Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173887 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arika Dewi
"ABSTRAK
Kota Yogyakarta memiliki umur harapan hidup tertinggi di Indonesia (74,9 tahun)
dan proporsi lansia yang tinggi yakni sekitar 13% (dibandingkan dengan angka nasional
± 8%). Secara nasional, prevalensi penyakit sendi adalah 30% untuk semua usia,
sedangkan untuk lansia adalah 52,3%. Kelompok penyakit sendi merupakan penyebab
utama morbiditas di seluruh dunia, terutama untuk lansia. Menurut survey nasional oleh
BPS, lansia cenderung mengobati dirinya sendiri (63,13%).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi deteminan apa saja
yang mempengaruhi periraku pencarian pengobatan pada fansia dengan keluhan rematik
di Kota Yogyakarta Tahun 2009. Yang menjadi subyek penelitian ini adalah lansia yakni
mereka yang sudah berusia 60 tahun ke atas dan tinggal di wilayah kota Yogyakarta.
Data merupakan data primer yang diambil dengan alat bantu kuisioner pada bulan Mei
2009. Variabel yang dikaji adalah usia, jenis kelamin, suku/etnis, pendidikan, pekerjaan,
pendapatan tetap, pendapatan tambahan, kepesertaan daJam Posyandu Lansia, persepsi
kegawatan penyakit, persepsi akibat penyakit, anjuran keluarga/teman, adanya orang
yang mengantarkan berobat.
Diketahui bahwa 59,4% berobat ke tenaga kesehatan dan 40,6% berobat ke non
tenaga kesehatan. Jika melihat pilihan pengobatan maka 39,4% lansia memilih mengobati
sendiri. Hasil anal isis bivariat mendapatkan variabel yang secara signifikan berhubungan
dengan perilaku pencarian pengobatan adalah persepsi akibat, persepsi kegawatan,
kepesertaan dalam posyandu lansia, lamanya sakit dan adanya pengantar (p
Analisis multivariat mendapatkan variabel yang berhubungan adalah persepsi akibat,
persepsi kegawatan, kepesertaan dalam posyandu lansia dan adanya pengantar (p<0,05).
Variabel yang mempunyai pengaruh dominan adalah persepsi kegawatan (OR~ 96,08)
Dari basil penelitian disarankan pemberdayaan Posyandu sebagai sarana
pendidikan kesehatan lansia, pelatihan kader dan lansia sebagai opinion leader. Bagi
LSM dan lembaga pemerbati lansia diharapkan memberi dukungan karena somber daya
pemerintah terbatas. Perlu penelitian lanjutan mengenai posyandu lansia, pemillihan
pengobatan pada penyakit tertentu dan pengaruh akulturasi.

Abstract
Yogyakarta is a city which has the highest life expectancy in Indonesia
(74,9 years old) and a high proportion of older people which is 13% (compare to
national proportion ±&%). Nationally. the prevalence of joint diseases is 30.00Al
for all ages, meanwhile prevalence of joint diseases among older people is 52,3%.
This group of disease has become the main cause of disability worldwide,
especially for older people. Old people tend to have self-medication as stated in
national survey (63,13%).
The objective of this research was to investigate what were the
deteminants of treatment seeking behavior among older people with rheumatism
complaint in Yogyakarta in 2009. The subjects of this research were older people
(" 6Q y.o) who lived in Yogyakarta. Primary data were collected using a
questionnaire. Variables that have been investigated were age, sex,. ethnicity,
education level, occupation. fixed income~ additional income. participatory in
"Posyandu Lansia", perceived of seriousness, perceived of disturbance, suggestion
and accompaniment to go to the treatment provider,
This research found out that 59,4% Older people go to beaith practitioners
and 40}6% go to non~health practitioners. Based on place choice;; 39,4% older
people prefer self~treatment to others. Bivariate analysis showed that
participatory in "Posyandu Lansia", perceived of seriousness, perceived of
disturbance, duration of disease and accompaniment are significant variables
relate to treatment seeking behavior (p < 0~05). In multivariate analysis, variables
which were significant were participatory in "Posyandu LansiaJ', perceived of
seriousness, perceived of disturbance, and accompaniment (p<0,05). The
dominant variable was perceived of disturbance (OR= 96,08)
It is suggested to do revitalization on "Posyandu Lansia, as a tool for older
people health education, training for "kadei'' and opinion leader. NGO and
institutions that concern on aging issue should participate as the government's
sources are limited. It necessary to do further research on "Posyandu Lansla,
treatment seeking behavior on certain diseases and influence of social
acculturation."
2009
T32496
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Suryansyah
"Demam reumatik (DR) dan penyakit jantung reumatik (PJR) masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang, termasuk Indonesia. Demam reumatik dapat meninggalkan gejala sisa yang permanen, mengganggu tumbuh kembang anak dan dapat pula menimbulkan kematian. Istilah reumatik seolah-olah memberi kesan penyakit sendi, namun pengaruh pada jantung yang membuat penyakit ini penting. Bila DR tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan parut pada katup jantung yang disebut PJR.
Demam reumatik merupakan penyebab utama penyakit jantung didapat pada usia anak 5 tahun sampai usia dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan sosial ekonomi rendah, dan jarang ditemukan pada anak di bawah usia 5 tahun. Angka kejadian DR/PJR di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya masih tinggi, diperkirakan prevalens PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8.per 1000 anak berusia 5-15 tahun tetapi angka pasti insidens penyakit ini masih sulit ditentukan mengingat sistem pencatatan dan pelaporan kurang memadai."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pedroni, Gabriella
Basle: Pharma Information, 1990
362.1 PED s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Marthias
"ABSTRAK
Latar belakang: Studi sebelumnya menyimpulkan bahwa mitral valve gradient (MVG) merupakan parameter selain area katup mitral (AKM) yang berhubungan dengan perbaikan gejala pasca komisurotomi mitral transkateter perkutan (KMTP). Oleh karena itu, studi diperlukan untuk menjelaskan hubungan MVG terhadap perbaikan gejala secara objektif, dalam bentuk kapasitas fungsional.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan MVG terhadap perubahan kapasitas fungsional pasca KMTP.
Bahan dan Metode: Studi quasi experimental dengan one group pre-post design terhadap 78 subjek. Pemeriksaan ekokardiografi dan treadmill Bruce termodifikasi dilakukan 1-2 hari sebelum dan 1-2 minggu setelah KMTP. Data sebelum dan setelah KMTP dianalisis untuk mencari hubungan variabel terhadap perbaikan kapasitas fungsional pasca KMTP. Perbaikan kapasitas fungsional didefinisikan sebagai perubahan lama latihan > 180 detik pasca KMTP.
Hasil: Rerata usia adalah 42 tahun, mayoritas perempuan (3,6:1) dengan rerata IMT 22,27 kg/m2. Sebesar 5,1% pasien merokok dengan komorbid stroke sebesar 14,1%. Sebelum KMTP, 53% memiliki irama sinus dengan mayoritas memiliki fungsi ventrikel kiri yang baik (rerata ejeksi fraksi 62%) dan fungsi ventrikal kanan yang baik (median tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) 20 mm). Sebesar 97% pasien datang dengan kelas NYHA II sebelum KMTP dan mengalami perbaikan signifikan kapasitas fungsional pasca KMTP berupa perbaikan median lama latihan (241(18-1080) ke 603(30-1900) detik, p < 0,001) dan perbaikan median nilai VO2max estimasi (18,8(10,2-51,4) ke 32,8(10,6-83,2) mlO2/kg/menit, p<0,001). Dari uji korelasi, didapatkan variabel usia (r -0,23, adjusted R2=4,1%), pre-MVG (r 0,23, adjusted R2=4,2%), Δ MVG (r 0,31, adjusted R2= 9,0%) , dan pre-TR Vmax (r 0,3, adjusted R2=1,3%) berkorelasi terhadap perubahan kapasitas fungsional. Perbaikan kapasitas fungsional segera pasca KMTP tidak berhubungan dengan AKM pasca KMTP ≥ 1,5 cm2 (p= 0,14) dan perubahan AKM ≥ 200% pasca KMTP (p= 0,18). Penurunan MVG > 50 % pasca KMTP (OR 2,89, IK 95% 1,06-7,92; p = 0,038) dan TR Vmax sebelum KMTP > 3,4 m/s (OR 3,42, IK 95% 1,19-9,83; p = 0,023) merupakan prediktor perbaikan kapasitas fungsional segera pasca KMTP.
Kesimpulan: Penurunan MVG lebih dari 50% pasca KMTP berhubungan dengan perbaikan kapasitas fungsional segera pasca KMTP.

ABSTRACT
Introduction: Previous studies had shown that mitral valve gradient (MVG) was other parameter than mitral valve area (MVA) which had correlation with symptom improvement post baloon mitral valvuloplasty (BMV). However, further study is needed to illuminate the assocation of MVG with clinical improvement objectively, in term of functional capacity.
Objective: This study aimed to determine the association between MVG and functional capacity alteration after BMV.
Material and Methods: Quasi exsperimental study with one group pre-post design was applied in 78 subjects. Echocardiography and Modified Bruce Protocol assessment were done 1-2 days before and 1-2 weeks after BMV. Pre and post data were analized to obtain association of variables with functional capacity alteration immediately after BMV. Improvement of functional capacity was defined as alteration of exercise time more than 180 seconds after KMTP.
Results: The mean age was 42 y.o, female dominant (3,6:1), mean BMI was 22,27 kg/m2. Of 5,1% patient were smoker with most commonly observed comorbidities include stroke (14,1%). Majority 53% had sinus rhythm with dominant good left ventricular function (mean ejection fraction 62%) and good right ventricular function (median tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) 20 mm). Of 97% patients presented with NYHA class II before BMV with significant improvement of functional capacity after BMV such as median exercise time alteration (241(18-1080) to 603(30-1900) s, p < 0,001) and median estimate VO2 max value alteration (18,8(10,2-51,4) to 32,8(10,6-83,2) mlO2/kg/minute, p<0,001). From correlation test, age (r -0,23, adjusted R2=4,1%), pre-MVG (r 0,23, adjusted R2=4,2%), Δ MVG (r 0,31, adjusted R2= 9,0%), and pre-TR Vmax (r 0,3, adjusted R2=1,3%) were corelated with functional capacity alteration. Improvement of functional capacity did not significantly associate with post MVA>1,5 cm2 (p= 0,14) and AKM alteration after BMV ≥ 200% (p= 0,18). Reduction of MVG > 50 % after BMV (OR 2,89, 95% CI 1,06-7,92; p = 0,038) and TR Vmax before BMV > 3,4 m/s (OR 3,42, 95% CI 1,19-9,83; p = 0,023) were predictor of functional capacity improvement immediately after BMV.
Conclusions: Reduction of MVG more than 50% had association with immediate improvement of functional capacity post BMV."
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayushi Eka Putra
"Introduksi: Belum banyak studi yang meneliti parameter laboratorium sederhana sebagai prediktor trombus di atrium kiri pada subset stenosis mitral rematik. Selain itu, saat ini masih sangat sedikit studi yang menjelaskan patomekanisme trombus atrium kiri yang berkaitan dengan komponen hemorheologi pada pasien dengan mitral stenosis rematik. Tujuan: menilai hubungan parameter hemorheologi dari laboratorium sederhana Red Cell Distribution Width, Mean Platelet Volume, hematokrit, dan jumlah trombosit dengan kejadian trombus atrium kiri pada stenosis mitral rematik. Metode: Dilakukan studi potong lintang analitik LAMIA Study dengan pengumpulan data terhadap pasien stenosis rematik yang signifikan dimulai dari tanggal 1 Januari 2018 hingga 31 Juli 2021. Evaluasi trombus ditegakkan dari ekokardiografi transtorasik atau transesofagus. Pemeriksaan lab diperiksa dalam waktu 10 hari sebelum evaluasi ekokardiografi. Subjek dengan regurgitasi mitral yang signifikan akan dieksklusi. Hasil: Dari 318 subjek dengan stenosis mitral rematik signifikan yang diikutsertakan dalam penelitian, didapatkan sebanyak 102 pasien (32%) memiliki trombus di atrium kiri. Dari seluruh pasien, diketahui subjek dengan ritme atrial fibrilasi sebanyak 63.8% dan ritme sinus 36.2%. Hematokrit ≥ 45.15 % (OR 2.98; IK 95% 1.27 - 6.98, p = 0.012), Irama atrial fibrilasi (OR 2.39; IK 95% 1.10-5.20, p = 0.028), fraksi ejeksi ventrikel kiri ≥ 56.68 % (OR 0.42; IK 95% 0.23 - 0.77, p = 0.005), dan TAPSE ≥ 18.10 mm (OR 0.44; IK 95% 0.230 - 0.83, p = 0.011) berhubungan secara signifikan dengan kejadian trombus atrium kiri dari hasil analisis multivariat. Kesimpulan: Peningkatan hematokrit berhubungan secara signifikan dengan kejadian trombus atrium kiri, sedangkan nilai RDW dan jumlah platelet tidak berhubungan dengan kejadian trombus di atrium kiri pada stenosis mitral rematik. Kata kunci: LAMIA study, hematologi sederhana, trombus atrium kiri, stenosis mitral rematik

Introduction: Only few studies have investigated simple laboratory parameters as predictors of left atrial thrombus in subset of rheumatic mitral stenosis. In addition, there are currently very few studies describing the pathomechanism of left atrial thrombus related to the hemorheological component in patients with rheumatic mitral stenosis. Objective: A study was conducted to assess the causal relationship of hemorheological parameters from a simple laboratory Red Cell Distribution Width (RDW), Mean Platelet Volume (MPV), hematocrit, and platelet count with the incidence of left atrial thrombus in rheumatic mitral stenosis. Methods: A cross-sectional analytical, LAMIA Study, was conducted with data collection on patients with significant rheumatic stenosis starting from 1 January 2018 to 31 July 2021. Thrombus evaluation was established by transthoracic or transesophageal echocardiography. Lab tests were performed within 10 days prior to the echocardiographic evaluation. Subjects with significant mitral regurgitation will be excluded. Results: Of the 318 subjects with significant rheumatic mitral stenosis included in the study, 102 patients (32%) had a thrombus in the left atrium. Of all the patients, it was known that subjects with atrial fibrillation rhythm as much as 63.8% and sinus rhythm 36.2%. Atrial fibrillation rhythm (OR 2.39; 95% CI 1.10-5.20, p = 0.028), left ventricular ejection fraction ≥56.68 % (OR 0.42; 95% CI 0.23 - 0.77, p = 0.005), TAPSE ≥18.10 mm (OR 0.44; 95% CI 0.230 - 0.83, p = 0.011), and hematocrit ≥45.15% (OR 2.98; 95% CI 1.27 - 6.98, p = 0.012). Conclusion: Increased hematocrit was significantly associated with the incidence of left atrial thrombus, whereas RDW and platelet count were not associated with the incidence of left atrial thrombus in rheumatic mitral stenosis. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Novery
"Latar belakang: Kriteria klasifikasi ACR 1997, SLICC 2012, dan EULAR/ACR 2019 telah banyak digunakan untuk membantu penegakan diagnosis LES. Sensitivitas dan spesifisitas masing-masing klasifikasi tersebut telah banyak dilaporkan pada populasi dewasa. Akan tetapi, penelitian performa diagnostik pada populasi anak masih sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan performa diagnostik ketiga kriteria klasifikasi tersebut pada LES anak.
Metode: Rekam medis pasien yang tercatat sebagai penderita penyakit autoimun dengan hasil ANA positif pada periode Januari 2010-Mei 2021 diikutsertakan dalam penelitian. Rekam medis ini kemudian dinilai oleh dua orang konsultan alergi-imunologi untuk penentuan diagnosis LES atau bukan LES. Setiap kasus kemudian diekstrapolasi ke dalam ketiga kriteria klasifikasi, kemudian dinilai performa diagnostik.
Hasil: Sebanyak 86 kasus LES (rerata usia saat diagnosis 12,73±2,97 tahun) dengan rasio perempuan : lelaki adalah 11:1 dan 44 kasus bukan LES (rerata usia saat diagnosis 8,86±4,78 tahun) dengan rasio perempuan : lelaki adalah 2:1. Kriteria klasifikasi EULAR/ACR 2019 memiliki sensitivitas tertinggi sebesar 100% dibandingkan dengan ACR 1997 (90%) dan SLICC 2012 (98%). Spesifisitas ACR 1997, SLICC 2012, dan EULAR/ACR 2019 masing-masing 90%, 86%, dan 68%. Nilai prediksi positif ACR 1997 tertinggi dibandingkan SLICC 2012 dan EULAR/ACR 2019 yaitu 94%, 91%, dan 86%. Sedangkan, nilai prediksi negatif EULAR/ACR 2019 tertinggi dibandingkan ACR 1997 dan SLICC 2012 masing-masing 100%, 83%, dan 95%.
Simpulan: Kriteria klasifikasi EULAR/ACR 2019 memiliki sensitivitas tertinggi, sedangkan kriteria klasifikasi ACR 1997 memiliki spesifisitas yang paling baik dibandingkan dua kriteria klasifikasi lainnya.
Background: The classification criteria of ACR 1997, SLICC 2012, and EULAR/ACR 2019 have been widely used to establish the diagnosis of childhood-onset SLE. The sensitivity and specificity of these classification criteria have been reported in the adult-onset SLE. However, only few studies have been conducted in the childhood-onset SLE. This study aims to compare the diagnostic performance of the three classification criteria in childhood-onset SLE.
Methods: Medical records of patients diagnosed with autoimmune diseases who had positive ANA from January 2010 to May 2021 were reviewed.  Each record was assessed by two allergy-immunology consultants to determine the diagnosis of SLE or not SLE. Each subject data was extrapolated to fullfil classification criteria and was calculated of the diagnostic performance.
Results: This study consisted of 86 cases of SLE (mean age at diagnosis 12.73±2.97 years), female to male ratio was 11:1. There were 44 subject non-SLE (mean age at diagnosis 8.86±4.78 years), female to male ratio was 2:1. The sensitivity of EULAR/ACR 2019 was 100% (the highest sensitivity) while SLICC 2012 was 98% and ACR 1997 was 90%. The specificity of ACR 1997, SLICC 2012, and EULAR/ACR 2019 were 90%, 86%, and 68%, respectively. The positive predictive value for 1997 ACR was the highest one compare to SLICC 2012 and EULAR/ACR 2019 (94%, 91%, and 86%, respectively).  Meanwhile, the negative predictive value for EULAR/ACR 2019, SLICC 2012, and ACR 1997 were 100%, 95%, and 83%, respectively.
Conclusion: The classification criteria of EULAR/ACR 2019 has the highest sensitivity and ACR 1997 has the highest specificity than the other classification criteria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam
"Latar belakang: Artritis idiopatik juvenil (AIJ) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan sendi kronis. Anak dengan AIJ akan mengalami hambatan pertumbuhan tulang yang disebabkan beberapa mekanisme langsung maupun tidak langsung. Sebanyak 40-50 % pasien AIJ memiliki densitas mineral tulang yang rendah pada tulang belakang lumbal dan panggul. Densitas mineral tulang yang rendah dipengaruhi beberapa faktor yaitu klasifikasi penyakit, lama sakit, indeks masa tubuh, status pubertas, aktivitas penyakit, aktivitas fisik, kadar 25(OH)D, dosis kumulatif kortikosteroid, dan dosis metotreksat.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui densitas mineral tulang pada pasien AIJ dan faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan melibatkan 32 pasien AIJ. Pemilihan subjek dilakukan berdasarkan data registri pasien AIJ di poliklinik Alergi-Imunologi RSCM dan RSAB Harapan Kita tahun 2014-2019. Densitas mineral tulang diperiksa dengan Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) dengan melihat skor Z. Dilakukan analisis bivariat untuk mencari hubungan antara variabel terhadap densitas mineral tulang.
Hasil: Densitas mineral tulang total rerata adalah 0,86 g/cm2. Sebanyak 22 subjek mempunyai densitas mineral tulang rendah (osteopenia) dengan nilai skor-Z L1-L4 ≤-2 sedangkan 10 subjek menunjukkan hasil normal. Tidak ditemukan fraktur tulang belakang pada seluruh subjek. Osteopenia banyak ditemukan pada anak dengan dosis kumulatif metotreksat yang lebih banyak (p=0,016). Faktor-faktor lainnya tidak terbukti berhubungan dengan densitas mineral tulang yang rendah.
Simpulan: Sebagian besar pasien AIJ mengalami gangguan densitas mineral tulang. Dosis metotreksat yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit merupakan faktor yang berperan untuk terjadinya osteopenia.

Background: Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) is an autoimmune disease characterized by chronic inflammatory arthritis. The disease will affect bone development in children with JIA through direct and indirect mechanisms. About 40-50 % patient with JIA have low bone mineral density in the spine. The low bone mineral density is associated with disease classification, disease duration, body mass index, puberty status, disease activity, physical activity, 25(OH)D level, cumulative doses of corticosteroid and methotrexate.
Objective: This study aimed to investigate bone mineral density in children with JIA and its associated factors.
Method: A cross-sectional study involving 32 children with JIA. Patients were selected based on registry data in the outpatient clinic, subdivision of Allergy and Immunology, Department of Child Health, Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital and Harapan Kita Women and Children Hospital between 2014-2019. Bone mineral density was measured using Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) and reported using Z score. Bivariate analysis was used to identify factors associated with bone mineral density.
Result: The mean bone mineral density was 0,86 g/cm2. Low bone mineral density (osteopenia) occurred among 22 patients (Z score ≤-2 at L1-L4). 10 patients have normal bone mineral density. No vertebral fracture was seen on x-ray. Osteopenia was mainly found in patients with higher cumulative doses of methotrexate (p=0,016). The other factors were not associated with low bone mineral density.
Conclusion: Most patients with JIA have low bone mineral density. Low bone mineral density tends to occur among patients with higher cumulative doses of methotrexate treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Sedjahteraa
"Kemunculan MDR-TB menghambat program pemberantasan TB dan berakibat pada meningkatnya angka kematian dan beban control TB. Tempat pengobatan TB, termasuk riwayat pengobatan, sangat mungkin merupakan predictor MDR-TB yang kuat. Tujuan dari studi ini ada untuk mengidentifikasi dan menganalisis tempat pengobatan TB primer sebagai salah satu factor yang mungkin berkontribusi dalam perkembangan TB menjadi MDR-TB. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Desember 2009 hingga Agustus 2010. Mengguanakan metode cross-sectional, data didapatkan melaui wawancara mendalam dengan 50 pasien MDR-TB yang sedang mendapatkan pengobatan di klinik MDR-TB RS Persahabatan. Dalam jumlah besar pasien MDR-TB mendapatkan pengobatan di puskesmas (38%) dan dokter praktik pribadi (28%). Tidak ditemukan adanya assosiasi antara tempat pengobatan TB pertama dan kepatuhan pasien sedangkan assosiasi terlihat antara tempat pengobatan TB pertama dan peresepan obat gratis.

The emergence of MDR-TB hampers TB eradication program which resulted in high fatality rate and increase burden of TB control. TB treatment place, including history of treatment, might be a strong predictor of MDR-TB. The purpose of this study is to identify and analyze primary TB treatment place as the contributing factor that may lead to the development of TB towards MDR-TB. The data collection was done from December 2009 to August 2010 at Persahabatan Hospital. Using cross-sectional method, data is obtained through thorough interview of 50 MDR-TB patients undergoing treatment in MDR-TB Clinic in Persahabatan Hospital. Large proportion of MDR-TB patient received their primary TB treatment at puskesmas (38%) and private Practice (28%). It is found that there is no association between primary TB treatment place and patient compliance while association appears between primary TB treatment place and free drug prescription."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Musthofa
"Di Kabupaten Pacitan kasus malaria didominasi oleh pekerja musiman yang pulang bekerja dari luar jawa 347 orang (95,8% dari total kasus) pada tahun 2011. Berdasarkan surveilans aktif Puskesmas Tegalombo prosentase pekerja musiman bergejala klinis malaria yang pulang dari luar Jawa tidak memeriksakan ke layanan kesehatan sebesar 76,6%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku pencarian pengobatan malaria klinis pekerja musiman yang bekerja keluar pulau jawa setelah kepulangannya di daerah asal tempat tinggalnya. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Subyek penelitian sebanyak 270 pekerja musiman, berumur ≥ 17 tahun dengan gejala klinis malaria 1 bulan setelah kedatangannya dari luar Jawa.
Hasil penelitian menunjukkan 37,4% pekerja musiman melakukan pengobatan sendiri malaria klinis yang dideritanya. Terdapat hubungan yang bermakna antara variabel pengetahuan dan jarak dengan perilaku pencarian pengobatan malaria klinis pekerja musiman keluar Pulau Jawa dengan OR masing-masing 2,43 (95% CI; 1.411-4.171) dan 3,38 ( 95 CI; 1,945- 5,862) Pendekatan layanan kesehatan hendaknya di ikuti dengan peningkatan pengetahuan petugas kesehatan khususnya bidan desa dan perawat untuk melakukan pengambilan sediaan darah guna penegakan diagnosis pasti malaria. Diperlukan peningkatan pengetahuan pekerja musiman melalui media penyuluhan.

In Pacitan district case of malaria dominated by temporally workers who return to work from outside Java island. In 2011 total case of malaria by temporally 347 people (95.8% of total cases). Percentage of clinical malaria temporally workers who come from outside Java island not hecked into the Tegalombo health service is 76%. The Objective of this study was to determine clinical malaria treatment seeking behavior of temporally workers who work out of Java island after his return to his residence. Study design is cross sectional. Research subjects and as many as 270 temporally workers aged ≥ 17 years, one month after his arrival from outside Java.
The results showed 37% of temporally workers make own treatment of clinical malaria symptoms that their suffered. There is a significant association between the variables of knowledge and distance with a clinical malaria treatment seeking behavior temporally workers with respective OR 2.43 (95% CI: 1411-4171) and 3.38 (95 CI: 1.945 to 5.862). Health care approach should be followed by an increase in knowledge of health workers, especially midwives and nurses to perform collection of blood preparation for definite diagnosis of malaria. Required increased knowledge of temporally workers through media outreach.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31748
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adelina Vidya Ardiyati
"Praktik residensi spesialis keperawatan medikal bedah dengan kekhususan pada system musculoskeletal dilaksanakan selama 1 tahun yang bertujuan untuk mengaplikasikan peran perawat sebagai pemberi asuhan, pendidik, peneliti, dan innovator. Peran sebagai pemberi asuhan dilakukan dengan mengelola sebanyak 30 pasien yang mengalami masalah system musculoskeletal dan 1 pasien kelolaan utama dengan kasus OA Genu Bilateral Grade 4 dengan deformitas Varus dan Hipertensi dengan pendekatan Need Theory Handerson. Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit radang kronis pada area sendi yang bersifat degenerative dan progresif. Osteoarthritis dilaporkan sebagai salah satu penyebab utama disabilitas. Penatalaksanaan Osteoarthritis dapat beragam tergantung pada derajat OA, mulai dari pemberian therapi analgesic, therapy latihan dan aktifitas, atau tindakan operasi penggantian sendi atau Arthropasty, sehingga dibutuhkan peran perawat dalam menangani pasien dengan OA. Peran perawat sebagai peneliti dilakukan dengan penerapan posisi kaki “knee flexion” untuk menurunkan jumlah kehilangan darah dan memfasilitasi mobilisasi lebih awal pada pasien post operasi penggantian sendi lutut atau Total Knee Replacement. Sedangkan peran sebagai pendidik dan innovator dilakukan dengan memberikan edukasi berbasis Web untuk meningkatkan persepsi kesiapan pulang pada pasien Hip Arthroplasty yang dievaluasi menggunakan kuesioner Readiness for Hospital discharge Scale (RHDS).

The practice of medical surgical nursing specialist residency with a specialization in the musculoskeletal system which has been carried out for 1 year aims to apply the role of nurses as caregivers, educators, researchers, and innovators. The role as a care provider is carried out by managing 30 patients who have problems with the musculoskeletal system and one main case of Ostearthritis Genu Bilateral Grade 4 with Varus deformity and Hypertension with the Need Theory Handerson approach. Osteoarthritis (OA) is a chronic inflammatory disease in the joint area that is degenerative and progressive. Osteoarthritis is reported as one of the leading causes of disability. Osteoarthritis management can vary depending on the degree of OA, ranging from providing analgesic therapy, exercise and activity therapy, or joint replacement surgery or arthropasty, so the role of nurses is needed in treating patients with OA. The nurse's role as a researcher is carried out by applying the knee flexion to reduce the total of blood loss and facilitate early mobilization in postoperative Total Knee Replacement patients. Meanwhile, the role of educator and innovator is carried out by providing Web-based education to increase the perception of readiness for discharge in Hip Arthroplasty patients who were evaluated using the Readiness for Hospital discharge Scale (RHDS) questionnaire.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>