Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9133 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sidiarto Kusumoputro
Jakarta: UI-Press, 2009
616.855 SID a (1);616.855 SID a (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Armalia
"Afasia motorik merupakan salah satu gangguan komunikasi yang terjadi akibat stroke dan dapat menyebabkan gangguan terhadap kepercayaan diri seseorang yaitu harga diri dan efikasi diri yang mana kedua hal ini merupakan bagian terpenting dari masing-masing individu dalam mencapai status sosialnya dalam berkomunikasi. Teknik restrukturisasi kognitif digunakan untuk efikasi diri dan harga diri dengan memiliki asumsi bahwa dasar restrukturisasi kognitif yaitu respon-respon perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh terapi restrukturisasi kognitif terhadap harga diri dan efikasi diri pasien stroke dengan afasia motorik. Metode penelitian ini menggunakan quasi experimental design dengan pendekatan desain pretest posttest nonequivalent control grup, dimana desain ini melibatkan dua kelompok yang akan diobservasi sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan pada harga diri setelah diberikan intervensi restrukturisasi kognitif dengan (pvalue= 0,001; α<0,05), dan pengaruh yang signifikan pada tingkat efikasi diri setelah diberikan intervensi dengan (pvalue= 0,001; α<0,05). Hasil penelitian ini merekomendasikan restruktuisasi kognitif menjadi salah satu intervensi dalam pemberian asuha keperawatan secara holistik mencakup biologis, psikologis, sosiologis dan spiritual kepada pasien pasca stroke dengan afasia motorik unutk dapat menaikkan harga diri dan efikasi pada pasien untuk membantu mengolah perasaan dan keyakinan psikologis pasien pasca stroke dalam menjalani proses rehabilitasinya

Motor aphasia is one of the communication disorders that occurs due to stroke and can cause interference with one's self-confidence, namely self-esteem and self-efficacy, both of which are the most important parts of each individual in achieving their social status in communicating. Cognitive restructuring technique is used for self-efficacy and self-esteem with the assumption that the basis of cognitive restructuring is behavioral responses. This study aims to examine the effect of cognitive restructuring therapy on self-esteem and self-efficacy of stroke patients with motor aphasia. This research method uses a quasi-experimental design with a non-equivalent control group pretest posttest design approach, where this design involves two groups to be observed before and after the intervention. The results showed that there was a significant effect on self-esteem after being given a cognitive restructuring intervention with (p-value = 0.001; <0.05), and a significant effect on the level of self-efficacy after being given an intervention with (p-value = 0.001; <0.05). ). The results of this study recommend cognitive restructuring to be one of the interventions in providing holistic nursing care including biological, psychological, sociological and spiritual to post-stroke patients with motor aphasia to increase self-esteem and efficacy in patients to help process the psychological feelings and beliefs of post-stroke patients. in the process of rehabilitation"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Rizka Utami
"Stres akibat kesulitan berkomunikasi tidak hanya dialami pasien stroke yang mengalami afasia, tetapi keluarga yang melakukan perawatan juga merasakan stres. Stres ini dapat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang afasia dan dukungan sosial yang dimiliki keluarga. Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara tingkat pengetahuan tentang afasia dan dukungan sosial dengan tingkat stres pada keluarga pasien stroke yang mengalami afasia. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan 79 anggota keluarga pasien stroke yang mengalami afasia pada dua rumah sakit di Bukittinggi. Instrumen yang digunakan yaitu kuesioner tentang afasia, The Medical Outcome Study Social Support Survey dan Perceived Stress Scale. Hasil penelitian dengan menggunakan uji Spearman Rank didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan tentang afasia dengan stres keluarga p=0,006. Kemudian tidak terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dengan stres keluarga p=0,883. Penelitian ini merekomendasikan pentingnya menilai stres pada keluarga pasien stroke dengan afasia dan meningkatkan pengetahuan keluarga tentang afasia sehingga stres dapat diatasi.

Stress due to communication difficulties is affecting both stroke patients with aphasia and family member who takes on caregiver role. The stress may be affected by knowledge on aphasia and social support of family. This study aimed to identify relationship between family's level of knowledge on aphasia, social support, and stress level in family of stroke patient with aphasia. The study design was cross sectional with total sample of 79 families of stroke patients with aphasia in two hospitals in Bukittinggi. Questionnaire of aphasia, The Medical Outcome Study Social Support Survey and Perceived Stress Scale were employed in this study. The result of Spearman Rank analysis indicated that there was a significant correlation between family's level of knowledge on aphasia and family stress p 0,006 and there was no significant correlation between social support and family stress p 0,883. This study suggested the significance of stress assessment on family of stroke patient with aphasia and improving family's knowledge on aphasia in order to cope with the stress perceived.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S67368
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Eka Soniawati
"style="text-align: justify;">Ketelisan dan referensi waktu yang ditandai dengan konstelasi afiks dan verba dilaporkan sulit bagi penutur agrammatik dalam lintas bahasa fleksi (Platonov & Bastiaanse, 2015). Dengan demikian, PAst DIscourse Linking Hyphothesis (PADILIH; Bastiaanse et al, 2011) mengklaim bahwa referensi waktu mengacu pada bentuk lampau menjadi kendala dan Aspect Assingment Model (AAM; Bastiaanse & Platonov, 2015) mengklaim bahwa kombinasi struktur argumen (transitivitas & ketelisan) dan referensi waktu sulit bagi penutur agrammatik. Diperkirakan bahwa fenomena serupa diamati dalam bahasa Indonesia aglutinatif (Larasati et al., 2011; Bahasa Indonesia / BI). Selanjutnya, mengisi celah pada metode rehabilitasi di TADIR (Tes Afasia untuk Diagnosis, Informasi, dan Rehabilitasi; Dharmaperwira-Prins, 1996), yang saat ini belum memiliki pedoman standar, menarik untuk memeriksa ketelisan dan referensi waktu pada penutur agrammatik. Ketelisan dalam BI mengacu pada dua parameter meliputi kedinamisan dan keduratifan (Nurhayati, 2011), sementara referensi waktu ditandai oleh adverbia aspektual dan leksikal temporal (Sneddon, 1996). 14 partisipan terbagi menjadi tujuh penutur agrammatik sebagaimana ditentukan berdasarkan TADIR dan tujuh penutur normal diuji dengan Sentence Production Priming Verbal (SPP-verbal; Bastiaanse & Platonov, 2015) dan Test for Assessing Reference of Time (TART; Bastiaanse et al., 2008). Kalimat penyusun instrumen yang divalidasi berpola subjek + verba (transitif & taktransitif) dalam bentuk turunan (Alwi et al., 2010). Hasil analisis kuantitatif dalam tugas produksi dan pemahaman ketelisan menunjukkan bahwa verba telis adalah sulit bagi penutur agrammatik dibandingkan verba atelis. Verba transitif meN--kan lebih terkendala dibandingkan verba transitif meN- dan verba taktransitif meN-. Sementara performa terhadap verba atelis menunjukkan bahwa verba transitif meN--i lebih sulit daripada verba transitif meN- dan verba taktransitif ber-. Secara kualitatif, umumnya kendala didominasi oleh omisi afiks. Kemudian, berdasarkan analisis kuantitatif dalam tugas produksi dan pemahaman referensi waktu, kinerja penutur agrammatik terutama mengacu pada bentuk lampau dan perfektif terhitung lebih rendah dibandingkan future dan imperfektif. Kendala tersebut secara kualitatif didominasi oleh subtitusi referensi waktu dan kesalahan verba. Hasil penelitian, sejalan dengan hipotesis PADILIH baik dalam tugas produksi dan pemahaman, menunjukkan bahwa referensi waktu terutama merujuk ke masa lalu yang membutuhkan penghubungan wacana cenderung sulit. Kinerja penutur agrammatik lebih rendah daripada kelompok kontrol dalam tugas adverbia aspektual dan leksikal temporal. Namun, hipotesis AAM tidak dapat sepenuhnya digeneralisasi, sebab ketelisan dan referensi waktu dalam BI tidak saling melengkapi (Montolalu, 2003). Kontribusi klinis untuk TADIR, adalah evaluasi terhadap kesulitan verba turunan dan referensi waktu, dan metode adaptif dengan memanipulasi serangkaian tes yang melibatkan tiga kerangka kewaktuan dan penekanan verba turunan sebagai upaya membangun keutuhan kalimat (lihat Webster & Whitwort, 2012).

style="text-align: justify;">Telicity and time reference marked by the constellation of affixes and verbs are reported to be difficult for agrammatic speakers in cross-inflectional-language (Platonov & Bastiaanse, 2015). Thus, the PAst DIscourse Linking Hyphothesis (PADILIH; Bastiaanse et al, 2011) claims that time reference referring to past is difficult and the Aspect Assingment Model (AAM; Bastiaanse & Platonov, 2015) claims that the combination of argument structure (transitivity & telicity) and time reference is relatively difficult for agrammatic speakers. It is predicted that a similar phenomenon is observed in the agglutinative Indonesian (Nurhayati, 2011; Bahasa Indonesia/BI). Furthermore, filling in the gap on rehabilitation method in TADIR (Aphasia Test for Diagnosis, Information and Rehabilitation; Dharmaperwira-Prins, 1996), which currently has no standard guidelines, it is interesting to examine telicity and time reference in agrammatic speakers. BI verbs have the potential to indicate telicity through inherent meaning by referring to the two semantic parameters including dynamism and durativity (Nurhayati, 2011), while time reference is simultaneously marked by adverbial and temporal adverbs (Sneddon, 1996). Fourteen participants divided into seven agrammatic speakers as determined based on the TADIR, and seven speakers without language impairment were tested with Test for Assessing Reference of Time (TART; Bastiaanse et al., 2008) and Verbal Sentence Production (SPP-verbal; Bastiaanse & Platonov, 2015). The validated sentences have the patterns of subject + verb (transitive & intransitive) in basic and derived verb forms (Alwi et al., 2010). The results of quantitative analysis in the task of production and comprehension of telicity show that telic verbs are more difficult for agrammatic speakers than atelic verbs. The most difficult are transitive verbs with meN--kan. Futhermore, examination on atelic verbs show that transitive verbs with meN-i are more difficult than transitive verbs with meN- and intransitive verbs with ber-. Qualitatively, difficulties are generally demonstrated by affix omissions. Then, based on quantitative analysis in production and comprehension of time reference, the performance of agrammatic speakers referrings to past and perfective forms are lower than imperfects and futures. These difficulties are qualitatively dominated by time reference substitutions and verb errors. The results of the study, in line with the PADILIH hypothesis both in production and comprehension tasks, show that referring to the past that requires discourse linking tends to be difficult. The performance of agrammatic speakers is lower than that of the control group in both temporal and lexical adverb tasks. However, the AAM hypothesis cannot be fully generalized, because telicity and time reference in BI are not complementary (Montolalu, 2003). As regards the clinical contribution for TADIR, an evaluation of the difficulty of derived verbs and time reference, and an adaptive method by manipulating a series of tests that involves three time frames and stresses on especially the forms of derived verbs as an effort to build sentence integrity are proposed (see Webster & Whitwort, 2012)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T54731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Andita Wulandari
"Latar belakang: Seiring kemajuan alat pencitraan di bidang neurologi, telah ditemukan banyak lokasi lesi sindrom afasia diluar lokasi klasiknya. Regio yang berkaitan dengan fungsi bahasa tidak hanya terkait dengan gray matter namun juga white matter tract yang menghubungkan antar regio bahasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi antara lokalisasi lesi klasik dan non klasik pada sindrom afasia dengan menggunakan MRI dan DTI.
Metode: Desain penelitian cross sectional. Pengambilan sampel dengan tekhnik consecutive sampling pada pasien sindrom afasia yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Dilakukan pemeriksaan afasia yang disetujui oleh 2 pakar dan penilaian MRI DTI dengan jeda maksimal 2 hari.
Hasil: Dari seluruh sindrom afasia didapatkan proporsi lokalisasi klasik 40% dan non klasik 60%. Terdapat perbandingan proporsi yang signifikan antara lokasi klasik dan non klasik pada afasia konduksi dibandingkan afasia global dan afasia anomik dengan nilai p < 0.05. Lokasi klasik pada afasia konduksi secara signifikan lebih banyak dibandingkan dengan lokasi klasik pada afasia global dan afasia anomik.
Kesimpulan: Pada studi pendahuluan ini dari seluruh sindrom afasia didapatkan lokalisasi non klasik lebih banyak dibandingkan lokalisasi klasiknya, masih dibutuhkan pengumpulan sampel lebih lanjut untuk dapat melakukan uji analitik yang mewakili populasi penelitian.

Background: Along with advances in neurology imaging technology, many locations of aphasia syndrome lesions have been found outside the classic location. Regions related to language function are not only related to gray matter but also white matter tracts that connect between language regions. This study aims to determine the difference in proportion between the localization of classic and non-classical lesions in aphasia syndrome using MRI and DTI.
Methods: The study design was cross-sectional. Sampling was taken using consecutive techniques in patients with aphasia syndrome who met the inclusion and exclusion criteria.
The aphasia examination which approved by 2 experts and the MRI-DTI assessment was carried out within 2 days intervals.
Results: From all aphasia syndromes, the proportion of classic and non-classical localization is 40% and 60%. There is a significant proportion comparison between classic and non-classical locations in conduction aphasia compared to global aphasia and anomic aphasia with p-value <0.05. The classical location of conduction aphasia is significantly more than the classical location of global aphasia and anomic aphasia.
Conclusion: In this preliminary study, were found more non-classical localizations of aphasia syndrome, than its classical localizations. Further sample collection is still needed to carry out analytical tests that more representative with study population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Yusfitanti
"Prinsip Kerja lama merupakan bagian dari teori implikatur percakapan yang dikemukakan oleh Grice (1975). Bagian yang ditekankan pada teori implikatur percakapan adalah bagaimana orang menggunakan bahasa. Konsep ini timbul dari pendapat Grice yang menyatakan bahwa ada seperangkat asumsi yang melingkupi dan mengatur kegiatan percakapan sebagai suatu tindakan berbahasa. Grice menjelaskan bahwa perangkat asumsi memandukan tindakan orang dalam percakapan sangat diperlukan untuk mencapai hasil yang baik. Panduan itu adalah kerja sama yang diperlukan oleh orang-orang yang terlibat dalam percakapan untuk dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Grice membagi perangkat asumsi panduan tersebut menjadi empat aturan percakapan dasar. Menurut Grice, keempat aturan percakapan itu merupakan dasar-dasar umum (general principles) yang mendasari kerja sama dalam percakapan"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S10932
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardito Puspo Yugo
"Latar Belakang: Afasia merupakan sindroma klinis gangguan fungsi bahasa dimana terdapat gangguan pada pusat bahasa di hemisfer dominan.3 Tes Afasia untuk Diagnosis, Informasi dan Rehabilitasi (TADIR) hingga saat ini belum pernah dilakukan uji diagnostik, dan tidak jarang dari hasil pemeriksaan didapatkan ketidakcocokan hasil tipe afasia dengan memperhitungkan skor dalam TADIR dibandingkan dengan pemeriksaan langsung oleh ahli Neurobehavior. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan proporsi tipe afasia berdasarkan hasil pemeriksaan TADIR dibandingkan ekspertise ahli Neurobehavior.
Metode: Jenis penelitian retrospektif dengan populasi penelitian rekam medis dengan diagnosis afasia di Poliklinik Neurologi Fungsi Luhur RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo, periode Januari 2019-Juni 2022. Metode yang digunakan consecutive sampling dan analisis data menggunakan SPSS.
Hasil: Sensitivitas dan spesifisitas TADIR subtes A yakni 97,6% dan 21%. NDP dan NDN TADIR subtes A yakni 88,9% dan 57,1%. Subtes B sensitivitas dan spesifisitas tertinggi 77,7% dan 100%. NDP dan NDN tertinggi subtes B 100% pada 12,5% subjek dan 98,2% pada 2 % subjek, aktualisasi nilai kurang baik.
Kesimpulan: TADIR dibutuhkan sebagai tujuan skrining afasia bukan bertujuan sebagai alat diagnostik. Diperlukan instrumen baru yang dapat menggantikan TADIR subtes B dengan hasil uji diagnostik, serta uraian tugas dan algoritma yang lebih baik sehingga dapat membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis afasia dan khususnya tipe afasia.

ackground: Aphasia is a clinical syndrome of impaired language function with impairment of the language center in the dominant hemisphere.3 The Aphasia Test for Diagnosis, Information and Rehabilitation (TADIR) has not yet been carried out as a diagnostic test, and it is not uncommon for the examination results to show discrepancies in the results of the type of aphasia taking into account the score in TADIR compared to direct examination by a Neurobehavior expert. The purpose of this study was to determine the difference in the proportion of aphasia types based on the results of the TADIR examination compared to the expertise of neurobehavior experts.
Method: A retrospective with medical record research population with a diagnosis of aphasia at the Neurology Polyclinic of Superior Function Dr.Cipto Mangunkusumo National Hospital, period January 2019-June 2022. The method used was consecutive sampling and data analysis using SPSS. Result: The sensitivity and specificity of TADIR subtest A were 97.6% and 21%, respectively. PPV and NPV TADIR subtest A are 88.9% and 57.1%. Subtest B highest sensitivity and specificity 77.7% and 100%. The highest PPV and NPV in subtest B was 100% in 12.5% ​​of subjects and 98.2% in 2% of subjects, the actual score was not good.
Conclusion: TADIR is needed for aphasia screening purposes, not as a diagnostic tool. A new instrument is needed that can replace the TADIR subtest B with diagnostic test results, as well as better job descriptions and algorithms so that they can assist clinicians in establishing the diagnosis of aphasia and especially the type of aphasia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supit, Diane Meytha
"Latar belakang: Identifikasi dan deteksi dini gangguan komunikasi pada bayi dan anak membutuhkan alat uji penapisan sahih, andal, mudah diaplikasikan oleh orangtua/ pengasuh. Instrumen CSBS DP ITC adalah alat skrining yang sahih dan andal mendeteksi gangguan komunikasi anak, namun belum diterjemahkan dan diuji kesahihan dan keandalan dalam bahasa Indonesia.
Tujuan: Mengetahui kesahihan dan keandalan CSBS DP ITC bahasa Indonesia sebagai alat uji penapisan gangguan komunikasi anak 6-24 bulan.
Metode: Penelitian potong lintang di Poliklinik TKPS/ RS Cipto Mangukusumo Jakarta (Februari-Mei 2019) dua tahapan. Tahapan pertama kesahihan interna 2 periode yaitu pertama, adaptasi transkultural kuesioner CSBS DP ITC bahasa asli ke bahasa Indonesia dan kedua, pengujian kuesioner CSBS DP ITC versi bahasa Indonesia kepada 35 orangtua/ pengasuh. Uji kesahihan dianalisis menggunakan Spearman Correlation, uji keandalan dianalisis menggunakan Alpha Cronbach s coefficient. Tahapan kedua kesahihan eksterna, uji diagnostik CSBS DP ITC dibandingkan BSID III skala bahasa sebagai baku emas kepada 147 orangtua/ pengasuh dan 147 anak.
Hasil: Kesahihan interna CSBS DP ITC bahasa Indonesia umumnya baik dengan nilai r > 0,3. Keandalan CSBS DP ITC bahasa Indonesia baik dengan Alpha Cronbach s (0,876-0,896). Kesahihan eksterna CSBS DP ITC bahasa Indonesia mendapatkan sensitifitas 71,43% dan spesifisitas 81,48%.
Simpulan: Kuesioner CSBS DP ITC bahasa Indonesia terbukti sahih dan andal sebagai alat uji penapisan gangguan komunikasi anak usia 6-24 bulan

Background: Early identification and detection of communication disorders in children require valid and reliable screening tool that easily to apply. The CSBS DP ITC is a valid and reliable screening tool to detect communication disorder in children, but it has not translated and tested for validity and reliability in Indonesian language.
Objective To find out validity and reliability of CSBS DP ITC Indonesian version as a screening tool for communication disorders in children aged 6-24 months.
Methods: Cross-sectional study was carried out in clinic of Growth Development- Social Pediatric / Cipto Mangukusumo Hospital Jakarta (February - May 2019) in two stages. First stage was internal validity consisting 2 periods, transcultural adaptation from original language to Indonesian and second stage was final Indonesian CSBS DP ITC questionnaire was tested to 35 parents / caregivers. Validity analyzed using Spearman Correlation. Reliability analyzed using Alpha Cronbach s coefficient. Second stage was external validity by compared CSBS DP ITC with BSID III language scale as gold standard to 147 parents / caregivers and 147 children.
Results: Internal validity showed good validity with r > 0.3. Reliability showed good with Alpha Cronbach (0.876-0,896). External validity has 71.43% sensitivity and 81.48% specificity.
Conclusion: Indonesian CSBS DP ITC questionnaire valid and reliable as screening test for communication disorders in children aged 6-24 months.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57681
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wheny Hari Muljati
"
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan memaparkan pola-pola kecacatan leksikal dan kecacatan gramatikal dari keluaran wicara penderita afasia Wernicke. Tulisan ini dilatarbelakangi oleh masih terbatasnya penelitian di bidang neurolinguistik_afasiologi oleh kaum bahasawan Indonesia, padahal bidang ini sangat membutuhkan peran linguis untuk antara lain membuat tes-tes untuk mendiagnosa penderita afasia dari sudut bahasanya. Selain itu penderita afasia Wernicke khususnya, sering disalahmengerti sebagai penderita gangguan jiwa, sehingga penulis lebih memilih afasia Wernicke ini sebagai sumber penelitian untuk lebih mengenal karakteristiknya.
Penelitan ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teori yang digunakan adalah teori-teori linguistik dan neurolinguistik. Teori lingusitik yang digunakan dalam karya ilmiah ini terutama adalah teori-teori sintaksis dan semantik.
Kesimpulan yang diperoleh penulis mengenai dua kasus yang ada adalah bahwa kecacatan leksikal pada kalimat ujaran penderita afasia Wernicke adalah berupa adanya jargon, parafasia, dan sirkumlokusi pada kalimat ujarannya. Selanjutnya, kecacatan gramatikal adalah adanya kecacatan kata, frase, klausa pembentuk struktur kalimat ujaran penderita. Selain itu penulis juga menemukan gejala bentuk tegun berupa pengulangan satuan pengisi fungsi gramatikal, penambahan kalimat dan unsur kalimat, yang menyebabkan kalimat/rangkaian kalimat ujaran penderita menjadi lebih panjang dan atau lebih banyak dari yang seharusnya. Selain itu dari penelitian ini juga didapatkan kesimpulan tertentu berkaitan dengan aspek neuro-patologis kedua responden dihubungkan dengan kecacatan bahasanya.
Selanjutnya di bagian akhir tulisan ini penulis juga mengusulkan perlunya penelitian-penelitian lanjutan dalam bidang ini mengenai afasia jenis lain dan terutama penelitian mengenai afasia Wernicke.
"
1998
S11094
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heditya D. I.
"Rencana penelitian mengenai gambaran analisis suara pada kelompok pascastroke iskemik ini diajukan dengan mempertimbangkan hal-hal yang telah disebutkan di atas. Di Indonesia sendiri saat ini belum ada penelitian yang secara khusus menganalisis gambaran analisis suara pada pasca-stroke iskemik dengan menggunakan alat analisis suara MDVP.
Masalah penelitian
1. Apakah terdapat perbedaan gambaran kualitas suara berupa peningkatan rerata nilai parameter akustik pada kelompok pasta-stroke iskemik yang berusia antara 45-70 tahun dibandingkan dengan kelompok kontrol?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi gambaran analisis suara pada pasien pascastroke iskemik?
Tujuan penelitian
Umum : Mengetahui adanya peningkatan parameter akustik berdasarkan pemeriksaan analisis suara, sehingga diharapkan dapat mencegah adanya gangguan suara yang lebih progresif.
Khusus :
1. Mengetahui perbedaan rerata nilai parameter akustik pada kelompok pascastroke iskemik yang berusia antara 45-70 tahun dibandingkan kelompok control.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran kualitas suara pada penderita pasca-stroke iskemik seperti usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kebiasaan penggunaan suara dalam bekerja, derajat deficit neurologik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>