Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 228796 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arie Yuliarti
"Terminologi penyalahgunaan wewenang telah dikenal dalam hukum pidana, namun hingga saat ini belum memiliki pengertian yang jelas. Hal ini mengakibatkan disparitas putusan hakim dalam menafsirkan unsur penyalahgunaan wewenang dalam berbagai kasus, khususnya tindak pidana korupsi. Penelitian ini bertujuan meneliti bentuk perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum menurut Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menganalisis putusan Mahkamah Agung terkait dengan penyalahgunaan kewenangan dalam tindak pidana korupsi. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang bersifat deskriptif.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tidak seluruh perbuatan yang dianggap sebagai penyalahgunaan kewenangan menurut hukum administrasi negara merupakan perbuatan yang melawan hukum pidana. Penelitian ini menyarankan para penegak hukum memahami konsep-konsep yang berlaku dalam hukum administrasi negara, serta merekomendasikan Mahkamah Agung membuat satu yurisprudensi tetap yang dapat dijadikan acuan hakim ketika menafsirkan unsur menyalahgunakan kewenangan untuk menghindari disparitas putusan pengadilan dan mencegah kriminalisasi berlebihan terhadap pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan dan tindakan administrasi negara.

Abuse of authority terminology has been recognized in criminal law, but until now it has not had a clear understanding. This resulted in disparities in the interpretation of the judge's decision about element of abuse of authority in many cases, especially corruption. This study aims to examine the form of abuse of authority that can be qualified as an unlawful act pursuant to Article 3 of the Law on the Eradication of Corruption, by analyzing the Supreme Court's decision related to the abuse of power in corruption. This research is a descriptive and normative research.
The results of the study showed that not all actions are considered as abuse of authority by administrative law is a criminal act against the law. This study suggests the law enforcement agencies to understand the concepts that apply in administrative law, and also recommending the Supreme Court made a permanent jurisprudence that can be used as a reference when interpreting elements of abuse of authority to avoid disparity court decisions and prevent over criminalization against government officials in making the administrative action and decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41861
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fikri Rasyidi
"Skripsi ini membahas tentang beberapa permasalahan terkait dengan legalitas atau keabsahan penyidik sebagai saksi dalam pemeriksaan persidangan tindak pidana narkotika. Penelitian ini berfokus pada tiga pokok permasalahan, yaitu: tentang legalitas atau keabsahan penyidik sebagai saksi di persidangan berdasarkan KUHAP, kekuatan hukum pembuktian alat buksi saksi yang diberikan oleh penyidik di persidangan, dan keabsahan penyidik sebagai saksi dalam pemeriksaan persidangan tindak pidana narkotika berdasarkan Putusan Mahkamah Agung. Penelitian ini bermetodekan yuridis-normatif yang metode pengambilan data berfokus pada studi literatur hukum dan peraturan perundangundangan terkait. Hasil penelitian berkesimpulan bahwa penyidik tidak boleh bersaksi di persidangan atas perkara yang ia sidik sendiri dan menyarankan untuk dilakukannya fungsi kontrol terhadap penyidik dalam melakukan penyidikan agar kesaksiannya dapat di pertimbangkan hakim di proses pemeriksaan persidangan.

This thesis discusses some problems related to the legality of the investigator as a witness in a criminal trial drug. This study focuses on three main issues, namely: the legality of the investigator as a witness in a drug's criminal trial based on KUHAP, the strength of evidence given by the investigator in a drug?s criminal trial, and the legality of the investigator as a witness in a drug's criminal trial based on the Supreme Court Verdict. This study focus on juridical-normative study. The data retrieval methods focus on the study of literature and Indonesia's legislation. The results concluded that the investigator by some reasons is not allowed to be a witness in a drug's criminal trial and advise to add the controlling system for the investigator in conducting investigations in order to consider his testimony to the judge in the trial examination.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46899
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivi Ayunita Kusumandari
"Skripsi ini membahas tentang penanganan tindak pidana Pemilu pada Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Di dalamnya akan dibahas mengenai prosedur penerimaan laporan tindak pidana Pemilu oleh Panwaslu, Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan Sidang Pengadilan. Selain itu skripsi ini juga membahas bagaimana kewenangan Panwaslu dan akibat hukum apabila tindak pidana Pemilu tidak dilaporkan menurut prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. Penelitian ini merupakan penelitan yuridis normatif. Data primer yang digunakan meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Putusan Pengadilan, Peraturan Bawaslu serta didukung oleh berbagai literatur seperti buku, jurnal ilmiah, laporan penelitian dan artikel ilmiah lainnya, termasuk pula wawancara dengan narasumber yang menangani tindak pidana Pemilu. Data tersebut dianalisis dengan pendekatan kualitatif dan diuraikan secara deskriptif. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa prosedur penanganan laporan tindak pidana Pemilu harus dimulai dari Panwaslu, jika tidak maka tindak pidana pemilu tidak dapat diproses lebih lanjut atau akan dilakukan penghentian penyidikan. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan koordinasi diantara unsur Sentra Penegakan Hukum Terpadu.
This thesis discuss about settlement of election offences on Integrated Law Enforcement Center. It will discuss about the acceptance report procedure of election offences by General Election Supervisory Committee, investigation, prosecution, and trial court examiantion. Furthermore, this thesis also discuss about authority of General Election Supervisory Comitteee and legal consequences if the election offences is not reported according to the procedure mentioned in regulation. This research is a normative juridical research. Primary data used include the act, government regulations, and court decisions and supported by various of literatures such as books, scientific journals, research reports, and other scientific articles, including the interview with the expert in the General Election. Data were analyzed by a qualitative approach and explained descriptively. The result of this thesis declares that the report procedure of election offences must be started from General Election Supervisory Committee, if it doesn?t, law enforcement of Election offences can?t be processed further or there will be a termination of the investigation. Coordination on Integrated Law Enforcement Center is required to solve the problem."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53959
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahyudin
"Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan perubahan ketiga UUD NRI 1945 sebagai lembaga baru dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA). Kewenangan yang dimiliki oleh MK berbeda dengan kewenangan yang dimiliki MA yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap udang-undang. Kewenangan MK sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 adalah (i) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partaipolitik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum; (ii) MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kewenangan yang diberikan oleh UUD tersebut hanya untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD dan tidak diberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh MK melalui putusan perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menimbulkan perbedaan pendapat tidak hanya dikalangan para hakim MK melainkan juga para ahli-ahli hukum terlebih lagi pengujian Perpu tersebut MK menyatakan berwenang melakukan pengujian dan bahkan putusan tersebut telah dijadikan yurisprudensi dan diikuti oleh hakimhakim konstitusi selanjutnya dalam memutus setiap permohonan pengujian Perpu terlihat dalam berbagai putusan MK dengan menggunakan pertimbangan hukum yang terdapat pada putusan Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dan dengan dasar pertimbangan itu menyatakan MK berwenang melakukan pengujian Perpu. Terhadap kewenangan yang diperoleh MK melalui penafsiran pengujian Perpu telah memperluas kewenangan yang dimilikinya yang tidak hanya terbatas pada penggujian UU namun telah bertambah dengan pengujian Perpu terhadap UUD yang sebetulnya kewenangan pengujian Perpu merupakan kewenangan DPR sebagai pembentuk UU sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945. Perbandingan dengan negara-negara lain berkaitan kewenangan MK menguji Perpu, dari keempat negara yakni Jerman, Korea Selatan, Thailand dan Italia menunjukan tiga negara yakni Jerman, Korea Selatan dan Italia tidak memiliki kewenangan untuk menguji Perpu sementara satu negara yakni Thailand kewenangan MK hanya dapat menguji rancangan peraturan darurat/Perpu.

The establishment of the Constitutional Court (MK) by the third amendment to the Constitution NRI 1945 as a new institution in carrying out the functions of the judicial power in addition to the Supreme Court (MA). Authority possessed by the Court is different from the authority possessed MA examine the legislation under laws against shrimp reserved. The authority of the Constitutional Court as in Article 24C paragraph (1) and (2) of the 1945 Constitution are: (i) the Court authority to hear at the first and last decision is final for a law against the Constitution, rule on the dispute the authority of state institutions are an arbitrary granted by the Constitution, to decide the dissolution partaipolitik, and to decide disputes concerning the results of the General Election; (ii) The Court shall give a decision on the opinion of the House of Representatives regarding the alleged violations by the President and / or Vice President by the Constitution. The authority granted by the Constitution just to test the constitutionality of laws against the Constitution and not be authorized tests on other legislation. Testing Government Regulation in Lieu of Law (decree) No. 4 of 2009 regarding the Commission for Corruption Eradication by the Court through a ruling Case Number 138 / PUU-VII / 2009 has caused dissent not only among the judges of the Constitutional Court, but also the legal experts moreover testing the decree of the Constitutional Court states the authority to conduct testing and even the decision has been made jurisprudence and followed by the judges of the constitution later in deciding each petition decree seen in various decision of the Court using legal considerations contained in the decision of Testing Regulation No. 4 of 2009 and with the consideration that the Court declare decree authorized to conduct testing. Against the authority acquired through the interpretation of the Constitutional Court decree has expanded testing of its authorities are not just limited to penggujian Act but has increased with the testing decree against the Constitution are actually testing decree authority is the authority of Parliament as former Act in accordance with Article 22 of the 1945 Constitution Comparison with the state Other related MK-state authorities test the decree, from the four countries namely Germany, South Korea, Thailand and Italy showed three countries, namely Germany, South Korea and Italy do not have the authority to examine the decree while the Court states that the Thai authorities can only test the draft emergency ordinance/Perpu."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Martono
"Penerapan Upaya paksa berupa penyitaan barang-barang yang diduga terkait suatu tindak pidana menimbulkan berbagai potensi kerugian bagi pihak-pihak yang barang / asetnya digunakan sebagai alat bukti proses peradilan. Potensi kerugian ditimbulkan karena hilangnya penguasaan atas hak kebendaan yang melekat pada barang yang disita untuk tujuan pembuktian dipengadilan. Penyitaan barang sebagai alat pembuktian tersebut melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap akan ditentukan statusnya baik berupa pengembalian kepada pemilik awal benda itu disita atau bahkan diputuskan untuk dirampas sebagai upaya pengembalian kerugian negara, dengan alasan merupakan hasil dari tindak pidana dan hukuman tambahan bagi terpidana. Penyitaan dan perampasan barang tersebut sangat mungkin menempatkan pihak ketiga beriktikad baik menderita kerugian karena jangka waktu persidangan yang relatif lama hingga mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, terlebih jika benda itu diputuskan untuk dirampas. Sedangakan pengembalian barang terhadap pemilik awal barang-barang itu disita pun tidak dapat mengahapus kerugian yang diderita oleh pihak yang bersangkutan karena adanya penurunan nilai barang maupun potensi keuntungan investasi yang seharusnya dapat dihindari, sedangkan ketentuan hukum terkait perlindungan aset milik pihak ketiga beriktikad baik tidak secara jelas dan tegas mengatur bagaimana upaya hukum dapat dilakukan baik berupa praperadilan terhadap upaya paksa yang dilakukan maupun upaya keberatan terhadap putusan perampasan.

Implementation Efforts in the form of forced confiscation of goods suspected of a crime related cause a variety of potential harm to the parties that the goods / assets used as evidence in judicial proceedings . Potential losses incurred due to loss of control over property rights attached to the items seized for evidentiary purposes in court. Confiscation of goods as a means of proving that a court ruling which legally binding status will be determined either returns to the initial owner of the thing seized or even decided to deprived as indemnification of state efforts, the reason is the result of a criminal offense and additional penalties for convicted. Seizure and confiscation of goods is very likely to put third parties of good will suffer a loss due to a period of relatively long proceedings to obtain a legally binding decision, especially if it is decided to capture. While the return of goods to the initial owner of the goods - the goods seized were not able to erase losses suffered by the parties concerned because of the decrease in the value of the goods and the potential return on investment that should be avoided , while the legal provisions regarding the protection of assets belonging to third parties of good will are not clearly and strictly regulate how the remedy can be done either in the form of pretrial against forceful measures and efforts made objections against the decision of deprivation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57281
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Astuti
"Pada dasarnya Undang-Undang Jaminan Fidusia melarang fidusia ulang, tetapi pada kenyataannya terjadi fidusia ulang (fidusia ganda) dalam perkara kepailitan sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 156 K/Pdt.Sus/2012 dan 847 K/Pdt.Sus/2012. Oleh karena itu, tesis ini membahas mengenai perlindungan hukum terhadap penerima fidusia yang debitor pemberi fidusianya dinyatakan pailit dan ternyata telah terjadi fidusia ganda. Jenis penelitian dari tesis ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dan tipe penelitian deskriptif-analitis. Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian adalah walaupun berdasarkan ketentuan hukum jaminan maupun hukum kepailitan, penerima fidusia adalah kreditor yang didahulukan dari kreditor-kreditor lainnya, tetapi dalam hal terjadi fidusia ganda, penerima fidusia yang mendapatkan perlindungan hukum adalah penerima fidusia yang melakukan pendaftaran fidusia lebih dahulu, sedangkan penerima fidusia yang melakukan pendaftaran fidusia belakangan hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren.

Basically, Fiduciary Law prohibits a double fiduciary, however in fact there is a double fiduciary in bankruptcy cases, as contained in the Supreme Court Decisions of the Republic of Indonesia Number 156 K/Pdt.Sus/2012 and 847 K/Pdt.Sus/2012. Therefore, this thesis describes the legal protection for a recipient of fiduciary whose debtor is declared bankrupt, and it turns out that there has been a double fiduciary. This thesis is a legal research, which uses a juridicalnormative form and a descriptive-analytics type. As for the results obtained from the research is, despite there is a preference right that owned by a recipient of fiduciary over other creditors based on the provisions of security law and bankruptcy law, but in the event of a double fiduciary, a recipient of fiduciary who gets legal protection is a recipient of fiduciary who first registered, while a recipient of fiduciary who registered later, only serves as a concurrent creditor."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44733
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irvin Sianka Thedean
"Pencucian Uang (Money Laundering) merupakan suatu terminologi yang tidak asing dalam masyarakat dewasa ini. Pencucian Uang yang kita ketahui kerapkali dilakukan oleh pejabat negara lazimnya dengan tujuan untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum. Salah satu Tindak Pidana Asal (predicate crime) yang dilakukan pejabat negara adalah tindak pidana korupsi, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No 8/2010. Pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah negara dengan jumlah uang hingga puluhan milyar rupiah. Pada mulanya perbankan dipergunakan oleh pelaku pencucian uang untuk melakukan pencucian uang, dengan tahapan placement, layering, dan integration. Namun seiring dengan semakin ketatnya sistem perbankan di Indonesia, pelaku pencucian uang mencari sarana lain sebagai alat untuk melakukan pencucian uang.
Notaris merupakan profesi yang memiliki kedudukan sangat terhormat dengan tugas yang sangat mulia. Kewenangan Notaris yang diberikan oleh undang-undang adalah membuat akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Jabatan Notaris. Sehubungan dengan kewenangan notaris tersebut, pelaku pencucian uang memanfaatkan akta-akta notaris dalam transaksi jual beli sehingga uang haram dapat dirubah menjadi aset-aset tertentu. Notaris memiliki kewajiban untuk memahami dan mematuhi Kode Etik Notaris, Undang-undang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, dimana melakukan analisa terhadap norma-norma hukum yang berlaku dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran atas permasalahan yang diteliti.

Money Laundering is a terminology which is quite familiar in the society recently. Money laundering that we have known is often done by state officials with a purpose to obscure the origin of the assets acquired unlawfully. One of the predicate crimes which is often done by state officials is corruption crime, in accordance with Article 2 paragraph (1) of Law No 8/2010. In this case, the damaged party is the State with the amount of money up to tens of billions rupiah. Formerly, bank is used by the money laundering doer to commit money laundering, with the stages of placement, layering, and integration. But, along with the banking system in Indonesia which is more stricted in regulations, money laundering doer looks for another way to commit money laundering.
Notary is a proffesion which has a very respectable with a noble duty. Notary`s authority granted by law, is making an authentic deed, as provided in Article 1870 Indonesia Civil Code and Law regarding Notary. In connection with such Notary`s authority, money laundering doer makes benefit of such notarial deed in some sale and purchase transactions so that illegal money could be converted into certain assets. Notary has an obligation to understand and comply with the Code Conduct of Notary, Law regarding Notary, and other related regulations. The method used in this research is yuridical-normative method, where we do an analysis of the applicable law with the purpose to obtain the subjects of the problem.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcellina Siti Nabila
">Tulisan ini menganalisis mengenai kedudukan covernote dalam perjanjian kredit serta akibat adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh notaris sehingga terjadinya tindak pidana korupsi. Penulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal. Covenote merupakan surat keterangan yang berisi janji-janji atau kesanggupan notaris dalam menyelesaikan tugasnya, terkait dengan persyaratan yang belum dipenuhi oleh para pihak untuk menerbitkan suatu akta. Dalam Undang-Undang tentang Jabatan notaris tidak ada aturan atau menyebutkan mengenai covernote. Keberadaan covernote muncul karena kebutuhan mendesak yang diperlukan oleh Bank yang menjadi pegangan sementara untuk melakukan perjanjian kredit. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value Untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value Untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor secara khusus memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat covernote. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya notaris harus berpedoman pada Undang-Undang jabatan Notaris dan juga Kode Etik Notaris. Dalam melakukan perbuatan hukum notaris bertanggung jawab terhadap semua yang dibuatnya. Apabila notaris melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang maka notaris dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan yang dibuatnya baik secara administrasi, kode etik, perdata dan juga pidana. Dalam hal perbuatan notaris dapat merugikan keuangan negara maka notaris bisa dijerat degan tindak pidana korupsi.

This article analyzes the position of the covernote in the credit agreement and the consequences of abuse of authority by the notary resulting in criminal acts of corruption. This writing was prepared using doctrinal research methods. A covenote is a certificate containing the promises or commitment of a notary to complete his duties, related to the requirements that have not been fulfilled by the parties to issue a deed. In the Law on Notary Positions, there are no regulations or mentions regarding covernotes. The existence of the covernote arises because of the urgent need required by the Bank which is the temporary basis for carrying out credit agreements. Bank Indonesia Regulation Number 20/8/PBI/2018 concerning Loan to Value Ratio for Property Credit, Financing to Value Ratio for Property Financing, and Down Payments or Motor Vehicle Financing specifically authorizes notaries to make covernotes. In carrying out their duties and authority, notaries must be guided by the Law on Notary Positions and also the Notary Code of Ethics. In carrying out legal acts, the notary is responsible for everything he makes. If a notary commits an act that violates the law, the notary can be held responsible for the mistakes he or she makes both administratively, ethically, civilly and criminally. In the event that a notary's actions can harm state finances, the notary can be charged with criminal acts of corruption."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrul Kardiman
"ABSTRAK
Tindak pidana korupsi yang sudah semakin kompleks penegakan hukumnya, dengan semakin canggih cara pelaku dengan dibarengi oleh tindak pidana pencucian uang. Dengan begitu otomatis mengalami kesulitan pada tahap pembuktian di sidang pengadilan. Kebanyakan hanya dengan beban pembuktian biasa yang kebanyakan diatur pada undang-undang tindak pidana korupsi jarang bisa mendapatkan kembali aset-aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi kepada Negara. Pemecahan permasalahan tersebut dengan menggunakan rezim anti pencucian uang yang lebih mudah dalam tahap pembuktiannya dan terfokus kepada pengejaran aset. Oleh karena itu diharapkan pada setiap kasus tindak pidana korupsi apabila memungkinkan gunakan pula aturan pada undang-undang pencucian uang, untuk mempermudah

ABSTRACT
Current law enforcement for criminal acts of corruption are increasingly complex, with more ingenious ways of its perpetrators and coupled with a criminal offence of money laundering. So automatically, law enforcement agencies are having difficulty at the stage of proof in the Court of session. Mostly just with the usual burden of proof is often regulated in law the crime of corruption. and also it is very rare to be able to get back the assets allegedly derived from criminal acts of corruption to the country. Solving these problems by using the antimoney laundering regime more easily in his evidentiary stage and focused to the pursuit of the assets. Therefore expected in each case the crime of corruption if possible use also rules on money laundering legislation, to make it easier to prove relation to seizure of assets.
"
2014
S54438
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wynda Kenisa Putri
"Konsekuensi dari lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUUXIV/ 2016, yaitu bahwa kata dapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut dinilai tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 tentang kepastian hukum yang adil. Sehingga yang semula tindak pidana korupsi dianggap tindak pidana formil, sehingga unsur merugikan keuangan negara bukanlah unsur esensial, menjadi sebaliknya, yaitu unsur merugikan negara menjadi esensial sehingga unsur kerugian negara harus dibuktikan terlebih dahulu oleh lembaga yang berwenang. Namun hal tersebut tidak tercermin di dalam perkara Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Pbr yang menjerat Terdakwa yang merupakan pejabat PT Bank Negara Indonesia (BNI), dimana majelis hakim menghukum terdakwa 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dan denda Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dengan subsider kurungan tambahan 2 (dua) bulan penjara sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas pemberian kredit yang berujung kredit macet (non performing loan) dan dianggap dapat berpotensi merugikan negara, padahal senyatanya: 1. Kerugian BUMN bukan otomatis menjadi kerugian negara, 2. belum pernah dilakukan appraisal oleh lembaga yang berwenang terhadap potensi kerugian negara atas kredit macet BNI Rengat dengan kata lain kerugian negara belum terbukti, serta berdasarkan keterangan saksi dalam persidangan tidak terdapat kerugian yang ditimbulkan oleh kredit macet yang dimaksud dan 3. Unsur memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi tidak terpenuhi karena pimpinan BNI Rengat sama sekali tidak menikmati uang dari hasil kredit macet tersebut. Dalam penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif ini didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa Majelis Hakim sebagai pihak yang dianggap mengetahui hukum dalam perkara aquo tidak cermat dalam memutus perkara, karena tidak mempertimbangkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016. Sehingga dengan diputusnya terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, maka upaya recovery kerugian yang semula menjadi tujuan pemulihan kredit macet, menjadi tidak tercapai dengan adanya kurungan badan bagi terdakwa.

The consequence of the issuance of Constitutional Court Number 25/PUUXIV/2016, which the word can in Article 2 and Article 3 of Law Number 31 Year 1999 regarding Eradication of Corruption Crimes is deemed to have no legal binding legal force and contradicts with Article 28D Constitution regarding the fair legal certainty. Therefore, the corruption was considered as formal crime beforehand, so the element of state loss did not become essential element, while now the state loss element becomes essential therefore it should be proven in advance by the authorize body. But this is not reflected in the case number 46/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Pbr which penalize the Defendant as official of one of the state owned enterprise bank (BUMN) of PT Bank Negara Indonesia (BNI), where panel of judges punished Defendant 1 (one) year 4 (four) months and imposed fine in the amount of Rp 50.000.000 (fifty million rupiah) with additional confinement subsidiary of 2(two) months in prison as the party which considered responsible towards the credit provide that leads to non-performing loan and considered potentially detrimental the state, while in fact: 1.The loss of State owned enterprise does not automatically become the state loss 2. It has not been conducted appraisal by the authorize body towards the potential state loss caused by the non performing loan of BNI Rengat, or in the other hand the potential state loss has not been proven, and based on the witness testimonial in the court there is no state loss caused by non performing loan and 3. The element of enriching himself or any corporation was not fulfilled because the Director of BNI Rengat at that time did not enjoy or receive money from the non performing loan. In this research which use juridical-normative method, was obtained the research result which shows that Panel of Judges as parties who know the law in the aquo case, did not take careful action in deciding the case because they did not consider the Decision of Constitutional Court Number 25/PUU-XIV/2016. Therefore, by the decision that the Defendant was considered conducting corruption, then the recovery attempt which basically becomes the recovery of the loss, will not be achieved due to the body confinement for Defendant."
2019
T54917
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>