Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105274 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Monika Anastasia Kurniawan
"Pendahuluan: Disfagia salah satu gejala sisa stroke dapat memberikan komplikasi malnutrisi, dehidrasi dan pneumonia aspirasi. Oleh karena itu perlu dilakukan skrining disfagia untuk menentukan keamanan pemberian nutrisi secara per oral terutama saat weaning enteral nutrition (WEN). Dukungan nutrisi enteral diberikan sesuai kebutuhan nutrisi pasien dan mempertimbangkan beberapa hal seperti kesadaran, kemampuan menelan dan waktu akses enteral yang diperlukan pasien.
Presentasi kasus: Empat kasus stroke yang membutuhkan dukungan nutrisi enteral selama perawatan di RSUPNCM. Kasus pertama seorang wanita berusia 55 tahun, obesitas morbid, mengalami stroke hemoragik. Tiga kasus berikutnya dengan stroke iskemik dari dua orang wanita berusia 84 dan 65 tahun, serta seorang laki-laki berusia 57 tahun. Keempat kasus memiliki lesi stroke yang berbeda-beda. Skrining disfagia dilakukan sebelum WEN.
Kesimpulan: Efek disfagia tergantung lokasi lesi stroke, skrining disfagia diperlukan sebelum WEN, tidak semua kasus dapat dilakukan skrining disfagia. Dukungan nutrisi enteral diberikan sesuai kebutuhan individual pasien dan hanya 1 kasus yang dapat mencapai WEN memerlukan evaluasi asupan nutrisi per oral."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Loritta Yemina
"Stroke merupakan abnormal fungsi sistem saraf pusat akibat suplai darah ke otak terhenti. Manifestasi klinis yang menyertai pasien stroke adalah disfagia. Penatalaksanan gangguan proses menelan adalah kegiatan mengunyah agar mengembalikan fungsi motorik volunter yang cedera.
Tujuan umum mengetahui pengaruh kegiatan mengunyah terhadap asupan nutrisi dan lama perbaikan fungsi menelan pada pasien stroke dengan disfagia. Penelitian menggunakan desain Randomized Control Trial dengan rancangan pretest-posttest with control group. Total sampel adalah 30 responden dibagi atas 2 kelompok.
Hasil penelitian dinyatakan ada perbedaan yang signifikan asupan nutrisi dan lama perbaikan fungsi menelan sesudah diberikan kegiatan mengunyah, dengan p value 0,001 (α =0,05). Pemberian kegiatan mengunyah terbukti dapat meningkatkan asupan nutrisi dan mempercepat perbaikan fungsi menelan pada pasien stroke dengan disfagia.

Stroke is an abnormal function of the central nervous system caused by inadekuat blood supply to the brain. Clinical manifestations that often accompanies stroke patients is dysphagia. Swallowing disorder process, the intervention form of chewing activity. Chewing activities aimed to restoring voluntary motor function.
This study aims to determine the effect of chewing activities to nutrition intake and the time of swallow function recovery of stroke patients with dysphagia. This study uses a Randomized Control Trial design. Total sample used by 30 respondents divided in 2 group. Each group consist of 15 respondents.
Results of this study revealed that there are significant differences intake nutrition and the time of swallow function recovery after chewing activities, with a p value of 0.001 (α = 0,05). Giving chewing activities proven to increase the intake of nutrients and accelerate the improvement of swallowing function of stroke patients with dysphagia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35509
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahda Suwita
"Pendahuluan: Hipertensi, hiperurisemia, DM tipe 2, obesitas dan dislipidemia merupakan faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi. Selain disfagia yang dialami pasien, faktor risiko stroke perlu dipertimbangkan juga dalam memberikan nutrisi untuk mencegah serangan ulang stroke.
Presentasi kasus: Empat kasus stroke hemoragik dengan hipertensi yang membutuhkan tatalaksana nutrisi selama perawatan di RSUT. Kasus pertama seorang laki-laki berusia 60 tahun, dengan hiperurisemia. Kasus kedua seorang perempuan berusia 56 tahun, dengan DM tipe 2 dan dislipidemia. Kasus ketiga seorang perempuan berusia 49 tahun, dengan obes II dan kasus keempat seorang laki-laki berusia 65 tahun, dengan dislipidemia dan stroke berulang.
Kesimpulan: Tatalaksana nutrisi yang diberikan dapat membantu pengobatan pasien dan meningkatkan kapasitas fungsional pasien.

Background: Hypertension, hyperuricemia, type 2 diabetes, obesity and dyslipidemia are risk factors for stroke that can be modified. Besides dysphagia, experienced by patient, other stroke risk factors need to be considered in providing nutrition to prevent repeated strokes attacks.
Case presentation: Four patients of hemorrhagic stroke with hypertension required nutritional support during treatment in RSUT. The first patient was male, aged 60 years, with hyperuricemia. The second patient was female, aged 56 years, with type 2 diabetes and dyslipidemia. The third patient was female, aged 49 years, with obesity grade II and fourth patient was male, aged 65 years, with dyslipidemia and recurrent strokes.
Conclusion: Given nutritional support could help the patient treatment process and improve the patient's functional capacity."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marvin Marino
"Latar Belakang: Pengobatan Kanker kepala leher (KKL) melalui terapi radiasi maupun kemoradiasi sering menimbulkan efek samping. Efek samping terapi radiasi pasien KKL menyebabkan gangguan asupan yang meningkatkan kejadian malnutrisi. Ketersediaan jalur nutrisi enteral merupakan salah satu tata laksana nutrisi yang dapat diberikan untuk mencegah penurunan asupan dan status gizi pasien KKL. Penelitian ini bertujuan melihat korelasi antara ketersediaan jalur nutrisi enteral dengan pemenuhan nutrisi dan status gizi.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada subjek dewasa dengan KKL pasca terapi radiasi di poliklinik radioterapi RSCM. Pemenuhan nutrisi dinilai dengan FFQ semi kuantitatif sedangkan status gizi diukur dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT). Ketersediaan jalur nutrisi enteral didapatkan melalui wawancara dan rekam medis pasien.
Hasil: Sebanyak 41 subjek penelitian dengan rerata usia 51 tahun ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar subjek adalah laki-laki, diagnosis kanker nasofaring, stadium IV, dan jalur nutrisi oral. Rerata IMT subjek 20,5 ± 3,6 kg/m2 dan rerata asupan subjek 1336,7 ± 405,5 kkal/hari. Rerata IMT subjek dengan jalur nutrisi enteral lebih rendah dibandingkan dengan jalur nutrisi oral yaitu 18,2 ± 2,6 kg/m2 dibanding 21,2 ± 3,5 kg/m2. Rerata total asupan energi subjek dengan jalur nutrisi enteral lebih tinggi dibandingkan dengan jalur nutrisi oral yaitu 1498,1 ± 430,6 kkal/hari dibanding 1291,4 ± 393,3 kkal/hari. Terdapat korelasi nagatif sedang antara ketersediaan jalur nutrisi enteral dengan status gizi (r=-0,346, p=0,027) dan korelasi positif lemah dengan pemenuhan nutrisi (r=0,216, p=0,174). Meskipun demikian pada penelitian ini ditemukan bahwa proporsi subjek yang mendapat jalur nutrisi enteral dan mengalami penurunan IMT lebih sedikit dibandingkan dengan proporsi subjek yang menggunakan jalur oral, yaitu 22,2% dengan 43,8%.
Kesimpulan: Terdapat korelasi negatif sedang yang signifikan antara ketersediaan jalur nutrisi enteral dengan status gizi dan korelasi positif lemah dengan pemenuhan nutrisi yang masih dipengaruhi oleh faktor perancu penelitian.

Background: Treatment of head and neck cancer (HNC) through radiation therapy or chemoradiation often lead to side effects. The side effect of radiation therapy in HNC patients might deteriorate food intake that increase the incidence of malnutrition. The availability of enteral nutrition is one of nutritional interventions that can be provided to prevent detrimental of food intake and nutritional status in HNC patients. This study aims to evaluate the correlation between the availability of enteral nutrition with nutritional fulfillment and nutritional status.
Method: A cross sectional study was conducted on adult HNC patients after radiation therapy at Radiotherapy Outpatient Clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Nutritional fulfillment was assessed by semi-quantitative food frequency questionnaire (FFQ) while nutritional status was measured by calculating body mass index (BMI). The availability of enteral route was obtained through interviews and patients medical records.
Results: A total of 41 subjects with a mean age of 51 years participated in the study. Most of the subjects were male, with stage IV nasopharyngeal cancer and oral nutrition route. The mean of BMI was 20,5 ± 3,6 kg/m2 and the mean food intake was 1336,7 ± 405,5 kcal/day. The mean BMI of subjects with enteral nutrition was lower than those on oral nutrition, which was 18,2 ± 2,6 kg/m2 compared to 21,2 ± 3,5 kg/m2. The mean total energy intake of subjects with enteral nutrition route was higher than oral nutrition route, which was 1498,1 ± 430,6 kcal/day compared to 1291,4 ± 393,3 kcal/day. There was a moderate negative correlation between the availability of enteral nutrition and nutritional status (r=-0,346, p=0,027), meanwhile there was a weak positive correlation with nutritional fulfillment (r=0,216, p=0,174). However, in this study we found that the proportion of subjects with enteral nutrition who experienced a decrease of BMI was less than the proportion of subjects on the oral route, which was 22,2% compared to 43,8%, respectively.
Conclusion: There is a moderate negative correlation between the availability of enteral nutrition which was statistically significant with nutritional status and a weak correlation with nutritional fulfillment which was still influenced by confounding factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Benindra Pratomo
"Latar Belakang: Disfagia pada stroke dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang menurunkan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah posisi duduk 700 membuat performa menelan berbeda dengan pada posisi duduk 900, pada pasien stroke dengan disfagia neurogenik fase oral dan faring.
Metode: Desain pre-post experimental study, dilakukan pada 30 pasien stroke dengan disfagia neurogenik fase oral dan faring, berusia 40 ? 80 tahun dan memenuhi kriteria penerimaan. Performa menelan dievaluasi dengan pemeriksaan FEES pada posisi duduk 900 dan posisi duduk 700. Parameter FEES (standing secretion, preswallowing leakage, residu, penetrasi dan aspirasi) dibandingkan antara kedua posisi duduk.
Hasil: Angka kejadian dan tingkat keparahan standing secretion lebih rendah bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian preswallowing leakage tidak berbeda bermakna antara kedua posisi duduk. Angka kejadian residu lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Tingkat keparahan residu lebih rendah bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian penetrasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Tingkat keparahan penetrasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian dan tingkat keparahan aspirasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700.
Simpulan: Posisi duduk reclining 700 membuat performa menelan lebih baik dibandingkan pada posisi duduk 900 pada pasien stroke dengan disfagia neurogenik.

Background: Dysphagia in stroke can cause various complications those reducing quality of life. The aim of the study to ackowledge if 700 sitting position makes different swallowing performance from 900 sitting position, in stroke patients with oral and pharyngeal neurogenic dysphagia.
Methods: A pre-post experimental study design, conducted on 30 stroke patients with oral and pharyngeal neurogenic dysphagia, aged 40 ? 80 years old and met the inclusion criteria. Swallowing performance was evaluated with FEES examination in 900 sitting position and 700 sitting position. FEES parameters (standing secretion, preswallowing leakage, residue, penetration and aspiraton) were compared between both sitting positions.
Results: Incidence and severity of standing secretion was significantly lower in 700 sitting position. Incidence of preswallowing leakage wasn?t significantly different between both sitting positions. Incidence of residue was insignificantly lower in 700 sitting position. Severity of residue was significantly lower in 700 sitting position. Incidence of penetration was insignificantly lower in 700 sitting position. Severity of penetration was insigificantly lower in 700 sitting position. Incidence and severity of aspiration was insignificantly lower in 700 sitting position.
Conclusions: 700 reclining sitting position makes better swallowing performance than 900 sitting position, in stroke patients with neurogenic dysphagia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tjandraningrum
"Kolestasis merupakan salah satu manifestasi gangguan bilier yang terjadi akibat gangguan aliran empedu dari hati ke duodenum. Kolestasis diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya menjadi kolestasis akut dan kronis. Tatalaksana nutrisi pada kolestasis bertujuan untuk mengatasi defisiensi nutrien yang umumnya terjadi tetapi terdapat perbedaan dalam tatalaksana tersebut, tergantung penyebab kolestasis dan kondisi klinis pasien. Selain itu nutrisi perioperatif pada kolestasis yang menjalani pembedahan diperlukan untuk mencegah risiko komplikasi pasca bedah dan gangguan saluran cerna akibat tindakan pembedahan.
Dilaporkan 4 kasus kolestasis, dua kasus kolestasis akut dan dua kasus lainnya kolestasis kronis. Kasus 1 dan 2, berturut-turut adalah kolestasis akut e.c. kolelitiasis multipel dan kolestasis akut e.c. kolesistolitiasis multipel. Kasus 3 adalah kolestasis kronis e.c. kista duktus koledokus dan kasus 4 kolestasis kronis e.c. adenokarsinoma ampula Vateri. Pasien kasus 3 berusia 2 tahun 3 bulan, sementara kasus 1, 2 dan 4 berusia antara 22 tahun sampai 45 tahun. Pada semua kasus terdapat riwayat nyeri perut bagian atas, sklera ikterik dan peningkatan kadar bilirubin, fosfatase alkali dan -GT.
Keempat kasus menjalani pembedahan untuk mengatasi keadaan kolestasis tersebut. Tatalaksana nutrisi perioperatif yang adekuat pada kasus 1, 2 dan 4 dapat mencegah risiko komplikasi pasca bedah dan pada kasus 3 dapat memperbaiki komplikasi pasca bedah berupa wound dehiscence. Pasca bedah, kondisi klinis keempat pasien membaik, terlihat dari berkurangnya keluhan nyeri perut bagian atas, berkurangnya ikterik pada sklera dan perbaikan kapasitas fungsional. Toleransi asupan seluruh pasien membaik, ditunjukkan oleh kemampuan pasien untuk mengonsumsi makanan sesuai kebutuhan energi dan nutriennya.
Berdasarkan kepustakaan dan pengalaman tatalaksana nutrisi keempat pasien tersebut, pada kolestasis diperlukan tatalaksana nutrisi yang adekuat yaitu pada perioperatif dan pasca rawat. Edukasi pasien tentang pemilihan jenis makanan dan cara pemberiannya berguna untuk mencegah kekambuhan.

Cholestasis is one manifestation of biliary disorders caused by interruption flow of bile from the liver to the duodenum. Cholestasis classified becomes acute and chronic cholestasis. Management of nutrition on cholestasis aims to improve nutrient deficiency that commonly occur but there is a difference in the treatment of these, depending on the cause of cholestasis and the clinical condition of the patient. Additionally perioperative nutrition on cholestasis who underwent surgery is needed to prevent the risk of post-surgical complications and gastrointestinal disorders caused by surgery.
Reported 4 cases of cholestasis, cholestatic two cases of acute and chronic cholestasis two other cases. Cases 1 and 2, respectively acute cholestasis ec kolelitiasis multiple and acute cholestasis e.c. kolesistolitiasis multiple. Case 3 is a chronic cholestatic e.c. koledokus duct cysts and 4 cases of chronic cholestasis ec adenocarcinoma of the ampulla of Vater. 3 case patients aged 2 years and 3 months, while cases 1, 2 and 4 are aged between 22 years to 45 years.. In all cases there is a history of upper abdominal pain, sclera jaundice and elevated levels of bilirubin, alkaline phosphatase, and -GT.
The four cases underwent surgery to resolve the situation cholestasis. Management of perioperative nutrition adequate in cases 1, 2 and 4 can prevent the risk of postoperative complications and in case 3 may improve post-surgical complications such as wound dehiscence. Post-surgery, four patients improved clinical condition, as seen from the reduced upper abdominal pain, jaundice in the sclera reduction and improved functional capacity. Tolerance intake of all patients improved, indicated by the patient?s ability to eat food and energy needs nutrient.
Based on the literature and experience of nutritional management of the four patients, the treatment of cholestasis is necessary that adequate nutrition in perioperative and post-hospitalization. Educating patients about the choice of food and the way of administration is useful to prevent a recurrence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian nutrisi enteral tinggi protein pada status protein penderita stroke akut. Subjek penelitian dibagi 2 kelompok secara randomisasi blok, yaitu kelompok perlakuan mendapat nutrisi enteral tinggi protein (NETP) dan kelompok kontrol mendapat nutrisi enteral standar rumah sakit (NERS). Tiga puluh enam subjek dari 60 penderita stroke akut berhasil menjalani 7 hari penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian NETP dapat meningkatkan kadar prealbumin serum, menurunkan ekskresi kreatinin urin, dan memperkecil penurunan kadar albumin serum dibandingkan kelompok kontrol. (Med J Indones 2004; 14: 37-43)

The objective of this study was to determine the effect of high protein enteral nutrition on protein status in acute stroke patients. The subjects were divided into two groups using block randomisation, i.e. the intervention group that received high protein enteral nutrition (HPEN), and the control group that received enteral hospital diet. Thirty six out of 60 acute stroke patients had completed 7 days of follow-up. The results showed that HPEN have increased prealbumin level, decreased urinary creatinine excretion, and decreased the decline of albumin serum compared to the control group. (Med J Indones 2004; 14: 37-43)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (1) January March 2005: 37-43, 2005
MJIN-14-1-JanMar2005-37
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wuryanti
"Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian nutrisi enteral tinggi protein pada status protein penderita stroke akut
Tempat : Ruang rawat IRNA B, bagian Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Metodologi : Penelitian adalah suatu uji klinik paralel yang telah disetujui oleh panitia tetap penilai etik penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sebanyak 36 subyek penelitian stroke hemoragik dan iskemik akut yang memenuhi kriteria dibagi dalam dua kelompok secara randomisasi blok. Sebanyak 18 orang kelompok perlakuan mendapat nutrisi enteral tinggi protein (NETP), sedangkan 18 orang kelompok kontrol mendapat makanan cair racikan rumah sakit. Pengukuran berat badan dan tinggi badar dilakukan pada hari 1. Pemeriksaan albumin dan prealbumin serum dilakukan pada hari ke 1 dan Pemeriksaan NUU dan kreatinin urin dari urin tampung 24 jam pada hari 1, dan 7. Imbang nitrogen diperoleh dengan menghitung asupan nitrogen dan NUU 24 jam Uji statistik yang digunakan adalah uji t untuk data yang berdistribusi normal, dan uji Mann Whitney untuk data yang berdistribusi tidak normal. Batas kemaknaan yang digunakan sebesar 5%.
Hasil : Pada kelompok perlakuan didapatkan sedikit peningkatan ni1ai prealbumin yang belum bermakna, yaitu 0,161 (0,104-0,303) menjadi 0,163 (0,043 0,276) g/L, sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan penurunan yang bermakna yaitu 0,181 (0,093-0,267) menjadi 0,138 (0,066-0,280). Didapatkan penurunan nilai albumin pada kedua kelompok. Penurunan nilai albumin pada kelompok perlakuan lebih sedikit dibandingkan kontrol, masing-masing yaitu - 0,35 dan - 0,60 g/dL.Pemberia NETP dapat menurunkan ekskresi kreatinin urin secara bermakna, yaitu dari 1019 (300-1530) menjadi 791,50 (246-1524) mg/24 jam), tetapi belum memperbaiki NUU dari imbang nitrogen
Kesimpulan : Pemberian NETP pada pasien stroke akut cenderung dapat meningkatkan status protein, walaupun belum dapat dibuktikan secara statistik.

Effects High Protein Enteral Nutrition on Protein Status in Acute Stroke PatientsObjective To investigate the effects of high protein enteral nutrition on protein status in acute stroke.
Location: IRNA B, Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta
Subjects and Methods : The study was a parallel clinical trial, which was alread} certified by the Ethical Clearance Research Committee of Faculty of Medicine Universit of Indonesia. Thirty six subjects with acute hemorhagic and ischemic stroke wen selected using certain criteria. The subjects were divided into two groups using blocs randomization. Eighteen subjects in treatment group received high protein entera nutrition (HPEN), and the control group received enteral hospital diet. Body weight an( height were assessed on the la day of admission. Albumin and prealbumin were assessed on day 1 and 7. Urinary urea nitrogen (UUN) and urinary creatinine were assessed on da: 1, 4, and 7 using 24-hour urine collection. Nitrogen balance was calculated b: substracting nitrogen intake with urinary urea nitrogen. Statistical analysis was performe+ using t-test for normal distributed and Mann Whitney test for not normal distributed data The level of significance was 5%.
Results : In the treatment group, there was a slingtly increased in prealbumin level, bi: not yet significantly : 0,161 (0,104-0,303) to 0,163 (0,043-0,276) g,/L, while in the contra group markedly decreased : 0,181 0,093-0,267) to 0,138 (0,066-0,280) gIL, The albumi level decreased in both groups. Albumin level in the trreatment group decreased less tha the control group, respectively - 0,35 (-1,20-0,60) and - 0,60 (-1,40-0,00). The HPE] decreased urinary creatinine excretion significantly : 1019 (307-15310) to 791,50 (24( 1524), however UUN and nitrogen balance did not show any improvement
Conclusion : HPEN tend to be able to increase the protein status although has ni statistically been proven yet.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 11201
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Anisa Syahriel
"Stroke merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan neurologis yang disebabkan oleh adanya gangguan suplai darah ke bagian otak. Stroke merupakan penyakit kronis yang tidak hanya berdampak pada fisik tapi juga psikososial seperti ansietas. Ansietas yang dialami oleh pasien stroke membuat pasien stroke membutuhkan sistem pendukung yang baik untuk beradaptasi dengan realitas dan keadaannya, baik secara psikososial maupun fisiologis. Sistem pendukung tersebut dapat berasal dari efikasi diri dan dukungan keluarga, sehingga proses rehabilitasi dapat efektif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan efikasi diri dan dukungan keluarga dengan ansietas pada pasien stroke di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional. Metode yang digunakan yaitu desain deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien stroke di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional dengan teknik purposive sampling yang berjumlah 69 orang. pengumpulan data menggunakan kuesioner Stroke Self-efficacy Questionnare (SSEQ), Perceived Social Support From Family (PSS-Fa), dan GAD-7. Analisis data bivariat menggunakan uji Spearman Rank. Hasil penelitian menujukkan ada hubungan antara efikasi diri dengan ansietas (p-value 0.000 < 0.05). Sementara hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan ansiets pada pasien stroke (p-value 0.206 > 0.05). Kesimpulan dari hasil penelitian adalah efikasi diri yang tinggi dapat menurunkan ansietas pada pasien stroke. Meskipun dukungan keluarga tidak menunjukkan adanya hubungan dengan ansietas, namun keluarga memiliki peran yang penting dalam merawat pasien stroke yang mengalami ansietas. Saran yang berkaitan dengan penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian mengenai gambaran pengetahuan keluarga dalam merawat pasien stroke yang mengalami ansietas serta mengoptimalkan sumber koping yang dimiliki oleh pasien stroke.

Stroke is a term used to describe neurological changes caused by disruptions in blood supply to the brain. It is a chronic condition that impacts not only physical but also psychosocial aspects such as anxiety. The anxiety experienced by stroke patients necessitates a strong support system for them to adapt to their reality, both psychosocially and physiologically. This support system can come from self-efficacy and family support, enabling an effective rehabilitation process. The goal of this research is to explore the relationship between self-efficacy, family support, and anxiety in stroke patients at the National Brain Center Hospital. The method employed is a correlational descriptive design with a cross-sectional approach. The sample consists of 69 stroke patients from the National Brain Center Hospital selected through purposive sampling. Data collection involves the Stroke Self-efficacy Questionnaire (SSEQ), Perceived Social Support From Family (PSS-Fa), and GAD-7 questionnaire. Bivariate data analysis is conducted using the Spearman Rank test. The research results indicate a significant relationship between self-efficacy and anxiety (p-value 0.000 < 0.05). However, there is no significant relationship between family support and anxiety in stroke patients (p-value 0.206 > 0.05). The conclusion drawn from the research is that high self-efficacy can reduce anxiety in stroke patients. Although family support does not show a direct correlation with anxiety, families play a crucial role in caring for anxious stroke patients. Suggestions related to this research include conducting studies on family knowledge regarding caring for stroke patients experiencing anxiety and optimizing coping resources available to stroke patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisak
"Latar Belakang: Stroke iskemik yang disertai dengan diabetes melitus merupakan kondisi yang sering terjadi. Serangan stroke iskemik akut seringkali terjadi bersamaan dengan kadar glukosa darah yang meningkat. Pemberian dukungan nutrisi diperlukan untuk membantu mengontrol glukosa darah dan membantu memperbaiki kapasitas fungsional pada pasien stroke iskemik dengan DM. Salah satu nutrisi yang dapat membantu mengontrol kadar glukosa darah adalah asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) yang berasal dari minyak zaitun.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien stroke iskemik yang disertai dengan diabetes melitus dengan rentang usia 52-66 tahun dan status gizi yang bervariasi. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan pedoman nutrisi untuk penderita stroke dan diabetes melitus, serta diberikan tambahan minyak zaitun untuk mencapai pemenuhan target MUFA dan suplementasi mikronutrien vitamin B kompleks, vitamin C, asam folat dan tablet seng.
Hasil: Kadar glukosa darah keempat pasien selama perawatan berada dalam rentang 140-180 mg per dL, sesuai dengan rekomendasi. Kapasitas fungsional dua pasien mengalami peningkatan sedangkan dua pasien lainnya tidak mengalami perubahan.
Kesimpulan: Dukungan nutrisi dengan penambahan bahan makanan sumber tinggi MUFA pada pasien stroke iskemik dengan diabetes melitus ikut membantu dalam proses penyembuhan pasien.

Background: Ischemic stroke accompanied by diabetes mellitus is a common condition. Acute ischemic stroke often occurs together with the increase of blood glucose levels. Nutritional support is needed to control blood glucose and improve functional capacity. One of nutrient that can control blood glucose levels is monounsaturated fatty acids (MUFA), which derived from olive oil.
Methods: This case series reported four ischemic stroke patients accompanied by DM which age range of 52-66 years and varied nutritional status. Nutritional medical therapy was given in accordance with nutritional guidelines for stroke and DM. All of patients were given an additional olive oil to achieve the fulfillment of MUFA targets and supplementation of micronutrient such as vitamin B complex, vitamin C, folic acid and zinc tablets.
Results: The blood glucose levels of all patients during the treatment were in the range of 140-180 mg per dL, according to the recommendations. The functional capacity of the two patients has increased while the other two patients have not.
Conclusion: Nutritional support with the addition of high-source of MUFA food in ischemic stroke patients with diabetes mellitus may support the improvement of healing process.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>