Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92006 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marina Puspadewi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S2879
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Triwardani
"Salah satu faktor situasional yang mempengaruhi perilaku anak belajar adalah lingkungan keluarga dan pola asuhnya. Baumrind (dalam Berk, 1994) menjabarkan teori mengenai dua dimensi dalam pola asuh, yaitu: demandingness dan responsiveness, kombinasl dua jenis dimensi ini, dapat menjadi empat jenIs pola asuh, namun jenis yang terakhir tidak dibahas dalam penelitian ini karena pola asuh jenis tersebut (uninvolved) jarang diterapkan oleh orang tua, Ketiga jenis pola asuh, yaitu; pola asuh authoritative, pola asuh authoritarian, dan pola asuh permissive. Orang tua yang menerapkan pola asuh authon'tative memiliki karakteristik: cenderung menuntut anak (demanding), namun menyeimbangkan dengan perhatian akan kebutuhan anak (responsive).
Penerapan pola asuh authoritarian, akan membuat orang tua cenderung menuntut anak (demanding), tanpa anak boleh mempertanyakan dan menolak kemauan orang tua, sedang kebutuhan anak tidak diperhatikan orang tua (unresponsive). Sedang jenis pola asuh permissive memiliki ciri: kontrol terhadap anak sangat lemah (undemanding), dan orang tua tidak memperhatikan kebutuhan anak (unresponsive).
Perilaku belajar juga dipengaruhi oleh goal orientation. Teori mengenai goal orientation yang dikemukakan oleh Meece, Blumenfeld & Hoyle (1998) menjabarkan orientasi siswa dalam bentuk seperangkat intensi perilaku yang menentukan bagaimana siswa terlibat dalam proses belajar. Teori ini dibagi ke dalam 2 bagian besar, yaitu: mastery orientation (Ames & Acher. 1988 dalam Solmon, 1996), dan performance orientation (Dweck & Leggett, 1988; Elliot & â–¡week, 1988, dalam Solmon, 1996). Siswa yang mengacu pada mastery orientation akan mementingkan proses belajar, penguasaan materi, menggunakan strategi belajar untuk mengatasi tugas yang sulit dan hasil akhir akan dibandingkan dengan hasil diri sendiri di masa lalu. Sedang siswa yang menerapkan performance orientation, akan menitikberatkan pada hasil pembelajaran, yaitu hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan orang lain, tidak mau dianggap tidak mampu oleh penilaian eksternal, dan menerapkan strategi belajar yang dangkal.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara persepsi siswa terhadap pola asuh orang tua dengan goal orientation siswa, Penelitianpenelitian, antara lain penelitian Steinberg et al, (1992) menemukan bahwa orang tua authoritative berdampak positif dalam memacu prestasi remaja di sekolah. Penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel siswa SMP St. Antonius, diperoleh hasil penelitian: ada hubungan antara pola asuh authoritBtive berhubungan positif signifikan dengan mastery orientation (r= 0,495 p<0,05), pola asuh authoritarian berhubungan positif dan signifikan dengan mastery orientation (r=0,219 p<0,05), dan pola asuh permissive berhubungan positif signifikan dengan performance orientation (p=0,301 p<0,05).
Dari hasil perhitungan statistik, dapat disimpulkan bahwa siswa yang mempersepsikan poia asuh orang tua adalah authoritative, maka goal ohentationnya mengarah pada mastery orientation. Siswa dengan pola asuh authoritarian menginternalisasi keinginan orang tua ke dalam dlrinya, sehingga siswa memiliki goai ohentation mengarah pada mastery orientation. Sedang siswa yang mempersepsi pola asuh yang diterima adalah permissive, akan memiliki goal orientation mengarah pada performance orientation.
Hubungan yang semula dihipotesakan dan ditolak adalah: adanya hubungan yang negatif dan signifikan antara pola asuh authoritative dengan performance orientation, hubungan yang negatif dan signifikan antara pola asuh authon'tarian dengan performance orientation, dan hubungan yang negatif dan signifikan antara pola asuh permissive dengan mastery orientation. Ditoiaknya hipotesis mungkin disebabkan sampel yang homogen (berasal hanya dari satu sekolah saja), instrumen yang kalimatnya membingungkan subyek dalam menjawab (waiau sudah diperbaiki, mungkin saja kaiimat tetap sulit dimengerti subyek). pada saat pengambilan data peneliti tidak dapat mendampingi subyek dalam mengisi kuesioner sehingga tidak memungkinkan subyek bertanya dan meminta penjeiasan pada peneliti.
Kesimpulan ini dibahas dalam diskusi dan diikuti oleh saran-saran: pengambilan data dilakukan di berbagai sekolah (swasta dan negeri) agar variasi data lebih kaya, penyusunan kaiimat dalam item alat ukur diperhatikan lagi keringkasan dan kejelasannya agar tidak menyulitkan subyek dalam menjawab, dan peneliti sebaiknya hadir dan mendampingi subyek dalam menjawab kueisoner, agar pertanyaan subyek mengenai kuesioner dapat langsung dijawab."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2787
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Haradeani
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2547
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Risky Dwi Nugroho
"Tahap perkembangan penalaran moral pascakonvensional seharusnya sudah bisa dicapai seseorang saat usia remaja. Meski demikian, laju perkembangan moral setiap individu berbeda-beda. Tujuan penelitian ini adalah melihat hubungan perkembangan penalaran moral dengan asal sekolah, pengasuhan orang tua, dan iklim sekolah. Penelitian ini dilakukan pada 233 siswa sekolah SMA/sederajat di Jakarta yang terdiri dari 3 sekolah agama dan 2 sekolah umum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara adalah penalaran moral dengan asal sekolah, pengasuhan orang tua, dan iklim sekolah. Selain itu diperoleh hasil tambahan bahwa penalaran moral laki-laki dan perempuan tidak berbeda

Post-conventional moral reasoning development stage should have been reached at the age of adolescence. However, the rate of moral development of each person remain different. The purpose of this study is to see the development of moral reasoning relationship with the school origins, parenting, and school climate. This study was conducted on 233 high school students in Jakarta consisting of three religious schools and 2 public schools. The results show that there is a relationship between moral reasoning with the school origins, parenting, and school climate. Also obtain additional results that moral reasoning of men and women is not different."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56985
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Zainuddin
"Perkembangan penalaran moral ditentukan oleh banyak faktor antara lain faktor lingkungan keluarga dan sekolah. Dalam lingkungan keluarga, proses pengasuhan khususnya ayah berperan dalam perkembangan penalaran moral remaja. Begitu juga dalam lingkungan sekolah, teman sebaya memiliki andil yang cukup berarti. Berkaitan dengan peran orangtua, secara tradisional pengasuhan dalam arti mendidik dan membesarkan anak lebih dibebankan kepada ibu. Peran ayah lebih dikaitkan dengan peran sehagai pendukung ekonomi yang membutuhkan keterampilan intelektual (Phares, 1996) sehingga keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak tidak mendalam. Sesuai dengan perkembangan zaman jumlah wanita yang bekerja meningkat, ayah pun mulai dituntut untuk terlibat dalam pengasuhan anak.
Penelitian ini mengenai perkembangan penalaran moral remaja dikaitkan dengan peran ayah dan peran teman sebaya. Tujuan penelitian ini adalah (1) membuktikan apakah ayah berperan dalam pencapaian tahap penalaran moral remaja (2) membuktikan apakah teman sebaya berperan dalam pencapaian tahap penalaran moral remaja dan (3) membuktikan apakah ayah dan teman sebaya secara bersama-sama berperan dalam pencapaian tahap penalaran moral remaja.
Sampel penelitian ini adalah 160 siswa SMA Lab. School Rawamangun Jakarta kelas II tahun ajaran 2004/2005. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner persepsi remaja terhadap peran ayah yang disusun berdasarkan dimensi pengasuhan yang dikembangkan oleh Barber. Alat ukur lain adalah kuesioner persepsi remaja terhadap peran teman sebaya berdasarkan dimensi kelekatan remaja dengan teman sebaya dari Armsden & Greensberg. Untuk mengukur tahap penalaran moral remaja digunakan Defining Issues Test (DIT) yang dikembangkan oleh Rest. Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis korelasi dan regresi.
Hasil penelitian menunjukkan ballwa peran ayah dan peran teman sebaya menunjukkan tidak ada hubungannya dengan perkembangan penalaran moral remaja. Hasil penelitian tidak sesuai dengan teori mungkin disebabkan peran ayah khususnya di Indonesia memang tidak sebesar di negara Barat, walaupun ayah ikut terlibat dalam kegiatan rumah tangga namun umumnya masih berpegang pada norma-norma mengenai pembagian kerja. Selain itu alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Meskipun demikian, orangtua terutama ayah perlu juga memperhatikan hal seperti yang dikatakan dalam berbagai tinjauan teoritis bahwa ayah yang berperan aktif dalam pengasuhan remaja akan mengurangi terjadinya ketimpangan dalam pertumbuhan remaja tersebut khususnya perkembangan penalaran moral.
Saran utama yang diajukan sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perkembangan penalaran moral remaja agar didapatkan gambaran faktor-faktor lain yang ikut memberikan kontribusi. Saran juga ditujukan kepada keluarga, sekolah, dan praktisi pendidikan sehingga memiliki gambaran dalam rangka melakukan pembinanan terhadap moral remaja."
2005
T18600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnanti fajariani
"Keberhasilan seseorang dalam pendidikan dipengaruhi salah satunya melalui motivasi seseorang dalam mengikuti kegiatan pendidikan. Motivasi ini bisa berupa keinginan untuk bisa memahami dan mengerti pelajaran yang diberikan, yang sering disebut dengan task-involved goal, dan bisa juga bernpa keinginan untuk tampil baik dan mendapatkan penghargaan dari orang lain, yang disebut juga dengan ego-involved goal. Motivasi ini muncul pula dalam kegiatan pendidikan nonformal yang salah satunya berupa kursus mental aritmatika. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya salah satu dari motivasi di atas, salah satunya adalah faktor pola asuh orangtua. Maka diadakanlah penelitian ini untuk melihat apakah ada hubungan antara jenis orientasi tujuan akademik peserta kursus sempoa dengan persepsi mereka terhadap pola asuh yang mereka terima dan hendak diteliti pula pola asuh mana yang lebih erat hubungannya dengan salah satu motivasi yang dimiliki peserta kursus sempoa.
Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan 2 kuesioner yang mengukur orientasi tujuan dan persepsi terhadap pola asuh orangtua. Teknik pengambilan sampel adalah accidental sampling. Jumlah subyek 34 orang dengan rentang usia 6-12 tahun yang semuanya adalah peserta kursus Yayasan Aritmatika Indonesia cabang Plumpang. Setelah semua data didapat dilakukan uji homogenitas item. Uji hipotesa lalu dilakukan menggunakan item-item yang dipertahankan yang berupa item-item dari kuesioner yang akan menaikkan reliabilitas bila dihilangkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ego-involved memiliki hubungan yang positif dengan persepsi terhadap pola asuh autoritarian pada peserta kursus sempoa. Sementara task-involved tidak memiliki hubungan yang positif dengan persepsi terhadap pola asuh autoritatif dan permisif pada peserta kursus sempoa.
Bisa disimpulkan lebih lanjut bahwa persepsi terhadap pola asuh jenis apapun akan berhubungan secara positif dengan ego-involved goal dan task-involved goal tidak berhubungan secara positif dengan persepsi terhadap satu jenis pola asuh pun pada peserta kursus mental aritmatika. Disarankan kepada orangtua untuk lebih memahami kebutuhan anaknya akan pendidikan nonformal, dalam hal ini kursus mental aritmatika, jangan menuntut mereka terlalu banyak. Hal ini dikarenakan anak akan memunculkan ego-involved goal sehingga pemahaman mereka tentang hal yang diajarkan menjadi dangkal dan uang yang dikeluarkan akan menjadi sia-sia.
Disarankan pula kepada tempat kursus untuk menciptkan iklim kelas yang memunculkan task-involved goal. Akan tetapi hasil ini hanya spesifik pada sampel penelitian ini saja dan untuk generalisasi membutuhkan jumlah sampel yang lebih besar dengan rentang usia yang lebih spesifik atau lebih seimbang. Selain itu, perlu diadakan perbaikan pada kuesioner yang diberikan, seperti pemilihan kata yang lebih tepat dan lebih mudah dipahami oleh subyek."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3023
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Ceti Prameswari, suthor
"Kegemukan pada wanita merupakan salaii satu masaiah yang berhubungan dengan penampilan fisik, karena seiain mengganggu kesehatan, kegemukan juga dapat mengurangi daya tank fisik seseorang. Menurut Unger dan Crawford (1992), wanita cenderung dinilai berdasarkan penampilan fisiknya dan faktor tersebut dijadikan kriteria penting dalam memilih pasangan, terutama oleh kaum pria. Kondisi tersebut seolah-olah menutup kemungkinan bagi wanita gemuk untuk mendapatkan perhatian dan dipilih pria menjadi pasangannya. Namun berdasarkan pengamatan dan wawancara awal terhadap beberapa wanita gemuk diketahui bahwa ternyata tidak sedikit wanita gemuk yang dipilih pria sebagai pasangan.
Dengan latar belakang tersebut disusun suatu penelitian untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dengan kecenderungan memilih pasangan. Dalam penelitian ini digunakan alat ukur berupa dua buah kuesioner, untuk mengukur persepsi terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dan kecenderungan memilih wanita gemuk sebagai pasangan. Subyek penelitian terdiri dari 52 pria lajang, berusia antara 25 sampai 33 tahun, berpendidikan minimal SMU, bekerja dan berdomisili di Jakarta. Metode analisa masaiah utama berupa penghitungan korelasi dengan rumus Pearson Product Moment dan dari hasil penghitungan diperoleh nilai r sebesar 0,3168 dengan p<0,05.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dengan kecenderungan memilih pasangan. ini berarti subyek yang tidak menilai bentuk tubuh wanita gemuk sebagai sesuatu yang negatif, tidak berkeberatan memilih wanita gemuk sebagai pasangannya. Sebaliknya, subyek yang menilai bentuk tubuh wanita gemuk sebagai sesuatu yang negatif cenderung tidak mau memilih wanita gemuk sebagai pasangannya. Pada pengukuran persepsi pria terhadap bentuk tubuh wanita gemuk tidak ditemukan perbedaan frekuensi yang signifikan antara subyek yang mempersepsi wanita gemuk secara positif dan subyek yang mempersepsi wanita gemuk secara negatif.
Hasil lain yang juga diperoleh yaitu adanya perbedaan mean yang signifikan antara persepsi pria terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dan persepsi pria terhadap bentuk tubuh wanita langsing. Kemudian diketahui juga bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara frekuensi subyek yang cenderung mau memilih dan frekuensi subyek yang cenderung tidak mau memilih wanita gemuk sebagai pasangannya.
Dari hasil-hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum pria cenderung lebih menyukai wanita bertubuh langsing daripada wanita gemuk. Namun secara kualitatif diketahui bahwa tidak sedikit pria yang mempersepsi wanita gemuk secara positif dan mau memilih wanita gemuk sebagai pasangannya. Untuk menambah bobot penelitian ini masih diperlukan pendekatan kualitatif berupa wawancara mendaiam terhadap beberapa subyek."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2615
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mellia Christia
"Masa remaja dapat dikarakteristikkan sebagai masa timbulnya tingkah laku beresiko, yaitu tingkah laku yang berpotensi untuk menimbulkan bahaya atau akibat yang fatal (Gullone et al, 2000). Resiko yang ditimbulkan oleh tingkah laku tersebut dapat bennacam-macam, misalnya gangguan keseliatan, fisik maupun psikologis, menurunnya nilai-nilai pelajaran di sekolah, dijauhi teman-teman, sampai yang paling parah adalah kematian. Berbagai resiko yang mengikuti suatu tingkah laku tersebut, tampaknya tidak mempengaruhi keterlibatan remaja dalam tingkah beresiko. Karena selain dari resiko negatif yang ada, hadir pula resiko positif yang seakan-akan menutupi resiko negatifnya, misalnya dapat diterima oleh kelompok, meningkatkan rasa percaya diri dan keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu. Oleh karena itulah dalam penelitian ini akan diteliti tentang hubungan antara persepsi terhadap resiko tingkah laku dengan keterlibatan remaja dalam tingkah laku beresiko. Selain itu akan diteliti pula perbedaan antara remaja putri dan putra dalam mempersepsikan resiko tingkah laku dan keterlibatan mereka dalam tingkah laku beresiko. Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan 2 kuesioner yang mengukur persepsi terhadap resiko tingkah laku dan keterlibatan dalam tingkah laku beresiko. Teknik pengambilan sampel adalah purposeful sampling. Jumlah subyek 75 orang dengan rentang usia 16-18 tahun yang semuanya berasal dari bimbingan belajar BTA SMU 8 Jakarta. Setelah semua data didapat dilakukan uji homogenitas item dan dilanjutkan dengan uji hipotesa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap resiko tingkah laku dengan keterlibatan dalam tingkah laku beresiko secara umum dan pada remaja putri. Sedangkan pada remaja putra tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap resiko tingkah laku dengan keterlibatan dalam tingkah laku beresiko. Kemudian ada perbedaan yang signifikan antara remaja putra dan putri dalam keterlibatan pada tingkah laku beresiko dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara remaja putra dan putri dalam hal persepsi terhadap resiko tingkah laku. Selain itu, secara umum terdapat hubungan antara persepsi terhadap resiko tingkah laku dengan keterlibatan remaja dalam tingkah laku beresiko.
Dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap resiko dapat berhubungan dengan keterlibatan dalam tingkah laku beresiko pada remaja secara umum. Selain itu ada perbedaan antara remaja putra dan putri dalam hal keterlibatan pada tingkah laku beresiko. Disarankan pada orangtua untuk lebih memberikan informasi yang tepat tentang suatu tingkah laku, selain lebih banyak diberikan perhatian dan kasih sayang. Karena remaja yang dekat dengan keluarga, biasanya tidak memiliki keinginan yang besar untuk melakukan tingkah laku beresiko. Di samping itu lingkungan sekolah juga diharapkan dapat memberikan informasi yang tepat kepada para remaja dalam bentuk penyuluhan maupun secara ilmiah dalam kegiatan belajar di kelas. Sedangkan bagi para remaja sendiri, agar keinginan untuk mencoba hal-hal baru dapat tersalurkan, maka mengikuti kegiatan yang positif, misalnya kegiatan ekstra kurikuler , olahraga atau organisasi remaja, merupakan salah satu cara penyalurannya. Akan tetapi hasil ini hanya spesifik pada sampel penelitian ini saja dan untuk dapat memberi gambaran tentang tingkah laku beresiko pada remaja di Indonesia dibutuhkan sampel yang le'oih besar dan berasal dari daerah di luar Jakarta."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3040
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>