Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72850 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nji Raden Poespawati
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rinaldy Dalimi
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Sudibyo S.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Sudibyo S.
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Insan Meidiansyah
"Arus inrush merupakan salah satu fenomena yang terjadi pada sistem tenaga listrik khusunya pada transformator. Arus ini dapat menyebabkan kesalahan kerja proteksi pada sistem sehingga akan mengganggu keandalan sistem tenaga listrik. Arus inrush berbeda dari arus gangguan, dimana arus inrush hanya terjadi oleh beberapa kasus saja, dan yang paling banyak terjadi yaitu saat inti transformator pertama kali di beri energi. Besarnya arus inrush dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satu hal yang dapat memberikan pengaruh tersebut adalah variasi beban yang dihubungkan pada transformator sekunder. Selain pada transformator arus inrush juga dapat terjadi pada beban rumah tangga, arus ini dapat mengganggu kerja dari sirkuit breaker pada instalasi listrik rumah tangga. Besar arus inrush yang terjadi pada beban rumah tangga juga dipengaruhi oleh sifat beban itu sendiri.

Inrush current is one of the phenomena that occur on the power system especially on the transformer. This current can cause errors in the protection system so that it will disturb the reliability of power system. Inrush current is different from fault current, where inrush current occur in a few cases only, and it happen mostly when the transformer energized. Magnetizing inrush current magnitude can be affected by several things, one of the things is the variation of the load that connected to the secondary transformer. Inrush current can also occur in household electrical load, these current can disturb the circuit breaker in the electrical installation of the household. Magnitude of these inrush current is also influenced by the nature of the load itself."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S54747
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Kurniawan
"Sampai saat ini ATM switch generasi Pertama menggunakan skema Explicit Forward Congestion Indication (EFCI) untuk kontrol kongesti layanan trafik ABR. Dengan cepatnya perkembangan teknologj Switching, generasi kedua ATM switch akan Dilengkapi dengan mekanisme kontrol kongesti Explicit Rate (ER). Skema Enhanced proportional Rate Control Algorithm, (EPRCA) merupakan salah satu mekanisme kontrol kongesti ER yang telah menjadi stand didalam ATM Forum. Karena mempunyai performansi yang cukup baik dan kemudahan dalarn implementasi, maka skema EPRCA akan menjadi pilihan beberapa vendor ATM untuk kontrol kongesti layanan trafik ABR.
Pada periode transisi dari generasj pertama ke generasi kedua ATM switch, penggun skema EFCI dengan EPRCA dalam suatu jaringan ATM tidak dapat dihindarkan. Karena terdapat perbedaan dalam Operasi kerjanya, maka interoperabilitas penggunaan kedua skema kontrol kongesti tersebut akan menimbulkan permasalahan dan isi performansi yang dihasilkan.
Dalam tesis ini, akan diteliti pengaruh penggunaan barga parameter kontrol Rate Increase Factor (RIF) yang berbeda terhadap hasil performansi pada skema EFCI dan skema EPRCA, serta pada interoperabilitas skema EFCI dengan EPRCA dalam suatu jaringan ATM.
Dari hasil simulasi dapat ditunjukkan bahwa beat-down problem yang terjadi pada Iingkungan skema EFCI merupakan fungsi dan parameter kontrol RIF dan dengan RIF yang agresif tinggi dapat diperoleh performansi yang cukup baik. Sedangkan pada skema EPRCA, pengaruh penggunaan harga RIF yang berbeda tidak akan menyebabkan beat-down problem dan performansi yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.
Sedangkan hasil performansi pada interoperabilitas skema EFCI dengan EPRCA sangat dipengaruhi oleh pemeliharaan harga RIF dan lokasi penempatan skema EPRCA. Untuk harga RIF yang konservatif rendah akan terjadi peningkatan performansi sebaliknya untuk harga RIF yang agresif tinggi akan mengakibatkan penurunan Performansi. Beat-down problem yang terjadi untuk sumber yang melewati multi-hop link pada lingkungan skema EFCI dapat dihilangkan jika skema EPRCA ditempatkan Pada least critical switch.

Currently, the first generation of the ATM switches use Explicit Forward Congestin Indication (EFCI) scheme for Congestion control mechanism of the ABR services. With the advances in switching technologies, the next generation of the ATM switches will employ the Explicit Rate (ER) congestion control mechanisms. The Enhanced Proportional Rate Coritol Algorithm (EPRCA) scheme is selected as one of the ER congestion control mechanisms by the ATM Forum. Because the EPRCA scheme has good performance and low implementation complexity, the ATM switch vendors will use it for congestion control mechanism of the ABR services.
During transition period from the first to the second generation of the ATM switches, the interoperability between EFCI and EPRCA schemes in the ATM net? ork became unavoidable. Because of the differences in their basic operating incehanisilis, their interoperation may be problematic in terms of the network perfoniiance. This thesis focuses on the impact on performance of the Raie Increase Factor (RIF) parameter selection in the EFCI and EPRCA schemes, also in the ititeroperahility between EFCI and EPRCA schemes.
The simulation results show that beat-down problem in an all EFCI scheme environment is function of RIF parameter. A more aggressive RIF value leads to a hìgher performance. However, in the EPRCA scheme environment with use different value of the RIF parameter, it will not make any beat-down problem and the performance results as expected.
From the interoperability perspective, the simulations conducted show that the RIF parameter selection and location of the EPRCA scheme will drive the performance of interoperability between EFCI and EPRCA schemes. With conservative RIF value will leads to performance improvement. On the other hand, with aggressive RIF value will leads to performance degradation. Beat-down problem of a multi-hop link in the EFCI scheme environment might be omitted if the EPRCA scheme is located at ihe Least critical switch.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
T3766
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Sudibyo S.
"ABSTRAK
Paper ini menyajikan cara-cara perutean sinyal power, sinyal ground dan sinyal logic dalam channel-channel pada suatu chip VLSI yaitu 2 dual-port register cells. Penanganan masalah perutean ini dilakukan oleh sebuah channel router tertentu. Mula-mula akan dijelaskan dampak dari sinyal power dan ground pada perutean sinyal logic. Kemudian diberikan suatu prosedur untuk jalur power yang ampuh untuk mengurangi kesalahan yang terjadi dalam perutean secara manual. Setelah semua teori pendukung dan metode penyelesaian masalah yang mungkin telah disampaikan, baru kemudian diaplikasikan kedalam suatu rangkaian yaitu 2 dual-port register cell. Melalui pengaplikasian ini kita dapat melihat bagaimana teknik perutean yang dibahas sebelumnya diterapkan dalam sebuah masalah yang real."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Zaki Auliya HM
"Simulator surya merupakan sebuah perangkat yang mensimulasikan cahaya matahari menggunakan suatu sumber cahaya buatan yang berfungsi untuk menganalisa karakteristik dan performa sel surya. Simulator surya dioperasikan di dalam ruangan tanpa harus dipengaruhi oleh faktor alam seperti awan, hujan, dan sebagainya. Simulator surya memiliki 3 blok komponen utama yaitu sumber cahaya, tracking receiver, dan rangkaian karakteristik.
Pada skripsi ini, dilakukan rancang bangun tracking receiver yang dapat mensimulasikan gerak matahari selama 12 jam, yaitu dari pagi hingga sore. Tracking receiver ini terdiri dari motor stepper VEXTA PXB44H sebagai penggerak sel surya yang dikendalikan geraknya oleh mikrokontroller ATmega8535 serta menggunakan Light-Depending Resistor (LDR). Sensor LDR ini berfungsi untuk mengukur iluminasi cahaya yang masuk pada setiap derajat perputaran motor stepper.
Dari hasil pengujian ditunjukkan bahwa resolusi motor stepper, yaitu sebesar 1.8o/step, tidak dipengaruhi oleh posisi motor stepper, baik vertikal maupun horizontal, dan oleh kondisi motor stepper, baik dengan beban maupun tanpa beban.

Solar simulator is a device that simulates solar light by using an artificial light, which is used to analyze solar cell characteristic and performance. Solar simulator is operated indoor, without be influenced by any factor of nature like cloud, rain, and others. Solar simulator has 3 main component block, there are light source, tracking receiver, characteristic circuit.
In this final project, is designed a tracking receiver that simulates motion of sun along 12 hours, from sunrise to sunset. The tracking receiver consist of stepper motor VEXTA PXB44H as an actuator of solar cell and based-on microcontroller ATmega8535 and also using Light Depending Resistor (LDR). The LDR is used to measure incoming light illuminance every degree of stepper motor rotation.
From measurements, is shown that resolution of stepper motor, 1.8o/step, is not influenced by any position of stepper motor, vertikal or horizaontal, and by any condition of stepper motor, with load or no load.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S45971
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabdono Hadi
"Analisis kapasitas dan coverage pada jaringan 2G pada implementasi refarming UMTS900 dilakukan dengan metode redimensioning kapasitas dan reengineering akibat penggantian antena triple band. Untuk meningkatkan kapasitas pelanggan dan coverage, operator mulai menggunakan teknologi UMTS900 sebagai solusinya. UMTS900 merupakan teknologi 3G yang menggunakan frekuensi kerja GSM900 (2G) pada frekuensi kerjanya sehingga separuh dari frekuensi pada GSM900 diambil untuk teknologi UMTS900 dan sangat berpengaruh pada kapasitas dan juga cakupan jaringan GSM (2G). Redimensioning dilakukan pada jaringan GSM900 yaitu dengan menghitung ulang kapasitas trafik saat ini sehingga bisa didapatkan jumlah kanal yang dapat memenuhi kapasitas trafik tersebut. Dengan berkurangnya frekuensi GSM900, maka konfigurasi Trx (transceiver) maksimal yang bisa didapatkan yaitu 3/3/3 sehingga jika hasil perhitungan trafik GSM900 tidak bisa memenuhi kapasitasnya maka harus dilakukan traffic sharing dengan site sekitarnya. Adanya penggantian antena triple band, menyebabkan nilai sinyal level minimum coverage pun harus dijaga agar tidak menurun, salah satu teknik yang dapat digunakan adalah menyesuaikan parameter RF, yang antara lain ketinggian antenna, azimuth dan tilting. Dengan aktifitas redimensioning, traffic congestion pada jaringan 2G dapat dicegah dengan cara upgrade Trx pada GSM sebanyak 7 Trx, penambahan new site DCS colocation sebanyak 66 Trx dan upgrade pada site DCS colocation sebanyak 64 Trx sedangkan dengan adanya aktifitas reengineering nilai level sinyal minimum coverage meningkat sebesar 6.17%.

Analysis of capacity and coverage of 2G network due to UMTS900 refarming implementation using capacity redimensioning and reengineering method related to triple band antenna changing. Operator is now using UMTS900 for solution to
build up capacity and coverage. UMTS900 is third generation technology which utilizes GSM900 for working frequency. When UMTS900 is implemented, half of existing GSM900 frequency is used for UMTS900 technology. That will influence GSM (2G) network capacity and coverage. Redimensioning is performed on GSM900 by recalculating existing traffic capacity in order to obtain the number of required channels for the network. The reduction of available GSM900 frequency will limit the maximum TRX configuration down to 3/3/3. Therefore if the result from recalculating GSM900 traffic shows that the required capacity cannot be provided, it is necessary to implement traffic sharing strategy with the collocation or neighbour sites. In addition to that, the antenna triple band replacement must be implemented carefully to avoid the decrease of minimum signal coverage. It can be performed by RF parameter tuning activities such as adjusting antenna height, azimuth and tilting. In conclusion with redimensioning activity, congestion on 2G network can be prevented by upgrade Trx on GSM network as many as 7 Trx, add new DCS colocation 66 Trx and upgrade site on DCS colocation 64 Trx and with reengineering signal level on minimum coverage improve as many as 6.17 %.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47191
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Chasanah
"Teknologi dan perkembangan sistem komunikasi modern harus mampu beradaptasi dengan pesatnya perkembangan traffic data nirkabel dansolusi untuk memisahkan sinyal dari delay atau sinyal interferensi. Guna mengatasi hal itu, smart antenna mulai banyak dikembangkan guna mengatur pola radiasi agar penguatannya optimal pada arah kedatangan sinyal dengan traffic tinggi dan teredam pada arah sinyal interferensi.
Pada dasarnya, terdapat dua jenis smart antenna, yaitu sistem pengubah beam dan sistem array adaptif. Sistem pengubah beam telah banyak dikembangkan karena sederhana dan tidak mahal dibandingkan sistem array adaptif. Tidak seperti sistem array adaptif, sistem pengubah beam hanya terdiri dari beberapa elemen peradiasi, jaringan pembentuk beam, dan RF switch sementara sistem adaptif array membutuhkan operasi rumit dan pemrosesan sinyal tingkat tinggi.
Pada skripsi ini dilakukan rancang bangun 4x4 Butler matriks sebagai jaringan pembentuk beamyang diintegrasikan dengan 4 elemen aperture coupled antenna yang di array untuk menghasilkan empat beam. Desain ini bekerja pada frekuensi 2350 MHz untuk aplikasi LTE dengan mensimulasikannya pada perangkat lunakAdvance Design System (ADS) simulator and CST Microwave Studio.
Hasil simulasi menunjukkan lebar beam saat port 1 atau 4 aktif sebesar 25,9° untuk gain 6,3 dBdan lebar beam saat port 2 atau 3 aktif sebesar 28,9° untuk gain 4,2 dB. Diperoleh pula arah radiasi untuk masing-masing port ialah -14°, 38°, -38°, dan -14°.
Sementara itu, hasil pengukuran menghasilkan lebar beam saat port 1 atau 4 aktif sebesar 33,8° dan 35,6° dengan gain 6,11 dB dan 6,05 dB. Selanjutnya, lebar beam saat port 2 atau 3 aktif sebesar 39,8° dan 40,3° dengan gain 3,94 dB dan 4 dB. Arah radiasi untuk masing – masing port berturut – turut ialah -20°, 40°, -40°, dan 20°.

The technology and development of modern mobile communications systems, should adapt to the continuous and rapid growth of wireless data traffic and it becomes a necessity to separate desired signal from delay or interference signal. Thus, to overcome these problems Smart antenna systems have been developed.
Basically there are two types of smart antenna systems, one is Switched beam system and another Adaptive array system.The topic of switched beam antenna as a smart antenna has been discussed vigorously because it is simple and it requires less cost as compared to adaptive antenna array. Unlike the adaptive antenna, switched beam antenna is only constructed by a number of radiating elements, a beamforming network and RF switch while adaptive array systems provide more intelligent operation and needs more advanced signal processing to function.
This paper introduced the 4x4 Butler matrix asthe beamforming network combined with 4 linear aperture coupled antenna arrays to produce four narrow steerable beams. The designed was aimed for resonance frequency 235 MHz in application of LTE technologyusing the Advance Design System (ADS) simulator and CST Microwave Studio Simulator.
The simulation results show that when port 1 or 4 is activated, the beamwidth is 25,9° with gain 6,3 dB and when port 2 or 3 is activated, the beamwidth is 28,9° with gain 4,2 dB.The radiation beam directions inazimuth are obtained at -14°, 38°, -38°, and 14° for respectiveinput port.
The measurement result show that when port 1 or 4 is activated, the beamwidth is 33,8° and 35,6° with gain 6,11 dB and 6,05 dB. When port 2 or 3 is activated, the beamwidth is 39,8° and 40,3° with gain 3,94 and 4 dB. The radiation beam directions inazimuth are obtained at -20°, 40°, -40°, and 20° for respectiveinput port. So, the deviation between simulation and measurement result is 2°-6°.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S60100
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>