Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176184 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amalia Primarini
"Program ini bertujuan umuk mengembangkan kcmampuan motorik halus anak dalam rangka menunjang kematangan sekolah anak Sena mcngajarkan kemampuan menggunal-can mesin tik braille. Terdapat tiga teknik dasar modifikasi perilaku yang digunakan pada rancangan intcrvensi ini yaitu teknik shaping, fading, dan prompiing. Martin dan Pear (2003) mengatakan bahwa teknik fading dapat di gunakan untuk membentuk perilaku pada anak dengan gangguan perkembangan, autis, atau anak yang berusia sangat muda. Mrdiirgjuga sesuai digunakan umuk meningkatkan keahlian yang belum dikuasai oleh anak seperti misalnya melatih jan dalam mengetik (Vcnkatesan, 2006).
Program terdiri atas tujuh tahap dan menggunakan beberapa alat bantu yang disesuaikan dengan masing-masing tahapan. Mulai dan tahapan pendahuluan 1 dimana anak diperkenalkan dengan kantung biji-bijian, pendahuluan IJ saat fasilitator mengajak anak umuk bermain dengan adonan tepung atau lilin mainan, kelima tahap selanjumya fasilitator meminta anak untuk menekan tuts sesuai dengan alat bantu yang telah disiapkan yaitu tahap Ipianika, tahap II piano mainan, tahap ITI mesin tik Iistrik, tahap IV mesin tik manual dan tahap V mesin tik braille. Prosedur pelaksanaan intewcnsi dimulai dengan fasilitator memberikan pronnmiing pada subyek untuk mengawali dan mengarahkan respon kepada target perilaku yang dikendaki. Jika pcrilaku subyek sudah tampil konsislen, maka perlahan pemberian prompting akan dikurangi sampai subyek mampu menampilkan tingkahlaku yang dikendaki dan fasilitator tidak lagi memberikan prompting (Martin & Pear, 2003). Bentuk I'(:’flM)l'(.°(£I)l¢:‘l!f yang diberikan pada program ini adalah social reiijorcemenl yaiw dengan memberikan sentuhan, ciuman, dan pelukan. Evaluasi program dilakukan bcrdasarkan data wawancara dan juga perbandingan tabel hasil pelaksanaan kegiatan pendahuluan dan tahap terakhir.
Kesimpulan program intewensi ini adalah subyek menunjukkan peningkatan kemampuan dalam menggunakan jan tangannya umuk menekan tuts mesin tik dengan teknik shaping, pronioring, danfading. Yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan program ini adalah perlunya tahap persiapan yang lebih matang dalam melatih kemandirian sebelurn mengajarkan anak untuk mengetik.

In order to enhance line motor skills for school readiness and in teaching using a type machine with Braille letters, blind children need support from their significant others. The methods used in this intervention program is shaping, prompting and fading. Shaping is a method to develop new behavior involving the used of reinforcement in the behavior that needs to be developed (Martin & Pear, 2003). Then, fading is a gradually process that have to be done step by step in order to eliminate the support that given whenever ones developing child’s new behavior, including teaching them how to type (Venkatesan, 2004).
This program consists of seven steps. The intervention uses a few tools which are conditioned with each step. In the first introductory step, child is introduced to two different kinds bag of seeds; in the second introdustory step, facilitator asks the child to play with wheat meal or clay; while in the next fifth steps facilitator asks child to click on tumbles designed according to the steps, namely in the first step pianica, in the second step playing piano, in the third electric type machine, in the fourth manual type machine and in the filth step, a Braille type machine. The procedure of this program starts whenever the facilitator give prompting to the child in order to build new target behavior. Ifthe behavior already consistenly shovtm then slowly facilitator fades the prompting to the child untill the child show the target behavior and the facilitator no longer give prompting (Martin & Pear, 2003). Social reinforcement is also given in the form of touch and embracement. Evaluation ofthe program is done based on intervention data and also comparison of evaluation table of the first introductory step with the last step.
In sum, the intervention program succeeded in enhancing subject’s use of fingers in typing with a type machine using the shaping, prompting and Riding technique. None the less, a few limitations are subject of improvement in the future, such as the urgently of prepring the first steps before the program is being held in order to develop the independence of child before they start. to leam how to type.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Penny Handayani
"Kemandirian merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki setiap anak. Pada anak dengan kebutuhan khusus, khususnya anak penyandang tuna netra total, kemandirian adalah salah sam kemampuan hidup yang hams dikuasai. Adanya hambatan penglihatan tersebut terkadang membuat anak menjadi tergantung kepada orang lain untuk pemenuhan kebutuhannya, terutama pada fimgsi bantu diri. Pada jenjang pendidikan prasekolah anak berkebutuhan khusus (usia 3-5 tahun), salah satu intervensi diri yang dapat diberikan kepada anak adalah pengembangan kemampuan fungsi bantu. Salah satu fungsii bantu diri sehari-hari yang perlu dikembangkan adalah fungsi bantu diri berpakaian.
Program ini bertujuan untuk membcntuk tingkah laku berpakaian, secara mandiri pada anak usia prasekolah (usia 3-5 tahun) penyandang tunanetra total. Kemandirian yang dimaksud disini adalah adanya tingkahlaku berpakaian dengan bantuan seminimal mungkin dan orang lain. Metode pembentukan tingkahlaku yang digunakan adalah dengan metodc prompting danfadding untuk tingkahlaku berpakaiau secara umum, serta shaping pada tingkahlaku menggunakan resleting dan kancing. Reinforcement yang diberikan adalah consumable reinforcement dan social reinforcement.
Program ini terdiri dari 15 sesi dengan tiga tahap. Tiga scsi awal merupakan sesi baseline dan 12 scsi lainnya adalah sesi intervensi. Materi intervensi dibcnkan secara bertahap. Tahapan intervensi yang terdapat dalam program ini adalah tahap satu: berpakaian sehari-han (kaos dan celana pendek berpinggang karat), tahap 2: berpakaian seragam (jaket dengan resleting, celana pendek dengan reslcting dan kemeja dengan kancing), serta tahap 3: review dan rerminasi. Tahap satu terdiri dari lima sesi, tahap dua terdiri dari lima scsi, dan tahap tiga terdiri daxi dua scsi. Keseluruhan sesi diberikan pada dua lokasig sekolah dan rumah subjek, pada situasi sehari»hari dengan alokasi waktu yang tidak dibatasi. Intervensi tambahan diberikan dengan konseling kepada orangtua dan pengasuh. Evaluasi program dilakukan setiap akhir tahap. Kesimpulan program intervensi ini adalah terdapat peningkatan kcmampuan berpakaian (sehari-hari dan seragam) melalui metode prompting dan fadding pada subjek.

Independence is one ability every child should have. For exceptional children, especially the totally blind children, independence is also one of the basic life skills that should be obtained. The optical disadvantages sometimes drive children to be dependent to some else to fulfil their needs, especially their self care needs. For exceptional preschool children (3-5 years old), one of the early intervention that can be given is the development of daily self care skills. One of those daily self care skills is getting dressed.
The purpose of this program is to shape the independence getting dressed behaviour on totally blind preschool children (3-5 years old). The independence getting dressed behaviour implies here are the skills to get dressed with minimal helps form others. The behaviour modification method used are prompting and fading for general getting dressed behaviour and shaping on zippers and button used behaviour. Reinforcements given are consumable reinforcement and social reinforcement.
These programmes consist of I5 sessions with three stages. Three early sessions are baseline sessions and the rest 12 sessions are interventions sessions. Interventions are given trough stages. The intervention stages in this programme are stage one: every day getting dressed skill (T-shirt and elastic shorts), stage two: uniform getting dress skills (jacket with zipper, shorts with zippers and shirt with buttons), and stage three: is review and termination. Stage one consist of tive sessions, stage two consist of tive sessions, and stage three consist of two sessions. Overall sessions are given in two location; subject’s school and house, in every day situation setting with no time limitation. Additional intervention is given with parent and caregiver counselling Evaluations are given every time each stage ends. Overall conclusion is there an improvement in subject getting dressed behaviour through prompting and fading method.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34078
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Botutihe, Sukma Nurilawati
"Dalam upaya menangani perilaku yang tidak diharapkan dari anak, perlu dilakukan perubahan perilaku. Perubahan tersebut akan menjadi efektif dengan adanya kontrol dan keterlibatan orang tua. Oleh karena itu orang tua perlu diberikan pelatihan dalam mengupayakan teknik modifikasi perilaku pada anak (Schaefer & Briesmeister, 1989). Untuk itu disusun program intervensi yang diawali dengan pelatihan pada ibu Dj (ibu kandung), sehingga ibu Dj dapat menerima kondisi O dan kemudian menerapkan pengetahuan dan keterampilan melakukan modifikasi perilaku terhadap O. Program intervensi dengan teknik modifikasi perilaku melalui pemberian token ekonomi ini ditujukan untuk perubahan perilaku belajar O. O adalah seorang anak penyandang low vision yang berusia 7 tahun 9 bulan. Keberhasilan intervensi yang ditunjukkan dengan adanya perubahan perilaku belajar O, sangat dipengaruhi oleh penerimaan ibu Dj terhadap kondisi O."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T38102
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Samantha
"Menunit Hallahan & Kaufmann (2006)asperger syndrome merupakansalah satu bentuk autisme namun dalam derajat yang ringan. Masalah utamadari merekaterletak dalam interaksi sosial. Attwood (2005) mengemukakan bahwaanakdengan asperger syndrome tampaknya tidak menyadari tata krama tak tertulisdalamkehidupan sosial.
Terdapat beragam teknik yang bisa digimakan untuk membantu individu autistik untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka. MenurutGray (dalam Fullerton, et.al, 1996), pemberian cerita sosial efektif untuk individu autistikyang memiliki kemampuan untuk memahami materi tertulis. Lalu, teknik prompt dan pemberian reward/merupakan salah satu strategi mengajarkan perilaku sosial yang biasa digunakan untuk mengajarkan individu penyandang autistik untuk memulai inter^si dengan tepat menurut Strain, Kohler& Goldstein (dalam Mash & Wolfe, 2005).
Intervensidalam penelitian ini mengimplementasikan perpaduan antara teknik pemberian cerita sosial dengan pelaksanaan rangkaian modifikasi perilaku (promptingreinforcement danfading) untuk remajadengan aspergersyndrome. Hasil dari intervensi ini menunjukkan bahwa pelaksanaan keduateknik tersebut cukup efektifdalam membantu remaja yang bersangkutan. Pemberian cerita sosial dapat membantu mengingatkan subjek akan tujuan dan sebabakibat dari aturan sosial yang berlaku pada kesehariannya, yaitu untuk meminta izin sebelum meminjam barang kepada orang lain. Lalu, subjek jugadapat meminta izin sebelum meminjam barangatau meminta sesuatu setelah diberikanprompt oleh significant others-nya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T38037
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Dwi Handayani
"Tesis desain ini membahas tentang pembentukan sebuah ruang arsitektur yang dihasilkan dari memahami respon inderawi yang dihasilkan dari seseorang yang memiliki keterbatasan visual (low vision) yang berproses memahami ruang secara bertahap. Proses terbentuknya sebuah ruang diturunkan dari pendekatan bagaimana seorang penderita low vision bergerak dan beraktifitas dalam lingkungannya. Riset ini dilakukan menggunakan tiga metode berbeda, yaitu yang pertama mengamati pengalaman visual dalam mengapresiasi media film, yang kedua memahami aktifitas keseharian di dalam ruang diri yang sudah dikenali, dan yang ketiga adalah memahami ruang diri yang baru pertama kali dialami.
Pendekatan narasi yang terbentuk dalam memahami ruang menghasilkan beberapa proposisi penting yaitu penggunaan karakter ruang dengan warna-warna kontras, metode berjalan dan berhenti untuk melakukan reorientasi posisi, pengabaian aspek detail dan pengutamaan aspek fungsional, dan faktor-faktor pendukung lainnya. Low vision dalam kondisi yang sangat umum, terjadi tidak hanya pada satu kelompok differently-able saja, tetapi dapat digeneralisasi terjadi juga pada generasi lanjut usia (elderly).
Pendekatan arsitektural berbasis narasi ini diterapkan dalam desain sebuah fasilitas publik untuk kelompok lanjut usia (elderly). Kecenderungan kenaikan jumlah penduduk lanjut usia dalam komposisi penduduk suatu kota menunjukkan pentingnya perhatian khusus terhadap eksistensi mereka dalam ruang publik. Mengakomodasi kebutuhan mereka secara arsitektural menjadi sangat perlu agar mereka sebagai kelompok yang memiliki keterbatasan secara visual mampu bergerak dan beraktifitas secara mandiri dalam ruang hidupnya.

This design thesis develops a method of forming an architectural space generated from the understanding of the sensory response of a person with visual limitations (low vision) in the process of understanding the space gradually. The process of space formation is derived from how a person with low vision moves and conducts activities in the environment. The research was conducted through three different methods, the first one is observing the visual experience with the film as a media, the second one is understanding the spatial experiences in the daily activities within familiar space, and the third one is understanding the spatial experiences in non-familiar space.
The resulting narrative approach produced several important propositions, namely the use of spatial qualities with contrasting colors, the method of moving, walking and stopping to reorient the position, ignored details and enhanced functional aspects, and other supporting factors. Low vision in a very common condition, occurs not only in a differently-able group, but it can also generally occurs in the elderly group.
This narrative-based architectural approach is then applied in the design of a public facility for the elderly. The increasing tendency in the number of elderly in the urban population suggests the importance of special attention to their existence in public space. Architecture that could accommodate the spatial needs of people with visual limitations become necessary to enable them to move and to experience their life space independently.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
T28803
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Larissa M.S.P.
"Penulisan ini bertujuan untuk memahami bagaimana sebuah lingkungan interior dapat menghadirkan kualitas spasial yang menciptakan kontrol terhadap pergerakan (movement) dalam konsep continuous interior. Proses pemahaman ini ditelusuri melalui studi mengenai pembentukan sistem persepsi yang melibatkan fungsi sensori dan gerak tubuh.
Studi kasus dilakukan dengan melakukan penelusuran terhadap lingkungan interior melalui perspektif penyandang low vision. Ketidakoptimuman fungsi sensori visual terkait persepsi ruang, berdampak pada kesulitan berorientasi dan bernavigasi.
Studi terhadap penelusuran memberikan temuan bahwa beberapa perlakuan terhadap elemen-elemen ruang mampu menghasilkan kualitas spasial yang ditawarkan dalam konsep "continuous interior". Perlakuan terhadap elemen ruang yang repetitif menghasilkan kualitas kontinuitas (continuity).
Selain itu, perlakuan terhadap elemen ruang yang berfungsi sebagai landmark atau penanda menghadirkan kualitas keberagaman program (diversity of programme). Kedua kualitas spasial tersebut kemudian mampu mengarahkan alur pergerakan (directed flow) pernyandang low vision.

This undergraduate thesis focuses on understanding how an interior environment offers spatial qualities that could create control on movement, by looking at a theory called "continuous interior". The understanding process involves study on the construction of the perception system, which further involves comphrehension on sensory system and body movement.
Study cases for this thesis are done by interviewing and having a walk through an interior environment with people whom have low vision. The involvement of people with low vision is to understand the perspective of space from a low vision point of view, which leads to difficulties on orienting and navigating through space.
From the study case, it is found that several treatments towards spatial elements could create spatial qualities (continuity, diversed programme, directed flow) proposed by the theory of "continuous interior". Repetitive treatments on spatial elements create the spatial quality of continuity. Other than that, elements that are designed as landmarks create the spatial quality of diversed programmed. Both the spatial quality of continuity and diversed programme then creates another spatial quality of directing the movement (directed flow) of people with low vision.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S65351
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lukfawan Trijati
"Salah satu jenis paduan aluminium-silikon tuang yang digunakan pada industri otomotif adalah AC4B, antara lain untuk komponen cylinder head dengan proses Low Pressure Die Casting (LPDC). Masalah dominan pada proses pengecoran LPDC adalah cacat kebocoran akibat shrinkage. Untuk mengatasi masalah ini, sering ditambahkan penghalus butir titanium yang berfungsi sebagai partikel pengintian awal dan diharapkan dapat mengontrol laju pembekuan sehingga distribusi shrinkage yang terjadi akan lebih merata. Masalah lain yang juga timbul adalah fading karena siklus proses LPDC yag mencapai 4 jam. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan studi mengenai waktu fading dari penambahan penghalus butir.
Penghalus butir yang ditambahkan pada penelitian ini sebesar 0,072 wt. % Ti. Siklus proses pada mesin LPDC berlangsung selama 4 jam, oleh karena itu dilakukan penelitian terhadap berapa lama waktu pemudaran (fading) dari penghalus butir titanium. Lama waktu pemudaran (fading) diamati melalui pengujian kekerasan, pengujian tarik, dan perhitungan Dendrite Arm Spacing (DAS) melalui pengamatan struktur mikro. Penelitian ini juga menggunakan SEM dan EDAX untuk mengetahui fasa intermetalik yang terbentuk. Sampel terdiri dari dua bagian yaitu pada bagian tipis yang mengalami pembekuan cepat dan pada bagian tebal yang mengalami pembekuan normal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan penghalus butir dengan kadar 0,072 wt. % Ti meningkatkan kekerasan, kekuatan tarik, dan berkurangnya DAS. Kekerasan dari paduan AC4B tanpa dan dengan penambahan 0,072 wt. % Ti pada sampel bagian tipis adalah 87,48 BHN dan 91,99 BHN. Kekerasan dari paduan AC4B tanpa dan dengan penambahan 0,072 wt. % Ti pada sampel bagian tebal adalah 83,43 BHN dan 89,42 BHN. Kekuatan tarik dari paduan AC4B tanpa dan dengan penambahan 0,027 wt. % Ti adalah 172,07 MPa dan 128,89 MPa. Sampel bagian tipis mulai mengalami fading setelah 1 jam diamati dari pengujian kekerasan. Sampel bagian tebal mulai mengalami fading pada waktu di bawah 1 jam diamati dari pengujian kekerasan dan perhitungan DAS. Fasa intermetalik yang dapat diamati adalah adalah Al2Cu yang berwarna terang, β-Al15(Fe,Mn)3Si2 yang berwarna abu abu muda (jarum atau blok), fasa Si (jarum) yang berwarna abu abu gelap, dan matriks aluminium.

AC4B is one of aluminium silicon cast alloys used on automotive industries for producing cylinder head with Low Pressure Die Casting (LPDC). The main problem on LPDC process is leakage caused by shrinkage. To counter these problem, titanium grain refiner which acts as early nucleant agent was added to control the solidification rate, which leads to more distributed shrinkage. Other problems that also occurred is fading, due to 4 hours cycle process of LPDC. This research was conducted to study the effect of fading from the addition of grain refiner.
The addition of grain refiner on this research was 0.072 wt. % Ti. The process cycle on LPDC is four hours, so the research was conducted to study fading time of titanium grain refiner. Fading time was observed through hardness testing, tensile testing, and microstructure examination to count Dendrite Arm Spacing value. SEM and EDAX observation was also conducted to read phases that occur. Samples was taken from thin part which has high solidification rate and thick part which has low solidification rate.
This results shows that grain refiner addition with 0.072 wt. % Ti increased hardness, tensile strength, and decreased DAS value. The hardness value from AC4B alloy without and with 0.072 wt. % Ti addition on thin parts are 87.48 BHN and 91.99 BHN. The hardness value from AC4B alloy without and with the addition of 0.072 wt. % Ti on thick parts are 83.43 BHN and 89.42 BHN. Tensile strength on AC4B without and with the addition of 0.072 wt. % Ti are 172.07 MPa and 128.89 MPa. Fading on thin parts occurred after 1 hour and observed from hardness testing value. On thick parts, fading occurred under 1 hour and observed from hardness testing and DAS examination. Intermetallic phases that occurred are white Al2Cu, light grey β-Al15(Fe,Mn)3Si2 (acicular or blocky), dark gre Si phases (acicular), and aluminium matrix.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S41757
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lulus Basuki
"Penghalus butir sering diaplikasikan pada pengecoran aluminium karena mampu meningkatkan kualitas dan mengurangi reject. Salah satu metode pengecoran yang sering digunakan untuk menghasilkan produk aluminium adalah low pressure die casting (LPDC). Namun, siklus LPDC yang mencapai 4 jam dikhawatirkan dapat menyebabkan fading pada penghalus butir. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui waktu fading yang terjadi pada penghalus butir Al-5Ti-1B yang ditambahkan pada paduan AC4B hasil LPDC. Fading dapat diamati melalui perubahan kekerasan, kekuatan tarik, struktur mikro serta tingkat kegagalan bocor paduan aluminium AC4B.
Pada penelitian ini ditunjukan bahwa dengan semakin lamanya waktu tahan, maka kekerasan dan kekuatan tarik akan menurun, sedangkan keuletan dan lebar secondary dendrite arm spacing (SDAS) pada foto mikro akan meningkat. Penelitian ini juga menunjukan bahwa fading sudah terjadi antara jam ke 0 dan jam ke 1. Selain itu, pengamatan struktur mikro paduan AC4B dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Energy Dispersive X-RaY Analysis (EDAX) menunjukan keberadaan titanium pada paduan sebagai indikasi dari adanya partikel penghalus butir.

Grain refiner is usually applied for aluminum casting to improve quality and reduce rejection. One of casting methods that commonly used to produce aluminum is low pressure die casting (LPDC). One cycle of production of LPDC with ~450 kg capacity may take up 4 hours. Therefore, using grain refiner in LPDC process might cause fading. Aim of this research is to understand the fading time of Al-5Ti-1B grain refiner during LPDC. Fading was observed through the changes of hardness, tensile strength and microstructure. Percentage of leakage in the trial of AC4B cylinder head production was also evaluated.
The results show that the longer the holding time, the lower hardness and the tensile strength of AC4B alloy. On the other hand, the longer the holding time, the higher the ductility & secondary dendrite arm spacing (SDAS). This indicates that fading had occurred before 1 hour. In addition; microstructure observation by using Scanning Electron Microscopy (SEM) and Energy Dispersive X-Ray Analysis (EDAX) shows the presence of titanium in the alloy which indicates that titanium may act as the nucleant for solidification process.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S51085
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Gracia
"Fasilitas transportasi publik sebagai suatu lingkungan terbangun yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat, sudah seharusnya mampu untuk memenuhi kebutuhan navigasi dari setiap penggunanya, termasuk penyandang low vision. Dalam upaya peningkatan kemampuan orientasi dan mobilitas dari low vision, penting untuk melibatkan kehadiran kontras warna yang berpotensi bagi sisa penglihatan penyandang pada elemen komunikatif guna memperoleh informasi spasial yang dibutuhkan. Studi penerapan warna pada fitur ruang dari Stasiun MRT Bundaran HI dan Halte TransJakarta ASEAN memperlihatkan pemenuhan akan kebutuhan perolehan informasi bagi penyandang low vision melalui aplikasi akan kontras warna pada fiturfitur ruang baik melalui fitur arsitektur maupun fitur grafis. Penerapan kontras warna yang baik dilihat berdasarkan standar desain praktik yang ada dan perbedaan akan atribut dari hasil interaksi antar warna. Hasil observasi menemukan bahwa tidak semua fitur dari stasiun maupun halte berpotensi dalam memenuhi kebutuhan penyandang low vision. Namun, dibandingkan dengan Halte TransJakarta ASEAN, dapat dikatakan bahwa ruang pada Stasiun MRT Bundaran HI lebih memperhatikan aplikasi serta tingkat kontras warna yang berpotensi dalam membantu kemampuan orientasi dan mobilitas penyandang. Sehingga, seluruh tipe fasilitas transportasi umum yang ada perlu mempertimbangkan sisa penglihatan low vision dalam penerapan warna akan fitur ruang.

Public transportation facilities act as a built environment that plays a role in meeting the daily needs of the community, therefore it should be able to meet the navigation needs of each user, including people with low vision. In an effort to improve the orientation and mobility abilities of low vision, it is important to involve the presence of adequate colour contrast for the residual vision through communicative elements in order to obtain the required spatial information. The study of the application of colour to the spatial features of the Bundaran HI MRT Station and ASEAN TransJakarta Bus Stop demonstrates the fulfilment of the information gathering needs of those with low vision through the application of colour contrast to spatial features, both architectural and graphic features. Adequate application of colour contrast is seen based on existing design standards of practice and the differences in attributes resulting from the interaction between colours. Observations found that not all features of the stations and bus stops have met adequate standards for people with low vision. However, compared to the ASEAN TransJakarta Bus Stop, it can be said that Bundaran HI MRT Station pays more attention to the application and level of colour contrast that has the potential to assist low vision's orientation and mobility skills.. Therefore, all types of public transportation facilities need to consider the residual vision of low vision in the colour application of spatial features."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Macnaughton, Jane
London : Elsevier , 2005
573.88 MAC e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>