oleh konsep diri individu. Sementara, pada penyandnag tunanetra konsep din yang mereka alami dipengaruhi oleh penghayatan mereka terhadap cacat yang mereka alami (Vash, 1981).
Karena adanya perbedaan secara fisik, penyandang tunanetra tidak dapat menangkap visual cues berupa gerakan tubuh, ekspresi wajah dan sikap dari orang lain, serta hams mengandalkan indera lainnya untuk mempersepsikan lingkungan sosial mereka. Sebagai akibatnya, mereka dapat memiliki kecemasan sosial yang berbeda dari orang `awas' dalam menghadapi lingkungan sosial mereka.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat dinamika kecemasan sosial yang terjadi pada penyandang tunanetra. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif, dengan metode in-depth interview. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, dengan karakteristik laki-laki dewasa muda yang telah mengalami buta total setidaknya selama 3 tahun.
Hasil utama yang diperoleh dalam penelitian menunjukkan bahwa pada awal mengalami kebutaan, semua subyek mengalami kecemasan sosial yang tinggi dan menghindar dari interaksi sosial. Dalam dinamikanya, terlihat bahwa semua subyek merasa tidak puas dengan diri mereka sendiri dan hendak mengembangkan diri. Mereka kemudian mencari sarana untuk membantu mereka hingga akhimya mampu melakukan interaksi sosial kembali. Tiap subyek memiliki aspek personal yang berbeda-beda, yaitu spiritualitas yang tinggi, minat sosial yang tinggi serta keinginan untuk kembali aktif. Tiap subyek juga berhasil mengatasi kecemasan sosial mereka dengan mengembangkan pikiran positif, dan adanya pemikiran bahwa mereka hams melakukan interaksi sosial dengan orang lain."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aminah Muthmainnah
"Ruang pamer dalam Museum masih banyak yang belum dapat menerapkan rancangan yang inklusif bagi penyandang tunanetra. Kemajuan teknologi dapat menjadi solusi untuk menghadirkan media pamer multisensori yang inklusif bagi penyandang tunanetra. Namun sayangnya masih belum banyak ditemukan di museum-museum di Indonesia. Berangkat dari kondisi tersebut, karya tulis ini bertujuan untuk memahami bagaimana elemen interaktif digital dengan pemanfaatan indra peraba dan suara dapat mengakomodasi pengunjung penyandang tunanetra dalam memperoleh ilmu pengetahuan di ruang pamer museum. Kajian dalam karya tulis ini dilakukan dengan menganalisis empat studi kasus dengan variabel analisa yang sama. Objek yang dikaji diantaranya adalah “Wise Stone”, “Tooteko”, 3D Photo Works, dan “Hands to the Wall”. Keempat kasus dikaji berdasarkan aspek umum, aspek pengalaman eksploratif, dan cara penggunaan. Hasil akhir dari karya tulis ini adalah, dapat dilihat bahwa pemanfaatan indra peraba dan pendengaran sebagai elemen eksploratif pada media pamer dapat membantu mengakomodasi pengunjung ruang pamer yang menyandang tunanetra. Adanya perkembangan teknologi digital dapat dimanfaatkan sebagai pembentuk media dan pemicu interaktivitas pengunjung melalui integrasi multisensori saat mengeksplorasi media pamer.

There are still many display rooms in the Museum that have not implemented inclusive design for blind people. Technological advances can offer a solution to present inclusive multisensory exhibition media for blind people. But unfortunately, there are still not many found in museums in Indonesia. Based on these conditions, this paper aims to understand how digital interactive elements by using the senses of touch and sound can accommodate visitors with visual impairments in gaining knowledge in the Museum's showroom. The study in this paper was conducted by analyzing four case studies with similar analysis variables. The objects studied include "Wise Stone," "Tooteko," 3D Photo Works, and "Hands to the Wall." The four cases were analyzed based on general aspects, aspects of exploratory experience, and ways of use. The study concludes that the use of the senses of touch and hearing as an experimental element in the exhibition media can help accommodate visitors with visual impairments to the exhibition room. The development of digital technology can be used as a medium for forming and triggering visitor interactivity through multisensory integration when exploring exhibition media."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mimi Mariani Lusli
"Penyandang tunanetra adalah modal pembangunan nasional yang mempunyai hak dan kewajiban serta kedudukan hukum yang sama sebagaimana amanat UUD RI 1945. Cacat penglihatan yang disandangnya berarti tidak membatasi untuk mendapatkan hak serta menjalankan kewajibannya. Penyandang tunanetra tergolong masyarakat rentan dengan jumlah minoritas, ditambah pula sikap dan pandangan keliru dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Daya-daya diri penyandang tunanetra terpaksa tersembunyi dan tidak dapat teraktualisasikan sebagaimana mestinya, karena dihadapkan pada kendala filosofi, psikis, fisik, dan arsitektur. Kenyataan nenunjukkan penyandang tunanetra diperlakukan dalam suatu keadaan yang tidak seimbang.
Oleh karena itu penanganannya mutlak diperlukan campur tangan pemerintah. Pertama melalui Affirmative Action Policy sebagai tindakan pemihakan untuk menyeimbangkan keadaan. Kedua, Konsep Social Market Economy sebagai tindakan perlindungan/jaminan terhadap persaingan pasar. Ketiga berpijak pada Prinsip Optimasi yang memandang bahwa penyandang tunanetra dengan batas-batas diri tetap mempunyai sejumlah daya diri yang dapat dimanfaatkan dan bermanfaat seoptimal mungkin.
Evaluasi kebijaksanaan sudah saatnya dilaksanakan untuk melihat efektivitas upaya pemerintah terhadap peningkatan pemberdayaan penyandang tunanetra di Indonesia, yaitu peraturan perundang-undangan dan program departemen terkait serta dibandingkan dengan Agenda Aksi Penyandang Cacat Kawasan Asia Pasifik 1993-2002.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa upaya pemerintah tersebut belum efektif, karena ditemukan lebih banyak faktor negatif dibandingkan faktor positif. Penyebab lain terletak pada Hakikat Kebijaksanaan Negara Indonesia, yang cenderung menghambat implementasi kebijaksanaan. Alasannya aparat pemerintah tidak tahu kebutuhan penyandang tunanetra sebagai kelompok kepentingan. Terhadap pemecahannya, diusulkan alternatif kebijaksanaan publik yang cocok, yaitu sejalan dengan kerangka teori sebagai kebijaksanaan terapan dengan memadukan model kebijaksanaan: Institusional dengan Kelompok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T4467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Murhardiningtyas
"Skripsi ini bertujuan untuk memahami bagaimana seseorang dengan kehilangan penglihatan dalam hal ini ialah penyandang tunanetra berinteraksi terhadap ruang di sekitarnya sebagai upaya untuk memahami visualisasi suatu ruang. Interaksi yang dilakukan ialah dengan penggunaan indra yang masih berfungsi yaitu indra pendengaran, perabaan, dan penciuman, serta penggunaan tongkat. Dari interaksi tersebut diperoleh informasi berupa bentuk, ukuran, berat, kekerasan/ kelembutan, kakasaran / kehalusan, hangat / dingin, dan material dari suatu objek. Setelah mereka berinteraksi terhadap ruang, diharapkan mereka dapat memahami visualisasi ruang walaupun terbatas. Bekal tersebut digunakan mereka untuk mengetahui posisi objek atau furnitur yang dapat mereka gunakan sebagai panduan dalam mengarahkan ke tempat tujuan mereka.

This thesis aims to understand how a person with vision loss in this case are the blind people interact on the space around it as an attempt to understand the visualization of a space. Interaction is done by the use of the senses are still functioning sense, such as hearing, touch and smell as well as the cane. The information obtained from the interaction of space are shape, weight, size, firmness / softness, roughness / smoothness, warm / cold, and the material of an object. Once they interact in space, they are expected to understand the visualization space, eventhough it's restrictive. That clue is used to determine the position of the objects or furniture which they can use as a guide in directing their destination place."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42868
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Wibowo
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang taman sebagai fasilitas umum yang dapat digunakan oleh seluruh kalangan, termasuk tunanetra. Dimana skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang dapat memberikan fasilitas tambahan untuk tunanetra pada taman, dengan mempelajari dan mengamati kebiasaan tunanetra dalam kesehariannya, bagaimana mereka menggunakan indera pendengaran dan peraba mereka untuk dapat menciptakan visualisasi dari tempat yang telah mereka lalui. Memperdalam pengetahuan tentang kemampuan tunanetra dalam mengenal lingkungan dan mengetahui unsur apa saja yang dapat membantu mereka mengenal lingkungan barunya yang dapat diberikan pada taman sehingga tunanetra dapat menggunakan taman tersebut dengan aman dan nyaman.

ABSTRACT
SThis thesis discusses about the park as public facilities that can be used by all parties, including the visually impaired, where it aims to determine what factors which may provide additional facilities for the visually impaired in the park, by studying and observing their habits in their daily life, how they use their sense of hearing and touch to be able to create a visualization of places they have been in. Deepen the knowledge about the ability of blind people in knowing the neighborhood and finding out what elements can help them to get to know their new environment which can be added to the park so that they can use the park safely and comfortably."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S56327
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Piseria Rulita
"ABSTRAK
This study aims to determine the relationship between mobility and orientation skills and achievement motivation in blind people in the Social Institution Bina Netra Yogyakarta. The hypothesis of this study is there is a positive relationship between mobility and orientation skills and achievement motivation in blind people. The subjects were 20 students in grade 3 were studied in Social Institution Bina Netra Yogyakarta. The research data were revealed by documentation of mobility and orientation skills and Achievement Motivavtion scale. From the data analysis using Pearson product moment correlation result a coefficient of 0.764 with p: 0.000 (p 0.01). Results of the data analysis means that hypotheses are accepted, which means that there is a positive relationship between mobility and orientation skills and achievement motivation in blind people. The higher the orientation and mobility skills, the higher the archievement motivation. Orientation and mobility skills contributes to achievement motivation amounted to 58.4 percent, which means that the remaining balance of 41.6 percent achievement motivation is determined by other factors."
Yogyakarta: Pusat Layanan Difabel (PLD), 2015
370 JDSI 2:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muthi`Ah Yasmin Alisha
"Makalah ini menjelaskan bagaimana sistem wayfinding membantu pengunjung museum dalam memahami informasi yang diberikan di museum. Pengguna museum sendiri memiliki latar belakang pengunjung yang bervariasi, termasuk penyandang disabilitas tunanetra. Sebagai ruang publik, museum pada umumnya mampu memberikan informasi tertentu bagi pengunjungnya. Informasi tersebut dapat dipahami pengunjung dengan cara yang berbeda-beda, maka dari itu, pengunjung cenderung bergerak secara independen di dalam museum untuk memahami informasi yang terdapat di museum. Dalam mengakomodasi kebutuhan seluruh pengunjung, dibutuhkan penyesuaian di dalam museum agar museum tersebut dapat diakses oleh semua pengunjung. Dalam hal ini, sistem wayfinding hadir untuk mengarahkan pengunjung museum ketika beraktivitas di dalam sebuah museum. Tujuan dari sistem wayfinding sendiri tidak hanya memberikan arahan bagi seseorang untuk bergerak, tetapi juga untuk memahami lingkungan tempat mereka berada. Pada umumnya sistem wayfinding hadir secara visual, tetapi bagi mereka yang memiliki keterbatasan visual memerlukan penggunaan sensori lainnya untuk memahami sistem wayfinding. Oleh karena itu, sistem wayfinding yang disesuaikan di museum harus hadir secara maksimal agar dapat diakses oleh semua kalangan termasuk pengunjung dengan keterbatasan visual.

This paper explains how wayfinding system helps museum visitor to understand the information given in a museum. Museum user itself have a varied background of visitors, including people with disability such as blind people. As a public space, museum generally provide certain information for their visitors. Such information can be understood by visitors in different ways, therefore, visitors tend to move independently to understand the information given in the museum. To accommodate the needs of all visitors, adjustments are needed in the museum so that the museum can be accessed by all visitors. In this case, a wayfinding system appears to direct museum visitors when they are exploring the museum. The purpose of the wayfinding system itself does not only provide direction for a person to move, but also to understand the environment in which they are in. In general, the wayfinding system is presented visually, but for those who have visual disability it requires the use of other sensory to understand the wayfinding system. Therefore, an adjusted wayfinding system in the museum must be present optimally so that it can be accessed by all visitors including those with visual disability.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>