Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139379 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ghali Amiyama
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai konsep keadaan memaksa (force majeure) dalam Hukum Perjanjian dan bagaimana penerapan klausula force majeure oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No.587/PK/Pdt/2010. Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif dan prespektif analitis. Dalam penerapan batasan force majeure pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 587 Pk/Pdt/2010, ketika terjadi perbedaan persepsi mengenai banjir dalam perkara antara CV. Borco Utama melawan Transenergy Grinding, Inc. merupakan force majeure atau bukan, oleh Mahkamah Agung diputuskan banjir yang terdapat dalam klausula force majeure di perjanjian tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure. Hal ini ketika dianalisis, banjir dalam perkara antara CV. Borco Utama melawan Transenergy Grinding, Inc. ini memang tidak memenuhi unsur-unsur force majeure yaitu banjir tersebut dapat diprediksi/diduga akan terjadi.

ABSTRACT
This research discusses about the concept of force majeure in the Contract Law according to Indonesian Civil Code and how the Indonesian Supreme Court applied the clause of force majeure in its Decision No. 587/PK/Pdt/2010. The research conducted by legal research in a normative juridical approach methodology with descriptive and analytical perspective. The definition of force majeure applied in the Decision of Indonesian Supreme Court No.587/PK/Pdt/2010 was based on the different perception about "flood" (whether flood belongs to force majeure or not) in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. Then the Indonesian Supreme Court decided that "flood" stated in the clause on force majeure in the agreement cannot be categorized as force majeure. After being analyzed, it was found out that the "flood" in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. did not meet the elements of force majeure that the flood can be predicted/expected."
2014
S53570
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Fauziah Putri
"Skripsi ini membahas mengenai konsep keadaan memaksa (force majeure) dalam Hukum Perjanjian dan akibatnya bagi para pihak. Dalam penerapannya diperlukan batasan-batasan tertentu agar ketentuan force majeure tersebut dapat dijadikan dasar pembelaan yang dapat membebaskan debitur dari kewajiban pembayaran ganti rugi. Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif dan prespektif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian dalam skripsi ini dapat disimpulkan bahwa PT Telkomsel sebagai pihak penyewa dalam suatu perjanjian sewa menyewa dengan H. Darmawan Kasim sebagai pihak yang menyewakan, tidak dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian yang diderita oleh H. Darmawan Kasim karena kedua belah pihak sudah menetapkan klausul force majeure di dalam perjanjian sewa menyewa yang dibuat diantara keduanya. Sehingga ketentuan dalam perjanjian itulah yang berlaku bagi keduanya.

This thesis discusses about the concept of force majeure in the Contract Law according to Indonesian Civil Code and its consequences for the parties. In its implementation is required certain limitations in order to the provisions of force majeure can be used as the legal basis of an excuse so that the debtor is not liable for damages suffered by the creditor. This provision is statute in Indonesian Civil Code or either in the contract agreed by the parties. The research conducted by legal research in a normative juridical approach methodology with descriptive and analytical perspective.
The research concluded that PT Telkomsel as the lessee (debtor) in a lease agreement with H. Darmawan Kasim as the lessor (creditor), may not be prosecuted to pay any loss suffered by H. Darmawan Kasim due to such loss not caused by the debtor and both parties have set a force majere clause in the lease agreement made by them. In that clause, both parties have agreed about legal consequences in the event of fail to perform due to force majeure, which the parties cannot be deemed for doing a negligence or event of default and its loss become risk for each parties and the parties waive their rights to prosecute, so that provisions statute in the agreement are applicable to the parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1663
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Okta Sesia
"Perkembangan dunia usaha mengakibatkan adanya perkembangan
pula dalam pembuatan perjanjian yang mengandung klausulaklausula
yang dianggap memenuhi keinginan para pihak dalam
berkontrak. Di dalam perjanjian untuk mengantisipasi halhal
yang mungkin timbul di kemudian hari, maka para pihak
di dalam suatu perjanjian mencantumkan Klausula Keadaan
Darurat. Keadaan Darurat yang biasa dikenal dengan istilah
Force Majeure diartikan sebagai suatu kejadian yang terjadi
di luar kekuasaan para pihak, dimana pihak tersebut tidak
dapat menduga kejadian tersebut pada waktu perjanjian
dibuat atau tidak dapat menghindari atau mengatasi
akibatnya. Penulis menyoroti permasalahan mengenai
perumusan klausula Keadaan Darurat di dalam suatu
perjanjian serta risiko yang harus ditanggung oleh para
pihak dalam hal terjadi peristiwa Keadaan Darurat,
sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan
metide penelitian deskriptif analisis. Dalam penelitian ini,
penulis akan memperbandingkan Klausula Keadaan Darurat
antara Perjanjian Graha Sucofindo dengan Perjanjian Direct
Contract. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan
dilatarbelakangi oleh Kedua perjanjian yang mencantumkan
Klausula Keadaan Darurat, maka Perjanjian Graha Sucofindo
dan Perjanjian Direct Contract memiliki perbedaan dan
persamaan dari segi definisi, teori, risiko, dan bentuk
Keadaan Darurat dalam hal pencantuman Klausula Keadaan
Darurat. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Force
Majeure diatur di dalam Pasal 1244 KUHPerdata dan 1245
KUHPerdata. Kedua pasal ini terdapat di dalam bagian yang
mengatur tentang ganti rugi. Pasal 1244 KUHPerdata dan
pasal 1245 KUHPerdata mengatur suatu hal yang sama, yaitu
dibebaskannya si debitur dari kewajiban mengganti kerugian,
karena suatu kejadian yang dinamakan Keadaan Darurat dalam
perjanjian. Klausula tentang overmacht atau force majeure
atau biasa disebut Keadaan Memaksa merupakan suatu klausula
yang penting. Oleh karena itu, sebaiknya klausula Keadaan
Darurat selalu dicantumkan dalam perjanjian untuk melakukan antisipasi yang mungkin timbul di kemudian hari dan berakibat langsung terhadap pelaksanaan perjanjian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21380
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lennart Ezra
"Dalam hubungan kontraktual, suatu kewajiban yang telah disepakati para pihak dapat tidak terpenuhi oleh karena adanya supervening event yang tidak dapat diduga datangnya. Ketentuan UNIDROIT Principles of International Commercial Contract dapat mengakomodir kejadian atau peristiwa yang datangnya tidak dapat diduga itu, khususnya dalam situasi pandemi COVID-19 yang datangnya tidak dapat diduga. Menanggapi hal tersebut, UNIDROIT kemudian menerbitkan Note of the UNIDROIT Secretariat on the Principles of International Commercial Contract on the COVID-19 Health Crisis sebagai panduan dalam penggunaan UNIDROIT Principles of International Commercial Contract apabila terdapat permasalahan kontraktual yang melibatkan pihak dari negara yang berbeda-beda. Penelitian ini akan menyajikan penjelasan (i) bagaimana konsepsi supervening events dan doktrin yang menjadi dasar pemaaf atas tidak terlaksananya prestasi suatu kontrak dilihat dari perspektif hukum perdata Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand; dan (ii) bagaimana kejadian pandemi seperti COVID-19 dapat diinterpretasikan sebagai force majeure dilihat dari klausula force majeure di dalam suatu perjanjian distributor yang melibatkan pihak asing dan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia dan UNIDROIT Principles of International Commercial Contract. Dengan metode penelitian yuridis normatif serta dengan pendekatan kualitatif, dapat diambil kesimpulan bahwa: Pertama, dari persamaan dan perbedaan ketentuan yang ada, telah terlihat adanya keberagaman pengaturan mengenai doktrin supervening events yang diakui di Indonesia, Korea Selatan, dan juga Thailand, yang dalam penelitian ini adalah force majeure. Kedua, pandemi COVID-19 dapat dianggap sebagai suatu keadaan force majeure sebagai alasan lepasnya pihak yang terdampak dari tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dari pandemi COVID-19 apabila mengacu pada UNIDROIT Principles of International Commercial Contract.

In a contractual relationship, the agreed performances may not be fulfilled due to an unexpected supervening event. However, the UNIDROIT Principles of International Commercial contract would accommodate such supervening events, particularly in a COVID-19 pandemic situation which appears to be unexpected. Given that, UNIDROIT then issued Note of the UNIDROIT Secretariat on the Principles of International Commercial Contract on the COVID-19 Health Crisis as a guidance in utilizing the UNIDROIT Principles of International Commercial Contract in event of any contractual disruption between the parties who are originated from different countries. This study will provide explanations regarding (i) how the concept of supervening events and the doctrine that forms the basis of excuse for non-performance of a contract perceived from the perspective of Indonesian, South Korean, and Thai civil law; and (ii) how the COVID-19 pandemic event can be interpreted as a force majeure perceived from a force majeure clause stipulated in a distributorship agreement which involves foreign parties and in accordance with Indonesian Bylaws and UNIDROIT Principles of International Commercial Contract. Through a research using normative juridical method and qualitative approach, it can be concluded that: First, on the basis of the provisions’ similarities and contrast distinction, the diversities of regulation can be seen in regards with the recognized supervening events doctrine in Indonesia, South Korea, and Thailand, that is force majeure. Second, COVID-19 pandemic can be constituted as a force majeure to excuse the affected party from responsibility towards the incurred loss under UNIDROIT Principles of International Commercial Contract."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Naufal Firzatulloh
"Artikel ini membahas tentang pengaturan kebakaran perusahaan dan force majeure dalam kerangka hukum ketenagakerjaan dan penerapannya dalam putusan pengadilan berkaitan dengan peristiwa kebakaran di perusahaan. Kebakaran merupakan peristiwa yang dapat terjadi di segala tempat, termasuk perusahaan atau tempat kerja. Peristiwa kebakaran biasanya dikaitkan dengan force majeure oleh salah satu pihak dalam perjanjian untuk membebaskan diri dari pertanggungjawaban akibat tidak terlaksananya perjanjian. Masalah berawal ketika kebakaran telah terjadi, tetapi pekerja/buruh dan pengusaha tidak sepakat untuk menyatakan adanya force majeure. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum doctrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan di Indonesia tidak mengatur secara jelas tentang force majeure sehingga ketentuan mengenai hal tersebut tergantung pada kesepakatan para pihak dalam perjanjian. Jika tidak terjadi kesepakatan, penyelesaian perselisihan harus melalui pengadilan. Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung telah beberapa kali menangani kasus force majeure. Namun, beberapa putusan Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung memperlihatkan adanya perbedaan penerapan force majeure berkaitan dengan kebakaran di perusahaan.

This article discusses the regulation of company fires and force majeure within the framework of employment law and its application in court decisions relating to fire incidents in companies. Fire incidents is an event that can occur in any place, including companies or workplaces. Fire incidents are usually attributed to force majeure by one of the parties to the agreement to free themselves from liability due to non-implementation of the agreement. The problem begins when a fire occurs, but the worker/laborer and entrepreneur do not agree to declare the existence of force majeure. This research uses a doctrinal research method, which is used in this paper is doctrinal legal research. The research results show that labor law in Indonesia does not clearly regulate force majeure so that the provisions regarding this matter depend on the agreement of the parties to the agreement. If there is no agreement, dispute resolution must go through court. The Industrial Relations Court and the Supreme Court have handled force majeure cases several times. However, several decisions from the Industrial Relations Court and the Supreme Court show that there are differences in the application of force majeure in relation to fires in companies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahetapy, Georgine Bianca Avella
"Suatu perjanjian melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang saling mengikat dirinya dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, terdapat beberapa unsur yang dapat membebaskan para pihak (terutama debitur) dari kewajibannya, atau untuk memberikan ganti rugi. Unsur ini disebut juga dengan Keadaan Memaksa atau Force Majeure. Keadaan memaksa diatur dalam KUHPerdata Pasal 1244 dan Pasal 1245. Seiring dengan perkembangan zaman, sistem komputer telah menjadi salah satu hal yang esensial dalam berbagai bidang, terutama di bidang finansial. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan bagaimana jika kerusakan komputer terjadi dan kemudian didalilkan sebagai keadaan memaksa. Yang harus ditekankan dalam kerusakan komputer sebagai keadaan memaksa ini adalah bagaimana usaha-usaha maksimal yang dilakukan untuk melakukan pencegahan terhadap kerusakan komputer ini.

An agreement creates liability and responsibility for those who bound themselves in the specific agreement. But there are some elements or situation that could freed the parties from the liability. This element also known as force majeure or unforseeable circumstances. In the Indonesian Civil Code, force majeure was stated in Article 1244 and Article 1245. As the modern world grows, every aspect in life has grown in need of computer system, not to mention a financial institute. Therefore, it should come into consideration when will computer breakdown could be specified as the cause of force majeure. The main focus on this subject is to review how an institute has done every precaution needed before they could claim the computer breakdown as a force majeure."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45489
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harianto Wirjono
"Jasa pelayanan Safe Deposit Box merupakan salah satu usaha Bank Umum sesuai dengan yang terdapat di UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga. Dimana jasa pelayanan ini diharapkan dapat memberikan perasaan aman kepada masyarakat yang ingin menyimpan barang-barangnya yang berharga. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif dan yang bertujuan untuk mendapatkan data guna mendukung penulisan tesis ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan hukum yang terjadi antara pihak nasabah atau penyewa Safe Deposit Box dengan pihak bank sebagai pemilik dan pengelola Safe Deposit Box adalah hubungan hukum yang timbal balik, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak yang saling terikat dalam perjanjian sewa menyewa. Tanggung jawab bank yang paling utama, selaku pemilik dan pengelola Safe Deposit Box adalah menjamin keamanan barang simpanan penyewa atau nasabah, Namun sebaliknya bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian apabila barang simpanan itu hilang atau rusak akibat keadaan memaksa atau overmacht, alasan utama bank tidak bertanggung jawab adalah karena pihak bank sudah menerapkan klausula baku yang intinya membebaskan bank seluruhnya dari tanggung jawab dan kewajiban terhadap jasa pengamanan yang diberikan kepada penyewa. Tetapi sebagai tanggung jawab moral kepada penyewa safe deposit box terutama masyarakat, apabila sampai terjadi kehilangan maka langkah-langkah yang sebaiknya diambil oleh pihak bank adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menjelaskan dan mencari sebab-sebab terjadinya kerusakan atau kehilangan barang simpanan milik penyewa serta membantu penyewa guna mengusut tuntas masalah tersebut.
Safe Deposit Box services is one of the bank's generally in accordance with that was found in the Act Number 10 Year 1998 concerning banking, which provides a place to store valuable goods and commercial papers. Where the services are expected to be able to give security to the people who want to keep their valuable belongings. The Method of Research that is used to write this thesis is the methods of legal norms, which intended to obtain the data to support the research of this thesis. The results of the study showed that legal relation between the customer or renter of safe deposit box with the bank as the owner and manager of Safe Deposit Box is the context of the reciprocal rights, which leads to the rights and duties between the two sides are intertwined in the agreement of the rent contract. Most of all the responsibility of the bank, as the owner and manager of safe deposit box is to guarantee the deposit security for renter or client, But bank would not rather be responsible for the loss when the deposit is lost or damaged by the force condition, the main reason that the bank is not responsible for overmacht was because the bank is already implementing standart clauses that essentially freed the bank entirely from responsibility and obligation to give the protection for the renter. But as moral responsibility to the renter of Safe Deposit Box particularly for the society, when there was lost and the actions that should be taken by the bank is as much as possible to try to explain and look for the cause of damage or loss for renter and will assist the renter to thoroughly investigate these problems."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34965
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isna Miriam
"Terjadi krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997 yang kemudian menjadi krisis global pada saat itu dan banyak menyebabkan perjanjian batal karena menyulitkan untuk berprestasi karena keadaan tersebut. Banyak pihak menyebutkan bahwa hal tersebut adalah keadaan yang disebut force majeure. Penelitian ini membahas mengenai kasus antara PT. Pertamina dengan PT. Wahana Seno Utama, yang mana terjadi pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Pertamina di saat renegosiasi perubahan pasal akibat terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997. Dalam kasus ini terlihat itikad baik yang tidak diperhatikan oleh PT. Pertamina yang membatalkan secara sepihak yang sebelumnya menyepakati untuk merubah pasal-pasal pada perjanjian tersebut. Dalam gugatan wanprestasi yang dilayangkan PT. Pertamina kepada PT. WSU kemudian PT. WSU menggugat balik dan menyangkal dengan "krisis ekonomi tersebut adalah force majeure". Tujuan hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah krisis ekonomi merupakan force majeure dan pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Pertamina yang melanggar asas itikad baik seperti yang di amanatkan pasa pasal 1338 KUHPerdata. Penelitian ini melihat dari pengaturan yang ada di Indonesia dengan yang ada di Hukum Perdata di Belanda mengenai Force Majeure.

Economic crisis in Indonesia in 1997 which later became a global crisis and likely to cause the agreement void because of the situation created a difficulty to achieve the agreement performance. Many have view this is a condition called force majeure. This study discusses the case of PT. Pertamina versus PT. Wahana Seno Utama, whichever occurs unilaterally cancellation agreements made by PT. Pertamina at the time. renegotiating amendment due to the economic crisis. In this particularly case good faith is not observed by PT. Pertamina in which has unilaterally cancelled a previous agreement to amend the provisions. Moreover, PT. Pertamina has filed a contract lawsuit in a breach of contract to PT. WSU. However, PT. WSU have filed a countersuit and denied accusation of "economic crisis is a force majeure". Purpose of this study is to determine whether the economic downturn is a force majeure and unilateral cancelation of the agreement by PT. Pertamina, which violates the principle of good faith as it is mandated Indonesian Civil Code article 1338. The research is descriptive and comparative studies of complying civil code in Indonesia with the Netherlands on Force Majeure subject."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45694
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Kananggar
"Selain rumah tapak, apartemen atau rumah susun merupakan jenis hunian yang dibutuhkan oleh masyarakat. Di tengah kelangkaan perumahan dan keterbatasan lahan di kawasan strategis, pembangunan rumah susun semakin marak karena permintaan yang tinggi. Alhasil, rumah susun menjadi komoditas yang diminati para pelaku usaha. Di tengah berkembangnya bisnis properti, khususnya rumah susun atau apartemen, terjadi pandemi Covid-19 di tahun 2020. Pandemi tersebut menimbulkan malapetaka dan mengubah gaya hidup masyarakat, tidak terkecuali pembangunan gedung apartemen, dengan keterlambatan pembangunan akibat pembatasan yang menyebabkan pengembang terlambat menyerahkan kepada pembeli. Pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 11 Tahun 2020 di tengah pandemi dan menyatakan pandemi Covid sebagai bencana kesehatan dalam Perpres tersebut. Konsep bencana kesehatan mendorong pengembang untuk menyatakan pandemi sebagai overmacht atau keadaan kahar. Namun, transportasi dan konstruksi bukanlah sektor yang dibatasi, sesuai dengan peraturan PSBB yang dikeluarkan oleh pemerintah-pemerintah daerah. Fakta ini memberikan kesan kepada publik bahwa pandemi Covid bukanlah alasan untuk menyatakan keadaan kahar atau overmacht di industri konstruksi dan properti. Oleh karena itu, pada sektor properti, ketidaksepakatan dan penggunaan force majeure selama dan setelah pandemi menciptakan ketidakpastian bagi pembeli dan pengembang. Berawal dari permasalahan tersebut, skripsi ini berupaya menjawab ketidakpastian pembuktian overmacht atau keadaan kahar akibat dampak pandemi Covid-19 terhadap keterlambatan pemenuhan jual beli rumah susun atau apartemen.

Apart from landed houses, apartments or flats are a type of housing required by the community. In the midst of a housing shortage and limited land in strategic areas, the construction of flats is becoming more active due to high demand. As a result, flats are a desirable commodity for business actors. In the midst of the development of the property business, particularly flats or apartments, a covid pandemic occurred in 2020. The pandemic caused havoc and altered people's lifestyles. Apartment building construction is no exception, with delays causing developers to be late in handing over to buyers. The government issued Presidential Decree Number 11 of 2020 in the midst of a pandemic and declared the Covid Pandemic a health disaster in the Presidential Decree. The concept of a health disaster prompts developers to declare a pandemic a force majeure. However, transportation and construction are not restricted sectors, according to PSBB regulations issued by regional governments. This fact gives the public the impression that the Covid pandemic is not a reason to declare a situation a force majeure or overmacht in the construction and property industries. In the property sector, disagreements and the use of force majeure during and after a pandemic create uncertainty for both buyers and developers. Starting with this issue, this thesis seeks to address the uncertainty in proving force majeure as a result of the impact of the Covid-19 pandemic on delays in fulfilling sales and purchases of flats or apartments. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kemas Abdul Karim
"ABSTRAK
Keadaan memaksa atau Force Majeure dapat mempengaruhi dari kelancaran suatu perjanjian sewa menyewa. Hal ini dapat menimbulkan masalah kepada para pihak, sehingga dalam tesis ini juga meninjau suatu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai pembatalan sepihak setelah Force Majeure terjadi. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini yaitu bagaimana kedudukan hukum perjanjian sewa menyewa terhadap rusaknya objek sewa akibat force majeure, bagaimana pengaturan hak opsi perjanjian sewa menyewa yang objek sewanya rusak akibat force majeure, dan bagaimana pendapat pengadilan mengenai perjanjian sewa menyewa yang dibatalkan sepihak akibat terjadinya Force Majeure. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang mengacu pada norma-norma hukum karena penulisan didukung dengan studi kepustakaan dengan cara meneliti serta menganalisa bahan-bahan pustaka dibidang hukum. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah perjanjian sewa menyewa tidak secara otomatis batal setelah objek sewa rusak akibat force majeure, dimana batalnya perjanjian apabila objek sewa musnah, namun jika tidak musnah maka hak opsi muncul lalu diserahkan keputusanya kepada penyewa, dan hasil putusan pengadilan kurang tepat karena dirasa tidak menimbang bukti-bukti yang dirasa sangat penting dalam perjanjian sewa menyewa yang berpekara.

ABSTRACT
A condition of force or Force Majeure may affect the smoothness of a lease agreement. It can be pose a problem to both parties, so this thesis also reviewing a judgment the Supreme Court of the Republic of Indonesia on unilateral cancellation occurred after the Force Majeure. This thesis using a normative juridical research method which refers to the legal norms because this thesis is supported by literature study which examines and analyzes library materials in the field of law. The conclusion of this study is the lease agreement is not automatically canceled after the object of the lease damaged due to force majeure, the cancellation of the lease agreement occurs if object destroyed, but if the object is not destroyed then the option appears then handed over its decision to the tenants, and the results of the court decision is not quite right because they do not consider the very important evidence in the lease agreement on the case."
2017
T46930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>