Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 84698 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Samuel Halim
"Hospital Acquired Pneumonia (HAP) merupakan infeksi nosokomial yang sering dijumpai pasien yang dirawat di rumah sakit. Mortalitas akibat HAP sangat tinggi, bahkan dapat mencapai 50%, namun belum ada data mengenai hal tersebut di Indonesia, serta belum diketahuinya faktor-faktor prediktor mortalitas. Hal ini penting untuk meningkatkan tata kelola HAP dalam menurunkan angka mortalitas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor prediksi kematian pada pasien HAP di ruang rawat Penyakit Dalam RSCM dan mengetahui proporsi mortalitas pada pasien tersebut. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif. Data diambil dari rekam medik mulai awal tahun 2006 sampai akhir tahun 2012. Variabel-variabel yang diduga sebagai faktor prediksi mortalitas pasien HAP adalah usia > 60 tahun, penurunan kesadaran, renjatan, sepsis, albuminemia < 3g/dL, imunokompromais, HAP awitan lambat.
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji perbedaan dua kelompok kategorik (Uji Chi-square atau Fisher) serta analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik ganda. Selama penelitian kami mendapatkan 204 subjek dengan HAP pada kurun waktu yang telah ditentukan, dengan proporsi mortalitas sebesar 44,1%. Sebanyak 109 subjek (53,4%) adalah pria dengan rentang usia 18 sampai 88 tahun (median 51 tahun). Komorbidatas tersering yang didapatkan adalah hipertensi (17,22%).
Dari hasil kultur sputum kami dapatkan kuman terbanyak adalah Klebsiella pneumonia yaitu 36 dari 61 isolat (59%). Analisis multivariat menunjukkan faktor yang bermakna secara statistik adalah penurunan kesadaran (OR 7,86 IK95% 3,363-18,36), renjatan (OR 3,80 IK95% 1,342-10,742), imunokompromais (OR 3,36 IK95% 1,738-6,483), serta hipoalbuminemia (OR 2,781 IK95% 1,298-5,958). Faktor-faktor prediksi mortalitas HAP adalah penurunan kesadaran, renjatan, imunokompromais dan hipoalbuminemia. Proporsi mortalitas HAP sebesar 44,1%.

Mortality and morbidity due to Hospital Acquired Pneumonia (HAP) are high. Mortality rate reaches up to 50%, but currently there is no local Indonesian data about the issue. Predictors of mortality are also not yet identified. These are important to improve the management of HAP in order to decrease mortality and morbidity.
The aims of this study were to identify factors that can be used to predict mortality in HAP patients in Internal Medicine Ward of Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) and to recognize the mortality proportion of those patients. This was a retrospective cohort study. Subject’s data were taken from medical records from January 2006 to December 2012. Independent variables consisted of age over 60, decrease of consciousness, shock, sepsis, hypoalbuminemia less than 3 g/dL, immune-compromised, late onset HAP.
For bivariate analysis, we used chi-square test or Fisher test and for multivariate analysis the logistic regression test. There was 204 patients included, all complete data and no drop-out. The mortality proportion of HAP of our cohort was 44.1%. Patients were mostly men, 109 subjects (53.4%) with age ranging between 18 to 88 years old (median age 51 years). The most common co morbidity was hypertension (17.22%). The most frequent microorganism isolated from sputum culture was Klebsiella pneumonia, 36 out of 61 isolates (59%).
Bivariate analysis revealed that decrease of consciousness, shock, sepsis, immune-compromised and hypoalbuminemia as statistically significant predictors of mortality. Multivariate analysis showed statistically significant predictors of mortality were decrease of consciousness (OR 7.86 95%CI 3.363-18.36), shock (OR 3.80 95%CI 1.342-10.742), immune-compromised (OR 3.36 95%CI 1.738-6.483) and hypoalbuminemia (95%OR 2.78 95%CI 1.298-5.958).Significant predictors of HAP mortality were decrease of consciousness, shock, immune-compromised and hypoalbuminemia. Mortality of HAP was 44.1%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Adi Firmansyah, examiner
"[Latar Belakang: Pneumonia komunitas masih merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak untuk penyakit infeksi, baik di negara maju ataupun negara berkembang. Pengetahuan tentang prediktor mortalitas dapat membantu pengambilan keputusan klinis untuk tatalaksana pasien. Penelitian terdahulu mengenai prediktor mortalitas di luar negeri sebagian besar dilakukan pada usia lanjut dan hanya ditemukan satu penelitian mengenai faktor-faktor prediktor mortalitas di Indonesia namun juga terbatas pada usia lanjut.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien pneumonia komunitas dewasa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien rawat inap dewasa RSCM yang didiagnosis pneumonia komunitas selama tahun 2010– 2014. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (hidup atau meninggal) selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square dilakukan pada sepuluh variabel prognostik, yakitu kelompok usia, penurunan kesadaran, komorbiditas (skor Charlson Comorbidity Index – CCI >5), sepsis, gagal napas, pneumonia berat, kadar hemoglobin <9 g/dL, hitung leukosit <4.000/ul atau >20.000/ul, kadar albumin <3 g/dL, dan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL. Data yang tidak lengkap diatasi dengan teknik multiple imputation. Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Subjek penelitian terdiri dari 434 pasien. Mortalitas selama perawatan sebesar 23,9%. Sebanyak 197 (45,4%) pasien adalah laki-laki dan 237 (54,6%)pasien adalah perempuan. Median usia pasien 58 tahun (rentang 18 sampai 89)tahun dan median lama perawatan adalah 8 (rentang 1 sampai 63) hari. Patogen tersering dari hasil kultur sputum adalah Klebsiella pneumoniae (28%). Prediktor mortalitas independen yang bermakna pada analisis multivariat adalah pneumonia berat (OR=29,42; IK 95% 20,81 sampai 41,58), sepsis (OR=3,65; IK 95% 2,57 sampai 5,19), gagal napas (OR=3,2; IK 95% 1,9 sampai 5,37), skor CCI >5 (OR=2,25; IK 95% 1,6 sampai 3,15) dan kadar albumin <3 g/dL (OR=1,42; IK 95% 1,04 sampai 1,95).
Simpulan: Pneumonia berat, gagal napas, sepsis, skor CCI >5, dan kadar albumin <3 g/dL merupakan pediktor independen mortalitas pasien pneumonia komunitas dewasa saat rawat inap., Background: Community-acquired Pneumonia (CAP) is one of the causes of death from infectious disease in the developed or developing countries. The prediction of outcome is important in decision-making process. Previous studies of predictors of mortality in overseas mostly in elderly and only found one previous study in Indonesia, but also limited in the elderly.
Objective: To determine the predictors of mortality in hospitalized patients with CAP in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
Methods: We performed a retrospective cohort study among hospitalized patients with CAP in Cipto Mangunkusumo Hospital between 2010–2014. Data were collected at initiation of hospitalized period and the main outcome was all-cause mortality during hospitalization. We analyzed age, decreased of consciousness, comorbidity (represented as Charlson Comorbidity Index – CCI), sepsis, respiratory failure, severe pneumonia, hemoglobin level <9 g/dL, leucocyte count <4.000/ul or >20.000/ul, albumin level <9 g/dL, and blood glucose level >200 mg/dL in bivariate analysis using Chi-Square test. Missing data were handled using multiple imputation. Multivariate logistic regression analysis was performed to identify independent predictors of mortality.
Results: A total of 434 patients were evaluated in this study. In-hospital mortality rate was 23.9%. There were 197 (45,4%)male and 237 (54,6%) female patients. Median age of population was 58 (range 18 to 89) years old and median length of stay was 8 (range 1 to 63) days. The commonest pathogen was Klebsiella pneumoniae (28%). The independent predictors of mortality in multivariate analysis were severe pneumonia (OR 29.42; 95% CI 20.81 to 41.58), sepsis (OR 3.65; 95% CI 2.57 to 5.19), respiratory failure (OR 3.2; 95% CI 1.9 to 5.37), CCI score >5 (OR 2.25; 95% CI 1.6 to 3.15) and albumin level <3 g/dL (OR 1.42; 95% CI 1.04 to 1.95).
Conclusion: Severe pneumonia, respiratory failure, sepsis, CCI scores >5, and albumin level <3 g/dL were independent predictors of in-hospital mortality among hospitalized patients with CAP.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Riahdo Juliarman
"Latar Belakang: Ventilator-associated pneumonia (VAP) merupakan infeksi yang sering terjadi di intensive care unit (ICU) dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Pengetahuan tentang prediktor mortalitas dapat membantu pengambilan keputusan klinis untuk tatalaksana pasien. Studi-studi tentang faktor prediktor mortalitas VAP menunjukkan hasil yang berbeda-beda dan tidak ada penelitian yang komprehensif di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien VAP di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien ICU RSCM yang didiagnosis VAP selama tahun 2003-2012. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (hidup atau meninggal) selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan pada variabel kelompok usia, infeksi kuman risiko tinggi, komorbiditas, renjatan sepsis, kultur darah, prokalsitonin, ketepatan antibiotik empiris, acute lung injury, skor APACHE-II, dan hipoalbuminemia. Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 201 pasien diikutsertakan pada penelitian ini. Didapatkan angka mortalitas selama perawatan sebesar 57,2%. Kelompok usia, komorbiditas, renjatan sepsis, prokalsitonin, ketepatan antibiotik empiris, dan skor APACHE II merupakan variabel yang berpengaruh terhadap mortalitas pada analisis bivariat. Prediktor mortalitas pada analisis multivariat adalah antibiotik empiris yang tidak tepat (OR 4,70; IK 95% 2,25 sampai 9,82; p < 0,001), prokalsitonin > 1,1 ng/mL (OR 4,09; IK 95% 1,45 sampai 11,54; p = 0,01), usia ≥ 60 tahun (OR 3,71; IK 95% 1,35 sampai 10,20; p = 0,011), dan adanya renjatan sepsis (OR 3,53; IK 95% 1,68 sampai 7,38; p = 0,001).
Kesimpulan: Pemberian antibiotik empiris yang tidak tepat, prokalsitonin yang tinggi, usia 60 tahun atau lebih, dan adanya renjatan sepsis merupakan pediktor independen mortalitas pada pasien VAP.

Background: Ventilator-associated pneumonia (VAP) is a frequent infection with high mortality rates in intensive care unit (ICU). The prediction of outcome is important in decision-making process. Studies exploring predictors of mortality in patients with VAP produced conflicting results and there are no comprehensive reports in Indonesia.
Objective: To determine predictors of mortality in patients with VAP in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: We performed a retrospective cohort study on patients admitted to the ICU who developed VAP between 2003?2012. Clinical and laboratory data along with outcome status (survive or non-survive) were obtained for analysis. We compared age, presence of high risk pathogens infection, presence of comorbidity, septic shock status, blood culture result, procalcitonin, appropriateness of initial antibiotics therapy, presence of acute lung injury, APACHE II score, and serum albumin between the two outcome group. Logistic regression analysis performed to identify independent predictors of mortality.
Results: A total of 201 patients were evaluated in this study. In-hospital mortality rate was 57.2%. Age, comorbidity, septic shock status, procalcitonin, appropriateness of initial antibiotics therapy, and APACHE II score were significantly different between outcome groups. The independent predictors of mortality in multivariate logistic regression analysis were inappropriate initial antibiotics therapy (OR: 4.70; 95% CI 2.25 to 9.82; p < 0.001), procalcitonin > 1.1 ng/mL (OR: 4.09; 95% CI 1.45 to 11.54; p = 0.01), age ≥ 60 years old (OR: 3.71; 95% CI 1.35 to 10.20; p = 0.011), and presence of septic shock (OR: 3.53; 95% CI 1.68 to 7.38; p = 0.001).
Conclusion: Inappropriate initial antibiotic therapy, high serum procalcitonin level, age 60 years or older, and presence of septic shock were independent predictors of mortality in patients with VAP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Wina Karinasari
"Latar belakang: Pneumonia rumah sakit adalah infeksi paru yang didiagnosis setelah rawat >48 jam setelah masuk rawat dan tanpa adanya tanda infeksi paru pada saat awal perawatan atau pneumonia yang didiagnosis pada saat awal masuk perawatan dengan riwayat perawatan di rumah sakit sebelumnya dengan jarak antar rawat inap 10-14 hari. Pneumonia rumah sakit merupakan salah satu infeksi nosokomial yang sering terjadi pada perawatan pasien anak di rumah sakit. Kasus pneumonia rumah sakit dapat berakibat meningkatkan angka kesakitan dan kematian, memperpanjang lama rawat inap serta biaya yang dikeluarkan. Tujuan: mengetahui karakteristik dan proporsi mortalitas pneumonia rumah sakit pada anak. Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap subyek usia >1 bulan dan ≤18 tahun di RSCM selama 2015-2018 melalui telusur rekam medis. Hasil: Sebanyak 86 subyek didapatkan dengan karakteristik subyek dengan pneumonia rumah sakit terbanyak pada penelitian ini adalah usia 1-24 bulan, memiliki lebih dari satu komorbiditas status nutrisi gizi baik dan memiliki awitan lambat. Simpulan: Subyek dengan pneumonia rumah sakit terbanyak pada penelitian ini mempunyai karakteristik usia 1-24 bulan, memiliki lebih dari satu komorbiditas, status nutrisi gizi baik, memiliki lama rawat 8-14 hari, dan berawitan lambat. Proporsi mortalitas subyek dengan pneumonia rumah sakit pada penelitian ini sebesar 24,4%. Karakteristik mortalitas juga dapat dipengaruhi oleh status nutrisi yaitu gizi buruk, kelompok usia, jenis komorbiditas, lama rawat dan jenis awitan.

Background: Hospital-acquired pneumonia (HAP) is defined as a pulmonary infection that occurs >48 hours after admission to hospital or within 10-14 days after discharge. It is the most common hospital-acquired infection in children. Its occurrence represents increase hospital stay, additional cost, morbidity and mortality. Objective: To investigate the characteristic and mortality of hospital-acquired pneumonia in children Methods: It is a retrospective cohort study involving 86 subjects through medical records, inclusive to >1 months old - ≤18 years old patients, in RSCM Jakarta within 2015-2018. Results: There are 86 subjects with characteristic of HAP in this study are age 1-24 months old, has more than one comorbidity, good nutritional status and late onset. Conclusion: General characteristic of HAP in this study are, age 1-24 months old, has more than one comorbidity, good nutritional status, length of stay 8-14 days and late onset. The mortality proportion of HAP in this study is 24.4%. The mortality characteristic was influenced by nutritional status (severe malnutrition), comorbidities, age, length of hospital stay and onset of the disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christy Efiyanti
"Latar Belakang : Pneumonia komunitas merupakan satu masalah kesehatan yang besar. Mortalitas akibat pneumonia komunitas masih tinggi, terutama di Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Skor CURB-65 merupakan sistem skoring yang telah dipakai secara luas, namun memiliki beberapa kekurangan sehingga diperlukan sistem skor baru untuk menilai derajat keparahan pneumonia komunitas. Saat ini telah diperkenalkan sistem skor expanded-CURB-65 yang dinilai dapat lebih baik dalam hubungannya sebagai prediktor mortalitas 30 hari pneumonia komunitas.
Tujuan : Menilai performa kalibrasi dan diskriminasi skor expanded-CURB-65 untuk digunakan dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien pneumonia komunitas di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr.Cipto Mangunkusumo.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif dengan subyek penelitian pasien pneumonia komunitas yang datang ke IGD, poliklinik paru atau dirawat di ruang rawat RSCM. Keluaran yang dinilai adalah mortalitas pasien dalam 30 hari. Dilakukan penilaian performa diskriminasi skor expanded-CURB-65 menggunakan area under the curve AUC . Performa kalibrasi dinilai dengan plot kalibrasi dan tes Hosmer-Lemeshow.
Hasil : 267 pasien ikut serta dalam penelitian ini dengan angka mortalitas 31,5 . Performa kalibrasi ditunjukkan oleh plot kalibrasi skor expanded-CURB-65 dengan r = 0,94 serta uji Hosmer-Lemeshow dengan nilai p = 0,57. Performa diskriminasi skor expanded-CURB-65 ditunjukkan oleh kurva ROC dengan nilai AUC 0,796 IK95 0,74-0,86.
Simpulan : Mortalitas meningkat seiring peningkatan kelas risiko expanded-CURB-65. Expanded-CURB-65 menunjukkan performa kalibrasi dan diskriminasi yang baik dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien pneumonia komunitas di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Background : Community acquired pneumonia is a major health problem. Mortality due to community pneumonia is still high, especially in Indonesia compared to other countries. The CURB 65 score is a widely used scoring system, but has some drawbacks so a new scoring system is needed to assess the severity of community pneumonia. Currently, the expanded CURB 65 scoring system has been assessed better to predict 30 day mortality of community acquired pneumonia.
Aim : To evaluate calibration and discrimination performance of the expanded CURB 65 score in predicting 30 days mortality of community acquired pneumonia patients at the National Center General Hospital dr.Cipto Mangunkusumo.
Method : This study was a prospective cohort study with the study subjects community acquired pneumonia patients who came to the Emergency Room ER , pulmonary polyclinics or hospitalized in RSCM. The assessed outcome was patient mortality within 30 days. Discrimination performance of the expanded CURB 65 score assessed using the area under the curve AUC . Calibration was evaluated with calibration plot and Hosmer Lemeshow test.
Results : 267 patients participated in the study with a mortality rate of 31.5. Calibration plot of expanded CURB 65 score showed r 0,94 and Hosmer Lemeshow test showed p 0,57. Discrimination was shown by ROC curve with AUC 0,796 CI95 0,74 0,86.
Conclusion : Mortality increases with increasing risk class of expanded CURB 65. Expanded CURB 65 showed a good calibration and discrimination performance in predicting 30 day mortality higher in community acquired pneumonia patients in Cipto Mangunkusumo Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Adhyaksanti
"Pneumonia komunitas adalah penyebab kematian terbesar di Indonesia. Sistem skor PSI dan CURB-65 telah digunakan dalam menentukan keparahan penyakit dan keputusan tempat rawat berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan sistem skor modifikasi PSI dan modifikasi CURB-65 pada pasien CAP sebagai prediktor mortalitas 30 hari di RS Persahabatan. Penelitian ini adalah kohort prospektif yang dilakukan pada pasien CAP yang dirawat di RS Persahabatan sejak bulan Oktober 2012-Maret 2013. Gejala klinis nilai laboratorium, foto toraks, penyakit penyerta skor PSI dan CURB-65 serta hasil akhir berupa kematian dicatat untuk dianalisis. Selama 30 hari subjek penelitian diikuti. Sebanyak 167 pasien CAP mengikuti penelitian ini didapatkan angka kematian sebesar 18,6%. Sensitivitas PSI sama dengan CURB-65 yaitu sebesar 77,4%. Spesifisitas PSI sedikit lebih tinggi dari pada CURB-65 (58,1% vs 53,7% p < 0,001). Risiko relatif mortalitas berdasarkan PSI pada kelompok risiko tinggi sebesar 3,64 kali dibandingkan kelompok risiko rendah, sedangkan risiko relatif mortalitas berdasarkan CURB-65 pada kelompok risiko tinggi sebesar 3,15 kali dibandingkan kelompok risiko rendah. Skor CURB-65 dapat dipertimbangkan sebagai prediktor mortalitas pada pasien CAP yang di rawat inap.

Community Acquired Pneumonia (CAP) is the first leading disease with the highest mortality in hospitalized patient in Indonesia. Pneumonia severity assessment systems such as the pneumonia severity index (PSI) and CURB-65 were designed to predict severity of illness and site of care base on 30-d mortality. The purpose of this study is to comparing the PSI with CURB-65 in patient admitted with CAP as predictor 30 days mortality in Persahabatan Hospital, Jakarta. This is a prospective cohort study in hospitalized community acquired pneumonia patients in Persahabatan Hospital since October 2012- Maret 2013. Clinical symptoms, laboratory findings, chest x-ray , comorbidities, score of PSI and CURB-65, 30 days mortality were recorded for analysis. Thirty days mortality outcome were recorded to analysis which score system as the best to predict 30 days mortality. One hundred and sixtty seven patients CAP were studied with an overall 30-d mortality of 18,6%. Sensitivity of PSI were simillar with CURB-65 for predicting patients who died within 30 d (77,4% ; p < 0.001). Specificity of PSI was slighty higher than CURB-65 (58,1% vs 53,7% p < 0,001). Score PSI have risk mortality 3,64 times in high risk group CAP than low risk group CAP. Score CURB-65 have risk mortality 3,15 times in high risk group CAP than low risk CAP. CURB-65 modification was considerable to predict mortality in CAP patients hospitalized.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Borries Foresto Buharman
"Pendahuluan. Skor CURB-65 merupakan suatu sistem skor untuk menilai derajat penyakit pneumonia, namun beberapa penelitian menilai performanya kurang baik, sehingga diperlukan faktor prognostik lain sebagai penambah variabel. C-Reactive Protein dinilai mempunyai peran sebagai faktor independen dalam memprediksi mortalitas pasien pneumonia. Penelitian ini dilakukan untuk menilai peran C-Reactive Protein pada skor CURB-65 dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien pneumonia komunitas rawat inap.
Metode. Penelitian ini merupakan studi prospektif berbasis riset prognostik dengan subjek penelitian yaitu pasien pneumonia komunitas yang dirawat di IGD dan gedung A Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo RSCM, Jakarta bulan Oktober-November 2017. Keluaran yang dinilai pada penelitian ini yaitu mortalitas pasien dalam 30 hari. Pada subjek dilakukan penilaian performa skor CURB-65 sebelum dan setelah ditambah dengan nilai C-Reactive Protein. Performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve AUC.
Hasil. Sebanyak 200 pasien ikut serta dalam penelitian ini dengan angka mortalitas 37. Performa diskriminasi skor CURB-65 menunjukkan nilai AUC 70,1 IK 95 0,62-0,77. Setelah ditambahkan dengan nilai C-Reactive Protein berdasarkan cut off ge;48,5 mg/L, didapatkan peningkatan nilai AUC skor CURB-65 menjadi 88,0 IK 95 0,83-0,92.
Simpulan. C-Reactive Protein memiliki peran pada skor CURB 65 sebagai prediktor mortalitas 30 hari pasien pneumonia komunitas rawat inap.

Introduction. CURB 65 is a scoring system to evaluate the degree of pneumonia, but some research identified that its performance to predict mortality was below expectations. Therefore, we need other prognostic factor as an added value. C Reactive Protein has a role as an independent factor to predict mortality in community acquired pneumonia. This study aims to evaluate role of C Reactive Protein in CURB 65 score to predict 30 days mortality in hospitalized community acquired pneumonia patient.
Method. A prospective cohort study was conducted to hospitalized community acquired pneumonia patients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from October to November 2017. Outcome of the study was mortality in 30 days. Performance of CURB 65 score was evaluated before and after addition of C Reactive Protein. Discrimination was evaluated with area under curved AUC.
Results. Total of 200 patients were included in this study with number of mortality was 37. Performance discrimination CURB 65 score was shown by ROC curve, the AUC is 70,1 CI 95 0,62 ndash 0,77. After addition of C Reactive Protein based of cut off ge 48,5 mg L, the AUC score improved to 88,0 CI 95 0,83 ndash 0,92.
Conclusion. C Reactive Protein has a role to CURB 65 score to predict 30 days mortality in hospitalized community acquired pneumonia patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randhy Fazralimanda
"Latar Belakang: Pneumonia berat masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan dunia. Sistem imun diketahui memiliki peranan penting dalam patogenesis pneumonia, namun tidak banyak studi yang menilai hubungan antara kadar CD4 dan CD8 darah dengan mortalitas akibat pneumonia berat pada pasien dengan status HIV negatif.
Tujuan: Mengetahui data hubungan dan nilai potong kadar CD4 dan CD8 darah dengan angka mortalitas 30 hari pada pasien pneumonia berat di RSCM.
Metode: Penelitian berdesain kohort prospektif yang dilakukan di ruang rawat intensif RSCM periode Juni-Agustus 2020. Keluaran berupa kesintasan 30 hari, nilai titik potong optimal kadar CD4 dan CD8 darah untuk memprediksi mortalitas 30 hari dan risiko kematian. Analisis data menggunakan analisis kesintasan Kaplan-Meier, kurva ROC dan multivariat regresi Cox.
Hasil: Dari 126 subjek, terdapat 1 subjek yang loss to follow up. Mortalitas 30 hari didapatkan 26,4%. Nilai titik potong optimal kadar CD4 darah 406 sel/μL (AUC 0,651, p=0,01, sensitivitas 64%, spesifisitas 61%) dan kadar CD8 darah 263 sel/μL (AUC 0,639, p=0,018, sensitivitas 62%, spesifisitas 58%). Kadar CD4 darah < 406 sel/μL memiliki crude HR 2,696 (IK 95% 1,298-5,603) dan kadar CD8 darah < 263 sel/μL memiliki crude HR 2,133 (IK 95% 1,035-4,392) dengan adjusted HR 2,721 (IK 95% 1,343-5,512). Bila sepsis dan tuberkulosis paru ditambahkan dengan kadar CD4 darah dan CD8 darah, didapatkan nilai AUC 0,752 (p=0,000).
Kesimpulan: Kadar CD4 dan CD8 darah memiliki akurasi yang lemah dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien pneumonia berat. Kadar CD4 darah < 406 sel/μL dan kadar CD8 darah < 263 sel/μL memiliki risiko mortalitas 30 hari yang lebih tinggi.

Background: Severe pneumonia is a major health problem in Indonesia and the world. The immune system is known to play an important role in the pathogenesis of pneumonia, but few studies have assessed the relationship between blood CD4 and CD8 count and mortality from severe pneumonia in patients with negative HIV status.
Objectives: Knowing the correlation data and the cut-off value of blood CD4 and CD8 count with a 30-days mortality rate in severe pneumonia patients at RSCM. Methods. This study is a prospective cohort study conducted at RSCM intensive care rooms from June to August 2020. The outputs were 30-days survival rate, optimal cut-off value for blood CD4 and CD8 count to predict 30-days mortality and mortality risk. Data analysis used Kaplan-Meier survival, ROC curves and multivariate Cox regression analysis.
Results: Of the 126 subjects, there was 1 subject who lost to follow up. The 30- days mortality rate was 26.4%. The optimal cut-off value for blood CD4 count was 406 cells/μL (AUC 0.651, p=0.01, sensitivity 64%, specificity 61%), blood CD8 count was 263 cells/μL (AUC 0.639, p=0.018, sensitivity 62%, specificity 58%). CD4 blood count < 406 cells/μL had a crude HR of 2.696 (95% CI 1.298- 5.603) and blood CD8 count < 263 cells/μL had a crude HR of 2.133 (95% CI 1.035-4.392) with an adjusted HR of 2.721 (CI 95% 1,343-5,512). If sepsis and pulmonary tuberculosis were added to the blood CD4 and CD8 count, the AUC value was 0.752 (p=0.000).
Conclusion: Blood CD4 and CD8 count had poor accuracy in predicting 30-days mortality in patients with severe pneumonia. The group with blood CD4 count < 406 cells/μL and blood CD8 count < 263 cells/μL had a higher risk of 30-days mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tantri Rosyiani
"Pneumonia nosokomial, juga disebut sebagai pneumonia yang didapat di rumah sakit, didefinisikan sebagai pneumonia yang bermanifestasi 48 jam atau lebih setelah rawat inap dan tidak dalam masa inkubasi. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memaparkan hasil temuan dengan menggunakan latihan pernapasan teknik pernapasan buteyko untuk membantu mengatur kembali pola nafas pasien yang bertujuan untuk mengatasi dispnea yang pasien alami, Latihan pernapasan ini diberikan selama enam hari dengan durasi intervensi 5-10 menit dilakukan 1x dalam sehari. Analisis dilakukan pada perempuan berusia 69 tahun yang mengalami Hospital Acquired Pneumonia dengan keluhan utama yang seringkali muncul yaitu Dispnea pasien juga mengeluhkan batuk serta sulit mengeluarkan dahaknya. Masalah keperawatan yang muncul adalah bersihan jalan nafas tidak efektif, intoleransi aktivitas, dan nyeri akut. Hasil dari intervensi yang telah diberikan diketahui bahwa teknik pernapasan buteyko dapat meningkatkan saturasi dan memperbaiki pola nafas namun perbaikan tersebut hanya terlihat segera setelah dilakukannya intervensi, namun belum menunjukkan perbaikan yang terlihat jika dibandingkan dengan data harian. Kesimpulan teknik buteyko dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun, selain mudah dan bermanfaat teknik ini dapat membantu meningkatkan pernapasan, mengurangi sesak dan meningkatkan saturasi.

Nosocomial pneumonia, also known as hospital-acquired pneumonia (HAP), is defined as pneumonia that manifests 48 hours or more after hospitalization and is not in the incubation period. The analysis was conducted on a 69-year-old woman who had HAP (Hospital Acquired Pneumonia) with the main complaint that often arises, namely dyspnea, the patient also complained of coughing and difficulty in expelling phlegm. Problems that arise include ineffective airway hygiene, activity intolerance, and acute pain. The purpose of this paper is to present the findings and analysis of nursing care using breathing exercises with the Buteyko breathing technique to help rearrange the patient's breathing pattern which aims to overcome the dyspnea that the patient is experiencing, this breathing is given for six days with a duration of 5-10 minutes of intervention. 1x in a day. It is known from the results of the intervention that the buteyko breathing technique can increase saturation and improve breathing patterns, but these improvements were only seen immediately after the intervention, but have not shown any visible improvement when compared to daily data. Conclusion: The Buteyko technique can be done anytime and anywhere, besides being easy and useful this technique can help improve breathing, reduce tightness and increase saturation."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tantri Rosyiani
"Pneumonia nosokomial, juga disebut sebagai pneumonia yang didapat di rumah sakit, didefinisikan sebagai pneumonia yang bermanifestasi 48 jam atau lebih setelah rawat inap dan tidak dalam masa inkubasi. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memaparkan hasil temuan dengan menggunakan latihan pernapasan teknik pernapasan buteyko untuk membantu mengatur kembali pola nafas pasien yang bertujuan untuk mengatasi dispnea yang pasien alami, Latihan pernapasan ini diberikan selama enam hari dengan durasi intervensi 5-10 menit dilakukan 1x dalam sehari. Analisis dilakukan pada perempuan berusia 69 tahun yang mengalami Hospital Acquired Pneumonia dengan keluhan utama yang seringkali muncul yaitu Dispnea pasien juga mengeluhkan batuk serta sulit mengeluarkan dahaknya. Masalah keperawatan yang muncul adalah bersihan jalan nafas tidak efektif, intoleransi aktivitas, dan nyeri akut. Hasil dari intervensi yang telah diberikan diketahui bahwa teknik pernapasan buteyko dapat meningkatkan saturasi dan memperbaiki pola nafas namun perbaikan tersebut hanya terlihat segera setelah dilakukannya intervensi, namun belum menunjukkan perbaikan yang terlihat jika dibandingkan dengan data harian. Kesimpulan teknik buteyko dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun, selain mudah dan bermanfaat teknik ini dapat membantu meningkatkan pernapasan, mengurangi sesak dan meningkatkan saturasi.

Nosocomial pneumonia, also known as hospital-acquired pneumonia (HAP), is defined as pneumonia that manifests 48 hours or more after hospitalization and is not in the incubation period. The analysis was conducted on a 69-year-old woman who had HAP (Hospital Acquired Pneumonia) with the main complaint that often arises, namely dyspnea, the patient also complained of coughing and difficulty in expelling phlegm. Problems that arise include ineffective airway hygiene, activity intolerance, and acute pain. The purpose of this paper is to present the findings and analysis of nursing care using breathing exercises with the Buteyko breathing technique to help rearrange the patient's breathing pattern which aims to overcome the dyspnea that the patient is experiencing, this breathing is given for six days with a duration of 5-10 minutes of intervention. 1x in a day. It is known from the results of the intervention that the buteyko breathing technique can increase saturation and improve breathing patterns, but these improvements were only seen immediately after the intervention, but have not shown any visible improvement when compared to daily data. Conclusion: The Buteyko technique can be done anytime and anywhere, besides being easy and useful this technique can help improve breathing, reduce tightness and increase saturation."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>