Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63922 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasiholan, Golfried
"Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian ini mencari fakta-fakta langsung kelapangan dengan menggali dan mendalami factor-faktor penghambat apa yang membuat Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri tidak optimal dalam melaksanakan tugas dalam penanganan masalah tindak pidana korupsi di Indonesia.
Hasil temuan penelitian penulis menyampaikan secara ringkas bahwa Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri belum optimal dalam pelaksanaan tugasnya dalam penanganan tindak pidana korupsi. Banyak hambatan-hambatan yang di hadapi oleh Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri seperti dari segi personel, latar belakang pendidikan, belum adanya petunjuk teknis dalam penyidikan mengenai penanganan Tindak pidana korupsi dari Bareskrim, sarana prasarana yang belum memadai, anggaran yang masih sangat terbatas, sering terjadi bolak balik perkara, masih digabungnya penyelidikan dan penyidikan di Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri sehungga membuat tidak maksimalnya hasil dalam pelaksanaan tugas oleh personel Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri.
Sehingga kesimpulan dari penelitian ini adalah Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri belum optimal dalam melaksanakan tugas penegakkan hukum bidang korupsi dan rekomendasi 2 struktur organisasi lainnya peneliti sajikan yaitu perbandingan dengan Kejaksaan Jampidsus dan KPK beserta dan data-data pendukung lainnya untuk membuktikan bahwa Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri belum optimal, dengan harapan adanya pembaharuan dan perbaikan struktur organisasi Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri, dan juga dibutuhkan pimpinan yang mempunyai komitmen untuk melawan para koruptor di Indonesia ini dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas para personil Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri.

This study used qualitative research methods to find the facts straight spaciousness to dig and explore the factors inhibiting what makes Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police are not optimal in carrying out duties in handling the problem of corruption in Indonesia.
The findings of the study authors to submit a brief that the Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police is not optimal in the performance of its duties in the handling of corruption. Many of the obstacles faced by the Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police & Police like in terms of personnel, educational background, lack of technical instructions in the investigation regarding the handling of the Criminal Investigation Corruption, inadequate infrastructure, which is still very limited budget, going back and forth frequently the case, still digabungnya the investigation at the Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police makes no maximum results in performance of duties by personnel of Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police.
So the conclusion of this research is the Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police is not optimal in performing law enforcement duties of corruption and other organizational structure recommendation two researchers present the comparison with the Attorney Jampidsus and its KPK and other supporting data to prove that the, Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police in the hope of renewal and improvement of the organizational structure of Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police, and also takes the leadership that is committed to fight this corrupt in Indonesia in order to support the tasks of the personnel of the Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T29684
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pendi Wibison
"Pembentukan KUHP Nasional menjadi sorotan publik. Salah satunya lantaran sejumlah pasal pada KUHP yang baru itu justru memangkas hukuman bagi para koruptor. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penanganan tindak pidana korupsi pada Dittipidkor Bareskrim Polri atas perubahan tindak pidana korupsi dalam KUHP. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif eksplanatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Perspektif Dittipidkor Bareskrim Polri dalam melihat kekhusussan yang dimiliki oleh tindak pidana korupsi bahwa rumusan delik-delik korupsi dalam KUHP yang sifatnya telah menjadi delik umum akan melemahkan bahkan mampu menghapuskan kekuatan dan kepastian hukum yang ada dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 karena dalam prinsipnya jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka dapat diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya; 2) Pandangan penyidik terhadap perbedaan ketentuan yang menyimpang dari aturan hukum pidana dalam perspektif hukum pidana materil dan pidana formil dalam Undang-Undang No. 31/1999 Jo Undang-Undang No. 20/2001 dengan Undang-Undang No. 1/ 2023 (KUHP Baru) dalam penganganan tindak pidana korupsi bahwa lemahnya sanksi terhadap tindak pidana korupsi yang terdapat didalam KUHP Baru dapat melemahkan pemberantasan korupsi itu sendiri. Penyidik berpandangan bahwa sudah sepantasnya KUHP mengatur hukuman maksimal untuk pelaku tindak pidana korupsi diancam dengan pidana mati; dan 3) Pandangan penyidik terhadap beberapa pasal dari Undang-Undang No. 31/1999 Jo Undang-Undang No. 20/2001 yang dimasukkan dan menjadi delik di Undang-Undang No. 1/ 2023 (KUHP Baru) bahwa KUHP baru berpotensi menghambat proses penyidikan perkara korupsi. KUHP baru juga akan terjadi tumpang tindih kewenangan penanganan dari para penegak hukum dan juga pasal pada undang undang yang diterapkan akan menjadi debateable. Penyidik juga berpandangan bahwa ketika tindak pidana korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) melainkan telah dijadikan tindak pidana umum yang setara dengan delik konvensional seperti pencurian dengan kekerasan atau penggelapan, maka implikasi hukum dari kondisi ini adalah hilangnya spesialisasi kewenangan di antara lembaga penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, dalam melaksanakan tugas mereka.

The regulation of the National Criminal Code is in the public spotlight. One of them was because a number of articles in the new Criminal Code actually reduce the punishment for corruptors. The aim of this research was to analyze the handling of criminal acts of corruption at the Dittipidkor Bareskrim Polri regarding changes to criminal acts of corruption in the Criminal Code. This research was a qualitative approach with an explanatory descriptive method to collect data in the field related. The results of the research show that 1) The perspective of the Dittipidkor Bareskrim Polri in looking at the specificity of criminal acts of corruption is that the formulation of corruption offenses in the Criminal Code which have become general offenses will weaken or even be able to eliminate the strength and legal certainty contained in Law no. 31 of 1999 in conjunction with Law no. 20 of 2001 because in principle if there is a change in the legislation after the act has been committed, then the provisions that are most beneficial to him can be applied; 2) The investigator's view of the differences in provisions that deviate from the rules of criminal law in the perspective of material criminal law and formal criminal law in Law no. 31/1999 Jo Law no. 20/2001 with Law no. 1/2023 (New Criminal Code) in dealing with criminal acts of corruption that weak sanctions for criminal acts of corruption contained in the New Criminal Code can weaken the eradication of corruption itself. Investigators are of the view that it is appropriate for the Criminal Code to regulate the maximum penalty for perpetrators of criminal acts of corruption which is punishable by death; and 3) The investigator's views on several articles of Law no. 31/1999 Jo Law no. 20/2001 which was included and became an offense in Law no. 1/2023 (New Criminal Code) that the new Criminal Code has the potential to hamper the process of investigating corruption cases. The new Criminal Code will also result in overlapping authority to handle law enforcers and also the articles in the law that are implemented will become debatable. Investigators are also of the view that when criminal acts of corruption are no longer considered extraordinary crimes but have become general crimes equivalent to conventional offenses such as violent theft or embezzlement, the legal implication of this condition is the loss of specialization of authority between institutions. law enforcers, including the Police, Prosecutor's Office and Corruption Eradication Commission, in carrying out their duties."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Adnan Kohar
"Permasalahan yang timbul ketika harapan dan arah kebijakan pemberantasan korupsi oleh penyidik Polri tidak diikuti dengan pembangunan sistem penyidikan yang baik atau konsep yang luar biasa (extra ordinary measure) pada organisasi Polri. Terutama jika dikaji dari sudut pandang sistem hukum baik dari aspek substansi hukum, struktur hukum maupun kultur hukum, maka sistem penegakan hukum oleh Polri belum dapat menjamin terwujudnya pemberantasan korupsi yang optimal. Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil Penelitian ini adalah bahwa kualitas Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri berkaitan dengan pengungkapan Tindak Pidana Korupsi masih tergolong rendah. Rendahnya kualitas diketahui berdasarkan indikator-indikator sebagai berikut: 1) Kondisi proses penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidan Korupsi Bareskrim Polri saat ini masih belum efektif dan optimal. 2) Kondisi Penguasaan Undang-Undang Korupsi yang dikuasai oleh penyidik dan penyidik pembantu Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri masih sangat lemah sehingga penerapan pasal dan perundang-undangan menjadi kurang tepat. 3) Kondisi Sarana, Prasarana dan Anggaran yang dimiliki oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri masih terbatas dalam rangka menopang kegiatan penyidikan perkara korupsi. Metode penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri dalam perspektif presisi studi kasus pada Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri dengan menggunakan layanan E-Manajemen Penyidikan.

The problem that arises when the expectations and direction of the anti-corruption policy by Polri investigators are not followed by the construction of a good investigation system or an extra ordinary measure in the Polri organization. Especially if it is studied from the point of view of the legal system both from the aspects of legal substance, legal structure and legal culture, then the law enforcement system by the National Police has not been able to guarantee the realization of optimal eradication of corruption. In this study, the researcher used a qualitative approach. The result of this study is that the quality of investigators from the Directorate of Corruption Crimes of the Civic Police related to the disclosure of Corruption Crimes is still relatively low. The low quality is known based on the following indicators: 1) The condition of the corruption investigation process carried out by the Directorate of Corruption And Corruption of the Police Civic Police is currently still not effective and optimal. 2) The condition of control of the Corruption Law controlled by investigators and auxiliary investigators of the Directorate of Corruption Crimes, Civic Police, is still very weak so that the application of articles and laws is not appropriate. 3) The condition of the facilities, infrastructure and budget owned by the Directorate of Corruption Crimes of the Civic Police is still limited in order to support the investigation of corruption cases. The method of investigating the Directorate of Corruption Crimes of the Police CID in the perspective of precision of case studies at the Directorate of Corruption Crimes of the Police Circumcision using the E-Management Investigation service."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Octavianus Mualim
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh penururan produktivitas penyelesaian perkara korupsi di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, sehingga hal ini memerlukan evaluasi kinerja anggota dan mekanisme penempatan yang efektif dapat meningkatkan motivasi, produktivitas, dan efektivitas dalam penanganan kasus korupsi. Untuk itu, penelitian ini ditujukan menganalisis implementasi Placement dalam pembinaan karir anggota di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Placement dalam pembinaan karir anggota di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori manajemen SDM, teori manajemen karir, teori job Placement, teori produktivitas. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian eksplorati, yang dilaksanakan di wilayah hukum Polda Metro Jaya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi Placement dalam pembinaan karir anggota di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri diterapkan melalui mekanisme dan proses yang cukup singkat, yaitu melalui rekomendasi pimpinan tanpa melalui seleksi yang komprehensif. Faktor-faktor yang mempengaruhi Placement dalam pembinaan karir anggota di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri berasal dari ketiadaan Tim Assessment, metode penempatan yang didasarkan pada hubungan personal daripada evaluasi kinerja yang objektif dan keterbatasan dalam penggunaan kriteria yang jelas dalam penilaian kinerja anggota, keterbatasan sarana evaluasi kinerja anggota, keterbatasan prasarana untuk koordinasi yang sinergi, ketersediaan anggaran untuk pelaksanaan pembinaan dan penempatan jabatan tidak diketahui secara pasti karena tidak terpublikasi, dan terkendala oleh keterbatasan anggota terkait kemampuan, minat, atau potensi individu untuk ditempatkan di  Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri.


This research is motivated by the decline in the productivity of corruption case resolutions in the Directorate of Corruption Crime at the Indonesian National Police Criminal Investigation Department (Bareskrim Polri). This necessitates an evaluation of members' performance and effective Placement mechanisms to enhance motivation, productivity, and effectiveness in handling corruption cases. Therefore, this study aims to analyze the implementation of job Placement in the career development of members in the Directorate of Corruption Crime at Bareskrim Polri and to analyze the factors influencing job Placement in the career development of members in the Directorate of Corruption Crime at Bareskrim Polri.

The theories utilized in this research include human resource management theory, career management theory, job Placement theory, and productivity theory. This qualitative research employs an exploratory research method conducted within the jurisdiction of the Jakarta Metropolitan Police.

The findings of this study indicate that job Placement implementation in the career development of members in the Directorate of Corruption Crime at Bareskrim Polri is carried out through a relatively brief mechanism and process, primarily through leadership recommendations without comprehensive selection procedures. The factors influencing job Placement in the career development of members in the Directorate of Corruption Crime at Bareskrim Polri stem from the absence of an Assessment Team, a Placement method based on personal relationships rather than objective performance evaluation, limited use of clear criteria in member performance assessments, limited evaluation resources, infrastructure constraints for synergistic coordination, uncertain budget availability for career development and job Placement due to lack of public information, and constraints related to members' capabilities, interests, or potential for Placement in the Directorate of Corruption Crime at Bareskrim Polri."

Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aghia Khumaesi Suud
"Pusat Pemulihan Aset (PPA) sebagai satuan kerja Kejaksaan Republik Indonesia, bertanggung jawab memastikan terlaksanakannya pemulihan aset di Indonesia dengan sistem pemulihan aset terpadu (Integrated Asset Recovery System) secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Dengan melakukan penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan. Namun, jumlah pemulihan aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan PPA masih sedikit dan pelaksanaannya sekarang ini hanya dilakukan setelah ada putusan pengadilan, padahal seharusnya dapat dilakukan penelusuran (asset tracking) sejak sebelum putusan. Selain itu, urgensi keberadaannya masih dipertanyakan mengingat ruang lingkupnya hampir sama dengan Labuksi KPK dan Rupbasan pada KemenkumHAM yang secara tidak langsung menimbulkan tarik menarik kewenangan antara unit aparat penegak hukum tersebut. Untuk itu, diperlukan optimalisasi PPA Kejaksaan agar aset hasil tindak pidana korupsi dapat dipulihkan secara cepat, efektif dan transparan.

The Asset Recovery Center (PPA) as the Republic of Indonesia General Attorney's unit is responsible for ensuring asset recovery is carried out in Indonesia with an integrated asset recovery system (Integrated Asset Recovery System) in an effective, efficient, transparent and accountable manner. By conducting searches, safeguards, maintenance, seizures, and returning assets resulting from criminal acts of corruption handled by the General Attorney. However, the amount of asset recovery resulting from the criminal acts of corruption carried out by PPA is still small and its implementation is currently only carried out after a court decision, even though asset tracking should have been carried out before the verdict. In addition, the urgency of its existence is still questionable considering its scope is almost the same as the KPK and Rupbasan production at the Ministry of Law and Human Rights which indirectly raises the pull of authority among the law enforcement unit units. For this reason, it is necessary to optimize the PPA of the General Attorney so that the assets resulting from corruption can be recovered quickly, effectively and transparently."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Brotoseno
"Dampak globalisasi telah menimbulkan konsekuensi logis terhadap berkembangnya kuantitas dan kualitas berbagai kejahatan, tidak terkecuali pada perspektif tindak pidana korupsi yang semakin menjadi perhatian dunia karena dampaknya yang sangat merugikan negara. Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia dewasa ini mengalami berbagai kendala yang cukup kompleks. Berbagai upaya implementasi strategi pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme telah dilaksanakan, walaupun tidak optimal. Demikian halnya dengan pembentukan berbagai peraturan perundangan dan komisi pemberantasan KKN. Namun tingkat KKN, khususnya korupsi di Indonesia tidak juga mengalami perubahan berarti.
Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Dengan demikian diperlukan upaya yang lebih komprehensif dan holistik untuk melakukan gerakan anti-korupsi pada berbagai tingkatan. Tingginya kerugian negara sebagai salah satu dampak korupsi, menjadikan konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi saat ini lebih berorientasi kepada upaya pengembalian kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara (detterence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi. Sehingga unsur kerugian negara menjadi unsur essensial dari tindak pidana korupsi pada berbagai peraturan perundang-undangan.
Maksud pengembalian kerugian negara kemudian diakomodir dalam Pasal 38 B ayat (2) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : “Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara”. Dalam Undang-Undang ini juga terdapat penerapan sistem “pembuktian terbalik” untuk mendukung upaya pengembalian kerugian negara.

The impact of globalization has led to a logical consequence of the development of the quantity and quality of various crimes, not least in the perspective of corruption is increasingly becoming the world's attention because of its effects are extremely detrimental to the state. Eradication of corruption, collusion and nepotism (KKN) in Indonesia today, difficulties are quite complex. Various efforts to implement strategies to eradicate corruption, collusion and nepotism have been carried out, although not optimal. Similarly, with the establishment of various laws and combating corruption commission. But the level of corruption, especially corruption in Indonesia is not too significant change.
Corruption has become an outbreak of infectious disease in every state apparatus from the lowest level to the highest level. Thus more efforts are required to undertake a comprehensive and holistic anti-corruption movement at various levels. The high losses to the state as one of the effects of corruption, making the context of law enforcement corruption is now more oriented to the effort to re-state losses. Consequently, the eradication of corruption is not solely intended for criminals sentenced to prison (detterence effect), but must also be able to restore the losses that have been corrupted. So that the state's losses become essential elements of the crime of corruption in various legislations.
Purpose state indemnification then accommodated in Article 38 B (2) of Law No. 20 of 2001 on the Amendment of Act No. 31 of 1999 on Corruption Eradication, which reads: "In case the defendant can not prove that the property referred to in paragraph (1) is obtained not because of corruption, such assets are considered acquired also of corruption and judges the authority to decide all or part of the property seized for the state ". In this Act also contained system implementation "of proof" to support the efforts of the state indemnification.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Nuryanto
"Pada dasarnya pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi memiliki2 dua makna pokok: sebagai langkah preventif dan represif. Langkah preventifterkait dengan pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi. Harapannya,masyarakat tidak melakukan tindak pidana korupsi. Langkah represif meliputipemberian sanksi pidana yang berat kepada pelaku dan sekaligus mengupayakanpengembalian kerugian negara yang telah dikorupsi semaksimal mungkin.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Peran dan Mekanisme Penyidik Polri Dalam PenangananPengembalian Kerugian Negara Oleh Koruptor Pada Tingkat Penyelidikan?,
2. Bagaimana Bila Pelaku mengembalikan Kerugian Negara Pada TingkatPenyelidikan dan Tidak Dilanjutkan Prosesnya, apa yang menjadi dasarHukumnya?,
3. Faktor-faktor apa yang Dapat Mendukung atau MenghalangiProses Pengembalian Kerugian Negara Oleh Koruptor?.
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan mengkaji PeranPenyidik Polri Dalam Penanganan Pengembalian Kerugian Negara OlehKoruptor Pada Tingkat Penyelidikan. Mengetahui masalah apabila Pelakumengembalikan Kerugian Negara Pada Tingkat Penyelidikan dan TidakDilanjutkan Prosesnya, apa yang menjadi dasar Hukumnya dan Untukmengetahui faktor-faktor yang dapat mendukung atau mempersulit prosespengembalian kerugian negara oleh koruptor."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2017
T49368
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdy Irawan
"Fenomena pengungkapan dugaan korupsi aparatur Negara di Daerah saat ini sangat marak ditemukan. Adalah penting bagi Indonesia untuk mengambil kesempatan guna mendapatkan beberapa pembelajaran dari fakta maraknya pengungkapan kasus dugaan korupsi di tingkat Daerah: faktor apa yang mendorong pengungkapan korupsi di Provinsi Kalimantan Barat ? Siapa yang berperan penting dalam melakukan pengungkapan korupsi dan apa saja upaya yang sudah mereka lakukan ? Faktor-faktor apa yang mendukung upaya penyelesaian kasus korupsi di Provinsi Kalimantan Barat ?
Didukung oleh Instruksi Presiden (Inpres) No. 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Aksi PPK) Tahun 2015, sebagai langkah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Inpres itu merupakan penjabaran dan pelaksanaan lebih lanjut atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025.
Tujuan penelitian ini adalah menemukan strategi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi yang kerap terjadi dalam proses pembangunan daerah di Provinsi Kalimantan Barat sehingga Pembangunan Daerah dapat berjalan sesuai rencana. Mengkaji teori yang ada dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan Daerah di Provinsi Kalimantan Barat saat ini.
Menemukan penerapan supremasi penegakan hukum yang tepat sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat dalam melaksanakan pembangunan daerah yang bersih dan berkesinambungan. Mengidentifikasi modus operandi korupsi serta aksi dan strategi aktor pendorong penyelesaian kasus korupsi. Mengidentifikasi peluang keberhasilan dan kegagalan penanganan kasus korupsi.

The phenomenon of the disclosure of alleged corruption in the Indonesian Regional State apparatus is currently very widespread found. It is important for Indonesia to take the opportunity to get some learning of facts widespread disclosure of alleged corruption at the local level: what factors encourage the disclosure of corruption at the local level? Who plays an important role in the disclosure of corruption and what efforts they've done? What factors support the actors in enabling them to resolve cases of corruption?.
Powered by Presidential Instruction (Inpres) No. 7/2015 on Prevention and Combating Corruption Action (PPK Action) In 2015, as a step to realize a clean government. Instruction was a further elaboration and implementation of Government Regulation (PP) No. 55/2012 on the National Strategy for the Prevention and Combating of Corruption Long Term Year 2012-2025.
The purpose of this study is Finding strategies for the prevention and eradication of corruption that often occur in the development process in the region so that the Regional Development Leaders can be run according to plan. Reviewing theory that exist in relation to the implementation of regional development in the current West Kalimantan.
Find the application of the rule of law enforcement appropriate to the needs of local governments in implementing local development West Kalimantan clean and sustainable. Identify the modus operandi of corruption as well as the action and strategy of the actor driving the settlement of corruption cases. Identifying chances of success and failure handling of corruption cases.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Ganing Permata
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran masyarakat sipil dalam demokrasi dan strategi advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil, dalam hal ini adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Penelitian ini menggunakan teori peran masyarakat sipil dalam demokrasi dari Larry Diamond, serta teori advokasi dari S. Gen dan A. C Wright. ICW telah mengawasi kekuasaan negara dengan meminta pemerintah dan DPR untuk bertanggungjawab pada hukum dan harapan-harapan publik, yaitu mendukung pemberantasan korupsi dengan tidak melemahkan institusi KPK, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu publik yang penting melalui advokasinya, dalam hal ini mengenai wacana revisi UU KPK oleh DPR. ICW melakukan advokasi untuk mencegah revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2010 dan 2015. Strategi advokasi yang dilakukan ICW terhadap revisi UU KPK diantaranya adalah membangun koalisi, melobi dan membangun hubungan dengan pembuat kebijakan, melakukan penelitian atau kajian, melakukan framing dan labelling, studi atau liputan media, dan melibatkan dan memobilisasi publik.

ABSTRACT
This study aims at explain the role of civil society in democracy and advocacy strategies undertaken by civil society, in this case is Indonesia Corruption Watch (ICW). This research uses theory of civil society in the democracy from Larry Diamond, and the advocacy theory from Sheldon Gen and Amy Conley Wright. ICW controls state power by demanding the government and the People`s Legislative Assembly to be accountable to the law and public by supporting the Eradication of Corruption Commission KPK by not weakening the institution of the KPK, and raising public awareness of important public issues through its advocacy, in this case the revised discourse KPK law by Parliament. ICW conducts advocacy to prevent the revision of Law No. 30 Year 2002 on Corruption Eradication Commission Year 2010 and 2015. ICW`s adopts advocacy strategy through building coalitions, lobbying and building relationships with policy makers, conducting research or studies, and labeling, media coverage, and engaging and mobilizing the public. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Engkesman R. Hillep
"Tesis ini merupakan hasil penelitian menggunakan metoda kualitatif dalam bentuk studi kasus, dengan pendekatan manajemen, yuridis dan psikologis dalam membahas proses pengambilan keputusan para agen yaitu Pimpinan dan para Penyidik Bareskrim Polri, yang memiliki kapasitas bertindak kreatif, sebagai respon terhadap aturan dan sumber daya organisasi (struktur) dalam penyidikan terhadap para Tersangka Perwira Tinggi Polri.
Permasalahan pokok dan tesis ini adalah mempertanyakan apakah para agen mampu menerapkan kapasitas bertindak kreatif yang mereka miliki sehingga dapat mempertahankan jati diri sebagai penegak hukum yang jujur, adil dan tidak diskriminatif, sertal tidak menyalah gunakan wewenangnya ketika menyidik sesama anggota Polri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami proses, bentuk, pola, kemungkinan penyebab dan pengaruh dari keputusan para agen khususnya para Penyidik dalam mengunakan kapasitas bertindak kreatif ketika menyidik sesama anggota Polri, dalam hal ini para Perwira Tinggi Polri.
Secara umum penelitian menunjukan bahwa, kapasitas bertindak kreatif yang mendasari keputusan penyidik untuk memberiakukan atau tidak memberiakukan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan undangundang atau ketentuan lainnya yang berlaku dalam organisasi kepolisian, terhadap tersangka yang adalah atasan atau senior mereka, dipengaruhi oleh persepsi Penyidik yang lahir dari budaya kepolisian yang mereka anut. Kadar rasa hormat dan loyalitas kepada atasan maupun senior memegang peranan dominan terhadap penilaian subyektif penyidik dalam bertindak sehingga aspek etika dalam bentuk sikap yang penuh sopan santun, manusiawi, dan empati sangat ditonjolkan, Iebih-lebih kepada para Tersangka yang dinilai sebagai senior yang memiliki kepribadian yang balk oleh para penyidik.
Meskipun demikian, prinsip-prinsip dan kebijaksanaan yang telah digariskan pimpinan untuk menuntaskan kasusnya, sebagai wujud tanggung jawab terhadap tugas dan byalitas kepada institusi tetap dipertahankan, sehingga seluruh prosedur dan tahapan penyidikan sesuai ketentuan dapat dipenuhi dan kasusnya dapat diteruskan sampai pada tingkat peradilan dan penjatuhan hukuman.
Kesimpulan dan hasil penelitian memperlihatkan, pertama, para agen sesuai dengan tingkat kekuasaan dan wewenang mereka di dalam organisasi dengan kreasi dan kapasitas bertindak atas penilaian sendiri itu memberi kontribusi pencapaian tujuan penyidikan tanpa menimbulkan konflik yang berarti. Kedua, pada level pengambil keputusan, melalui tindakan kreatifnya mampu mengeliminir tekanan struktur yang lebih tinggi dan berskala strategis, bahkan berhasil mereproduksi struktur Baru dalam bentuk Keputusan Menkumham RI yang menetapkan rumah tahanan Polri sebagai Lapas bagi Terpidana Polri. Dan ketiga, hasii dari tindakan-tindakan kreatif pada level pelaksana, temyata memperlihatkan diskriminasi perlakuan yang dapat dikiasifrkasikan sebagai penyimpangan ringan namun dapat memberi implikasi yuridis bila terekspos ke depan publik hukum.
Wujud dari tindakan kreatif para agen yang diskriminatif menunjukan pola sebagai berikut :Terdapat perlakuan yang berbeda yang ditampilkan Penyidik (agen) dalam penyidikan terhadap Tersangka sipil dan tersangka anggota Polri. Perlakuan terhadap Tersangka Pain umumnya lebih longgar dan semakin tinggi tingkat kepangkatan Tersangka Polri yang disidik, semakin tinggi pula tingkat kelonggaran yang diberikan. Perlakuan yang sangat khusus diberikan pada Tersangka berpangkat Perwira Tinggi Polri.
Sesuai dengan tujuan tesis, rekomendasi yang diajukan adalah perlunya menetapkan dan merumuskan secara lebih jelas dan tepat konsep diskresi untuk Polri agar keragaman pemahaman dapat dicegah; penyusunan petunjuk yang jelas tentang prosedur pemenksaan pelanggaran disiplin, kode etik Polri dan pelanggaran pidana oleh anggota Polri berikut sistem pengawasannya; Berta penyusunan prosedur tetap penyidikan terhadap anggota Polri yang diproses karena pelanggaran pidana.

The thesis is a result of a research employing qualitative method in a form of a case study. The thesis also employs management, juridical and physiological approach in discussing the process of making decision made by some agents; that is, the administrators and investigators of Criminal Investigation Department (CID) of Indonesian National Police (INP) who have the capability to act creatively as a response to regulations and the organization's human resources in investigating high-rank police officers.
The capability to act creatively as the base of the investigators' decision as the agents of enforcing or not enforcing regulations stated in laws or other rules that prevail in police organization to the suspects who are actually the investigators' superiors or seniors, is influenced by the investigators' perception which comes from the police culture. The degree of respect and loyalty of the investigators to their superiors or seniors plays dominant roles in their subjective assessment so that ethical aspects in the forms of respect, humanity, and empathy strongly dominate such assessment. This is especially true in investigating suspects who are their senior that are regarded by the investigators to have good personality. Nevertheless, principles and policies that are underscored by their chief as a form of responsibility to the duties and loyalty to the institution are still maintained so that all procedures and steps of investigation can be fulfilled. In addition, the case can be forwarded to the level of trial and punishment.
The result of the research reveal some points: First, the agents, in accordance with their level of authority in their organizations and with their capability and creativity have given contribution in order to achieve the goals of investigation without causing significant conflict; Second, at the level of decision maker the investigators, using their creative action, are able to eliminate higher structural pressure as well as strategic pressure and they even succeeded to struggle for a new structure in a form of a decree of the Minister of Law and Human Rights which determines the prison of INP members as the penitentiary for convicted from INP members; and Third, the results of creative action at the level of implementation, in fact, show that discriminative treatment that can be classified as minor deviances but such deviances can give juridical implication if they are exposed to the public.
The shape of creative action of the discriminative agents shows the following patterns: there are different treatments done by the agents (investigators) in investigating civilian suspects and suspects belong to INP. Treatments to suspects belong to INP are generally laxer and the higher of the rank of the suspect the laxer of the treatment given. There are even extremely specific treatments given to suspects who are high-rank police officers.
In accordance with the aim of the thesis, the author recommends that it is necessary to determine and to formula a clearer and more precise concept of police discretion so that various and ambiguous understanding can be avoided. In addition, the author suggests formulating a clearer direction on the procedure of investigating discipline violation, Polri code of ethic and criminal act as well as the supervision of the implementation. Finally, the author also suggests formulating a fixed procedure about the investigation of Polri members who are processed because of criminal violation."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T20683
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>