Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101966 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irene Widiyaningrum
"ABSTRAK
Penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) dengan metode
kualitatif yang didasarkan pada sistem library research dan field research dalam pengumpulan
data. Selanjutnya data yang terkumpul diolah dan dituangkan dalam data deskriptif analisis.
Kebijakan kriminal merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang dapat
ditempuh dengan cara penal dan non penal. Kebijakan kriminal juga berlaku dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Terkait dengan kerugian negara akibat tindak pidana
korupsi diterapkan ketentuan tentang pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang
awalnya diatur dalam ketentuan lama Pasal 34 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
dan kemudian diubah dengan Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
diharapkan mampu untuk mencegah atau menanggulangi kejahatan tindak pidana korupsi. Akan
tetapi, karena ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang terlalu singkat
sehingga sulit dilaksanakan. Hal tersebut tergambar dalam perkara Ahmad Dadang, Kamaludin,
Endang Suhendar dan Kunkun Kurniadi yang menjadi studi kasus dalam penulisan tesis ini.
Penggunaan sistem pembebanan pembayaran uang pengganti secara tanggung renteng
merupakan persoalan pertama. Istilah tanggung renteng tidak dikenal dalam ranah pidana dan
sebenarnya masuk dalam privatrecht. Disisi lain, efek penerapan pidana yang salah dan tidak
dipergunakannya yurisprudensi sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara
korupsi dengan penyertaan mengakibatkan terjadinya disparitas dalam putusan pidana tambahan
uang pengganti. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap menjadi sulit untuk dilaksanakan dimana upaya pengembalian kerugian negara tidak
dilaksanakan dengan benar dan maksimal karena hanya mampu membayar sebagian pidana
tambahan uang pengganti yang dijatuhkan. Upaya terakhir yang dilakukan adalah melakukan
penagihan uang pengganti dengan mengoptimalkan kinerja dari Jaksa Pengacara Negara.

ABSTRACT
This thesis is a study of normative legal (juridical-normative) with a qualitative method which is
based on the system of library research and field research in data collection. Furthermore, the
data collected is processed and reflected in the descriptive data analysis. Criminal policy is to
prevent and control crime can be reached by way of penal and non-penal. Criminal policy also
applies in the eradication of corruption. Associated with the loss of the country due to corruption
of the criminal provisions apply additional compensation payment which was originally set in
the old provisions of Article 34 letter c of Law No. 3 of 1971 and subsequently amended by
Article 18 letter b of Law No. 31 of 1999, is expected able to prevent or solve crimes of
corruption. However, due to additional penal provisions for compensation is too short so
difficult to implement. This is illustrated in the case of Ahmad Dadang, Kamaludin, Endang
Suhendar and Kunkun Kurniadi that became a case study in this thesis. The use of loading
system for compensation jointly and severally a first issue. The term joint liability is not
recognized in the criminal realm and actually go inside privatrecht. On the other hand, the effect
of the application of criminal wrong and failed to use jurisprudence as consideration for deciding
cases of corruption by inclusion resulted in a disparity in the criminal verdict additional
compensation. Execution of court decisions that have permanent legal force be difficult to
enforce the return loss of the state where the effort is not implemented properly and as only
afford to pay some extra money penalty imposed replacement. The last attempt to do is perform
billing reimbursed by optimizing the performance of the State Attorney."
2013
T35594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dey Ravena
"Legal aspects of criminal policy in Indonesia"
Jakarta: Kencana, 2017
345.598 DEY k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mia Banulita
"Pasca pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 memberikan dampak terjadinya perbedaan penerapan hukum acara pidana dalam penanganan perkara korupsi. Terobosan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 memberikan ”kekuatan” kepada komisi ini sehingga berhasil menjadikannya sebagai komisi yang disegani. Namun, kewenangan istimewa ini tidak dinikmati oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan yang berbeda ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap harmonisasi dalam sub sistem peradilan pidana yang bekerja dalam hal pemberantasan korupsi sehingga akan menghambat pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap harmonisasi dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam penerapan hukum acara pidana dalam penangangan perkara korupsi namun perbedaan tersebut belum mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan walaupun mempunyai tujuan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi, kewenangan yang dijalankan oleh masing-masing instansi tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Namun keadaan yang berbeda ini harus segera diakhiri dengan cara memberikan kewenangan yang sama kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

The formation of the Corruption Eradication Commission by virtue of Law No.30 of 2002 has brought about impact in the form of differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases. The breakthrough of criminal procedure law in Law No.30 of 2002 has given “strength” to the commission in such a way so as to result in its becoming a respected commission. This special authority is not, however, shared by the Police and the Public Prosecutor’s Office. There is concern that these different conditions will influence the harmonization of the criminal judicature sub system which focuses on the eradication of corruption in such a way so as to hamper the achievement of objectives which are aimed to be reached. The objective of this research is to ascertain whether such differences will influence the harmonization of the criminal judicature system. This research is made by using the juridical normative method. Based on the research results, it may be concluded that although there are indeed differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases, such differences have not resulted in the non-harmonization of the criminal judicature system due to the fact that although they are all aimed at eradicating corruption, the authorities exercised by each of the institutions are separate and interdependent. Still, this State of differences must immediately end by extending authorities to the Police and the Public Prosecutor’s Office which are the same as those extended to the Corruption Eradication Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Fajar Putra Dipayana
"Tingginya angka pengguna media sosial di Indonesia diikuti dengan tingginya jumlah kasus pencemaran nama baik. Dari data yang ada, pencemaran nama baik berada pada urutan jumlah yang sering dilaporkan ke pihak berwajib. Bahkan Pasal pencemaran nama baik (dalam KUHP/diluar KUHP) menjadi pasal yang sering disoroti oleh publik, kemudian pihak-pihak yang merasa tersinggung, pada umunya menggunakan pasal tersebut untuk menyerang balik dengan melaporkanya ke Polisi. Sementara penyelesaian masalah pencemaran nama baik, melalui hukum pidana, masih selalu diutamakan (Primum remedium) oleh penegak hukum, yang akibatnya hukum pidana sebagai sarana balas dendam, shock terapy, bahkan sarana barter kasus. Menurut penulis penanggulangan masalah dengan hukum pidana haruslah dengan alternative terakhir (ultimum remedium), perlu menerapan kebijakan penal yang juga diimbangi dengan kebijakan non-penal dalam penegakan hukum pencemaran nama baik, serta perlu mengkaji sejauh mana ketentuan rumusan pasal pencemaran nama baik jika dilihat dari kacamata doktin dan teori hukum. Dari hasil penelitian, sementara dapat disimpulkan bahwa perlu trobosan suatu kebijakan pidana yang ditawarkan guna mencapai rasa keadilan dalam menyelesaikan masalah pencemaran nama baik, dimana merupakan suatu cara pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana, lebih menitik beratkan pada pemulihan keadaan serta memberikan fokus perhatian kepada korban, pelaku dan masyarakat. Melalui Pendekatan Restorative Justice akan menjadi solusi terbaik dalam menanggulangi kekurangan, keterbatasan dan kelemahan penyelesaian pencemaran nama baik dalam mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum di Indonesia.

The high number of social media users in Indonesia is followed by a high number of defamation cases. Based on the data, defamation is the number one that is often reported to the authorities. Even the defamation article (in the KUHP/outside the KUHP) becomes an article that is often highlighted by the public, then parties who feel offended, generally use this article to attack back by reporting it to the Police. While the resolution of defamation cases through criminal law is still prioritized (primum remedium) by law enforcers, as a result, criminal law becomes a means of revenge, shock therapy, and even a means of bartering cases. According to the author, solving problems with criminal law should be the last alternative (ultimum remedium), it is necessary to apply a penal policy that is also balanced with a non-penal policy in enforcing defamation law, and it is necessary to examine the extent to which the provisions for drafting defamation articles are viewed from a doctrinal and legal theory. Based on the research results, it can be concluded that it is necessary to make a breakthrough in a criminal policy that is offered in order to achieve a sense of justice in resolving defamation problems, which is a new approach in efforts to resolve criminal cases, focusing more on recovering the situation and focusing attention on the victim, actors, and society. Through a Restorative Justice Approach, it will be the best solution to overcoming deficiencies, limitations, and weaknesses in resolving defamation in realizing justice, benefits, and legal certainty in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ro`is
"ABSTRAK
Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah menciptakan peluang
baru bagi para teroris untuk menebarkan teror di cyberspace. Selain teror di
cyberspace, teknologi informasi juga memberi peluang akan tehnik-tehnik baru
terorisme di dunia nyata. Disisi lain, hukum melalui kebijakan kriminal sebagai
usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan, dituntut untuk selalu responsif
dalam mengantisipasi kejahatan-kejahatan baru yang salah satunya adalah
cyberterrorism.Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif,
dengan tujuan penelitian untuk mengetahui kebijakan kriminal, yurisdiksi dan
kebijakan hukum pidana di masa datang dalam cyberterrorism di Indonesia.Dari
hasil penelitian ditemukan bahwa kebijakan kriminal terkait dengan
cyberterrorism menggunakan pendekatan penal dan non penal. Dengan
pendekatan penal meskipun secara spesifik aturan mengenai cyberterrorism
belum ada, pendekatannya bisa menggunakan aturan-aturan dalam KUHP
maupun di luar KUHP, dimana dalam putusan-putusan pengadilan terhadap
kasus-kasus cyberterrorism menggunakan aturan-aturan terkait dengan tindak
pidana terorisme.Sedangkan pendekatan non penal menggunakan pendekatan
budaya berupa kampanye internet sehat. Pengaturan mengenai cyberterrorism di
dalam hukum pidana Indonesia yang akan datang belum diatur secara spesifik.
Yurisdiksi dalam kasus cyberterrorism dilakukan berdasarkan aturan yang
tercantum di dalam KUHP dan di luar KUHP.Diharapkan adanya revisi terhadap
Undang-Undang Nomor.1 Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, dengan mencantumkan aturan kriminalisasi serangan terhadap
sistem komputer atau jaringannya atau informasi yang terkandung didalamnya
serta publikasi dan propaganda termasuk penyebaran rasa kebencian,
penghasutan, pemuliaan atau pemujaan terhadap terorisme, penyebaran ideologi
terorisme. Perlu ditingkatkannya kerjasama internasional, peran pemerintah untuk
mendorong penggunaan internet sehat, dan peningkatan kemampuan aparat
dalam penanganan cyberterrorism.

ABSTRACT
The rapid development of information technology has created new opportunities
for terrorists to spread terror in cyberspace. Besides terror in cyberspace,
information technology will also provide opportunities new techniques of
terrorism in the real world. On the other side , the law through criminal policy as
a rational attempt to solve crimes, are required to always responsive in
anticipation of new crimes, one of which is cyberterrorism. This research uses
normative legal research methods, in order to determine the criminal policy
research, the future criminal policy and law jurisdiction of cyberterrorism in
Indonesia. From the results of the study found that the criminal policies related to
cyberterrorism using penal and non-penal approach. With the approach of specific
penal although there are no rules about cyberterrorism, the approach could use the
rules in the Criminal Code as well as outside the Criminal Code, where the court
decisions on cases of cyberterrorism using the rules associated with criminal acts
of terrorism. While the non-penal approach using a cultural approach healthy
internet campaign. The regulation of cyberterrorism in the Indonesian criminal
code which would come not specifically regulated. Jurisdiction in the case of
cyberterrorism is based on the rules listed in the Criminal Code and the outside of
the Criminal Code. Expected that the revision of the Act of 2002 Nomor.1 Prp
About Anti-Terrorism, by stating the rules criminalizing attacks against computer
systems or networks or the information contained and also including publications
and propaganda spread hatred, incitement, glorification or worship of terrorism"
2013
T33750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Budisetyowati
"Peredaram online obat palsu dan ilegal sebagai bentuk illegal enterprise dalam organized crime di dunia siber sulit diminimalisir karena anonimitas pelaku dan kesenjangan hukum dengan perkembangan teknologi. Perlaksanaan Operasi Pangea bertujuan memberantas peredaran online obat palsu dan ilegal oleh BPOM, Dirjen Bea Cukai, Interpol, dan Kemenkominfo dengan kerangka analisis model Multi-Agency Anti-Crime Partnerships. Kepemimpinan BPOM dalam Operasi Pangea menjadi kelebihan dari kerja sama multi agensi ini. Namun terdapat kendala internal dan eksternal dalam Operasi Pangea sehingga mempengaruhi mekanisme kinerja antar lembaga. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa wawancara mendalam dengan masing-masing lembaga serta studi literatur terhadap sumber sekunder lainnya.

The online circulation of counterfeit and illegal medicines as illegal espterprise from organized crime model in the cyberspace is difficult to minimize because of anonymity of the perpetrators and gaps between law with technological developments. The implementation of the Pangea Operation aims to eradicate the circulation of counterfeit and illegal medicine by BPOM, the Director General of Customs, Interpol, and the Ministry of Communication and Information with the analytical framework of the Multi-Agency Anti-Crime Partnerships from Rosenbaum. BPOM's leadership in Pangea Operations is act as the strength of this multi-agency collaboration. However, there are internal and external constraints in the Pangea Operation which affect the inter-agency coordination mechanism. The research method in this thesis uses a qualitative approach in the form of interviewing with each institution and literature study on other secondary sources."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dila Romi Aprilia
"Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat sehingga menimbulkan kerusakan hutan yang salah satunya adalah illegal logging. Tindak pidana illegal logging sangat marak di Indonesia dan melibatkan banyak pelaku dan merupakan tindak pidana yang rapi dan terorganisasi. Hal mendasar yang menyebabkan sulitnyamemberantas illegal logging adalah karena illegal logging adalah termasuk kategori 'kejahatan terorganisasi'. Oleh karena itu adanya kebijakan hukum pidana yang tegas mengatur dan penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging perlu diwujudkan. Kebijakan hukum pidana yang diterapkan dalam rangka penanggulangan dan penegakan hukum tindak pidana illegal logging diatur dan dirumuskan dalam ketentuan perundang-undangan pasal 50 dan pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, namun mengenai definisi yang dimaksudkan dengan illegal logging tidak dirumuskan secara limitatif sehingga banyak para praktisi hukum yang menafsirkan illegal logging sendiri-sendiri. Mengenai ancaman pidana yang dikenakan adalah pidana pokok yakni penjara dan denda, pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan atau alat-alat untuk melakukan kejahatan, ganti rugi serta sanksi tata tertib. Kebijakan hukum tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksinya dirasakan tidak memenuhi aspek kepastian dan keadilan. Hal ini terlihat dalam kasus illegal logging yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Blora dan Bojonegoro. Oleh karenanya selain kebijakan hukum pidana dibutuhkan pula penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging yang dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana terdiri dari komponen antara lain kepolisian, PPNS kehutanan, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam prakteknya proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging sangat lemah. Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging ditandai dengan penanganannya yang tidak integral (menyeluruh) karena pelaku intelektual yang berkaitan langsung seperti pemodal, pemesan, pengirim, pemalsu dokumen, sawmill yang berperan sebagai penghubung jarang sekali dipidana dan hanya orang-orang lapangan saja yang dipidana. Selain itu banyak faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging sehingga hal tersebut menjadi kendala dalam dalam penegakan hukum.

The wealth of forests is a gift and trust from God Almighty that is priceless. Therefore, forests must be managed and be best utilized by noble character as the embodiment of worship and gratitude to God Almighty. Forests are many benefits to the sustainability of human life and other living creatures. One benefit is the direct result of forest wood that has high economic value. Timber is harvested and then used by the community. Utilization of wood should be based on permission from the Ministry of Forestry. But in reality there are many violations committed by the community, causing damage to the forest, one of which is illegal logging. Crime is rampant illegal logging in Indonesia and involves many actors and a crime is neat and organized. The basic thing that it is difficult to eradicate illegal logging is due to illegal logging is categorized as "organized crime". Therefore the policy of strict criminal laws regulating and enforcing criminal laws against illegal logging needs to be realized. Criminal law policy adopted in the framework of prevention and criminal law enforcement of illegal logging is regulated and defined in the statutory provisions of article 50 and article 78 of Law No. 41 of 1999, but the definition is meant by illegal logging limitatif formulated not so much legal practitioners who interpret their own illegal logging. Regarding the penalty imposed is the principal criminal imprisonment and fines, an additional penalty of deprivation of proceeds of crime and the or tools to do the crime, compensation and discipline sanctions. Criminal law policy of illegal logging and the application of sanctions does not meet the perceived certainty and fairness aspects. This is seen in cases of illegal logging that occurred in the District Court jurisdiction Blora and Bojonegoro. Therefore in addition to criminal law policy also required law enforcement against illegal logging crimes committed through the criminal justice system. The Criminal Justice System consists of components such as police, investigators forestry, Attorney, Justice and Correctional Institutions. In practice the process of criminal law enforcement against illegal logging is very weak. One of the weak enforcement of laws against illegal logging crimes marked with handling that is not integral (holistic) as intellectual actors who are directly related to such investors, buyers, shippers, document forgers, which acts as a liaison sawmill rarely convicted, and only those field are convicted. In addition, many factors that led to weak law enforcement against illegal logging crimes so they are a constraint in law enforcement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29475
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Chandra Kesuma
"ABSTRAK
Polemik terkait fenomena preman dan praktik premanisme yang terjadi akhir-akhir ini menjadi sorotan dan perhatian dari berbagai pihak (stakeholder). Hal ini dapat dilihat di mana banyaknya praktik premanisme yang dituangkan dalam berbagai bentuk (tindakan) kriminal ataupun berbagai tindakan lainnya yang mengganggu ketertiban umum dan rasa aman masyarakat serta gencarnya upaya yang dilakukan oleh semua stakeholder dalam menanggulangi praktik premanisme tersebut. Dapat dilihat bahwasannya tidak ada pengertian, batasan ataupun arti yang pasti akan arti dari preman dan premanisme. Pada dasarnya terminologi preman dan premanisme hanya merujuk pada pengertian sosiologis dan tidak dikenal dalam arti secara yuridis. Di dalam penelitian (thesis) ini akan fokus pada beberapa permasalahan yang terkait dengan bagaimanakah bentuk-bentuk praktik premanisme yang ada dan terjadi di masyarakat; bagaimanakah kebijakan kriminal (criminal policy) yang ada di dalam upaya pencegahan dan penanggulangan praktik premanisme; serta apa saja yang menjadi faktor penghambat bagi semua stakeholder di dalam menanggulangi fenomena preman dan praktik premanisme di masyarakat. Penelitian (thesis) ini akan menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif, dengan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statue approach). Hasil penelitian (thesis) ini melihat bentuk-bentuk praktik premanisme yang terjadi di masyarakat secara umum dapat dilihat ke dalam 2 (dua) bagian besar, yakni bentuk praktik premanisme yang dilihat dari sisi level atau tingkatan (levelitiy) dan bentuk praktik premanisme yang dilihat dari sisi perbuatan atau tindakan (action). Adapun terkait kebijakan kriminal (criminal policy) saat ini dalam upaya pencegahan dan penanggulangan praktik premanisme belumlah memiliki sebuah kebijakan kriminal (criminal policy) yang strategis dan integratif, karena saat ini semua stakeholder masih menitikberatkan pada upaya atau sarana penal (refresif), tanpa diimbangi dengan upaya atau sarana non-penal (preventif). Adapun faktor-faktor penghambat di dalam menanggulangi praktik premanisme yang dilakukan oleh preman secara umum ialah karena belum adanya koordinasi yang integral dan terpadu antar stakeholder; belum adanya kesamaan cara pandang dari semua stakeholder di dalam melihat fenomena preman dan praktik premanisme, adanya perbedaan program kerja prioritas antar semua pihak (stakeholder), faktor masyarakat itu sendiri serta faktor sarana dan prasarana. Selanjutnya adapun faktor penghambat fenomena preman dalam konteks organized crime, ialah karena belum adanya aturan atau dasar hukum yang jelas yang mengatur mengenai organized crime yang dilakukan oleh preman serta tingkat kesulitan yang tinggi di dalam pengungkapan organized crime itu sendiri yang dilakukan oleh preman.

ABSTRACT
The polemic of Premanism (street thug) practice and phenomenon that occurs recently had become a highlights and paid many parties (stakeholder) on their attention. Many of this law violators can be found in a form of criminal action or that similar with disrupting publicly order and people security and strong effort that stakeholder ever conducted to overcome this law violators. There are no comprehension, certain, limited and meaning that consist of preman and street thug. Preman (street thug) and its terminology is only refers to sense of sociology view and unknown in a meaning juridically. This thesis will focus in on several issues that relate to on what the form of violators exist and practice in society, and how is the criminal policy that already exist in an effort to prevent and overcome of this practice, so as to what become an inhibited factor to all stakeholder in overcoming a thug phenomenon in society. The research shall apply to normative research method with a conceptual approach and statue approach. The result of this research is shown many street thug practice that generally occurs in society and it could be seen in 2 (two) part of section, namely street thug form practice that looked at of level side or levelity and street thug practice if looked at action. In an effort to make a prevention and solution in this matter has not yet a strategical and integrative criminal policy. Since today all stakeholders are still imposing on an effort or penal facility (repressive), without an effort or non-penal facility (preventive). Generally, Inhibition factors to overcoming street thugs practice is comprise of no integral and integrated coordination between stakeholders, different way of view of all stakeholder in looking at street thug‟s phenomenon and practice, working program priority differentiation between all parties (stakeholder), society factors itself and prefacility and facility factors. Furthermore, inhibition factors of a street thugs phenomenon in a contex of organized crime has happened since there are no regulation or clearly basic law that regulates organized crime which conducted by street thug and highly complicated in revealing the case of organized crime itself which had been done by them."
2014
T38996
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Indah Chairunnisa
"Penelitian ini membahas tentang pengaturan hukum pidana terhadap kasus-kasus investasi ilegal dengan skema money game seperti Skema Ponzi, Skema Piramida, dan skema lainnya, mengingat hukum pidana di Indonesia belum mengatur secara khusus mengenai tindakan tersebut dan investasi berskema money game belum dilihat sebagai suatu kejahatan yang berdiri sendiri dan hanya dipandang sebagai isu temporer belaka. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, penelitian ini membahas permasalahan yang dituangkan dalam 3 (tiga) pertanyaan penelitian: Pertama, apa itu money game dalam bentuk investasi ilegal; Kedua, bagaimana pengaturan money game di Indonesia dan perbandingannya dengan negara-negara lain; Ketiga, bagaimana penegakan hukum terhadap money game di Indonesia dan perbandingannya dengan negara-negara lain. Penelitian ini membandingkan pengaturan dan penegakan hukum terhadap money game di Indonesia dengan 3 (tiga) negara lain yaitu Malaysia, Persemakmuran Australia, dan Amerika Serikat. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa money game belum diatur secara khusus di Indonesia, begitu pula di tiga negara yang menjadi pembanding. Pengaturan yang ada di Indonesia juga dinilai belum dapat mengakomodasi kejahatan skema money game secara keseluruhan. Oleh karena itu, terdapat urgensi untuk regulator untuk mengatur skema money game sebagai suatu kejahatan berdiri sendiri, atau setidak-tidaknya melakukan perubahan terhadap rumusan pasal-pasal yang dapat menghukum pelaku money game. Rumusan pasal-pasal tersebut harus mencakup karakteristik dari sebuah skema money game pada praktik.

This study discusses the criminal law regulation against cases of illegal investment with money game schemes such as Ponzi Scheme, Pyramid Scheme, and other schemes, considering that Indonesian criminal law has not specifically regulated money game and an investment using money game scheme is not seen as a stand-alone crime, yet is only seen as a temporary issue. By using normative research methods, this study discusses the problems outlined in 3 (three) research questions: First, what is a money game as an illegal investment; Second, how money game is regulated in Indonesia and its comparison with other countries; Third, how is the law enforcement against money game in Indonesia and its comparison with other countries. This study compared the regulation and law enforcement against money game in Indonesia with 3 (three) other countries, which comprised of Malaysia, Commonwealth of Australia, and United States. The findings of the study show that money game has not been specifically regulated in Indonesia, as well as in the three comparison countries. The existing regulation in Indonesia are considered not to be able to accommodate the crime of money game entirely. Therefore, there is an urgency for the regulators to stipulate the money game scheme as a stand-alone crime, or at least amend the elements of the regulation that could punish the actors of money game. The elements amendment must cover the characteristics of a money game scheme in practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>