Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162112 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ikarie Monitha Arthos
"Kematian berarti berakhirnya daur kehidupan seseorang dan merupakan bagian dari eksistensi manusia yang perlu dikenali sebagai komponen yang alami dalam daur kehidupan, yang pada akhirnya dapat memberi arti pada keberadaanya sebagai manusia. Kematian menetapkan batasan dalam kehidupan dan mengingatkan manusia untuk memanfaatkan waktu yang dimiliki dengan sebaikbaiknya. Tetapi, bagi orang lain pada siapa kematian tersebut membawa pengaruh, hal ini tetap merupakan faktor yang harus diintegrasikan ke dalam daur kehidupan yang sedang berlangsung (Peterson, 1984). Sebab, bagi orang yang ditinggalkan, kematian tersebut dapat menimbulkan kesedihan yang dapat dianggap sebagai saat krisis dan berpengaruh besar terhadap perkembangan kehidupannya.
Ada 2 kehilangan yang dapat dikatakan paling mengganggu dan mungkin menjadi tekanan, yaitu kehilangan anak dan kehilangan pasangan. Dalam daur kehidupan manusia, terdapat suatu periode di mana masalah kehilangan pasangan merupakan salah satu penyesuaian yang harus dilalui dalam tahap perkembangannya, yaitu tahap dewasa akhir (late adulthood). Bagi pasangan lanjut usia, lamanya hidup bersama telah membuat mereka mengembangkan suatu hubungan yang nyaman melalui kegiatan rutin sehari-hari dan membuka kesempatan untuk memperdalam hubungan serta lebih menerima dan memahami pasangan. Oleh sebab itu, pasangan diasumsikan mengalami penderitaan paling besar dalam perpisahan karena kematian.
Kematian seseorang dapat menimbulkan kehilangan (bereavement) dan rasa sedih (grief) yang muncul sebagai reaksi normal terhadap kehilangan. Masa kehilangan kemudian membawa dua tantangan, yaitu menyelesaikan kesedihan akibat kehilangan orang yang dicintai dan membangun kehidupan baru sebagai individu (Brubaker, 1985 dalam Lemme, 1995). Ada tiga hal yang dapat dijelaskan sehubungan dengan pengalaman kehilangan, yaitu proses yang dilalui, faktor-faktor yang mempengaruhi dan konsekuensi yang timbul sebagai akibat kehilangan tersebut. Pengetahuan akan hal ini akan dapat digunakan sebagai dasar pemberian bantuan bila terjadi kesulitan saat menjalaninya. Dengan memperhatikan kekhususan pada tingkat perkembangan dewasa akhir dan perbedaan dalam respon terhadap rasa kehilangan pada pria dan wanita, dalam penelitian ini ingin diperoleh gambaran proses kehilangan dan kesedihan wanita lanjut usia yang kehilangan pasangan, dengan mengacu pada aspek proses yang dilalui, faktor-faktor yang mempengaruhi dan konsekuensi yang dirimbulkan.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan menggunakan teknik wawancara dan observasi untuk mengumpulkan data. Subyek penelitian terdiri dari 5 orang wanita lanjut usia yang telah menjanda selama IV2 sampai 2 tahun 4 bulan. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap kelima subyek, yang dipandu dengan pedoman wawancara berstruktur. Setelah data selesai dikumpulkan, dilakukan analisa secara kualitatif untuk mendapatkan gambaran proses kehilangan dan kesedihan pada wanita lanjut usia akibat kematian pasangan. Proses analisa data yang digunakan berasal dari definisi analisa data yang dikemukakan oleh Miles & Huberman (1994).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa gambaran proses berduka yang dialami oleh subyek mempunyai perbedaan-perbedaan bila dibandingkan dengan apa yang dikemukakan oleh teori mengenai proses berduka dari Phyllis Silverman dan Parkes. Pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka dan konsekuensi setelah kehilangan pasangan terlihat adanya keunikan pada tingkat perkembangan dewasa akhir ini, dengan faktor usia dan lamanya menikah sebagai dasar perbedaannya. Hal-hal yang terjadi dalam kehidupan subyek dan karakteristik dari tingkat perkembangan dewasa akhir kemudian digunakan untuk menjelaskan kenapa perbedaan dengan teori itu terjadi. Faktor agama yang muncul dalam menjalani kehilangan juga menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan.
Saran terhadap penelitian meliputi penggunaan metode longitudinal untuk penelitian selanjutnya dan menambah penggunaan wawancara terhadap orang yang mengetahui bagaimana subyek menjalani kehilangannya. Selanjutnya penelitian mengenai fenomena yang sama pada tingkat perkembangan yang berbeda dan mengetahui pengaruh faktor-faktor lain terhadap pengalaman berduka seseorang akan menambah pengetahuan mengenai fenomena kehilangan dan kesedihan akibat kematian. Pada akhirnya pengetahuan yang dimiliki diharapkan dapat dijadikan dasar pemberian bantuan bagi orang-orang yang mengalami kesulitan dalam melalui proses tersebut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2613
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Dhamayanti
"Tujuan utama penelitian ini adalah mendapatkan gambaran penyesuaian diri seorang duda "ketika menghadapi kematian istrinya. Diharapkan akan diperoleh gambaran mengenai proses tahapan grief, serta upaya-upaya yang dilakukan seseorang dalam rangka menyesuaikan diri dengan rentang emosi yang dialaminya. Penyesuaian diri disini dikaitkan dengan teori mengenai tahapan grief dimana seseorang dianggap sudah menyesuaikan diri apabija ia sudah mencapai tahap terakhir, yaitu tahap penyelesaian. Manfaat penelitian secara teoritis adalah selain menambah pengetahuan mengenai penyesuaian diri seorang duda dalam menghadapi kematian istrinya. Sedangkan manfaat praktis adalah membantu memperoleh gambaran mengenai dinamika proses penyesuaian diri tersebut.
Teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah konsep tentang penyesuaian diri, bereavement, faktor-faktor yang berpengaruh, dan karakteristik usia tengah baya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif , dimana peneliti tidak meramalkan hasil yang akan diperoleh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dimana data yang diperoleh berbentuk data deskriptif dan mendetail. Teknik pengambilan data yang dipakai adalah wawancara mendalam ditunjang dengan observasi. Karakteristik subyek penelitian yang diambil adalah duda usia tengah baya dari usia 35 sampai 60 tahua, yang sudah menjalani masa bereavement berkisar antara 6 bulan sampai 2 tahun.
Hasil panelitian menunjukkan bahwa dalam menjalani penyesuaian din. duda mengalami tahapan dalam rentang emosi yang dialaminya, Tahapan tersebut adalah .ahap kemunduran, tahap menjalani. dan tahap resolusi . Tidak semua duda mengalami mhapan dan mniang emosi yang sama. Perbedaan tersebut dipengaruh, terutama oleh tiga faktor. yaitu Kualitas hubungan. kondisi kematian, dan dukungan sosial. Selain itu juga ada faktor sosiodemografis, krisis yang teqadi secara bersamaan, dan faktor kepribadian. Yang menarik dari penelitian ini adalah ditemukan faktor baru yang : mempengaruhi proses tahapan grief, yaitu usia anak.
Saran untuk penelitian ini ada dua macam, yaitu saran prakt.s dan saran teontis. Saran praktisnya yanrg. bh.i-scap ddiibbeerniKkaann add alah bahwa prose,s menjalani ,masa bereavement akan lebih mudah apabila emosi yang d.rasakan diekspresikan. Sedangkan saran teoritis adalah perlunya penggalian informasi mengenai tahapan grief secara lebih dalam. serta penelitian diadakan pada kelompok usia yang berbeda."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2584
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Soni Akhmad Nulhaqim
"Peningkatan jumlah penduduk lansia disatu sisi menggembirakan yaitu mencerminkan meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat, namun pada sisi lain menimbulkan permasalahan bagi lansia berupa permasalahan umum, permasalahan fisik, psikologis dan sosial ekonomi, juga bagi pemerintah yaitu berkaitan dengan penyediaan berbagai pelayanan. Keluarga diharapkan dapat menjadi lingkungan utama dalam pelayanan lansia. Dengan demikian, program-program pelayanan lansia yang berbasiskan pada keluarga merupakan program yang perlu dikembangkan.
Penelitian ini berupaya untuk mengkaji sistem pelayanan BKL di Kelurahan Batununggal Kecamatan Bandung Kidul Kota Bandung. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah : (1) bagaimana keadaan kelompok BKL sebagai sistem pelaksana perubahan; (2) bagaimana keadaan sistem kegiatan kelompok BKL; (3) bagaimana keadaan sistem sasaran kelompok BKL dan; (4) bagaimana keadaan sistem klien kelompok BKL. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif Berdasarkan hal tersebut, maka jenis penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sistem pelayanan kelompok BKL Bougenville di Kelurahan Batununggal Kecamatan Bandung Kidul Kota Bandung. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan kuantitatif. Populasi penelitian adalah para pengurus 18 orang dan para anggota kelompok BKL sebanyak 92 orang. Dengan menggunakan teknik sensus maka keseluruhan responden diambil dalam penelitian ini, sedangkan key person untuk wawancara mendalam digunakan teknik purposive sampling sebanyak tiga orang.
Kerangka teori utama yang digunakan adalah sistem dasar praktek pekerjaan sosial. Kerangka ini mengacu pada pendekatan pekerjaan sosial yaitu dualistic aproach maksudnya pekerja sosial berusaha melakukan perubahan terhadap masalah yang dihadapi oleh klien, juga melakukan usaha perubahan terhadap lingkungan sosial klien tersebut. Dengan demikian, suatu usaha perubahan yang dilakukan oleh pekerja sosial memunculkan sub-sub sistem dalam sistem dasar praktek pekerjaan sosial yaitu sistem pelaksana perubahan, sistem kegiatan, sistem sasaran, dan sistem klien. Kerangka analisis penunjang menggunakan pelayanan sosial dan teori tentang lansia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kelompok BKL merupakan kelompok sosial yang berada di dalam iingkungan RW yang berusaha mengadakan perubahan dalam meningkatkan kepedulian dan peran serta keluarga dalam mewujudkan kesejahteraan lansia. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan kelompok BKL adalah kegiatan agama, kegiatan kesehatan, kegiatan olah raga, kegiatan keterampilan dan kegiatan usaha, kegiatan anjang sana, serta kegiatan pertemuan lansia. Kegiatan tersebut melibatkan orang-orang yang diangggap berkompeten dalam bidangnya. Sistem sasaran BKL mengacu pada kelompok-kelompok yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan kelompok BKL, sedangkan sistem kliennya adalah orang-orang yang menjadi anggota BKL.
Dilihat dari sistem dasar praktek pekerjaan sosial, maka kelompok BKL dianggap: (a) sebagai sistem pelaksana perubahan yaitu kelompok yang berada dilingkungan RW yang berusaha mengadakan perubahan dalam meningkatkan kepedulian dan peran serta keluarga dalam mewujudkan kesejahteraan lansia; (b) sistem kegiatan kelompok BKL adalah orang-orang yang dianggap ahli dalam bidangnya masih terbatas pada kegiatan tertentu saja; (c) sistem sasaran seharusnya adalah keluarga bukan kelompok-kelompok yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya; dan (d) sistem klien seharusnya adalah lansia bukan semua orang yang menjadi peserta BKL.
Saran yang dirumuskan meliputi saran akademik adalah perlunya penelitian pekerjaan sosial dengan menggunakan perspektif pekerjaan sosial, sedangkan saran praktis ditujukan bagi pengembangan pelayanan sosial bagi lansia meliputi pengembangan pelayanan bagi keluarga lansia dengan menggunakan pendekatan sistem dasar praktek pekerjaan sosial, dan pendekatan budaya berupa sosialisasi nilai-nilai kepada anggota keluarga dan pelayanan sosial bagi lansia secara umum berupa pemberdayaan lembaga panti werda baik yang bersifat komersial maupun non komersial, sedangkan penciptaan pelayanan sosial yang baru yaitu mengupayakan pelayanan baru terutama pelayanan yang ditujukan untuk menunjang aktivitas lansia misalnya penyediaan fasilitas umum."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T5081
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Gideon Hot Partogi
"Pendahuluan: Gangguan pendengaran sensorineural (GPSN) merupakan penyakit kronis yang insidennya meningkat seiring dengan pertambahan usia. Implantasi koklea menjadi tatalaksana utama dengan kalibrasi menggunakan prosedur baku emas yaitu audiometer nada murni (PTA) yang bersifat subjektif. Akan tetapi, PTA tidak dapat dilakukan pada pasien yang kurang kooperatif dan kebingungan akibat demensia, seperti pada pasien geriatrik sebagai mayoritas pasien GPSN. Pengukuran objektif lainnya dapat dilakukan dengan mendeteksi auditory evoked potential (AEP) yang direkam pada batang otak menggunakan stimulus listrik (E-ABR) dan kortikal melalui perekaman local field potential (LFP). Namun, belum terdapat penelitian yang merekam AEP menggunakan elektrode intrakortikal serta membandingkan dan mengkorelasikan ambangnya dengan respons batang otak. Penelitian ini bertujuan sebagai pemodelan awal kasus tuli didapat dengan implan koklea untuk mengevaluasi ambang respons auditorik pada batang otak, korteks auditorik primer (A1), dan posterior auditory field (PAF) menggunakan hewan coba kucing. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari perbedaan bermakna antara ambang respons auditorik kortikal menggunakan metode perbandingan amplitudo pre-stimulus-post-stimulus (Z-score) dan inter-trial phase coherence (ITPC).
Metode: Perekaman dilakukan pada 5 ekor kucing dengan implan koklea yang ditulikan terlebih dahulu dengan injeksi neomisin interskalar. Respons auditorik batang otak direkam menggunakan elektrode permukaan, sedangkan respons auditorik kortikal direkam menggunakan elektrode intrakortikal dalam kondisi teranestesi isoflurane. Ambang respons auditorik ditetapkan menggunakan metode Z-score dan ITPC, sedangkan ambang respons auditorik batang otak ditetapkan dengan metode ITPC karena kurangnya data pre-stimulus.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada ambang respons auditorik kortikal menggunakan metode Z-score dan ITPC (p = 0,455). Terdapat perbedaan bermakna antara ambang respons auditorik batang otak dan kortikal (p<0,001), dengan median paling kecil pada batang otak dan terbesar pada PAF. Korelasi positif yang bermakna juga ditemukan antar keseluruhan titik perekaman, dengan korelasi terbesar secara kortikokortikal A1 dan PAF (r=0.835, p<0.001).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa pengukuran ambang respons auditorik batang otak dan kortikal secara objektif memiliki potensi dalam aplikasi klinis untuk menilai kesuksesan implantasi koklea pasien tuli didapat. Peningkatan ambang respons auditorik sepanjang jaras pendengaran menunjukkan kompleksitas jaras pendengaran.

Introduction: Sensorineural hearing loss (SNHL) is a chronic disease whose incidence increases with age. The primary treatment of SNHL is cochlear implantation with the subjective pure-tone audiometer (PTA) as the gold standard calibration procedure. However, PTA cannot be performed on patients who are less cooperative and confused due to dementia, such as geriatric patients, who make up the majority of SNHL patients. Another objective test is to detect auditory evoked potentials (AEP) recorded in the brainstem (E-ABR) and auditory cortex via the brain local field potential (LFP) using electric stimulus. However, no studies have used intracortical electrodes to record AEP as well as compare and correlate its threshold with auditory brainstem response. This study aims as an early model of acquired deafness with cochlear implant to evaluate auditory responses in the brainstem, primary auditory cortex (A1), and posterior auditory field (PAF) using cats as an animal model. In addition, this study also aims to compare the cortical auditory response threshold determined using the pre-stimulus-post-stimulus amplitude comparison (Z-score) and inter-trial phase coherence (ITPC) methods.
Method: Recording was performed on 5 cochlear implanted cats, previously deafened using interscalar neomycin injection. Brainstem auditory responses were recorded using surface electrodes, while cortical auditory responses were recorded using intracortical electrodes under isoflurane anaesthetic. The auditory response threshold was determined using the Z-score and ITPC methods, while the brainstem auditory response threshold was determined using the ITPC method due to the lack of pre-stimulus data.
Result: There was no significant difference in the cortical auditory response threshold using the Z-score and ITPC methods (p = 0.455). There was a significant difference between the brainstem and cortical auditory response thresholds (p<0.001), with the smallest median in the brainstem and the largest in PAF. A significant positive correlation was also found at all recording points, with the largest positive correlation found between A1 and PAF (r=0.835, p<0.001).
Conclusion: This study demonstrates that objective measurements of brainstem and cortical auditory response thresholds have the potential to be used to evaluate the success of cochlear implantation in patients with acquired hearing loss. An increase in the auditory response threshold along the auditory pathway indicates
complexity in the auditory pathway.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Tiolina Sidjabat
"Setiap tahun, kurang Iebih 200.000 jemaah haji Indonesia menunaikan ibadah haji.. Hingga saat ini,angka mortalitas haji Indonesia masih tinggi, kcmatian pada kelompok usia lanjut lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok jemaah lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penyakit pemafasan yang sudah diidap sebelum ibadah haji terhadap kematian jemaah usia lanjut Indonesia pada musim haji 1428 H(2007 - 2008). Subyek pcnelitian ini adalah 42.885 jemaah usia lanjut Indonesia,dengan 311 kasus kematian. Desain penelitian kohort retrospektiiimasa pcngamatan 68 hari sejak 17 November - 23 Januari 2008. Analisis mcnggunakan Iogistik regresi ganda.
Jemaah yang sudah mengidap penyakit pemafasan sebelum ibadah haji secara statistik berpengaruh secaza bermakna tcrhadap kematian jemaah usia lanjut Indonesia (RR= 2,57 ; 95% CI:l,60 - 4,13 ; nilai p=0,00 ). Insiden kematian jemaah pcngidap penyakit pemafasan (2,00%),sedang.ka.': yang tidal; mengidap penyakit pernafasaan sebesar (0,'70%). Jemaah yang mengidap penyakit serebrovaskular mempunyai risiko kematian 2,10 kali dibandingkan jemaah yang tidak mengidap penyakit serebrovaskular (95%CI: 1,44 - 3,04 ; nilai p=0,00). Sedangkan jemaah yang mengidap penyakit endokrin dan metabolik mempunyai risiko kematian 2,05 kali lebih tinggi dibandingkan jemaah yang tidak mengidap penyakit endokrin dan metabolik (95%CI: 1,37 - 3,06 ;nilai p=0,00).
Data rawat jemaah JI-II di Arab Saudi menyebutkan bahwa alasan terbanyak JHI untuk berobat dan dirawat adalah karena penyakit pemafasan. Karena penyakit pemafasan yang berisiko tinggi kematian berkisar 40% pada usia lanjut adalah pneumonia,dan mengingat tahun 1428 H adalah musim dingin, kemungkinan besar JI-II usia lanjut wafat disebabkan oleh pneumonia Hanya saja data rekam medik .THI tidak lengkap untuk menjelaskan keadaan tersebut.
Karakteristik individual jemaah haji yang berkontribusi terhadap kematian adalah faktor usia, jenis kelamin, gelombang pemberangkatann. JH1 dengan usia 2 80 tahun mempunyai risiko kematian 5,10 kali Iebih tinggi (95% Cl : 3,38 - 7,67 ; nilai p 0,00) dibandingkan dcngan jemaah berusia 60-69 tahun, Jemaah berusia 70 - 79 tahun mempunyai risiko kematian 2,13 kali Iebih tinggi (95%CI: 1,88 - 2,67; nilai 0,00). Jemaah laki-Iaki yang berusia 260 tahlm berisiko untuk wafat 1,88 kali (95% CI:I,48 - 2,37 nilai p 0,00) dibandingkan dcngan jemaah perempuan. Jemaah yang tiba lebih awal dengan gelombang pemberangkatan I mempunyai risiko untuk wafat Iebih tinggi 1,31 kali (95% CI: 1,05 - 1,64 ; nilai p 0,02) dibandingkan jemaah yang diberangkatkan dengan gelombang II.
Saran penelitian adalah agar jemaah pengidap penyakit pemafasan, khususnya PPOK menghentikan kebiasaan merokok, melakukan Iatihan pemafasan, dan diberi pengetahuan tentang penyakit-penyakit yang kemungkinan diderita. Perlu diberikan pelatihan pembekalan khusus untuk para dokter dalam deteksi dini, diaglosis dan penanganan penyakit yang tcpan Juga dianjurkan pemeriksaan faal pam berkala dengan spirometer khususnya calon jemaah yang mengidap asthma dan PPOK.

Annually, about 200.000 Indonesian pilgrims come to perform the ritual Haji.'I`ilI now, mortality rate of Indonesian pigrims is still high , and old age death is relative higher compared to group pilgrims of other age. The aim ofthe study is to know the iniluence of respiratory disease that is suffered before pilgrimace to the number of the d th of old Indonesian hajj pilgrims in haji season 1428 H (2007 - 2008). This study conducted 42.885 old Indonesian pilgrims with 311 numbers of death. The study design is retrospective cohort, to observe subject about 58 days from 17 November 2007 to 23 January 2008. The method used in this study is multiple logistic regressions.
The influence of respiratory disease that is suffered before pilgrimage has statistic significantly to the death of old Indonesian pilgrims in hajj season 1428 H ( RR= 2,57 ; 95% CI:1,60 - 4,13 ; p value =0,00).The incidence mortality rate in pilgrims who have a respiratory disease that is suffered before pilgrimace (2,00%) is much the same to pilgrims in normal health condition (0,70 %). Pilgrims who have cerebrovascular disease have 2,10 times risk of death (95%CI: 1,44 - 3,04 ; p value 0,00), and pilgrims who have endocrine and metabolic disease have 2,05 times tisk of death ( 95% CI : 1,37 - 3,06 ; p value 0,00).
From data which is taken by taking care of Indonesian pilgrims in Arab Saudi mention that mostly the reason to cure and taken care of Indonesian pilgrims is because of respiration system disease. Because respiration disease which has a high risk of death approximately 40% for the elderly people is pneumonia and to keep in mind that 1428 H is winter time it’s quite possible that old age Indonesian pilgrims pass away caused by pneumonia. But record data medic Indonesian pilgrims is incomplete to explain that situation.
Individual characteristic of hajj pilgims factors that contribute to the death of ordinary old age Indonesian hajj pilgirns are age, sex, and length of stay in Arab Saudi. The pilgrims of the ages 2 80 years have 5,10 times higher risk of death ( 95% CI : 3,38 - 7,67 ; p value 0,00) compared to the pilgrims of 60 to 69 years old. The pilgrims of 70 to 79 years old have 2,13 times risk of death (95%CI: 1,88 - 2,67; p value 0,00). The men of the ages 2 60 years have 1,88 times risk of death ( 95% CI: 1,48 - 2,37 ; p value 0,00) compared to the women. Pilgrims who arrived earlier in the iirst tum have 1,31 times higher risk of death (95% CI: 1,05 - 1,64 ; p value 0,02) compared to those who arrive in the second tum.
The suggestion is in order that pilgrims who have respiratory disease that is suifered before pilgrimage, especially with COPD is to stop the habit of smoking, conduct exhalation practice, and given the science of diseases that will possible be suifered. Special trainning must be given to doctors in early detection, diagnosis and handling disease correctly. Also is suggested that physiological respiratory examination must carried out periodically with spirometer especially pilgrim candidate with asthma bronchiale and COPD.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T34233
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Nastiti Purwitasari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2601
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Setiawan Borman
"Kesepian pada lanjut usia dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesehatan dan kesejahteraan mental, penurunan kognitif dan depresi.Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memahami proses kesepian yang dialami oleh para lanjut usia dan bagaimana mereka mengatasinnya.Metode yang digunakan adalah mixed method, dimana, kuantitatif untuk mengetahui gambaran umum karakteristik populasi sampel terdiri dari 47 lansia, dan kualitatif untuk mendalami kesepian yang dialami oleh dua belas informan. Partisipan terdiri dari dua belas orang, lima laki-laki dan enam perempuan ,dengan memanfaatkan beberapa alat pengumpul data seperti UCLA Loneliness Scale, dan dua macam pedoman wawancara.
Temuan kritis dalam penelitian ini adalah sebagian besar partisipan mengami kesepian dikarenakan terganggunya hubungan sosial mereka yang diakibatkan oleh beberapa penyebab diantarannya penurunan kualitas kesehatan,kematian orang yang mereka cintai, memasuki masa pensiun. Sedangkan upaya yang mereka lakukan untuk mengatasi kesepian yang dialami adalah mencoba untuk mendatangi orang baru atau komunitas membantu orang yang membutuhkan dan memiliki hewan peliharaan. Para praktisi kesejahteraan sosial bisa melihat ini sebagai bahan untuk mendeteksi kesepian pada lansia lebih dini dan mengintervensinnya.

Loneliness among elderly can causes decresing health fisical and mentaly, decrease cognitive ability and depresion. The purpose of this mixed study was to explore the meaning of loneliness in community older adults and to understand their daily practices in coping with loneliness. The sample consisted of 47 older adults in RT 01 RW 04 Kelurahan Manukan Kulon Kecamatan Tandes. Interviews were conducted with the 12 participants utilizing several tools, including 2 separate interview guides and the UCLA Loneliness Scale, Version 3 Russell, 1996.
A critical finding was that many participants experienced loneliness as a result of disrupted meaningful engagement, due to age related changes, as well as other losses, including death of spouse, retirement, and access to transportation as results of giving up the motor cycle. Participant coping practices with loneliness included reaching out to others, helping those in need, and seeking companionship with pets. Many older adults are at risk for loneliness because of declining health and other age related losses that prevent them from remaining engaged in meaningful relationships. Family as a caregiver and social welfare practioner can screen for loneliness to identify those at risk and can intervene to help older adults maintain connections.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T49381
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2996
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Martina Marwanti
"Ruang lingkup penelitian ini, yaitu gambaran umum lembaga, latar belakang kehidupan lansia, aktivitas lansia di dalam panti, hubungan sosial lansia dengan penghuni panti termasuk dengan lansia lainnya jugs dengan pengasuh, tanggapan dan harapan lansia terhadap pelayanan yang telah diterimanya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia penghuni panti, dengan menggunakan teknik penarikan purposive sampling, dipilih 7 informan lansia. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Panti sebagai unit penelitian dan lansia sebagai unit analisisnya.
Hasil penelitian: Sebagian besar lansia yang tinggal di panti adalah mereka yang hidupnya terlantar, dengan karakteristik miskin dan tidak mempunyai keluarga (hidupnya sebatang kara). Adapula lansia yang masih mempunyai keluarga (anak-anaknya) tetapi tinggal di panti. Aktivitas sehari-hari para lansia, tergantung dari keadaan jasmani dan rohani masing-masing, ada lansia aktif dan pasif. Pada lansia aktif kurang mempunyai aktivitas yang produktif. Secara umum hubungan sosial para lansia dengan lansia lainnya di panti werdha, bisa dikategorikan kurang terjalin dengan baik. Nampaknya latar belakang lansia penghuni panti yang sangat beragam, membuat para lansia agak sulit dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hubungan sosial lansia dengan pengasuh, hanyalah sebatas sampai sejauh mana pengasuh memberikan bantuan (secara fisik) kepada lansia. Sebaliknya bantuan yang bersifat psikis dan sosial jarang dilakukan oleh para pengasuh. Terhadap pelayanan yang telah diberikan, para lansia merasa kebutuhannya belum dapat dipenuhi oleh pihak panti. Mereka hanya bisa bersikap pasrah pada nasib.
Kesimpulan : Pelayanan yang diberikan oleh pihak panti belum mampu memungkinkan perasaan "at home" (kerasan) bagi mereka yang menjadi penghuninya. Kerasan yang dimaksudkan disini tidak bisa diukur sekedar dengan kriteria materiil, atau fisik, tentunya juga tergantung dari faktor-faktor psikologis/sosial, seperti kelaziman yang berlaku, cara-cara seseorang mendapat perlakuan, atau tanggapan dari lingkungan sekitarnya. Ada kecenderungan pelayanan yang diberikan kepada mereka hanya dianggap sebagai proses pertolongari di "terminal tunggu menjelang akhir"."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T4478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>