Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110989 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jatayu Jiwanda M
"Pemaknaan penderitaan sebagai realitas kehidupan adalah momen yang dapat kita temukan dalam pemikiran Buddhisme. Latar belakang pemikiran buddhisme baik secara ontologis, epistemologis dan aksiologis terhadap pemaknaan realitas kehidupan inilah menjadi dasar dalam penulisan skripsi ini. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan fenomenologi-hermeneutis dalam menganalisa konsep Dukkha. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan penderitaan sebagai pemaknaan realitas kehidupan, hal tersebut memberikan relevansi terhadap kehidupan manusia. Hasil dari penelitian ini adalah pemahaman terhadap penderitaan (dukkha) yang tidak hanya dipahami sebagai konsepsi semata melainkan bentuk penghayatan dari pengalaman-pengalaman hidup Siddhatta Gautama. Sang Buddha melihat kondisi kehidupan manusia dan proses kehidupan yang berjalan terus menerus.

The meaning of Suffering as a reality of life is the moment where we can found in the thought of buddhism. The basic reason of the thought view as well as ontological, epistemological and axiological of the meaning of Buddhism become a basic in this research.This research uses the descriptive analysis and hermeneutic phenomenology method to analyze the concept of dukkha. The purpose of this study is to explain suffering as a meaning of life, which give a relevance to human life. The result of this study is an understanding of suffering that is not only understood as concept merely, although as a form contemplation Siddhatta Gautama. Buddha’s view is human condition and processes of life always continuous."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47585
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Irene Cendani Putriadji
"ABSTRAK
Teh merupakan minuman yang berasal dari negara Cina. Teh selain dikonsumsi oleh masyarakat Cina sebagai minuman sehari-hari untuk memuaskan dahaga, sering pula dikonsumsi pada saat bermeditasi, untuk tujuan menjaga kesehatan, dan menjaga ketenangan hati. Semangat di dalam teh mendasari karakter masyarakat Cina. Budaya minum teh ini dapat pula dikaitkan dengan hubungan tiga dasar konsep pemikiran Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme. Tiga dasar pemikiran ini menjadi landasan berpikir masyarakat Cina dalam menjalani kehidupan mereka. Secara khusus, jurnal ini meneliti tentang teh yang mempunyai makna penting bagi kehidupan masyarakat Cina yang berkaitan dengan konsep pemikiran Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme. Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode kualitatif yang memaparkan bahwa teh ternyata memang mempunyai makna yang amat penting bagi orang Cina dan berhubungan erat dengan konsep pemikiran Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme.

ABSTRACT
Tea is a drink from China. Tea is consumed by Chinese people as a daily drink to quench thirst, often consumed during meditation, for the purpose of maintaining health, and maintaining peace of mind. The spirit in tea underlies the character of Chinese society. The culture of tea drinking can also be linked to the relationship of the three basic ideas of Confucius, Buddhism and Daoist. These three rationale are the foundation of Chinese peoples thinking in living their lives. In particular, this journal examines tea which has important significance for the lives of Chinese people related to the thought concepts of Confucius, Buddhism and Daoists. The research method used in this journal is a qualitative method which explains that tea does indeed have a very important meaning for Chinese people and is closely related to the concept of thought of Confucius, Buddhism and Daoist."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jatayu Jiwanda M.
"ABSTRAK
Tesis ini adalah sebuah eksplanasi konsep anatta dalam pemikiran Buddhisme. Konsep anatta menggagas penolakan akan adanya eksistensi diri, jiwa atau atman. Penolakan ini merupakan sikap anti fondasional dan kritik terhadap pemikiran tradisi Brahmanisme Hindu dengan menolak realitas tunggal dan metafisis yang menopang realitas. Ide mengenai ldquo;diri rdquo; dianggap sebagai suatu khayalan, kepercayaan yang keliru yang telah menghasilkan suatu pandangan yang berbahaya mengenai ldquo;aku rdquo; atau ldquo;keakuan rdquo;, hasrat yang mementingkan diri sendiri selfish , keterikatan, kebencian, egoisme yang justru menjadi sumber penderitaan dukkha . Manusia hanyalah entitas yang selalu berubah-ubah sehingga segala ketetapan diri tidak dimungkinkan. Konsep ini adalah suatu jalan untuk pembebasan penderitaan itu sendiri. Muatan etis yang terkandung tidak lain memberikan kritik terhadap individualisme atau pementingan diri sendiri dalam setiap tindakan manusia. Individualisme ini diakari oleh hasrat tanha untuk mempertahankan eksistensi dirinya, memperoleh kejayaan dari kenikmatannya termasuk klaim identitas seutuhnya. Dengan menanggalkan segala hasrat kepemilikan atau motivasi pribadi dalam tindakan adalah jalan menuju pencerahan nibbana.

ABSTRACT
This thesis is an explanation anatta concept in Buddhism thought. Anatta doctrine in Buddhism rejects the idea of any self existence, soul, or atman. This rejection acts as anti foundational attitude and critique towards Brahmanism Hindu by denying any single reality and metaphysic that support reality. The concept of ldquo self rdquo is considered as an illusion and false belief that constructs a hostile viewpoint of ldquo I rdquo or ldquo mine rdquo , a desire that put oneself above everything else selfish , attachment, hatred, and egoism that instead becomes the source of suffering dukkha . According to Anatta, human is merely an always changing entity, therefore any idea of self permanence is impossible. This concept is a way to free human from the suffering itself. The ethical content in it give critics toward individualism and egoism in every deed of human. This individualism is based on desire tanha to retain one rsquo s existence, gaining glory from its joy and includes a full claim of one rsquo s identity. By throwing away every desire for possession or personal motivation in every deed is a way into enlightment nibbana ."
2017
T48168
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardo Parulian
"Dalam era digital yang semakin maju, konsep ketuhanan terus mengalami perubahan dan transformasi. Salah satu area yang menarik untuk dikaji adalah metaverse, sebuah realitas virtual yang semakin populer. Artikel ini akan menganalisis pemikiran ketuhanan Alfred North Whitehead dalam konteks metaverse. Pandangan Whitehead menekankan pentingnya keterhubungan dan kreativitas dalam proses penciptaan, yang kemudian akan diterapkan untuk menganalisis hubungan Tuhan dan pengalaman spiritual dalam metaverse. Dalam artikel ini penulis berargumen bahwa Tuhan akan dapat terus menjadi relevan dan tidak begitu saja kehilangan tempat dalam realitas yang sepenuhnya baru ini. Di saat yang bersamaan, penulis juga akan menunjukkan bagaimana kita dapat terus memaknai spiritualitas dalam metaverse dengan cara yang sama dari yang apa sudah dipercaya oleh masyarakat sejak dulu.

In this increasingly advanced digital era, the concept of divinity continues to experience change and transformation. One interesting area to study is the metaverse, a virtual reality that is gaining popularity. This article will analyze Alfred North Whitehead's divine thought in the context of the metaverse. Whitehead's view emphasizes the importance of connectedness and creativity in the process of creation, which will then be applied to analyze the relationship between God and spiritual experience in the metaverse. In this article the author argues that God will be able to continue to be relevant and not simply lose his place in this entirely new reality. At the same time, the writer will also show how we can continue to interpret spirituality in the metaverse in the same way that people have believed for a long time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karman
"Konstruksi merupakan konsep teori yang taksa namun amat berpengaruh terhadap ilmu pengetahuan. gagasan yang sejalan dengan konstruksi adalah konstruktivisme, konstruksionisme konstruksi realitas sosial, konstruksipnisme sosial, sosial konstruksionis,konstruktivisme sosial, sosial konstruktivis atau secara sederaha disebut konstruksi sosial, kokonstruksi. salah satu modelnya diperkenalkan oleh Peter L.Berger yang dikenal dengan teori social construction of reality/teori dialketika. teori ini banyak digunakan dalam penelitian berparadigma konstruktivisme. tulisan ini akan menjelaskan pokok-pokok pemikiran Peter L. Berger, yang mencakup masyarakat sebagai kenyataan objektif dan subjektif. tulisan ini juga akan menyajikan keterbatasan teori ini dan kritik terhadap teori ini"
Kementerian Komunikasi dan Informatika ,
384 JPPKI 5:3 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Shelli Rachel Mei Gloria
"Skripsi ini membahas mengenai konsep komitmen sebagai kritik terhadap konsep simpati dalam melihat motif ekonomi. Teori ekonomi menempatkan self-interest sebagai satu-satunya motif atas tindakan yang dilakukan. Konsep simpati kemudian mengembangkan asumsi ini dengan memasukkan kesejahteraan orang lain sebagai motif. Namun, simpati masih jatuh pada asumsi egoism karena kesejahteraan orang lain hanya implikasi dari tindakan yang dilakukan demi pemaksimalam self-interest. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain argumentatif terhadap keterbatasan konsep yang dipakai untuk menganalisa motif ekonomi. Hasil penelitian membuktikan bahwa konsep komitmen lebih relevan dari pada konsep simpati untuk menjelaskan bahwa ada tindakan yang dilakukan terlepas dari pemaksimalan self-interest.

The focus of this study is examines the concept of commitment as a critic of the concept of sympathy as an economic motive. Economic theory places self-interest as the only motive in any economic action. The concept of sympathy develops this assumption by adding the motive to care for other persons welfare. However, because the motive to care for other peoples welfare is actually only an implication of actions taken to maximize the gains dictated by self-interest, concept of sympathy still falls under the assumption of egoism. This research, in which is of a qualitative manner, argues against the limitations of the concept used in the analysis of economic motives. It concludes that the concept of commitment is more relevant than the concept of sympathy in explaining the actions of which are done outside the motivations of self-interest.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56925
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zairin Noor
"Buddisme lebih dipandang sebagai filsafat, suatu usaha manusia dengan akalnya untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat kejadian-kejadian yang dihadapi manusia di dalam hidupnya. Ajaran-ajaran Buddhisme bersumber kepada peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang wajar dan dapat diketahui, dimengerti oleh akal budi manusia. Pada sisi yang lain Buddhisme mengajarkan kepada penganutnya suatu pandangan tentang sifat alam semesta serta hukum-hukum dan kekuatan yang menguasainya. Memberi semangat dan memungkinkan suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan tertinggi dari setiap makhluk hidup yaitu kebahagiaan, pembebasan. Dari sisi ini Buddhisme adalah sebagai suatu ajaran yang memberikan bimbingan kepada manusia dan memberikan pandangan hidup maka disebutlah ajaran-ajaran ini sebagai suatu agama. Tujuan Buddhisme pada akhirnya bukan kembali kepada yang asal, dan memang Buddhisme tidak berbicara tentang asal dari sesuatu. Tujuan hidup adalah mencapai nirwunu (nirvana dalam bhs. Sansekerta; nibhana dalam bhs. Pali). Secara harfiah nirawana berarti pemadaman. Dari terjemahan nirwana yang sangat sederhana ini muncul anggapan bahwa pemadaman yang diajarkan Buddhisme bersifat keseluruhan, suatu pemadaman yang total, pemusnahan segala kehendak. Masuk dalam nirvana adalah perceraian dari dunia ini dengan segala pengertiannya, sehingga apapun usaha untuk menggambarkan nirwana mengalami ketidakpuasan. Berbekal dari ketidakpuasan akan pengertian nirwana maka perlu menghampiri term-term yang menjadi pokok-pokok dari pemikiran ataupun ajaran dari Buddhisme. Buddhisme dikenal dengan pokok ajarannya Empat Kebenarun Afulia, yaitu : dukkha, (penderitaan), samudya (penyebab duka), nirodha (terhentinya dukkha), dan mugga (jalan menuju terhentinya dukkha). Empat Kebenaran Mulia ini menjadi sari keseluruhan Buddhisme, baik sebagai ajaran agama maupun sebagai suatu sistem filsafat. Sebagai ajaran agama, dari Empat Kebenaran Mulia ini diperjelas dengan term-term Buddha. Kefilsafatan Buddhisme tersebut dalam Tiga Ciri Keberadaun mengenai kenyataan, yang dalam term-term Buddhisme disebut : unnicu (tidak kekal), dukkhu (tidak memuaskan, penderitaan), dan annata (tidak berinti, tidak ada jiwa).Suatu perbuatan menimbulkan akibat, dan akibat ini merupakan sebab lain yang menghasilkan akibat yang lain, dan begitu seterusnya, dan inilah yang dinamai kamma atau karma, biasa disebut pula hukum sebab akibat. Keadaan sekarang merupakan sebab dari keadaan masa lalu. Manusia sekarang memiliki efek untuk keberadaan manusia akan datang, sehingga kebahagiaannya maupun kesengsaraanya ditentukan oleh dirinya sendiri. Tidak ada di alam dunia ini yang tidak tercakup di dalatn hukum sebab akibat, sehingga adanya suatu saling ketergantungan satu sama lain dalam suatu kondisi. Dalam Buddhisme dengan berpangkal dari saling ketergantungan ini, maka adalah dunia yang dengan ciri keberadaannya dengan sifa fana (anicca), penderitaan (dukkha) dan tanpa jiwa (anatta).Puncak dari segala keberadaan itu adalah dengan mencapai tujuan penghabisan, itulah dinamakan nirwana. Nirwana bukanlah asal dari segala sesuatu, melainkan keadaan yang tanpa bentuk yang menjadi tujuan. Tuhan dalam konteks Buddhisme tidak lain adalah Nirwana, tujuan terakhir yang harus dicapai, hapusnya sesuatu yang selalu menjadi."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T37359
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Abdillah
"ABSTRAK
Restorasi Meiji yang melanda Jepang pada tahun 1868, meskipun digambarkan sebagai pemulihan , pada kenyataannya merupakan revolusi lengkap, yang mempengaruhi semua lapisan masyarakat. Persatuan kubu fedoalistik bersatu dan membentuk sebuah pasukan melawan pemerintahan Tokugawa dengan tujuan untuk mengambil alih Edo yang merupakan ibukota. Hasilnya adalah perubahan secara bertahap yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang berdampak pada setiap aspek kehidupan seperti budaya, ekonomi, dan politik. Agama-agama juga terjebak dalam perubahan besar termasuk agama Buddha. Peristiwa sejarah yang berkembang pada agama Buddha di Jepang menyebabkan kerusakan besar dan perubahan yang tidak dapat diubah pada banyak aspek agama dan praktiknya. Tulisan ini membahas sifat konkret dari beberapa perubahan ini, untuk mengatur wajah modern Buddhisme di Jepang dalam konteks sejarah dan filosofis

ABSTRACT
he Meiji Restoration that hit Japan in 1868, although described as restoration , is in fact a complete revolution, affecting all levels of society. Union unity fedoalistic united and formed a troop against the Tokugawa government in order to take over Edo which is the capital. The result is an unprecedented gradual change, affecting every aspect of life such as culture, economy, and politics. Religions are also caught up in major changes including Buddhist. The historical events that flourished in Buddhism in Japan caused great destruction and irreversible change in many aspects of religion and practice. This paper deals with the concrete nature of some of these changes, to govern the modern face of Buddhism in Japan in historical and philosophical contexts."
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica
"Era antroposen menandakan dominasi yang dilakukan oleh manusia terhadap alam. Dalam prosesnya, manusia ikut menguasai hewan untuk dieksploitasi demi kepentingannya sendiri. Problem spesiesisme menjadi titik berangkat manusia dalam berasumsi bahwa hewan merupakan objek yang dapat dimanfaatkan dengan sewenang-wenang tanpa adanya pertimbangan etis. Manusia telah mengubah fisiologis serta mengatur kehidupan hewan melalui fenomena domestikasi. Kegagalan serta kecacatan yang dilimpahkan kepada hewan membuat setiap hewan domestik hidup dengan penuh penderitaan. Artikel ini berusaha menjawab permasalahan etis mengenai relasi hewan dengan manusia dalam fenomena domestikasi hewan melalui kacamata Buddhisme Mahayana. Melalui Metta-Karuna, hewan dapat dipahami sebagai tujuan untuk dirinya sendiri. Artikel ini mengolah permasalahan melalui hermeneutika serta semiotika yang didasarkan pada ekofenomenologi sehingga sumber seperti relief dan naskah kuno Buddhisme Mahayana dapat ditarik relevansinya pada permasalahan etis domestikasi hewan. Dengan demikian, Metta-Karuna dapat menjadi landasan moral dalam relasi hewan-manusia agar hubungan tersebut dibentuk dari cinta kasih yang bersih, bijak, dan tanpa syarat.

The Anthropocene era marks the domination of nature by humans. In the process, humans also control animals to be exploited for their own interests. The problem of speciesism is the starting point for humans in assuming that animals are objects that can be utilized arbitrarily without any ethical considerations. Humans have physiologically altered and regulated the lives of animals through the phenomenon of domestication. The failures and disabilities inflicted on animals make every domestic animal live a life of suffering. This article attempts to address the ethical issues regarding the relationship between animals and humans in the phenomenon of animal domestication through the lens of Mahayana Buddhism. Through Metta-Karuna, animals can be understood as an end in themselves. This article treats the problem through hermeneutics and semiotics based on ecophenomenology so that sources such as reliefs and ancient texts of Mahayana Buddhism can be drawn relevant to the ethical problem of animal domestication. Thus, Metta-Karuna can become the moral foundation of animal-human relations so that the relationship is formed from clean, wise and unconditional love."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Monik Arindasari
"Magis direfleksikan ke dalam berbagai definisi melalui beragam pendekatan sehingga menghasilkan beragam pandangan. Magis kerap dikaitkan dengan hal-hal kabur yang tidak mampu dijelaskan. Magis bahkan dianggap hanya sebagai suatu bayangan dari realitas yang ada. Singkatnya, pembahasan magis terpinggirkan. Pada tulisan ini penulis bertujuan untuk mengangkat kembali magis ke dalam tataran realitas, memberikan magis suatu posisi. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pandangan Federico Campagna dalam menjawab persoalan ini. Campagna berusaha menempatkan magis ke dalam realitas, melakukan rekonstruksi atas realitas yang telah terbentuk. Campagna menempatkan realitas magis sebagai alternatif dari realitas teknik yang mulai rapuh dan penuh akan kebrutalan di dalamnya. Melalui jantung utama realitas magis, yaitu aspek ineffable, Campagna mengeksplorasi lebih jauh mengenai magis sebagai realitas alternatif. Aspek ineffable dieksplorasi Campagna melalui pemikiran Chandogya Upanisad, Monisme Absolut dalam Advaita Vedanta, dan pemikiran Ibnu Arabi. Tulisan ini juga memberikan kritik kepada pemahaman Campagna yang keliru mengenai konsep monisme absolut dan Advaita Vedanta. Realitas magis juga digunakan untuk melihat dua fenomena ritual masyarakat adat di Bali, yaitu ritual Tari Sang Hyang Dedari serta tradisi Ngurek. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode studi pustaka, analisis deskriptif, dan analisis kritis. Melalui ketiga metode ini, penulis membangun kerangka pemahaman mengenai realita magis yang berupaya dikonstruksikan Campagna, mengkritisi pemahaman Campagna mengenai Monisme Absolut dalam Advaita Vedanta, serta menganalisis ritual Tari Sang Hyang Dedari dan Tradisi Ngurek di Bali.

The magic is reflected into various definitions through various approaches resulting in varied views. Magical is often associated with vague things that are not able to be explained. Magical is even regarded only as a shadow of the reality that exists. In short, magical discussions are being missed. On this writing the author seeks to lift back the magical into the landscape of reality, giving it a magical position. In this paper, the author uses the view of Federico Campagna in answering this issue. Campagna tries to put magical into reality, reconstruction over the reality that has formed. Campagna puts the magical reality as an alternative to the reality of techniques that are beginning to be fragile and full of brutality in them. Through the main heart of magical reality, the ineffable aspect, Campagna explores more about magical as an alternate reality. This paper also gives criticism to the erroneous understanding of Campagna regarding the concept of absolute monism and Advaita Vedanta. Magical reality is also used to see two phenomena of indigenous rituals in Bali, namely Sang Hyang Dedari dance and Ngurek tradition."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>