Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123538 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erick Rinaldo
"ABSTRAK
Pusat perbelanjaan seperti Mal telah dimaknai sebagai ruang publik dalam perspektif masyarakat kota. Fenomena tersebut menjadikan Mal mampu memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat akan ruang kegiatan. Salah satu pemenuhan kebutuhan yang disediakan Mal adalah penyediaan ruang pengamalan ibadah. Ruang pengamalan ibadah di dalam Mal hadir melalui berbagai pertimbangan. Pertimbangan tersebut terkait proses produksi ruang yang dilakukan aktor melalui penggunaan strategi maupun taktik. Hasil dari proses produksi ruang tersebut adalah terciptanya ruang profane menjadi ruang sacred melalui pemaknaan baru. Kehadiran ruang pengamalan ibadah di dalam Mal mengalami berbagai penyesuaian terhadap konteks barunya . Skripsi ini kemudian bertujuan untuk menelusuri tentang bagaimana ruang pengamalan ibadah tersebut diproduksi serta penyesuaian seperti apa yang dialami oleh ruang tersebut.

ABSTRACT
Shopping centres such as Mall has been interpreted as a public space in the perspective of the urban community. This phenomenon makes Mall able to fulfill the various needs of spatial activities. One of the spatial needs of activities provided by Mall is the worship space. The worship space at the Mall exists by various considerations. The considerations are related to the production of space done by the actor based on their strategies or tactics. The results of the roduction process is the creation of the profane into sacred space. The existence of orship space in the Mall has a variety of adjustments to new contexts. This paper aims to examine how the worship space is produced and adjusted."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S871
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifa Fijriah
"ABSTRACT
Tidak semua pelaku ibadah hidup dan bertinggal di lingkungan dengan kualitas dan kuantitas ruang dalam batas kewajaran. Melihat bahwa ruang tinggal sering kali tidak memiliki ukuran standar, maka ia bisa jadi besar, sedang ataupun kecil. Skripsi ini membahas secara spesifik mengenaik ruang ibadah pada permukiman padat informal atau kampung di Jakarta, dimana penghuninya tinggal dengan okupansi ruang di bawah standar Standar ruang tinggal Nasional Indonesia: 9m2/orang. Kondisi yang demikian membuat aktivitas para penghuni kampung harus bertumpuk satu sama lain, dan aktivitas ibadah termasuk di dalamnya. Untuk memahami penggunaan ruang ibadah di kampung, pengamatan dilakukan dengan melihat bagaimana pelaku ibadah di kampung menyematkan kualitas sakral pada kegiatan ibadah mereka. Selain ikut berpartisipasi dalam kegiatan ibadah di kampung, pengamatan juga dilakukan dengan survey kuesioner dan wawancara pada beberapa warga kampung, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kelangsungan kegiatan ibadah. Untuk masa mendatang, saya berharap kajian ini dapat dikembangkan dan dilengkapi mengingat kurangnya waktu pengamatan dan waktu kegiatan ibadah yang tidak menentu.

ABSTRACT
Not all worshippers live in similar qualities and quantities of space. This paper discusses specifically the space of worship in informal, densely populated settlements in Jakarta known as kampongs, in which citizens occupy the space below standard Indonesian national standard of living space 9m2 person. Such circumstances mean that almost every daily activity undertaken by kampong inhabitants overlaps, and worship activity is no exception. To understand the site, space, and place of worship usage in kampong areas, this research aims to understand how the inhabitants create and embed sacredness, or lsquo spiritual rsquo indicators, into their worship activities. In addition to deep observation by actively participating in the kampong rsquo s worship activity, this research completed by a questionnaire survey and in depth interviews with various people living in the kampong, both directly and indirectly related to worship activity. The research found that the limitation of space does not hinder the kampong inhabitants in carrying out their worship activities. Even though mostly always overlapping with other activities, worshippers always find a way to negotiate their worship activities in such limitations. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosviana Rosida
"Perkembangan pariwisata ramah muslim di Indonesia sangat menjanjikan. Akan tetapi masih terdapat keterbatasan infrastruktur terutama terkait ketersediaan fasilitas ibadah di daerah potensial pariwisata tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui standar yang ideal terhadap fasilitas ibadah pada kawasan destinasi wisata ramah muslim. Fasilitas ibadah yang baik atau buruk dapat memberikan pengaruh terhadap niat berkunjung wisatawan ke destinasi wisata. Jenis penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif digunakan untuk analisis faktor dan uji t-statistik dengan teknik convenience sampling dengan jumlah sampel 326 yang diperoleh dari seluruh Indonesia. Proses tersebut dilakukan setelah melalui tahap focus group discussion (FGD) dengan para ahli dari perwakilan MES untuk dilakukan tahap screening pertanyaan yang akan digunakan dalam uji analisis pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, terdapat dua faktor rekomendasi standarisasi untuk fasilitas mushola dan empat faktor rekomendasi standarisasi untuk fasilitas toilet. Ketersediaan fasilitas ibadah pada wisata ramah muslim dapat berpengaruh terhadap niat wisatawan untuk berkunjung.Tidak hanya itu, fasilitas ibadah berpengaruh terhadap niat untuk mengunjungi kembali destinasi wisata atau merekomendasikan ke wisatawan lainnya. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber standarisasi terhadap issu permasalahan fasilitas ibadah pada destinasi wisata ramah muslim.

The development of Muslim-friendly tourism in Indonesia is very promising. However, there are still limited infrastructure, especially related to the availability of worship facilities in these potential tourism areas. This study aims to determine the ideal standard of worship facilities in Muslim-friendly tourist destinations. Good or bad worship facilities can have an influence on tourists' visiting intentions to tourist destinations. This type of research uses a quantitative approach is used for factor analysis and t-statistical tests with convenience sampling techniques with a total sample of 326 obtained from all over Indonesia. This process was carried out after going through the focus group discussion (FGD) stage with experts from MES representatives to carry out the screening stage of questions that would be used in the quantitative approach analysis test. The results of this study indicate that, there are two factors recommending standardization for prayer facilities and four factors recommending standardization for toilet facilities. The availability of prayer facilities in Muslim-friendly tourism can influence tourists' intentions to visit. Not only that, religious facilities affect the intention to revisit tourist destinations or recommend them to other tourists. This research can be used as a standardization source for issues of worship facilities in Muslim-friendly tourist destinations."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F. M. Wastu Andanti
"Upacara suran merupakan upacara yang dilaksanakan setiap tahun oleh pendukung untuk memperingati pergantian tahun dalam kelender Jawa. Pelaksanaan upacara suran mempunyai variasi, karena setiap pendukung kebudayaan mempunyai konstruksi yang berbeda. Salah satu variannya adalah upacara suran yang dilaksanakan oleh penghayat aliran kebatinan PAMU (Purwa Ayu Mardi Utama). Perbedaan ini terletak pada tiga aspek, yaitu (1) waktu pelaksanaan upacara yang dilaksanakan pada tanggal tiga bukan pada tanggal satu, (2) konsep ajaran PAMU tentang keberadaan Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan hakekat kehidupan, dan (3) makna simbolik yang terwujud dalam upacara yang dikonstruksi oieh mereka.
lnformasi tentang upacara suran oleh para kadang-sebutan terhadap anggota PAMU dan keberadaan PAMU sendiri belum ada (Geertz, 1983: 453-474; Jong, 1985:10-11; 1987; Kodiran, 349-350; Koentjaraningrat, 1987; Simuh, 1999). Beatty (2001) menjelaskan tentang PAMU secara sepintas dan belum mengkaji esensi upacara suran secara mendalam.
Masalah penelitian ini adalah ajaran PAMU yang termanifestasikan dalam upacara suran sebagai pedoman praktikal mampu dijadikan media sosialisasi sehingga menciptakan model masyarakat multikultural. Pertanyaan penelitian ini adalah: (1) Bagaimana konsep ajaran PAMU tentang keberadaan Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan tentang hakekat kehidupan; mengapa upacara suran di kalangan penghayat aliran kebatinan PAMU dilaksanakan pada hari ketiga di bulan sura, mengapa tidak dilaksanakan pada hari pertama?; Apa makna simbolis yang terwujud dalam upacara suran yang dikonstruksi oleh mereka? ; (2) Apakah fungsi upacara suran bagi para kadang PAMU? dan (3) apakah ajaran PAMU bisa dijadikan sebagai media sosialisasi sehingga tercipta model masyarakat multikultural?
Tujuan penelitian secara umum adalah menemukan hakekat hubungan antara upacara Suran di kalangan para kadang Purwo Ayu Mardi Utomo (PAMU) di Dusun Tojo, Desa Temuguruh, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dengan konsep ajaran PAMU sehingga tercipta model masyarakat multikultural.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini menekankan pada pemahaman dan bukan pada pengujian, menekankan pada proses dan tesis, peneliti sebagai instrumen, difokuskan pada makna (Dentin dan Lincoln, 1994; 2000). Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan melakukan pengecekan berulang-ulang terhadap sumber informasi, konstruksi teoritis, metode pengumpulan data, dan temuan penelitian sejenis.
Hasil penelitian ini adalah : Ajaran PAMU yang termanifestasikan dalam upacara suran membentuk masyarakat yang multikultural yang mengintegrasikan para kadang yang beragam dari aspek agama (Islam, Hindu, Budha, Konghucu, Katolik, Kristen), pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, dan usia. Upacara suran memperkuat kerukunan berjenjang, solidaritas mekanis, dan integrasi sosial sehingga tercipta masyarakat multikultural..
Temuan penelitian ini menguatkan bahwa ajaran PAMU tentang kerukunan, menghargai perbedaan pendapat dan otonomi individu teraktualiasikan pada diri anggota mereka (kadang) sehingga membentuk secara berturut-turut individu, keluarga, masyarakat, bangsa yang multikultural. Temuan ini berbeda dengan Geertz (1983); de Jonge (I985), Suseno (1984); Mulder (1999); dan Beatty (2001) yang belum menganalisis ajaran penghayat kepercayaan dengan model masyarakat multikultural. Konsep multikultural telah dioperasionalisasikan oleh para kadang jauh sebelum Watson (2000); Kymlicka (1998) dan Simposium lnternasional Jurnal Antropologi di Universitas Udayana, Bali (2002) yang menjelaskan tentang multikulturalisme.
Latar belakang upacara suran di kalangan para kadang PAMU dilaksanakan pada hari ketiga di bulan sura berhubungan dengan ajaran PAMU tentang TRI MURTI, yaitu Bapa Adam, Ibu, biyung, Hawa, dan Gaibing Allah (daya saking bapa, daya saking biyung, Ian daya saking Gaib). Ketiganya bisa dikatakan teluning atunggaL Sangkan paraning dumadi merupakan kunci utama pelaksanaan suran dengan ritual tapal adaman sebagai puncaknya. Temuan ini berbeda dengan delapan postulat dari Geertz (1983: 416-417) dan Beatty (2001).
Konsep ajaran PAMIJ menjelaskan tentang keberadaan Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, rnanusia dengan alam, dan tentang hakekat kehidupan. Konsep ajaran terdapat di Pakem Kawruh Kasunyatan Eyang Djojopoernomo. Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa, tidak boleh syirik (mangeran Iiyan) dan sumber kehidupan manusia (Kawasa). Kehendak Tuhan yang bersifat gaib menjadikan bapa-biyung (kedua orang tua) untuk melahirkan manusia. Di sisi lain konsep tentang kerukunan berjenjang mulai dari keluarga (tangga jiwa), tetangga (tangga wisma), warga Negara (tangga desa) dan bangsa (tangga bangsa). Konsep ini berbeda dengan ajaran Pangestu (de Jonge, 1985), Budi Setia, Sumarah, Ilmu Sejati, Kawruh Kasunyatan, Kawruh Bejo (Geertz, 1983: 414-4I5). Ajaran PAMU yang bukan agama; hanya petunjuk laku kebajikan, pada hakekatnya dijadikan media pencerahan bagi masyarakat dengan mengadopsi ajaran Islam yang dijawakan (Jawanisasi Islam).
Makna simbolis upacara suran adalah menjelaskan kepada manusia untuk selalu ingat sangkan paraning dumadi. Simbolisme itu mewujud berupa lokasi pelaksanaan upacara, prosesi upacara. Simbolisme ini menguatkan pendapat Mary Douglas (1966), Turner (1969, 1974; 1979), dan Geertz (1983); (4) Fungsi upacara suran bagi para kadang adalah pemantapan keyakinan, pencerahan kehidupan, penguatan identitas, mekanisme kontroi, pemantapan hirarki sosial,
Operasionalisasi keyakinan keagamaan, dan laku kebajikan manusia sejati.". Pernyataan ini sesuai dengan penelitian terdahulu tentang ritual dari Turner (1969; 1979), Leach (1979), Wallace (1979), Geertz (1992), dan Beatty (2001). Daiam upacara ada kewajikan pada seseorang untuk berperan sesuai dengan fungsinya dalam suatu masyarakat. Kenyataan ini sesuai dengan pandangan Geertz, Turner, Hertz, Cunningham, dan Levy Strauss (dikutip Suparlan, 1985). Di sisi lain, fungsi upacara dapat menjelaskan tentang operasionalisasi keyakinan keagamaan yang bersifat abstrak menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Penelitian ini sesuai dengan pendapat Berger dan Luckman dan Spradley (dikutip Suparlan, 1983: xi-xii). Upacara, juga berfungsi menjelaskan tentang motivasi ikut upacara karena merupakan bagian dari amalan laku kebajikan manusia sejati, yaitu hidup utama, mati sempunia (urip utama, mall sempurna).
Temuan penelitian ini menguatkan bahwa ajaran PAMU tentang kerukunan, menghargai perbedaan pendapat dan otonomi individu teraktualiasikan pada diri anggota mereka (kadang) sehingga membentuk secara berturut-turut individu, keluarga, masyarakat, bangsa yang multikultural. Temuan ini berbeda dengan Geertz (1983); de Jonge (1985), Suseno (1984); Mulder (1999); dan Beatty (2001) yang belum menganalisis ajaran penghayat kepercayaan dengan model masyarakat multikultural. Konsep multikultural telah dioperasionalisasikan oleh para kadang jauh sebelum Watson (2000); Kymlicka (1998) dan Simposum Internasionai Jurnal Antropologi di Universitas Udayana, Bali (2002) menjelaskan tentang multikulturalisme."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan Tanggok
"ln this thesis I discuss about the ancestor worship in in the Chinese-Hakka family and community in Singkawang-West Kalimantan (Borneo). The central concem of this study is the description and analysis of ancestor worship in rituals of death within family as conducted at the home, at place managed by Chinese burial association, and burial place, before and after burial.
The main issue raised in this thesis is the function of ancestor worship for Hakka family and community of Singkawang, which based on Mauss (1992) and Suparlan (l978)?s exchange theory is to tighten the kinship relations between family members who are alive or living in this world-the ?real world? and their ancestors in the atier-life world or the ?unreal world?.
The reason for the Hakka people of Singkawang to worship their ancestors. besides showing their filial piety (xiao) to ancestor. is also to ask for protection and assistance from them. In the time of needs or problems, members of a Hakka family or community will ask their ancestor spirits to help and protect him or her, and in return they will reciprocate the ancestors? help by providing food and beverages, as well as by paying respect to them, and all of these are conducted through rituals at the burial place or temples. This form or exchange is always maintained because it benefited both sides.
Death and death rituals in Hakka family are the most important part ol ancestor worship among the Chinese-Hakka in Singkawang. There would be no ancestor worship without death and death rituals. According to Hakka people?s beliefs, the well-being of their ancestors in the after-life will determine their well- being or the well-being of related family in this life.
In Chinese culture, as stated by Mencius, the most revered Confucian philosopher after Confucius himself, ?the greatest of all sins is to have no sons to carry on the ancestral line and continue the ancestors? worship? (see McCreey in Scupin, 2000: 286). Therefore, ?sons? is the operative world for Chinese in general. Traditional Chinese society is a patrilineal society in which Family surname and the right to a share of the family property descends from father to son. Daughters, once they married, their duty is to serve their parents-in-law, to worship their husband?s ancestors, and above all, to provide sons to continue their husband?s family line. Thus, usually daughters are not expected to share the burden of ancestor?s worship within their original family. In this thesis, I show that in Hakka family and community in Singkawang, in contrast to the abovementioned Chinese tradition, daughters who have married, together with their husbands, could come and share the burden of ancestor worship duty in the daughters? original family, as long as they do not take the place of sons as the leader of the family. Hakka family and community in Singkawang too see ancestor worship as means to gather members of related family, from both patrilineal and matrilineal sides, at one place and at a particular time, not only to conduct rituals and to worship their ancestors, but also to talk about family economy as well as other metters among family members.
The ancestor worship of Haldta family and community in Singkawang does not only benefit members of related family, but, as a matter of fact, also provides some advantages for members of other ethnic groups, such as the Madurese and the Dayaks, particularly those who live near the Chinese burial place. During Ching Ming Jie or Chinese Toms Festival and Zhong Yuan Jie or Hungry Ghost Festival, these people-the Madurese and the Dayaks--could ask to help Hakka families to clean or cut grass on their ancestors? graves in return for a little money."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
D825
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Ayatullah Putiasukma
"Fokus dari skripsi ini adalah bagaimana keberhasilan sebuah fasilitas ibadah yang berada di pusat perbelanjaan. Sebagai fasilitas yang menjadi bagian dari ruang publik, keberhasilannya bergantung pada bagaimana pengguna dapat merasa nyaman untuk beraktivitas di dalamnya, baik secara fisik maupun psikis. Dengan menggunakan metode kualitatif dalam menganalisis kasus, terlihat bahwa fasilitas ibadah bukan hanya memfasilitasi aktivitas ibadah, tetapi juga aktivitas selain ibadah. Banyak hal yang menentukan bagaimana pengguna bisa merasakan kenyamanan, yaitu akses, sirkulasi, respons terhadap iklim, pencahayaan, adanya tempat duduk, serta berfungsinya fasilitas yang tersedia. Hal ini menjadi penting karena fasilitas ibadah bisa menjadi potensi lain untuk menambah nilai lebih bagi sebuah pusat perbelanjaan.

The focus of this study is about the success of the praying facility in shopping center. As a part of public space, it depends on how the users can feel comfortable, physically and physiologically to do some activities in the facility. By using the qualitative method in doing case study, we can see that the praying facility is not only place for praying, but also other activities. Many factors determine how the users can feel the comfort such as accessibility, circulation, respond to the climate, lighting, seat, and other facility that work well. It is important because the praying facility can be another potency to increase the value of the shopping center."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S52353
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Willy Candra Junior
"Alun-alun Kota Serang merupakan ruang publik yang dibangun pada tahun 1828 oleh Belanda. Sebagai warisan benda budaya, pemanfaatan ruang publik ini diatur agar sesuai dengan kondisinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran Pemerintah Daerah Kota Serang dalam mengatur pemanfaatan ruang Alun-alun Kota Serang dan pengaruhnya terhadap pemanfaatan ruang. Hal ini diidentifikasi melalui interaksi tiga elemen spasial yaitu representasi ruang (conceived space), praktik spasial (perceived space), dan ruang representasi (lived space) yang diwujudkan dalam bentuk perencanaan, penyelenggaraan, dan pemanfaatan ruang. Data penelitian ini dikumpulkan melalui metode observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Sedangkan analisis dilakukan dengan metode komparatif spatial antara rencana tata ruang pemanfaatan alun-alun, dengan persebaran aktivitas dan kepadatan pengguna di alun-alun. Selain itu juga dilakukan identifikasi interaksi antara tiga elemen spasial pembentuk aktivitas di alun-alun. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagai conceived space, terdapat dua ruang perencanaan. Pada area timur, perencanaan dilakukan dengan konsep modern dan berorientasi pada peningkatan ekonomi sehingga fasilitas dan atraksi yang tersedia lebih banyak dan bervariasi. Sedangkan pada area barat, perencanaan yang dilakukan oleh Pemerintah dilakukan dengan konsep kuno dan berorientasi untuk melestarikan bangunan-bangunan bersejarah yang tersebar di sekitar Alun-alun Kota Serang. Untuk mempertahankan fungsi warisan budaya di area barat, fasilitas dan atraksi disediakan secara terbatas. Dengan perbedaan pola ruang pemanfaatan tersebut, perceived space cenderung memusat di area timur. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan alun-alun sebagai warisan benda budaya yang dilakukan pemerintah berhasil mengatur pemanfaatan ruang. Alun-alun sebagai lived space tidak berdiri sendiri, namun menunjukkan keterkaitan dengan ruang di sekitarnya.

Serang Alun-alun is a public space built in 1828 by the Dutch. As a cultural heritage, the utilization of this public space is regulated according to its conditions. This study aims to identify the role of the Local Government of Serang City in regulating the spatial use of Serang Alun-alun and its influence on space utilization. This is identified through the interaction of three spatial elements, namely spatial representation (conceived space), spatial practices (perceived space), and representational space (lived space) which are embodied in the form of planning, organizing, and spatial utilization. The research data was collected through observation, interviews, and documentation studies. While the analysis was carried out using a spatial comparative method between the spatial plan for the use of the Alun-alun, with the distribution of activities and the density of users in the Alun-alun. In addition, the study was also carried out to identify interactions between the three spatial elements forming activities in the Alun-Alun. The results of the analysis show that as a conceived space, there are two planning spaces. In the eastern area, planning is carried out with a modern concept and is oriented towards improving the economy so that more and more varied facilities and attractions are available. Whereas in the western area, the planning carried out by the government with an ancient concept is oriented towards preserving historical buildings scattered around Serang Alun-alun. To maintain the function of cultural heritage in the West area, the government provided limited facilities and attractions. With the difference in the spatial utilization pattern, the perceived space tends to concentrate in the east. The conclusion of this study shows that the planning of the Alun-alun as a cultural heritage by the government has succeeded in regulating the use of space. Alun-alun as a lived space does not stand alone but shows a connection with the space around it."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Asad
Djakarta: Jajasan Kesedjahteraan Bersama, 1975
297.32 ASA m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Subhi, Mushtafa Murad
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009
297.3 SUB at (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>