Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156214 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christina Octavia
"Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Prosedur yang harus ditempuh dalam pengadaan tanah adalah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pengadaan tanah selain cara tersebut adalah dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Substansi ketentuan ini bersifat keperdataan yang meliputi ketentuan pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata, yang berarti harus memenuhi syarat-syarat sahnya kesepakatan dan persetujuan dan dilaksanakan oleh para pihak dengan itikad baik. Pengadaan tanah ini biasanya diperuntukan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum. Sedangkan pengadaan tanah diperuntukan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum oleh pihak swasta dikenal dengan perolehan tanah. Perolehan tanah dapat dilakukan dengan cara pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah. Pemerintah melaksanakan pembebasan, untuk proyek pemerintah atau proyek fasilitas umum seperti kantor pemerintah, jalan raya, pelabuhan laut/udara dan sebagainya. Sedangkan tujuan pembebasan dilakukan oleh pihak swasta dipergunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum yang bersifat komersil misalnya, pembangunan perumahan/real estate, pusat-pusat perbelanjaan/shoping center, pembangunan jalan bebas hambatan dan lain-lain. Proses pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktek pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah selalu menimbulkan masalah hukum. Jika terjadi sengketa biasanya antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan pihak swasta adalah berkisar tentang bentuk dan besarnya ganti rugi atau terjadinya manipulasi harga tanah serta proses musyawarah yang dilakukan perubahan menjadi intimidasi baik secara fisik dan psikis terhadap pemilik tanah. Ketentuan-ketentuan mengenai pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Pembangunan Daerah serta disinkronisasikan dengan Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Perumahan dan Pemukiman, dan lain-lain. Proses pelepasan atau peyerahan hak atas tanah memang dirasa sulit pelaksanaannya, dan akan menjadi lebih kacau lagi apabila ditangani secara sembrono dan tidak dialasi dengan etika pertanggung-jawaban yang semestinya. Maka, diharapkan dalam hal ini semua pihak menyadari, bahwa lembaga hukum penyerahan atau pelepasan hak atas tanah adalah diciptakan untuk mendukung pemerintah dalam usahanya menyelenggarakan pembangunan Negara dan bangsa.

Procurement of land is any activity to gain ground by way compensation to those entitle to the land. Procedures to be followed in the procurement of land is by way of of release or transfer of land rights. Other than land acquisition is by way of sale, exchange, or otherwise voluntary agreed by the parties concerned. The substance of this provision is covering the civil provisions of article 1320 jo. 1338 Civil Code, which means it must meet the terms of legitimacy and consent agreement and execute by the parties in good faith. This land acquisition for development projects are usually intended for public use, while the procurement of land intended for development projects in public interest by the private parties with the acquisition of land know. Land acquisition can be done by way of revocation, redemption and release of rights to land. For government projects or public facilities project such as government offices, road, sea/airport and so on. While the goal of liberation conducted by private parties are used for for the construction of public facilities of a commercial character, for example, housing construction/real estate, shopping malls/shopping centers, highway construction and others. The process of release or transfer of land rights is an activity of releasing the legal relationship between the holders of land rights to the land under his rule, by providing indemnification on the basis of deliberation. It is inevitable that in practice the implementation of the release or transfer of land rights laws are always causing trouble. If a dispute is usually between people and their government or the people and private parties are ranged about the form and amount of indemnification or manipulation of land prices and deliberative process that was change into intimidation both physical and psychic to the landowner. The provisions regarding the release of rights of public land shall be in accordance with the Spatial Plan or Local Development Plan and is synchronized with the Environmental Law, Law of Housing and Settlements, and others. The process of release or transfer of land rights are considered difficult implementation, and will become more chaotic again when handle carelessly and not covered by ethics proper accountability. Thus, it is expected in this case all parties recognize, that the legal institutions surrender or waiver of land was created to support the government in an attempt to hold the state and nation building."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T29441
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Adi Putera
Bandung: Mandar Maju, 1992
346.04 PAR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Maria Dorothy Yustika
"Tulisan ini menganalisis mengenai bagaimana konsep pembaruan utang melalui novasi dalam perjanjian kredit dengan jaminan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang berdampak pada pengalihan hak atas tanah. Hal ini dikaji berdasarkan peraturan perundang-undnagan di Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pada dasarnya, novasi diatur dalam KUHPerdata, yakni pembaruan utang yang dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara yang dikenal sebagai novasi objektif, novasi subjektif pasif, dan novasi subjektif aktif yang berakibat pada hapusnya perikatan. Dalam Putusan Nomor 306/Pdt.G/2018/PN.Sby, pembaruan utang secara novasi dilakukan dinyatakan cacat dan melawan hukum serta hak atas pengelolaan perumahan dikembalikan kepada pemegang hak yang semula hak tersebut telah diambilalih oleh pihak lain. Maka dari itu, Penulis mengkaji aspek hukum terhadap keabsahan pembaruan utang secara novasi serta dampaknya terhadap pengalihan hak atas tanah.

This paper analyzes the concept of debt restructuring through novation in credit agreements secured by Building Rights Certificates that impact the transfer of land rights, based on Indonesian legal regulations. The study employs a doctrinal research method. Novation, governed by the Indonesian Civil Code (KUHPerdata), involves the renewal of debt through three recognized methods: objective novation, passive subjective novation, and active subjective novation, resulting in the extinguishment of obligations. In Decision Number 306/Pdt.G/2018/PN.Sby, novation of debt restructuring was declared void and against the law, resulting in the return of housing management rights to the original rights holder, which had previously been transferred to another party. Therefore, the Author examines the legal aspects concerning the validity of novation in debt restructuring and its implications on the transfer of land rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
M.C. Aly
Bandung: Tarsito, 1979
346.040 2 ALY s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amrullah Arpan
"Masyarakat terbentuk atas dasar interaksi antara individu dalam waktu tertentu, lalu menuju ke globalisasi. Dasar undang-undang harus terdiri tegas untuk interpretasi tidakmuncul jamak (multi tafsir). Dalam mempersiapkan undang-undang, harus kesatuan isi dan norma. Dari sudut penelitian non-hukum, dalam studi ekenomi hak pakai tanah negara terdaftar memenuhi syarat publisitas dan individualitas, (ada pemegang hak). Oleh karena itu, hak ini bisa membuat obyek hak tanggungan. Dari pendekatan sistem hukum (subsistem hukum tanah), undang-undang nomor 4 tahun 1996 merupakan pelaksanaan undang-undang nomor 5 / 1960."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
348 JHUSR 6 (2) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Noer Fauzi Rachman
Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2012
346.044 NOE lt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Firmansyah
"Sehubungan dengan bencana semburan lumpur Lapindo yang menyebabkan kerugian pada warga sekitar, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 14/2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo bahwa dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, P.T. Lapindo Brantas diperintahkan membeli tanah dan bangunan masyarakat dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual beli bukti kepemilikan tanah yang mencamtumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah. Permasalahannya adalah bagaimanakah cara yang dilakukan oleh badan hukum dalam hal ini Perseroan Terbatas untuk dapat menguasai tanah Hak Milik atas tanah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan Cara apa yang seharusnya dilakukan oleh P.T. Lapindo Brantas untuk dapat menguasai Hak Milik atas tanah masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo agar tidak bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA No. 5/1960 serta bagaimana cara ganti rugi yang dilakukan oleh P.T. Lapindo Brantas apakah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku.
Penelitian yang digunakan dalam penelitian pada penulisan hukum adalah penelitian hukum Normatif Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metodologi normatif yang bersifat deskriptif. Tesis ingin menjelaskan mengenai bahwa cara perolehan hak atas tanah yang dilakukan oleh suatau badan hukum dalam hal ini Perseroan Terbatas Lapindo Brantas terhadap atas Hak Milik atas tanah tidak sesuai dengan UUPA oleh karena itu cara yang seharusnya digunakan adalah dengan Pelepasan Hak atau Pemindahan Hak yang didahului dengan perubahan hak adapun cara menentukan bentuk ganti rugi perlu memperhatikan NJOP, Nilai Bangunan dan Nilai Tanaman.

In connection with the Lapindo mudflow disaster that causes harm to surrounding residents, the Government issued Presidential Regulation. 14/2007 On Sidoarjo Mud Management Agency that within the framework of the handling of social issues, PT Lapindo Brantas was ordered to purchase land and building societies with payment in stages, according to the affected area map dated March 22, 2007 with a deed of sale proof of land ownership and land showed location approved by the Government. The problem is how the way in which the legal entity in this Limited Liability Company to be able to control the land Ownership of land in accordance with existing regulations and the way what should be done by P.T. Lapindo Brantas to be able to master the Property Rights of the public lands affected by mudflow Sidoarjo not to conflict with Article 26 paragraph (2) No 5 / 1960 UUPA and how compensation is carried out by P.T. Lapindo Brantas.
Research used in research on legal writing is Normative legal research method used in research is a normative methodology is descriptive. Thesis to explain about that way of acquiring land rights committed by a legal entity in this Limited Liability Lapindo Brantas to top Ownership of land is not in accordance with the BAL therefore the way it should be used is by Waiver or Transfer of Rights, which is preceded by As for the right to determine how changes in the form of compensation need to pay attention NJOP, Value Buildings and Plants.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T21675
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nared Aji Utami Widita
"Sertipikat tanah seringkali menjadi persengketaan, tidak terkecuali dengan Sertipikat Hak Tanggungan. Terlebih lagi Hak Tanggungan berkaitan erat dengan hutang piutang. Salah satu permasalahan yang seringkali timbul pada saat proses roya adalah hilangnya Sertipikat Hak Tanggungan. Pada prakteknya, sebagian Kantor Pertanahan mewajibkan adanya Akta Konsen Roya sebagai pengganti Sertipikat Hak Tanggungan yang hilang. Mengenai bentuk dan penggunaan Akta Konsen Roya itu sendiri belum diatur secara jelas dan spesifik dalam peraturan perundang-undangan terkait Hak Tanggungan, sehingga perlu dikaji siapa yang berwenang untuk membuat Akta Konsen Roya dan penggunaannya dalam praktek Roya di Kantor Pertanahan. Pokok masalah dalam penelitian: 1 Standar Operasional Prosedur Roya dalam hal Sertipikat Hak Tanggungan hilang, 2 pertimbangan penggunaan Akta Konsen Roya oleh Kantor Pertanahan dalam hal hilangnya Sertipikat Hak Tanggungan dan 3 Penerapan prinsip kehati-hatian oleh Notaris dalam pembuatan Akta Konsen Roya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode yuridis-normatif dan menggunakan tipologi penelitian deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara umum perbedaan Standar Operasional Prosedur Roya dalam hal Sertipikat Hak Tanggungan hilang adalah penggunaan Akta Konsen Roya sebagai pengganti Sertipikat Hak Tanggungan yang hilang. Dasar penggunaan Akta Konsen Roya adalah pelaksanaan PERKABAN 1/2010 sebagai wujud prinsip kehati-hatian oleh Kantor Pertanahan, namun tidak semua Kantor Pertanahan mewajibkan penggunaan Akta Konsen Roya. Notaris dalam praktek pembuatan Akta Konsen Roya harus menentukan penghadap Akta Konsen Roya dengan benar dan memeriksa kebenaran formil dokumen dasar pembuatan Akta Konsen Roya.

Land certificates are often disputes, not least with a Certificate of Mortgage. Moreover, Mortgage Rights is closely related to debts and receivables. One of the problems that often arise during the process of Roya is the loss of Certificate of Mortgages . In practice, some Land Office requires a Deed of Consent Roya in lieu of the Lost of Certificate of Mortgage. Regarding the form and use of the Deed of Consent Roya itself has not been clearly regulated and specific in the legislation concerning Mortgage Rights, so it is necessary to review who is authorized to make the Deed of Consent Roya and how it is used in the Roya practice at the Land Office. The subject matter of the research 1 Standard Operational Procedure of Roya in case of the loss of Certificate of Mortgages is to be implemented, 2 Consideration of the use of the deed of consent Roya by the Land Office in case of the loss of Certificate of Mortgages is to be calculated and 3 Precautionary principle apply by Notary in making the Deed of Consent Roya. This research is qualitative research with juridical normative method and using analytical descriptive typology. Based on the result of the research, it can be concluded that in general the difference of Standard Operational Procedure of Roya in case of the loss of Certificate of Mortgages is on the use of the deed of consent Roya as a substitute for the certificate. The use of the Deed of Consent Roya is based on the implementation of the BPN head regulation PERKABAN No. 1 2010 as a form of precautionary principle by the Land Office, but not all the Land Offices require the use of the deed of consent Roya. Notary, in making the deed of consent Roya, must assign the appearer of the deed properly and check the truth of formal document of making Deed of Consent Roya.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50847
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Pratiwi
"Undang-undang dasar pokok agraria (UUPA) terbentuk sebagai nasionalisasi dari undang- undang yang telah ada sejak jaman penjajahan. Dasar terbentuk UUPA adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik hak atas tanah. UUPA mengatur konversi hak-hak tanah bekas hak barat menjadi hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Pokok permasalahan yang dibahas penulis adalah konversi tanah bekas hak eigendom yang merupakan tanah hak milik lama menjadi tanah hak milik baru sesuai UUPA. Cara perolehan pembuktian hak lama atas tanah menurut penjelasan pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 ada dua macam cara yaitu berdasarkan pembuktian pemilikan tanah dan berdasarkan pembuktian penguasaan tanah. Proses pendaftaran pertama kali dilakukan di Badan Pertanahan nasional untuk mendapatkan sertipikat hak atas tanah. Penerbitan sertipikat oleh Badan Pertanahan Nasional bersifat konstitutif, yaitu keputusan administrasi pemerintah yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukumnya adalah negara menjamin dan melindungi pemegang sertipikat hak atas tanah.Berdasarkan kasus yang ditinjau bahwa penguasaan tanah bekas hak eigendom oleh tergugat yang telah mendiami tanah tersebut selama 20 tahun dan dengan itikad baik tidak dapat dibatalkan. Sertipikat yang telah dikeluarkan tidak dapat dengan mudah dibatalkan, apabila sertipikat tersebut telah berusia lima tahun ataupun lebih.Sertipikat hak atas tanah merupakan alat bukti yang kuat. Terhadap pihak ketiga tanggung jawab diberikan kepada siapa perjanjiannya dibuat. Pihak yang mengadakan perjanjian dianggap yang mempunyai tanggung jawab bila terjadi permasalahan dikemudian hari

Basic Constitution of Agrarian was made as a nasionalitation from another constitution in the colonial decade. The base of basic constitution of agrarian is to guaranty law assurance for landlord. Basic constitution of agrarian regulate is to convert west land right become land right that manage by basic constitution of agrarian. The main concern that written by the author is the convert eigendom right which is old land right become new land right that regulate by basic constitution of agrarian. The procedure of this conversion manage by art 24 Government regulation number 24 of 1997, there are two option available, first, proof of ownership of land and second, proof of land ownership. First time land registration in national land agency to having a land certification. The published certificate are constitutif, which means government administration decision that affected legal consequences. The legal consequences is government guaranty dan protect land certificate owner. Based on this case that a eigendom land ownership that be managed twenty years with good faith by defendants can not be canceled. The published certificate can not be easy to canceled, although the certificate more than five years.Land right certificate is a strongest proof. For third party the liability is for who the agreement was made. The party that have an agreement should take responsibility for future circumstances."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T21789
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>