Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174801 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ganjar Pranowo
"Sejak Pemilu 1955 sampai dengan Pemilu 2009, perdebatan tentang keikutsertaan partai politik sebagai bagian dari penyelenggara pemilu sudah menjadi perdebatan dikalangan partai politik di DPR. Dalam pembahasan Revisi Undang-Undang No 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, persoalan independensi penyelenggara pemilu inipun muncul. Fraksi PAN, fraksi PD dan Pemerintah pada awalnya menolak usulan fraksi-fraksi lain di DPR untuk memasukkan unsur partai politik sebagai bagian komisioner Penyelenggara Pemilu. Trauma atas fenomena kasus Pansus DPT pemilu 2009 dan Panja Mafia Pemilu di DPR memberikan indikasi bahwa kredibilitas dan integritas Penyelenggara Pemilu periode 2009 belum optimal. Akhirnya, didalam proses pengambil keputusan akhir di DPR terkait independesi KPU, fraksi PAN, fraksi PD dan Pemerintah mengubah sikap politiknya untuk mengikuti keinginan fraksi-fraksi lain di DPR. Mengapa fraksi PAN, fraksi PD dan Pemerintah akhirnya merubah sikap politiknya?
Teori yang digunakan didalam penelitian ini adalah teori demokrasi dan pemilu Juan Linz, Larry Diamond, dan Seymour Martin Lipset, teori kebijakan partai politik Hans Deiter Klingeman, teori elit Getano Mosca dan Robert Putnam, dan teori konsensus dan konflik Maswadi Rauf dan Maurice Duverger. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan dua teknik pengumpulan data, yakni data yang diperoleh dari wawancara yang digunakan sebagai sumber data primer dan studi kepustakaan (literature review) yang digunakan sebagai sumber data sekunder.
Kesimpulan penelitian bahwa sebagai sebuah proses politik, maka keputusan yang diambil berdasarkan kompromi merupakan keputusan yang paling moderat yang dapat diambil diantara banyaknya perbedaan di antara fraksi-fraksi termasuk Pemerintah. Oleh karena itu keputusan yang diambil merupakan keputusan yang demokratis sebagaimana tesis Hans Deiter Klingeman bahwa prosedur yang demokratis semestinya menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kehendak rakyat luas. Implikasi teoritis menunjukkan bahwa pendekatan konsensus politik, kebijakan partai politik didalam prosedur negara demokratis dan pendekatan elit telah memberikan implikasi positif terhadap proses pengambilan keputusan pembahasan Revisi UU No 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Since general election 1955 to 2009, the discussion of involvement of political parties as part of Electoral Commission Bodies have appeared among policy makers. In Discussion Revision Act No 22 Year 2007 about Electoral Commission, one of crussial debate among parliament members is wheter or not the Electoral Commission must be independent. Political stance of the fraction of National Mandate Party, the fraction of Democrat Party, and the goverment rejected other fractions idea to involve political party members as part of Electoral Commission members. Finally, case of “DPT 2009 and Panja Mafia Pemilu 2009” realized the credibility and integrity of Electoral Commission wasn’t good. Therefore, the final decision of the fraction of National Mandate Party, the fraction of Democrat Party, and the government have changed to deal with other parties. Why did they change their political stance?
The research theories are general election and democracy by Juan Linz, Larry Diamond and Seymour Martin Lipset, political party decision by Hans Deiter Klingeman, elite by Getano Mosca and Robert Putnam, consensus and conflict by Maswadi Rauf and Maurice Duverger. This research used qualitative method and two kind of collecting data methodology, such as interview that will used as primary data and literature review as secondary data.
The conclusion of this research, the policy decision making process was decided by compromise among political fraction and government that finally become a moderate solution. Therefore, the decision that has been made is democratic decision stated by Hans Deiter Klingeman thesis, that democratic procedure will result decision which are relevant with general will. Empirical theory implied political consensus, model of political party of decision making process and elite theory influenced within policy making process of revision Act No 22 Year 2007 About Electoral Commission.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T38969
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habibi Kurniawan
"Salah satu aturan main yang harus dirumuskan didalam proses pelaksanaan pemilu yang demokratis adalah perumusan terkait mekanisme sistem pemilu beserta instrument- instrumen kepemiluannya. Sistem pemilu adalah instrument teknis pelaksanaan pemilu yang digunakan untuk menentukan keterpilihan suatu partai politik atau calon anggota legislatif didalam proses transisi kekuasaan. Di Indonesia, dari masa ke-masa terkait mekanisme sistem pemilu menjadi perdebatan didalam proses perumusan Undang- Undang Pemilu. Peristiwa ini-pun terjadi didalam proses pembahasan UU No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD terkait empat isu krusial yani sistem pemilu, ambang batas parlemen (parliamentary treshold), alokasi kursi ke dapil dan metode konversi suara menjadi kursi. Sikap PDI Perjuangan mengenai pembahasan sistem pemilu merupakan kepentingan dari keberadaan partai politik sebagai peserta pemilu didalam proses perebutan kekuasaan secara konstitusional dan berdasar atas pengalaman dan sejarah kepesertaannya didalam proses pemilu di Indonesia.
Teori yang digunakan didalam penelitian ini adalah teori sistem pemilu Arend Lijphart, teori model kebijakan partai politik Hans Deiter Klingeman, teori ideologi Terrence Ball, teori elit dan teori konsensus dan konflik Maswadi Rauf dan Maurice Duverger. Penelitian in menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini akan menggunakan dua teknik pengumpulan data, yakni data yang diperoleh dari wawancara yang akan digunakan sebagai sumber data primer dan studi kepustakaan (literature review) yang digunakan sebagai sumber data sekunder.
Kesimpulan penelitian bahwa sebagai sebuah proses politik, Fraksi PDI Perjuangan memiliki alasan atas kepentingan politik terkait empat isu krusial didalam pembahasan UU No 8/2012 Tentang Pemilu. Kepentingan politik yang dioperasionalkan dari pemahaman ideologis partai dalam proses tarik menarik kepentingan politik (political-interplay) didalam proses pembuatan undang-undang Pemilu No 8 Tahun 2012. Akan tetapi, keputusan yang diambil berdasarkan kompromi merupakan keputusan yang moderat untuk diambil diantara banyaknya perbedaan di antara fraksi-fraksi.
Implikasi teoritis menunjukkan bahwa pendekatan model kebijakan partai politik didalam prosedur negara demokratis, pendekatan elit dan konsensus politik telah memberikan implikasi positif terhadap proses pengambilan keputusan pembahasan Undang-Undang No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.

Among the rules that must be formulated in the process of a democratic election is one involving the mechanisms of an electoral system and its associated instruments. The electoral system is implemented as a technical instrument to determine the desirability of a political party or legislative candidate in the process of their transition to power. In the Republic of Indonesia, from time to time there has been considerable debate over the mechanisms of an electoral system during the process of formulating its Election Laws. Such a debate had then ensued during the discussion of Law No. 8 of 2012 on the Election of Members of DPR, DPD and DPRD, involving four crucial issues: the election system, parliamentary threshold, the allocation of seats to the constituencies and conversion methods of votes into seats. On that, the Indonesian Democratic Party of Struggle made a political stance that had been within the interest of political parties in their constitutional struggle for power, based on contesting history and experience in the election process of Indonesia.
The fundamental theories used in this study include Arend Lijphart's theory on the electoral system, Hans Deiter Klingeman's theory on the policy models of political parties, Terrence Ball's theory on ideology and Maswadi Rauf & Maurice Duverger's theories on the elite, consensus and conflicts. This study utilized qualitiative methods of research in its two techniques of data collection. Data obtained from interviews were used as the primary source, while literature references were used as the secondary source.
This study concluded that as a political process, factions in the Indonesian Democratic Party of Struggle had reasons within their political interest involving the four crucial issues in the discusssion of Law No 8/2012 on Elections. In the political process, Indonesia Democratic Party of Struggle implied the ideological platform. Although a decision was ultimately reached based on compromise, it had been moderacy taken from the various differences between factions of the political parties.
Theoretical implications show that in the procedures of a democratic country, the approaches of policy models of political parties, elite and political consensus gave positive implications for the decision making process in the discussion of Law No. 8 of 2012 on DPR, DPD and DPRD Elections.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T38966
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Kuncoro
"Tesis ini menguraikan tentang proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) yang melibatkan sembilan fraksi partai politik hasil Pemilu 2009, yakni Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Permasalahannya adalah bagaimanakah proses tarik menarik kepentingan politik antarfraksi tersebut yang menghasilkan konflik dan konsensus, khususnya terkait dengan empat isu krusial yakni sistem pemilu, alokasi kursi per daerah pemilihan, ambang batas parlemen, dan metode penghitungan suara menjadi kursi. Setelah dilakukan lobi politik intensif antara Pimpinan DPR-RI dan Pimpinan Fraksi akhirnya isu sistem pemilu dan alokasi kursi per daerah pemilihan pengambilan keputusannya dilakukan secara musyawarah mufakat sehingga tercapai konsensus, sedangkan isu ambang batas parlemen dan metode penghitungan suara menjadi kursi pengambilan keputusannya dilakukan dengan pemungutan suara.
Teori yang digunakan adalah Teori Konflik dari Maurice Duverger, Teori Konsensus dari Maswadi Rauf, Teori Sistem Pemilu dari Ben Reilly, Andrew Reynolds dan Miriam Budiardjo, Teori Partai Politik dari Miriam Budiardjo, Sigmund Nuemann dan Alan Ware serta Teori Perwakilan dari Hanna Fenichel Pitkin, Miriam Budiardjo dan Bintan R. Saragih. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik analisa deskriptif analitis dan wawancara mendalam dengan anggota fraksi yang terlibat dalam proses politik tersebut.
Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa konflik antarfraksi politik dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR-RI tidak mengindikasikan adanya perjuangan ideologi politik, tetapi lebih dimotivasi oleh orientasi dan kepentingan politik praktis semata-mata yang bersifat pragmatis dalam rangka meraih kekuasaan secara demokratis melalui rekayasa UU Pemilu yang kompromistis. Teori Konflik (sebagian), Teori Konsensus, Teori Sistem Pemilu, Teori Partai Politik, dan Teori Perwakilan berimplikasi positif terhadap konflik dan konsensus antarfraksi dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR-RI.

This thesis discusses about the political process in the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR-RI) during the discussion of Election Bill, which involved nine factions of political parties from 2009 Election: Partai Demokrat (Democratic Party), Partai Golongan Karya (Working Group Party), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Indonesian Democratic Party-Struggle), Partai Keadilan Sejahtera (Prosperous Justice Party), Partai Amanat Nasional (National Mandate Party), Partai Persatuan Pembangunan (United Development Party), Partai Kebangkitan Bangsa (National Awakening Party), Partai Gerakan Indonesia Raya (Great Indonesian Movement Party), and Partai Hati Nurani Rakyat (People's Conscience Party).
The problem was how the power interplay among these factions created conflict and consensus about four crucial issues: election system, allocation of seats for each electoral district, parliamentary threshold, and method of turning votes to seats. After an intensive political lobbying between the chairman of the House and the factions’ leader, the decision on election system and allocation of seats was made by deliberation, while the decision on parliamentary threshold and method of turning votes was reached by voting.
The theories applied in this study are Conflict Theory by Maurice Duverger, Consensus Theory by Maswadi Rauf, Election System Theory by Ben Reilly, Andrew Reynolds and Miriam Budiardjo, Political Party Theory by Miriam Budiardjo, Sigmund Nuemann and Alan Ware, and Representation Theory by Hanna Fenichel Pitkin, Miriam Budiardjo and Bintan R. Saragih. This is a qualitative study with descriptive analytical techniques and deep interviews with the factions’ members involved in that political process.
The findings of this study show that the conflict among factions in the discussion of Election Bill in the House of Representatives was not driven by a struggle for certain political ideologies, but by pragmatic, practical, political orientations and interests to gain power democratically through a compromising election bill scheme. Conflict Theory (in part), Consensus Theory, Election System Theory, Political Party Theory, and Representation Theory had a positive implication in the conflict and consensus occurring in the discussion of Election Bill in the House of Representatives of Republic of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T33302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianto
Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2010
324YULM001
Multimedia  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianto
Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2010
324 YUL m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianto
Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2010
324YULM002
Multimedia  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Christian Marides
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya produk UU Pemilu yang dihasilkan oleh DPR RI dan pemerintah. Sebagai landasan hukum Pemilu tahun 2014 DPR-RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang merupakan perubahan terhadap UU No.10 Tahun 2008 menjadi UU No. 8 Tahun 2012.
Ada empat isu krusial yang muncul dalam pembahasan UU Pemilu ini yaitu:
Pertama, Besaran daerah pemilihan, mengingat beberapa partai politik ingin memperkecil angkanya;
Kedua, formula alokasi kursi partai politik;
Ketiga, formula penetapan calon terpilih;
Keempat, ambang batas perwakilan atau Parliamentary Threshold (PT).
Setelah melewati proses argumentasi dalam rapat-rapat yang diadakan oleh Tim Pansus UU Pemilu, fraksi-fraksi belum menemukan titik temu kesepakatan tentang empat poin krusial pada RUU Undang-undang No. 10 Tahun 2008. Akhirnya proses pengesahan dilakukan melalui voting sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan di DPR-RI. Melalui proses voting dalam Rapat Paripurna, DPR RI akhirnya menyepakati empat poin krusial dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2012 salah satunya adalah peningkatan angka Ambang Batas Parlemen PT (Parliementary Threshold) dari 2,5 % menjadi 3,5 % yang berlaku secara nasional. Khusus untuk kenaikan Ambang batas parlemen, voting dilakukan setelah sebelumnya terjadi loby antar fraksi-fraksi setelah sebelumnya terjadi perbedaan konfigurasi prosentasi kenaikan angka Ambang batas parelemen ini dari 2,5 % - 5%.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mencari jawaban mengapa terjadi kenaikan terhadap ambang batas parlemen dan juga ingin mengetahui dan menganalisa kebijakan PT (Parliamentary Threshold) sebagai bagian dari sistem pemilu. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori partai politik Alan Ware, teori pemilu Arendt Lijphart, teori parlementarian Arend Lijphart dan teori analisa kebijakan publik William N.Dun. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik analisis data menggunakan deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data administratif dan wawancara mendalam dengan pihakpihak yang terkait. Temuan dilapangan menunjukkan bahwa proses formulasi kebijakan ini masih mencerminkan proses demokrasi yang semu dan pragmatisme fraksi-fraksi dari partai politik yang ada di parlemen. Kenaikan PT harusnya dilakukan melalui proses pengkajian akademis secara mendalam dengan melibatkan para pihak yang kompeten dan lebih visioner sehingga proses demokrasi di Indonesia terus berjalan ke arah yang lebih baik.

ABSTRACT
This research is motivated by the Election Law products that produced by the House of Representatives and the government. As the legal basis for election in 2014 the House of Representatives has passed the Bill which is an amendment to the Electoral Act No.
10 of 2008 into Act No. 8 Year of 2012.
There are four crucial issues that emerged in the discussion of the election law :
First, the magnitude of electoral districts, remember some political parties want to reduce the numbers;
Second, political party seat allocation formula;
Third, the formula determining the candidate elected;
Fourth, the threshold representation or Parliamentary Threshold (PT). After passing the arguments in meetings held by the Special Committee of the Election Law, the factions have not found common ground on a four-point agreement on the crucial Bill Law No. 10 of 2008.
Finally the ratification process through voting conducted in accordance with the decision-making mechanism in the House of Representatives. Through the process of voting in the plenary session, the House of Representatives finally agreed on four crucial points in the Law No. 8 In 2012, one of which is the increasing number of Parliamentary Threshold PT (Parliamentary Threshold) from 2.5% to 3.5% which applies nationally. Specifically to increase the parliamentary threshold, after the voting is done before going on lobbying between the factions after previously occurred configuration differences percentage rise in the parelemen threshold of 2.5% - 5%.
This study was therefore conducted to seek answers as to why there is an increase of the threshold of parliament and also wanted to know and analyze the policy PT (Parliamentary Threshold) as part of the electoral system. As a theoretical foundation, this study uses the theory of Alan Ware political parties, election theory Arendt Lijphart, Arend Lijphart parlementarian theory and the theory of public policy analysis William N.Dun. This study used qualitative methods, while data analysis using descriptive analysis. Data was collected by collecting administrative data and in-depth interviews with relevant parties. Field findings indicate that the process of policy formulation is still reflecting the democratic process and the apparent pragmatism fractions of political parties in the parliament. The increase in PT should be done through a process of academic study in depth with the parties involved is more visionary and competent so that the democratic process in Indonesia continued to walk towards the better.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toip Heriyanto
"Pemilihan umum yang telah dilaksanakan pada tahun 2004, sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) W Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Dalam sistem itu para pemilih diharuskan untuk memilih dua tanda gambar, yaitu tanda gambar partai politik dan tanda gambar orang sebagai calon anggota legislatif Selain itu, dalam sistem pemilihan umum proporsional ini, diatur juga mengenai asas yang dipergunakan yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber) dan asas jujur dan adil (Jurdil). Dengan penggunaan sistem pemilihan yang proporsional dan penggunaan asas Luber dan Jurdil, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :
1. Apakah pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD itu telah-benar dilaksanakan secara langsung, dalam arti rakyat memilih secara langsung anggota DPR dan DPRD sesuai dengan yang diinginkan atau sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara ?
2. Seberapa besar sebenarnya peran partai politik dalam proses penentuan para caleg dan caleg terpilih untuk menjadi anggota DPR ? Dan, apakah ada hubungannya antara peran partai politik dalam proses penentuan para caleg dan caleg terpilih tersebut dengan penerapan sistem pemilihan umumnya itu sendiri ?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fhadilah Eka Pratiwi
"Dalam penelitian ini terdapat tiga pokok permasalahan: Pertama, terkait dengan hak konstitusional dalam pendirian partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum, Kedua, mengenai perkembangan pengaturan mengenai pendirian partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum dari zaman orde baru sampai dengan sekarang, dan Ketiga, mengenai penyelesaian sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu tahun 2014 dihubungkan dengan keikutsertaan dalam pemilu. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis.
Hasil penelitian ini menunjukkan pendirian partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum dijamin oleh UUD Tahun 1945 setelah perubahan. Pengaturan mengenai pendirian partai dan keikutsertaan dalam pemilu di zaman orde baru sangat dibatasi oleh penguasa. Menuju pemilu tahun 2014 pengaturan mengenai pendirian partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum menunjukkan arah ke penyederhanaan partai politik terlihat dengan persyaratan yang harus dipenuhi. Penyelesaian sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu di Bawaslu dan PTTUN telah menjamin hak konstitusional partai politik untuk ikut serta dalam pemilihan umum.

This research will focus on three main problems. First, constitutional right to established political parties and participation in election. Secondly, the development of regulation on establishment political parties and participation in election from orde baru era until now. Thirdly, the settlement of verification dispute of political parties participants in election 2014 associated with the right to participation in election. The method used in this research is judicial-normative which has its bearing on secondary data, this research will also be presented in the form of descriptive-analytical.
The result of this research shows that established of political parties and participation in election was guarantee in UUD 1945 after change. The regulation of establishment political parties and participation in election was limited by the authorities in orde baru. Towards 2014 election, regulation of establishment political parties and participation in election shows the direction to simplification political parties based on requirement that must be fulfilled. The settlement of verification dispute in Bawaslu and PTTUN shows guaranteed of constitutional right to participate in election.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46445
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situngkir, Aderson
"Di negara demokrasi modern pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat, sarana pengakuan hak asasi Manusia (HAM) sekaligus sarana partisipasi rakyat dalam polilik. Kemudian pemilu dapat berfurgsi sebagai sarana legitimasi polilik, perwakilan atau representasi politik, mekanisme pergantian kekuasaan atau sirkulasi elit dan sebagai sarana pendidikan dan sosialisasi politik yang bersifat massal, dan periodik Sistem pemilu sangat berpengaruh terhadap ketahanan nasional karena dapat mempengaruhi sistem partai, sistem kebinet pemerintahan, mekanisme hubungan kerja antara lembaga negara dan tertinggi negara, alat proses budaya polilik yang berkembang di masyarakat.
Sejak Indoneda merdeka telah 8 (delapan) kali dilaksanakan pemilihan umum sistem proporsional dengan berbagai variasinya. Pemilu 1955 relatif demokratis tetapi hasil akhir kurang mendukung upaya peningkatan ketahanan nasional Pemilu Orde Baru 1971 - 1997 relatif kurang demokratis walaupun kabinet relaif lebih stabil tetapi DPR kurang berfungsi kuat dan efektif. Pemilu 1999 relatif demokratis tetapi hasilnya sampai sekarang kurang kondusif terhadap ketahanan nasional. Mengingat besarnya pengaruh sistem pemilu terhadap upaya peningkatan ketahanan nasional maka penulis melakukan penelitian terhadap sistem proporsional versus distrik dikaitkan dengan gatra nasional.
Peneiltian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan pemilu sistem proporsional dengan sistem distrik dilihat dari ciri atau dampak positif dan negatifnya jika diterapkan di Indonesia maupun empiris dinegara lain, dan untuk mengetahui sistem pemilu mana yang dapat lebih meningkatkan ketahanan nasional. Metode penelitian bersifat komparatif deskriptif, teoritis normatif dan empiris. Kajian data dilakukan dengan studi pustaka (library research) kemudian dikonfirmasi dengan data wawancara terhadap ilmuwan, tokoh - tokoh partai politik Orde Baru dan birokrasi yang diwakili KPU. Analisa data dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan (prosperity and security approach). Setelah dilakukan penelitian ternyata bahwa pemilu sistem distrik lebih meningkatkan ketahanan nasional dengan catatan masih ada kendala atau hal - hal yang perlu di benahi. Maka penulis menyarankan agar pemilu yang akan datang memakai sistem distrik. Untuk mengurangi dampak negatifnya seperti representasi minoritas politik maka sistem yang dipakai bervariasi. Apabila jumlah penduduk lebih sedikit maka variasi yang dipakai adalah single member constituency yaitu wakil distrik minimal satu. Apabila jumlah penduduk lebih banyak maka vaiasi yang dipakai adalah multi member constituency yaitu tiap distrik terdiri beberapa wakil sesuai rasio jumlah penduduk.
Pilihan sistem pemilu hanyalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan ketahanan nasional. Faktor lain adalah pelaksanaan pemilu yang demokratis, agar legitimasi politik baik parlemen maupun kabinet tinggi, mempengaruhi kinerja legislatif dan akuntabilitas politik Maka untuk menunjang pemilu demokratis disarankan agar ketentuan pemilu dan kepartaian diatur secara jelas dan tegas dalam konstitusi negara (UUD 1945) agar mempunyai kedudukan yang kuat, perlu dibentuk badan peradilan khusus pemilu atau artartrase dengan prinsip transparan, jurdil, cepat, biaya ringan dengan putusan paralel dengan pengumuman hasil pemilu. Apabila kader partai melakukan kecurangan seperti politik uang (money politic), suap atau sogok untuk mempengaruhi putusan politik rakyat maka calon dinyatakan non aktif lalu diajukan ke pengadilan. Kemudian masyarakat umum diberikan hak untuk mengajukan gugatan (class action) apabila partai ingkar terhadap janji kampanye. Kemudian DPR perlu diberdayakan melalui komisi dan penambahan staf ahli, dibuat kode etik (code of conduct) dan dewan kehormatan agar perilaku, disiplin dan kinerja DPR dapat meningkat."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T11160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>