Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177150 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devi Kartika Sari
"ABSTRAK
Kemiskinan merupakan suatu masalah yang perlu dicermati di setiap
negara. Di Indonesia, jumlah penduduk miskin yang telah tunm beberapa tahun
ini kembali mengalami peningkatan akibat berbagai macam krisis yang melanda
Indonesia. Kehidupan golongan miskin yang buruk dapat dilihat dari lingkungan
fisiknya, tempat tinggal, atau macam pekerjaannya. Umumnya mereka
berpendidikan rendah dan hanya memiliki keterampilan yang terbatas sehingga
menyulitkan mereka bekerja di sektor formal. Di perkotaan, penduduk miskin ini
merupakan kelompok yang heterogen yang seringkali dipandang sebagai
kelompok marjinal.
Berbagai pengalaman yang dirasakan selama hidup dalam kemiskinan
diasumsikan sedikit banyak turut mempengaruhi/)5yc/7o/ogjca/ well-being (PWB)
atau kesejahteraan psikologis mereka. Ross & Mirowsky (1989) dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa status sosial ekonomi yang dimiliki individu
berpengaruh terhadap psychological distress dan psychological well-being
individu. Semakin rendah tingkat sosial ekonomi seseorang, maka kecenderungan
tingkat distress-nya semakin tinggi, dan semakin rendah PWB individu tersebut.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa status sosial ekonomi yang rendah
tidak hanya dapat meningkatkan akibat yang negatif, tapi juga menurunkan
positive well-being individu (Ryff, 1996). Konsep PWB terbaru yang
dikemukakan oleh RyfT dapat memperlihatkan bagaimana penilaian individu
terhadap pencapaian potensi-potensi dlrinya pada saat ini, yang dipengaruhi oleh
pengalaman hidup dan harapan-harapan individu. Sebagai suatu konsep, PWB
terdiri dari enam dimensi, yakni dimensi penerimaan diri, otonomi, penguasaan
lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan dimensi hubungan positif
dengan orang lain.
Menurut Lewis (1976), orang yang mengalami penderitaan ekonomi
selama bertahun-tahun lamanya memiliki potensi mengalami apa yang disebutnya sebagai budaya kemiskinan, yang ditandai dengan sikap yang fatalistik dan
aspirasi yang rendah. Beberapa teori mengenai kemiskinan mengemukakan sisi
negatif dari sifat-sifat orang miskin, seperti yang dikemukakan Argyle (1991),dan
pada teori yang menekankan nilai-nilai. Dalam teori-teori tersebut dijelaskan
bahwa orang miskin cenderung malas, tidak tekun, bergantung pada orang lain,
menutup diri, tidak mempunyai konsep mengenai hari esok, bersikap menerima
nasib, memiliki kontrol internal yang rendah dan berbagai pola perilaku yang
tidak sesuai atau dianggap buruk oleh golongan yang tidak miskin. Semua teoriteori
di atas memperlihatkan sifat-sifat buruk dari golongan miskin yang dapat
mempengaruhi dimensi-dimensi PWB.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dibuat untuk memperoleh
gambaran yang lebih utuh dan mendalam mengenai gambaran PWB pada salah
satu kelompok miskin di perkotaan. Subyek penelitian ini adalah para pengemudi
becak berusia dewasa muda yang telah menarik becak minimal satu tahun
lamanya. Dipilihnya para pengemudi becak sebagai subyek penelitian karena
umumnya mereka memiliki karakteristik seperti orang miskin lainnya. Selain itu,
sejak awal keberadaannya hingga sekarang ini, pekeijaan menarik becak
seringkali menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan
pertimbangan bahwa pendekatan kualitatif dapat menggali secara lebih mendalam
penghayatan PWB dari setiap individu. Subyek penelitian ini beijumlah lima
orang. Pemilihan subyek dila^kan secara purposif melalui metode pengambilan
subyek bola salju (snowball/ chain sampling). Pengambilan data dilakukan
dengan metode wawancara mendalam (depth interview) ditambah dengan
observasi terhadap subyek dan tempat dilakukannya wawancara.
Dari hasil wawancara terhadap kelima subyek, dapat disimpulkan bahwa
kelima subyek memiliki gambaran PWB yang relatif baik. Secara berurutan, dapat
dilihat dari gambaran dimensi hubungan positif dengan orang lain, penguasaan
lingkungan, penerimaan diri, dan otonomi yang tampil cukup baik. Sedangkan
dua dimensi lainnya, yakni dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi tampil
dengan kualitas yang kurang memuaskan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
status pekeijaan yang rendah (sebagai tukang becak) atau tingkat sosial ekonomi
rendah temyata berperan cukup besar pada pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup.
Sedangkan dimensi hubungan interpersonal tampaknya tidak terlalu berkaitan
dengan status pekeijaan yang rendah atau dengan tingkat sosial ekonomi subyek
yang rendah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kelimanya, diduga ada beberapa
faktor yang berkaitan dengan PWB mereka. Diantaranya adalah dukungan sosial,
beberapa variabel demografis, mekanisme perbandingan sosial dan pemusatan
psikologis, sistem nilai budaya Jawa/ sikap mental sebagian besar masyarakat
Indonesia, serta faktor kepribadian yang semuanya tampak cukup berperan
mempengaruhi pembentukan dimensi-dimensi PWB kelima subyek."
1999
S2772
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Prihadi
"Fokus penelitian ini adalah menggali unsur praktek cerdas dari keberhasilan praktek permodelan ASCA (Accumulating Savings and Credit Association) yang diinisiasi Wahana Visi Indonesia di Kecamatan Kramat Jati dan Jatinegara dengan konteks perkotaan. Penerapan praktek permodelan ASCA ini ditujukan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dengan menciptakan akses permodalan di kelompok kecil. Jenis penelitian merupakan deskriptif menggunakan data kualitatif dengan didukung data kuantitatif dengan studi kasus sebagai strategi penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan kemunculan unsur praktek cerdas di hampir seluruh mekanisme simpan pinjam yang dilakukan kelompok-kelompok permodelan ASCA tersebut maupun pada lembaga penyelenggara. Walaupun terjadi kendala pada setiap proses pelaksanaan baik di kelompok maupun lembaga penyelenggara, kelompok terbukti mampu bertahan hingga kini. Penelitian ini menyampaikan bahwa keberhasilan kelompok untuk berlanjut dan berdampak positif dikarenakan adanya unsur-unsur praktek cerdas dalam mengimplementasikan permodelan ASCA.

This research focuses on identifying best practice elements of the practice of ASCA (Accumulating Savings and Credit Association) modelling initiated by Wahana Visi Indonesia in Kramat Jati and Jatinegara district which located in urban area. The practice aim to solve poverty issue by creating an access to savings and loan in small group. This study is descriptive type of research using qualitative approach supported by quantitative data and case study as the strategy.
The result shows that the best practice elements are in almost all savings and loan mechanisms in the groups and also implementing organisation as well. Although challenges occur in every step of process in the groups and the implementing organisation, the groups survive and continue running. This research reveals that the groups likely to sustain and show positive impact in implementing ASCA modelling by adding best practice elements.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Wahyudi
"ABSTRAK
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka diperlukan pembangunan secara kontinyu di berbagai bidang. Guna mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah, salah satunya dapat dilihat dari tingkat kerentanan kemiskinan di wilayah tersebut. Permasalahan kemiskinan bersifat kompleks dan multidimensional. Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok, namun dapat terkait pula dengan aksesibilitas serta kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat. Di samping itu, kondisi spasial juga dapat memengaruhi pola kemiskinan di berbagai wilayah. Pola kemiskinan di suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh pola kemiskinan di wilayah lain yang bertetangga dengan wilayah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dimensi kesehatan dan pendidikan terhadap kemiskinan dan mengidentifikasi efek spasial antarkecamatan terkait kualitas, kuantitas, pertumbuhan, serta kapasitas pelayanan kesehatan dan pendidikan dalam hubungannya dengan kondisi kemiskinan pada 47 kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilakukan berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi dan lembaga, yang meliputi data demografi, data aksesibilitas dan spasial, serta data indikator dan fasilitas infrastruktur kesehatan dan pendidikan, dengan menggunakan metode estimasi regresi data panel klasik dan spasial serta analisis Skalogram dan Indeks Sentralitas Marshal ISM . Hasil estimasi menunjukkan bahwa model terbaik yang mampu menggambarkan pengaruh kesehatan dan pendidikan terhadap kemiskinan di Kabupaten Sukabumi adalah Spatial Durbin Model SDM . Model SDM ini membuktikan bahwa selain berpengaruh pada variabel terikat tingkat kemiskinan , efek spasial juga saling memengaruhi tujuh variabel bebas yang terdapat pada model persamaan, yaitu Angka Kematian Ibu AKI , Angka Kematian Bayi AKB , prevalensi gizi buruk balita, rasio fasilitas kesehatan ibu dan anak terhadap jumlah ibu dan balita, jumlah fasilitas kesehatan umum, Angka Partisipasi Kasar APK jenjang SMA, dan rasio fasilitas infrastruktur Sekolah Dasar sederajat terhadap jumlah penduduk usia 7-12 tahun. Sementara itu, hasil analisis Skalogram dan ISM menunjukkan bahwa efek spasial juga terlihat pada tingkat pertumbuhan serta kapasitas pelayanan fasilitas kesehatan dan pendidikan di Kabupaten Sukabumi, dimana wilayah-wilayah dengan corak perkotaan berada pada hierarki tertinggi.

ABSTRACT
Progressing to welfare society requires sustainable development on every sector. One of the key indicators to acknowledge society rsquo s welfare is the vulnerability poverty rate within the region. Poverty is complex and multidimensional. It is not entirely related to basic needs, but also accessibility and quality of health and education. In addition, spatial condition could influence poverty pattern surround the neighboring area. This study aims to analyze the health and education dimension on poverty and identify spatial effect among districts on quality, quantity, growth and capacity of health and education services in 47 districts in Sukabumi Regency. This study used data consist of demographic, accessibility and spatial data taken from certain agencies. These data were estimated and analyzed by classical and spatial data panel method, Scalogram and Marshal rsquo s Centrality Index MCI . The best model to describe the impact of health and education to poverty in Sukabumi Regency is Spatial Durbin Model SDM . This model proves spatial effect influenced not only poverty rate but also Maternal Mortality Rate MMR , Infant Mortality Rate IMR , child malnutrition prevalence, the ratio of maternal and child health facilities to the number of maternals and infants, general health facilities, Gross Enrollment Rate GER of Upper Secondary Education, and infrastructure ratio of elementary school to numbers of population age 7 12 years old. Meanwhile, Scalogram and MCI analysis result shows that spatial effect contribute to growth rate, health and education facilities and services in Sukabumi Regency where urban areas hold the highest hierarchy."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Nova Andika
"Kemiskinan yang senantiasa terjadi pada komunitas pedesaan yang tradisional dengan keterbatasan teknologi dan prasarana ternyata tidak selamanya demikian. Wilayah perkotaan seperti Jakarta sebagai Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia juga tidak luput dari domain kemiskinan. Meski jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta hingga tahun 2002 belum sampai satu juta jiwa, namun bagi pemerintah daerah dalam hal ini Pemda DKI Jakarta seharusnya lebih progresif dalam program pengentasan kemiskinan. Sehingga upaya meningkatan kesejahteraan masyarakat miskin Ibu Kota yang direfleksikan dari berkurangnya jumlah penduduk miskin secara drastis tiap tahunnya adalah keniscayaan.
Tesis ini berkaitan dengan "regional ekonomi" yang members dampak kesejahteraan dan berjudul "Pengaruh Anggaran Belanja Pemerintah Daerah DKI Jakarta Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Miskin Kota". Pemilihan judul ini berkaitan dengan pembangunan ekonomi yang bermuara pada pembangunan manusia, yang menurut UNDP (United Nation Development Program) meliputi empat pilar utama yaitu: produktivitas, pemerataan, kesinambungan dan pemerataan.
Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Mohamad Husni Thamrin, Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) dan belakangan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) adalah bagian integral dari rangkaian program pemerintah dalam hal pemberdayaan masyarakat melawan kemiskinan.
Maraknya pendirian rumah di daerah bantaran kali sekitar kali Ciliwung, hunian padat penduduk di pinggiran rel kereta api wilayah Tanah Tinggi-Galur dan maraknya pedagang kaki lima beroperasi memakan bahu Jalan Pasar Minggu dan Tanah Abang adalah potret besarnya lonjakan urbanisasi yang lebih didominasi oleh perpindahan kemiskinan dari daerah buffer Jakarta. Pengalokasian anggaran belanja Pemda DKI Jakarta yang membawa dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menurunnya jumlah penduduk miskin di Ibu Kota Jakarta menjadi obyek penelitian, Apakah porsi anggaran belanja Pemda DKI bidang kesejahteraan rakyat sudah proporsional untuk menurunkan angka kemiskinan di Jakarta? Pelaksanaan program otonomi daerah dan besaran anggaran belanja Pemda menjadi tolak ukur keberhasilan dari upaya pengentasan kemiskinan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13231
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kholis Ridho
"Latar belakang penelitian ini bermula dari ketertarikan penulis terhadap hasil kajian dan temuan penelitian PIRAC (Public interest Research and Advocacy Center) dan PBB (Pusat Bahasa dan Budaya) UIN Jakarta tentang philanthropy (kedermawanan) masyarakat muslim di Indonesia. Hal yang menarik adalah bahwasanya, pertama, di tengah kondisi masa krisis yang sedang berlangsung di Indonesia, ternyata masyarakat Indonesia memiliki tingkat kedermawanan yang lebih tinggi di antara masyarakat dunia lainnya seperti Philipina, Thailand, India, Jepang, Amerika, Jerman dan Perancis. Kedua, budaya gotong royong dan ciri masyarakat yang agamis merupakan alasan umum yang menjadi faktor pendorong bagi kuatnya intensitas berderma pada masyarakat Indonesia. Ketiga, uniknya kendati rating of giving masyarakat Indonesia paling tinggi diantara negara-negara tersebut di atas, besaran nilai sedekah (rupiah) yang diberikan tidak berbanding lurus dengan tingginya intensitas berderma. Artinya, nilai sedekah (rupiah) yang diberikan masih cukup rendah dibanding Thailand, Philipina, Jerman, Perancis, Amerika, dan Jepang.
Menjawab latar belakang tersebut, penulis bermaksud menguji sejauhmna kondisi krisis tidak mempengaruhi aktivitas berderma pada masyarakat di Indonesia dan benarkah aspek alasan agama menjadi pendorong utama peritaku berderma masyarakat Indonesia. Dengan mengkerucutkan aspek filantropi yang akan dikaji, penulis membatasi. aspek kegiatan berderma (philanthropy) pada masyarakat muslim, yakni aktivitas zakat fitrah dan zakat mal dalam dua tahun terkahir.
Target awal wilayah penetitian adalah menguji wilayah DKI Jakarta sebagai lokasi pilihan penelitian -DM Jakarta adatah salah satu kota/sampel penelitian Pirac dan PBB UIN Jakarta. Sayangnya sehubungan keterbatasan dana dan waktu penelitian, penulis mengalihkan pilihan wilayah penelitian dari DKI Jakarta ke wiatayah Kec. Ciputat-Tangerang. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan survey, menggunakan metode penarikan sampel: multi stage random sampling, terdiri 5 kelurahan dari 13 kelurahan yang ada di Ciputat (40%), 10 RW, 10 RT, dan 100 KK/responden. Analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan perangkat statistik SPSS 10.01 meliputi tabulasi data dengan prosentase, frekuensi, median, range, modus, nilai minimum, nilai maksimum, cross-tabulasi, uji korelasi spearman's, serta uji korelasi parsial.
Pada prinsipnya intensitas aktivitas zakat (baca: perilaku) didorong oleh sikap keberagamaan dan nilai-nilai subyektif tentang kesejahteraan sosial dan keadilan sosial (Parsons:1951, Fishbein dan Ajzein:1980, 5arlito Wirawan: 2002) . Prinsip tersebut dapat dikukuhkan dengan teori unit voluntaristic Parsons', rasionalisasi weber, hukum pertukaran homans, dan filosofi interaksi simbolik Herbert Mead. Dalam pandangan Parsons nilai-nilai, ide atau sikap keberagamaan merupakan bagian dari proses internaliasi dan sosialisasi yang saling berintegrasi dengan situasi eksternal yang mempengaruhi perilaku aktor. Karena itu prinsip tindakan berzakat tidak saja untuk pemuasan kebutuhan emosional, penegasan identitas muslim, atau mencapai tujuan individual lainnya tetapi, juga untuk pemenuhan hubungan yang lebih universal, membina keeratan persahabatan/kekerabatan dan terutama keseimbangan untuk memberikan hak kemanusiaan berupa keadilan sosial bagi fakir miskin atau yang sedang jatuh miskin.
Temuan yang didapatkan dalam penelitian ini bahwasanya masyarakat Ciputat secara keseturuhan adalah masyarakat yang cukup agamis dan murah hati. Kondisi krisis atau pernyataan taraf ekonomi masyarakat yang rendah atau tinggi, ternyata tidak berpengaruh bagi intensitas aktivitas zakat fitrah dan zakat maal di Ciputat. Bagi masyarakat Ciputat penunaian zakat adalah kewajiban agama, tidak terkait dengan pajak dan peraturan pemerintah, bersifat kewenangan pribadi dan bukan merupakan bagian dari mekanisme pengelolaan zakat secara makro. Sekalipun muatan integrasi dalam penunaian zakat (zakat untuk keeratan hubungan antar sesama) cukup kentat sebagai motive atau orientasi tujuan penunai zakat, akan tetapi penerapan kontrol bagi wajib zakat yang lalai ternyata kurang diminati sebagai mekanisme pengelolaan zakat yang terbaik.
Alasan menunaikan zakat/sedekah bukan semata dipengaruhi oleh kapasitas sikap keberagamaan seorang muslim, tetapi juga dipengaruhi oleh penilaian subyektif tentang kontribusi zakat bagi kesejahteraan sosial. Karena itu tujuan penunaian zakat juga merupakan irisan motif dan nilai tentang zakat sebagai kewajiban agama (meningkatkan keimanan dan ketakwaan), zakat sebagai alat untuk mengurangi beban kemiskinan pihak yang kurang beruntung, zakat sebagai perekat keakraban antar umat, dan zakat sebagai penggerak perekonomian islam. Sejauh ini perilaku berzakat secara umum bersifat instrumental, yaitu untuk penunaian zakat secara formal-praktis. Namun tidak sedikit juga yang menunaikan zakat untuk kepuasan emosional dan untuk kepentingan moral/universal. Hal tersebut digerakkan dari peran serta "komunitas paguyuban masyarakat kota" seperti organisasi ketetanggaan (RT/RW), organisasi dewan masjid, organisasi kepemudaan muslim, organisasi penuajian/tahlilan dan lain sebagainya.
Adapun kendala pelaksanaan zakat dengan penataan dan pengelolaan yang optimal dalam penelitian ini ditemukan dua hal. Pertama, adalah lemahnya proses internalisasi nilai dan ide zakat yang berwawasan integral dengan pengawasan dan kontrol. Kedua, adalah kurangnya mekanisme kontrol itu sendiri, terutama dari pihak institusi pengelota zakat secara formal seperti BAZ dan LAZ, sehingga praktis pengelolaan zakat banyak tercecer dalam bentuk penyaluran secara individual dan perseorangan. Dua hal tersebut didukung oleh mandulnya Undang-undang No.38/1999 tentang pengelolaan zakat di Indonesia yang tidak bersifat operasional dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan mernaksa bagi subyek zakat yang lalai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14396
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
RH. Sudhartin
"ABSTRAK
Bahwa tenaga kerja rumah tangga yang kemudian disebut Pramuwisma adalah merupakan bagian penting dalam lingkungan bekerja di Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, perlu ditingkatkan harkat, martabat dan kesejahteraannya dalam rangka menunjang Pembangunan Nasional dibidang ketenagakerjaan.
Keberadaan dan hubungan kerja antara pramuwisma dan pengguna jasa mempunyai ciri khusus yang tidak bisa disamakan dengan ketentuan hubungan kerja yang selama ini diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mencapai maksud tersebut diatas Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta telah menerbitkan kebijaksanaan berupa Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 1993 tentang Pembinaan Kesejahteraan Pramuwisma di DKI Jakarta.
Dalam pelaksanaannya selama dua tahun melalui uji coba di 50 kelurahan di lima wilayah kotamadya, Kebijaksanaan Peraturan Daerah tersebut mendapatkan hambatan-hambatan antara lain: (1) Kegiatan pengadaan pramuwisma belum dilaksanakan. (2) Pembinaan pelatihan ketrampilan pramuwisma belum dilaksanakan dan tindakan kurang manusiawi terhadap pramuwisma semakin meningkat.
Menurut penulis masalah utamanya adalah terdapat beberapa ketetapan dari Kebijaksanaan Pemerintah Daerah tersebut, yang belum mengacu dan overlapping dengan aturan dan perundang-undangan serta kebijakan-kebijakan yang ada sehingga mempengaruhi pada implementasi kebijakan tersebut.
Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan analisis hirarki level. Data sekunder diperoleh melalui laporan-laporan, bukti-bukti, dan pustaka lainnya yang ada hubungannya dengan Kebijaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Pramuwisma, sedangkan data primer diperoleh melalui depth interview melalui badan usaha penyalur pramuwisma, pengguna jasa dan pramuwisma.
Temuan-temuan hasil penelitian dari Kebijakan Pembinaan Kesejahteraan Pramuwisma di DKI Jakarta (Perda No. 6 tahun 1993) dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Kebijakan Pembinaan Kesejahteraan Pramuwisma pada policy level:
1.1 Kebijakan Perda No. 6 thn 1993 Bab III pasal 3 yang menetapkan bahwa Badan Usaha dapat mengadakan tenaga kerja pramuwisma dari seluruh tanah air Republik Indonesia. Ketetapan ini belum mengacu atau overlapping dengan Instruksi Menteri Tenaga Kerja No. Inst.-06/Men/1984 yang menetapkan bahwa pengadaan tenaga kerja rumah tangga dapat diadakan dari Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur serta dilaksanakan oleh Kanwil Tenaga Kerja DKI Jakarta. Oleh karena itu pengadaan tenaga kerja pramuwisma belum dilaksanakan sebagaimana ketetapan Perda No. 6 tahun 1993.
1.2 Ketetapan kebijakan Gubernur KDKI Jakarta No. 1099 tahun 1994 pasal 2 ayat (d) tentang pelaksanaan pelatihan ketrampilan pramuwisma, overlapping dengan pasal 4 ayat (e) Perda No. 6 tahun 1993. Oleh karena itu ketetapan kebijakan pelatihan ketrampilan pramuwisma belum di implementasikan.
1.3 Kebijakan Perda No. 6 Tahun 1993 belum mengatur ketetapan hak-hak secara eksplisit bagi pramuwisma, pengguna jasa dan badan usaha sehingga yang ada hanya kewajiban masing-masing.
2. Kebijakan Pembinaan Kesejahteraan Pramuwisma pada organizational level.
2.1 Kebijakan Perda No. 6 tahun 1993 belum dilengkapi dengan organisasi pelaksana secara fungsional di tingkat propinsi maupun di tingkat wilayah kotamadya. Oleh karena itu kebijakan Perda tsb belum dapat diimplementasikan dengan efektif dan efisien .
2.2 Organisasi pengadaan dan peryalur pramuwisma sebagian besar (75%) belum berstatus Badan Usaha sebagaimana ketetapan Perda No. 6 tahun 1993. Oleh karena itu Pembinaan pada organisasi penyalur belum efektif.
3. Kebijaksanaan Pembinaan kesejahteraan pramuwisma pada operational level.
3.1 Implementasi kebijaksanaan Perda No. 6 tahun 1993 belum memperoleh hasil yang optimal karena masih terdapat kerancuan dalam ketetapan-ketetapannya. Kebijakan operasional tersebut tidak didukung dengan mekanisme organisasi pelaksanaan dan tahapan operasional.
3.2 Implementasi kebijakan Perda No. 6 tahun 1993 lebih mengutamakan pada pencapaian target retribusi pembinaan pramuwisma dan mengabaikan pentingnya dukungan partisipasi masyarakat serta kondisi lingkungan kerja antara pramuwisma dengan pengguna jasa dalam ikatan keluarga.
Berdasarkan temuan-temuan dari hasil penelitian diatas yang berkaitan dengan pembinaan kesejahteraan pramuwisma diperlukan adanya penyempurnaan pada setiap ketetapan yang tidak dapat diterapkan dan membawa dampak pada keberhasilan dalam implementasi kebijakan tersebut. Oleh karena itu perlu dikeluarkan atau diterbitkan suatu institutional arrangement baru sebagai penyempurnaan kebijakan Perda No. 6 tahun 1993, dan tidak merubah Perda tersebut secara keseluruhan karena membutuhkan waktu yang lama dan karena harus melalui persetujuan legislatif. Institutional arrangement baru tersebut dapat berupa Keputusan atau Instruksi Gubernur KDKI Jakarta, yang dilengkapi dengan organisasi dan tata laksana kerja yang jelas dan didalam implementasinya dilakukan melalui tahapan pembinaan yang didahului dengan memasyarakatkan kebijakan Perda tersebut yang menyentuh seluruh anggota masyarakat, melakukan pendataan dan pembinaan (pelatihan) setelah itu dilakukan penarikan retribusi pembinaan.
Daftar Pustaka: 21 buku, 4 himpunan data, 9 buku himpunan peraturan dan perundang-undangan serta berita koran.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fadly Ilhami
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari pembiayaan mikro yang diberikan oleh bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) terhadap Perkembangan Keuangan dan Kesejahteraan Ekonomi (pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan) di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data agregat pembiayaan BPRS dan BPR, simpanan perbankan, kredit perbankan, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan kemiskinan yang ada di 33 provinsi di Indonesia dalam rentang tahun 2011-2021. Metode yang digunakan adalah regresi panel data menggunakan model FEM (robust) untuk dua model (growth dan gini) dan model REM untuk tiga model (depbank, credbank, dan poverty). Hasil penelitiannya adalah rasio pembiayaan mikro BPR berpengaruh negatif pada rasio simpanan perbankan terhadap pendapatan daerah, rasio kredit perbankan terhadap pendapatan daerah, dan ketimpangan, serta tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Sementara itu, rasio pembiayaan BPRS berpengaruh positif pada rasio simpanan perbankan terhadap pendapatan daerah dan ketimpangan, memberikan dampak negatif terhadap kemiskinan, dan tidak signifikan mempengaruhi rasio kredit perbankan terhadap pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi. Diharapkan hasil ini dapat menjadi pertimbangan evaluasi dari pengaruh yang diberikan pembiayaan mikro oleh BPR dan BPRS yang ada di Indonesia.

This study aims to see the effect of micro financing provided by Rural Banks (BPR) and Islamic Rural Banks (BPRS) on financial development and economic welfare (economic growth, poverty, and inequality) in Indonesia. This study uses BPR and BPRS financing aggregate data, banking deposits, banking loans, economic growth, inequality and poverty in 33 provinces in Indonesia in the 2011-2021 range. The method used is data panel regression using a female FEM (Robust) for 2 models (growth and gini) and brake models for 3 models (depbank, credank, and poverty). The results of this research are the ratio of BPR micro financing negatively affect the ratio of banking deposits to regional income, banking credit ratios to regional income, and inequality, and does not significantly affect economic growth and poverty. Meanwhile, the BPRS financing ratio has a positive effect on the ratio of banking deposits to regional income and inequality, has a negative impact on poverty, and does not significantly affect the ratio of bank credit to regional income and economic growth. It is hoped that these results can be considered by the evaluation of the influence given by micro financing by BPRs and BPRS in Indonesia."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, 2010
339.46 AKS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suharmen
"abstrak
Hampir semua negara di dunia baik negara berkembang maupun negara maju melakukan intervensi terhadap komoditi bahan pangan. Namun besarnya intervensi Pemerintah pada komoditi pangan antara satu negara dengan negara lainnya sangat berbedabeda. Jepang misalnya memberikan proteksi yang besar bagi perlindungan petani dalam negeri. Sedangkan di Indonesia perlindungan terhadap komoditi beras juga dilakukan melalui instrumen kebijaksanaan Pemerintah dalam stabilasasi harga beras. Tujuan Pemerintah melakukan intervensi terhadap komoditi pangan di Indonesia adalah : (a) Melindungi atau meningkatkan pendapatan petani; (b) mengurangi ketidakstabilan harga dan pengendalian inflasi; dan (c) menjamin keseimbangan antara produksi dan konsumsi dalam negeri.
Intervensi Pemerintah terhadap komoditi beras adalah melalui mekanisme harga yang menurut meier (1991) digolongkan pada pendekatan productive state dimana peran Pemerintah ditujukan untuk memperbaiki kegagalan pasar dan bentuk intervensi tidaklah bersifat langsung tetapi melalui mekanisme harga, setelah pasar bekerja dengan normal maka intervensi Pemerintah akan ditarik kembali. Kebijaksanaan yang muncul didasarkan untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Intervensi melalui mekanisme harga dilakukan dengan mempengaruhi tingkat harga di pasar. Pola pelaksanaan intervensi tersebut adalah dengan cara : (a) membeli beras produsen pada saat terjadinya musim panen dan menyimpannya menjadi buffer stole atau melakukan pengadaan beras melalui impor apabila tingkat produksi petani tidak bisa menutupi kekurangan konsumsi dan (b) melepaskan sick cadangannya pada saat terjadinya musim kemarau (kelangkaan beras).
Dalam rangka pengadaan beras baik pengadaan dalam negeri maupun melalui impor, Bulog memperoleh fasilitas kredit dengan tingkat suku bunga yang rendah (dibawah harga pasar), selisih
tingkat suku bunga kredit yang diterima tersebut mencerminkan subsidi Pemerintah untuk komoditi beras, disamping subsidi lainnya seperti pelaksanaan operasi pasar.
Besarnya stok cadangan beras komoditi beras yang dimiliki Bulog mencerminkan besarnya pinjaman yang diterima Bulog dalam dari Pemerintah. Semakin besar stok cadangan yang dimiliki Bulog maka semakin besar pula pinjaman yang disalurkan kepada Bulog. Besarnya anggaran yang disalurkan melalui Bulog dalam rangka menstabilkan harga beras mengakibatkan adanya kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya yang tertunda atau bahkan tidak dapat dibelanjai atau dikurangi dari anggaran Pemerintah yang juga memiliki dampak sosial yang luas terhadap masyarakat, seperti pembangunan Puskesmas, pembangunan sekolah dasar, dan lain sebagainya.
Hasil Analisa
Analisa dilakukan dengan dua cara yaitu analisa kualitatif dan analisa kuantitatif. Analisa kualitatif, menggambaran secara deskriptif tentang profil komoditi beras, sedangkan analisa kuantitatif, mengitung besaran subsidi yang disalurkan Pemerintah dan membandingkan hasil perhitungan subsidi tersebut dengan kegiatan lain yang juga memiliki dampak sosial terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pola intervensi yang dilakukan Bulog, oleh banyak pihak dikatakan telah berhasil salah satunya dibuktikan melalui penelitian Peter Tirner dalam syahrir (1992), seorang pakar ekonomi pembangunan mengatakan bahwa Bulog adalah salah satu contoh institusi yang berhasil melakukan intervensi Pemerintah terhadap komoditi pangan di Indonesia. Pola intervensi yang dilakukan oleh Bulog pada komoditi beras mengakibatkan telah menguntungkan semua pihak baik itu petani, masyarakat dan Pemerintah.
Namun demikian sebagai dampak dari keberhasilan tersebut muncul berbagai persoalan baru (baik itu dampak dari subsidi maupun perubahan-perubahan yang terjadi dalam negeri dimasang datang, seperti pada konsumsi, beras hampir dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat, suplai beras dijamin oleh Pemerintah sampai pada daerah-daerah terpencil dan dengan harga yang relatif murah dan terjangkau. Akibatnya mendudukan posisi beras pada kelangkaan yang semu. Kondisi tersebut merupakan disinsentif.bagi
keanekaragaman bahan makanan atau diversifikasi bahan pangan di Indonesia. Akibat lainnya adalah mendudukan beras menjadi komoditi yang "strategis" sehingga ketergantungan mayarakat terhadap beras semakin tinggi.
Indonesia atau negara berkembang lainnya yang sebagian besar masyarakatnya mengkonsumsi beras. Dengan kondisi "krismon" seperti sekarang ini, sebagian masyarakat lebih cenderung melakukan hal apa saja untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya dengan cara melakukan pencurian, penjarahan, perampokan dan kerusuhan sosial lainnya. Kondisi demikian dibuktikan melalui penelitian Timmer tahun 1996 yang secara empirik menyimpulkan bahwa tidak ada satu negarapun yang dapat mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah pangannya dalam arti keamanan pangan.
Menurut penelitian LPEM-Ul tahun 1999, masalah ketahanan pangan nasional seiama ini sebenarnya hanya bertumpu kepada Bulog dengan dukungan kemudahan impor. Ketika nilai Rupiah melemah pada tingkat yang sangat parah, sisi ketahanan pangan yang didukung oleh impor tersebut terguncang hebat. Nilai kurs rupiah terhadap dollar sebelum krisis telah menyembunyikan kelemahan fundamental di sektor pertanian padi dengan adanya tekanan produksi.
Pertanyaan yang sangat penting yang perlu dipikirkan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan dengan cara yang sebaik-baiknya bagi penduduk Indonesia dan bagaimana bentuk kebijaksanaan yang rasional secara ekonomi dan optimal bagi kebutuhan masyarakat Indonesia. Untuk dapat menjawab pertanyaan diatas beberapa cara telah pernah dilakukan oleh Pemerintah, salah satunya melalui program swasembada pangan. Program swasembada pangan merupakan sasaran yang secara konsisten harus tetap diupayakan, agar kebutuhan pangan secara nasional dapat terpenuhi dengan tingkat harga yang dapat dipertahankan dan relatif stabil. Untuk mendukung kebijakan swasembada pangan tersebut maka teknologi harus secara terus menerus dihasilkan dan dikembangkan serta disebarluaskan kepada petani agar swasembada pangan dapat tercapai. Disamping itu sumber daya manusia di bidang pertanian perlu ditingkatkan agar teknologi tersebut dapat diserap dan diterapkan dengan baik oleh
petani. Penyediaan dan penyebaran teknologi produksi dan pemasaran yang lancar dan berkelanjutan merupakan prasarat bagi kelanjutan pembangunan di sektor pertanian. Alternatif Iainnya adalah diversifikasi bahan makanan kebutuhan pokok perlu diinformasikan secara baik dan benar sehingga ketergantungan terhadap satu bahan makanan pokok (beras) tidak terjadi. Diversifikasi dan pengembangan komoditi pangan di luar beras diperlukan agar ekonomi perdesaan tetap merupakan sumber pertumbuhan yang kuat dan dapat menampung pertambahan tenaga kerja baru.
Selanjutnya di masa mendatang kebijaksanaan harga dasar diharapkan dapat berubah intensitasnya sebagai akibat dari makin meningkatnya penghasilan masyarakat, yaitu pada saat pengeluaran masyarakat untuk konsumsi beras menjadi bagian yang relatif kecil dari seluruh pengeluaran rumah tangganya, maka pada kondisi demikian diharapkan fluktuasi harga beras tidak lagi mempengaruhi pengeluaran penduduk dan selanjutnya beras akan berubah fungsi dengan tidak lagi menjadi komoditi yang "strategic". Kebijaksanaan stabilisasi harga beraspun akan mengalami perubahan yang tentu saja termasuk kelembagaan Bulog.
Perspektif mengenai kebijaksanaan harga seperti ini penting diperhatikan karena upaya untuk menstabilkan harga selalu menimbulkan biaya yang tidak kecil dan biaya tersebut adalah biaya riil dengan mengorbankan kegiatan-kegiatan pembangunan Iainnya. Karenanya dalam jangka panjang harus dibuka kemungkinankemungkinan untuk memperlonggar sasaran untuk menstabilkan harga pangan terutama apabila tingkat penghasilan konsumen sudah cukup tinggi. Dengan demikian dana yang tadinya dialokasikan untuk subsidi beras dapat dimanfaatkan ke sektor Iainnya seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Perkembangan beberapa negara sosialis memberikan isyarat akan adanya perubahan besar-besaran tentang peran Pemerintah dalam rnembangun perekonomian negara dan bangsa. Kebijaksanaan harus diarahkan untuk mendorong sistem dan lembaga-lembaga pasar berkembang dan dapat bekerja dengan Iebih efisien. Sehingga kemampuan dan efisiensi lembaga-lembaga pasar dalam melaksanakan fungsi ekonominya akan mengalami peningkatan.
Indonesia yang secara geografis memiliki wilayah yang luas serta dengan perkembangan dinamika masyarakat yang berbeda dan adanya kesenjangan ekonomi, sosial serta kesenjangan antar daerah mengakibatkan penentuan kebijaksanaan yang tepat secara nasional akan menjadi sulit. Karenanya sejalan dengan konsep otonomi daerah maka upaya untuk meminimalisasi kesulitan dalam penerapan kebijaksanaan pangan dapat didistribusikan kepada daerah. Sehingga diharapkan daerah akan dapat menerapkan kebijaksanaan pangan untuk daerahnya sendiri. Pemberian wewenang yang kuat kepada daerah dalam menentukan arah kebijaksanaan pangan perlu lebih didukung secara lebih serius dengan prinsip tidak bertentangan atau justru menghambat akan terbentuknya lembaga ekonomi berbasiskan mekanisme pasar di daerah.
Implikasi Kebijakan
Pemberian subsidi beras melalui kebijaksanaan harga dasar dalam menghadapi perubahan makroekonomi dan globalisasi akan mempengaruhi peranan Bulog masa yang akan datang. Pengaruh tersebut adalah :
n Pertama, tekanan terhadap anggaran Pemerintah (rutin dan pembangunan) dimasa datang semakin kuat sehingga kemampuan Pemerintah dalam membiayai subsidi dan biaya operasional lainnya makin melemah.
n Kedua, dengan Undang Undang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, maka Pemberian wewenang penuh pada daerah untuk menentukan nasibnya sendiri harus pertimbangan. Sehingga perlu restrukturisasi dan redefenisi kelembagaan Bulog. Sejalan dengan itu, harus dilakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah.
? Ketiga, pada keadaan normal diharapkan terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat dari beras kepada bahan pangan substitusi Iainnya seperti jagung, gandum, sagu, kentang dan lain-lain yang menyebabkan kebutuhan relatif akan pangan (beras) akan berkurang.
? Keempat, tekanan terhadap kebutuhan akan deregulasi makin deras, meskipun dirasakan benturan terhadap kepentingan berbagai kelompok yang telah menikmati rente ekonomi. Sehingga upaya ke arah penciptaan sistem ekonomi yang berbasiskan mekanisme pasar perlu diciptakan, dan didorong ke arah itu.
Dari keempat point diatas, perubahan terhadap fungsi dan peranan Bulog dapat dilakukan secara sporadis dan bertahap. Pada tahap awal, larangan terhadap monopoli impor beras dicabut (monopoli Bulog terhadap komoditi beras) dan sektor swasta diberikan kesempatan untuk melakukannya secara transparan, sehingga tercipta persaingan yang sehat dalam perekonomian.
Dengan demikian ada tiga alternatif kebijaksanaan yang dapat disarankan. Setiap alternatif kebijaksanaan tentu saja mempunyai dampak konsekuensi yang dihadapi, diantaranya :
n Alternatif kebijaksanaan pertama adalah tetap mempertahankan kebijaksanaan pengaturan harga komoditi beras yang dimonopoli oleh Bulog dengan konsekuensi biaya subsidi yang basal..
? Alternatif kebijaksanaan kedua adalah dengan menerapkan deregulasi penuh (full deregulation) yaitu membebaskan dan menghapus pengaturan harga (price control).
n Alternatif kebijaksanaan ketiga adalah deregulasi parsial yaitu mengurangi hambatan entry (barrier to entry) dengan menetapkan standar entry. Pengaturan harga masih tetap diperlukan dengan memberi batasan (range) tertentu atas harga, dan memberi peluang kepada entrant untuk menjual pada batasan harga tersebut. Upaya sungguh-sungguh diperlukan untuk menciptakan kelembagaan yang berbasiskan pada mekanisme pasar.
Dari ketiga alternatif kebijaksanaan diatas sesuai dengan pendekatan regulasi, perlu diperhatikan juga alternatif kebijaksanaan persaingan yang menyangkut dua hal, yaitu :
n Pertama, pengaturan terhadap tindakan-tindakan pelaku usaha
dalam kegiatan usahanya, dan
? Kedua, kebijaksanaan untuk mendorong terciptanya iklim persaingan dalam perekonomian yang mengacu pada konsep mekanisme pasar.
Untuk yang pertama harus di atasi dengan suatu Undang-undang Persaingan Sehat atau Undang-Undang Antimonopoli, sedangkan untuk yang kedua lebih pada deregulasi dan liberalisasi perdagangan internasional. Untuk menciptakan Iingkungan yang Iebih kondusif bagi persaingan yang sehat maka kebijaksanaan persaingan yang menangani keduanya secara komprehensif harus diperkenalkan. Tanpa menangani masalah tadi secara komprehensif hanya akan menyelesaikan sebagian dari permasalahan dan tidak akan efektif untuk menciptakan suatu struktur pasar yang efisien.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinar Dana Kharisma
"Kemiskinan merupakan masalah yang tidak kunjung usai namun tetaplah harus diatasi. Indonesia juga tidak terlepas dari masalah ini, dimana setiap tahunnya sekitar 30 juta penduduk Indonesia miskin. Banyak faktor yang berpengaruh di belakang semua itu, faktor-faktor tersebut mendorong untuk menjadi miskin atau sebaliknya: sejahtera. Adalah suatu hal yang menarik untuk membahas faktor-faktor tersebut dan karena itulah penelitian ini mengangkat topik tersebut. Penelitian ini dilandasi oleh temuan empiris Lawson, McKay dan Okidi mengenai faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Uganda. Mereka menemukan berbagai faktor seperti karakteristik umum rumah tangga, modal manusia (pendidikan), dan modal fisik yang biasanya berupa aset, yang ternyata berpengaruh pada kondisi kesejahteraan rumah tangga di Uganda. Selain itu teori modal sebagai ?penyebab kesejahteraan? yang dikembangkan David Piachaud juga kemudian melengkapi landasan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan analisa kemiskinan dinamis, yang disertai pengolahan data dengan perangkat statistik dan ekonometrika sebagai metodenya. Analisa kemiskinan dinamis itu sendiri membutuhkan ketersediaan data panel yang menampilkan informasi dari sumber yang sama pada setiap waktunya. Sehingga digunakanlah data panel IFLS 1997 dan 2000 (Indonesia Family Life Survey, bersumber dari RAND) yang menyediakan informasi panel terbaru dari sampel rumah tangga yang mewakili sekitar 83 % penduduk Indonesia. Sebagai hasil dari penelitian ini penulis menemukan bahwa sebagian besar faktor berpengaruh terhadap kesejahteraan rumah tangga di Indonesia. Jumlah anggota rumah tangga yang besar dan status janda yang disandang kepala rumah tangga akan mengurangi kesejahteraan dan mendorong mereka menjadi miskin. Pendidikan, terutama setingkat SMA atau lebih sangat berpengaruh mengangkat rumah tangga miskin menjadi sejahtera, sama halnya dengan keterlibatan rumah tangga dalam suatu usaha terutama bisnis non pertanian. Kemudian aset fisik, hanya aset yang berdaya guna tinggi dan cukup likuid yang mampu menjadi penyebab kesejahteraan rumah tangga Indonesia, seperti halnya kendaraan, perhiasan, dan keuangan. Beberapa temuan menarik lain juga berhasil didapatkan seperti eksisnya value of children bagi orang miskin dan betapa rumah tangga miskin lebih sulit untuk mencapai kesejahteraan karena keterbatasan akses terhadap pendidikan, pasar, maupun kesempatan kerja. Penelitian ini kemudian berakhir pada kesimpulan: pendidikan sebagai faktor penentu utama kesejahteraan. Karena dengan terpenuhinya pendidikan, akses pada ?penyebab kesejahteraan? lain dengan sendirinya akan terbuka."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>