Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72868 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saviga Citra Dewantika
"Artikel ini membahas maskulinitas dalam iklan televisi parfum "L" Homme Libre? dari Yves Saint Laurent. Pada umumnya, iklan parfum laki-laki menunjukkan sosok laki-laki yang kuat, petualang, berotot besar, bertato, penakluk perempuan, dsb. Dengan menggunakan metode semiotik, penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan citra maskulinitas yang ditunjukkan dalam iklan. Makna iklan dapat dilihat melalui tanda di dalam iklan, seperti warna, pakaian, gerak tubuh, ekspresi wajah, nama parfum, kemasan, latar tempat, latar musik, dan latar waktu. Dari tanda itu saya melihat konsep maskulinitas yang telah berubah. Laki-laki dapat menunjukkan sisi maskulin sekaligus feminin. Laki-laki juga mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan dirinya.

This article examined the masculinity on the television advertisement "L" Homme Libre? of Yves Saint Laurent. Generally, men?s perfume advertisement illustrates masculinity as a strong, adventurous, muscular, tattooed, conqueror, etc. By using a semiotic method, this article aims to look for an image of masculinity showed by signs presented on advertisement such as colours, clothes, gestures, faces, perfume name, packaging, background, music, and time. Based on those signs, we could find that the masculinity concept has changed. A men could indicate the masculine side and the feminine side. Furthermore, a men have the freedom to express himself."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Eunike Leon Angela
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis Margaret Thatcher dalam film Inggris The Iron Lady (2011) tentang bagaimana dia pertempuran dengan pria lain di partai politiknya untuk mendapatkan kekuasaan dengan menggunakan menyamarkan tersebut maskulinitas. Film ini menekankan masalah yang Thatcher menghadapi itu adalah yang berlaku standar maskulin kepemimpinan yang tidak memungkinkan seorang wanita untuk menjadi perdana menteri.
Makalah ini menggunakan metode kualitatif dengan menganalisis film The Iron Lady (2011) dan menggunakan Castle "s teori masquerade perempuan, sebuah istilah untuk menyamarkan maskulinitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua aspek maskulinitas yang Thatcher mengadopsi sebagai politisi perempuan: sifat agresif dan suara maskulin. Ketika Thatcher mengadopsi sifat maskulin menjadi agresif, itu membuat dia dianggap sebagai pemimpin yang kuat oleh masyarakat laki-laki sebagai agresi membawa esensi kekuasaan, dominasi, dan kemandirian. Juga, ketika dia mengadopsi suara maskulin, dia berhasil perintah rasa hormat dari seluruh masyarakat laki-laki dan pemimpin di Partai Konservatif. Kesimpulannya adalah Thatcher memecah stereotip dipaksakan pada perempuan sebagai kaum hawa oleh sesuai dengan identitas maskulin dan menyamarkan dirinya sebagai maskulin agar diterima di politik.

The aim of the research is to analyze Margaret Thatcher in the British movie The Iron Lady (2011) on how she battles with other men in her political party to gain the power by using the disguising masculinity. The movie emphasizes the problem that Thatcher faces that is the prevailing masculine standard of the leadership which does not allow a woman to become a prime minister.
The paper uses qualitative method by analyzing the movie The Iron Lady (2011) and using Castle‟s theory of female masquerade, a term for disguising masculinity.
The results show that there are two aspects of masculinity that Thatcher adopts as a female politician: aggressive trait and masculine voice. When Thatcher adopts the masculine trait of being aggressive, it makes her be perceived as a powerful leader by the male society as aggression brings the essence of power, dominance, and independence. Also, when she adopts the masculine voice, she successfully commands respect from all male society and leaders in Conservative Party. The conclusion is Thatcher breaks down the stereotype imposed upon women as the weaker sex by conforming to the masculine identity and disguising herself as the masculine in order to be accepted in the politics.
"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rozan Fauzan
"Penelitian ini membahas citra maskulinitas dalam iklan cetak parfum “Le Mâle” dari Jean Paul Gaultier. Pada umumnya, iklan parfum laki-laki mencitrakan maskulinitas sebagai karakter yang aktif dan dominan. Dengan menggunakan metode semiotika, penelitian ini bertujuan melihat citra maskulinitas ditampilkan melalui tanda-tanda yang dihadirkan dalam iklan, seperti warna, pakaian, wajah, rambut, pose tubuh, latar tempat, aksesoris, kemasan, tipografi, teks, dan logo. Dari tanda-tanda itu, ditemukan citra Maskulinitas baru oleh Gautier ini merupakan bentuk pemaknaan baru terhadap gender.

This research examined the image of masculinity on the print advertisement "Le Mâle" of Jean Paul Gaultier. Generally, men‟s perfume advertisement illustrates masculinity as an active and dominant character. By using a semiotic method, this research aims to look for an image of masculinity showed by signs presented on advertisements such as colours, clothes, faces, hairstyles, poses, background settings, accessories, packaging, typography, text, and logo. Based on those signs, we can find a new image of masculinity, which is a fusion of the masculine character and the feminine one. The new masculinity from Gaultier is a new form of meaning toward gender."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S44338
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Pramitasari
"ABSTRAK
Simone de Beauvoir dalam bukunya yang berjudul Le Deuxieme Sexe, mengemukakan gagasan-gagasan mengenai feminisme eksistensialis. Gagasan-gagasan tersebut diantaranya adalah subjektivitas perempuan dan kebebasan perempuan. Tidak jarang gagasan-gagasan mengenai feminisme eksistensialis tersebut ditemukan dalam sebuah iklan, dengan menjadikan perempuan sebagai tokoh utama. Salah satunya adalah iklan produk kosmetik Yves Saint Laurent Beaute-Touhe Eclat. Subjektivitas dan kebebasan perempuan dalam iklan tersebut ditampilkan secara implisit pada berbagai aspek, antara lain pada aspek sinematografis, latar musik, dan slogan. Melalui aspek-aspek tersebut, dapat terlihat bahwa perempuan yang digambarkan dalam iklan tersebut adalah perempuan mandiri yang telah mendapatkan kebebasannya dan telah mampu memposisikan dirinya sebagai subjek.

ABSTRACT
In the book The Second Sex (Le Deuxieme Sexe), Simone de Beauvoir expressed her ideas of feminism that is influenced by existentialism. Two of her ideas are about womens subjectivity and womens freedom. Her ideas of feminism are often found in an advertisement and make women as the main character. One of the advertisements which has Simone de Beauoirs ideas of feminism, is an advertisement made by Yves Saint Laurent Beaute about their product that is called Touche Eclat. Womens subjectivity and freedom are shown implicitly in this advertisement on various aspects, such as cinematographic aspect, background music, and slogan. Through these aspects, it can be seen that the women portrayed in that advertisement is an independent woman who has gained her freedom and has been able to position herself as a subject and equal with man."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Candisa Azzahra Mulyawati
"Yves Saint Laurent adalah salah satu rumah mode Prancis, yang berdiri pada 1961 dalam kurun waktu periode tiga puluh tahun kejayaan Prancis atau yang disebut dengan Le trente glorieuses (1945-1975). Seiring kemajuan perekonomian Prancis pada zaman itu, hal lain pun secara tidak langsung terkena dampaknya, salah satunya ialah timbul gerakan revolusi seksual serta isu-isu kesetaraan gender. Dalam artikel ini, penulis akan mengkaji perubahan konstruksi gender selama kurun waktu tersebut melalui mode, khususnya model desain koleksi haute couture Yves Saint Laurent. Penelitian ini akan memakai metode kualitatif Creswell (2013), konsep gender Butler (1990), serta teori Dekonstruksi Derrida (1967). Ketiganya akan dipakai untuk menganalisis korpus koleksi gambar pakaian haute couture Yves Saint Laurent di situs collection.museeyslparis.com, dengan tambahan referensi artikel How Yves Saint Laurent changed fashion oleh Healy (2015) melalui situs dazeddigital.com dan artikel Le Smoking Forever dalam situs wmagazine.com oleh Petrarca (2015). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat makna gender yang terdekonstruksi melalui model pakaian haute couture Yves Saint Laurent. Temuan ini diikuti dengan dua makna penting tentang gender yang juga sesuai dengan konsep gender Butler (1990) melalui ketiga sampel desain yang dianalisis, bahwa: 1). gender adalah sebuah spektrum (eksistensinya dalam diri seseorang tidak dapat diketagorikan hanya dalam satu atau dua definisi), 2). gender adalah sesuatu yang akan selalu berubah dan bertransformasi sesuai perkembangan zaman. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa desain haute couture Yves Saint Laurent visioner dan relevan terhadap isu sosial di masa yang akan datang.

Yves Saint Laurent is a French fashion house, which was founded in 1961 during the thirty- year period of the French heyday or what is called Le trente Gglorieuses (1945-1975). Along with the progress of the French economy at that time, other things were also indirectly affected, one of which was the emergence of the sexual revolution movement and issues of gender equality. In this article, the author will examine changes in the construction of gender during this period through fashion, especially Yves Saint Laurent's haute couture collection designs. This research will use Creswell's qualitative method (2013), Butler's gender concept (1990), and Derrida's Deconstruction theory (1967). All three will be used to analyze the corpus of Yves Saint Laurent's haute couture clothing image collection on the website collection.museeyslparis.com, with additional references to the article How Yves Saint Laurent changed fashion by Healy (2015) via the dazeddigital.com website and the article Le Smoking Forever on the wmagazine.com by Petrarca (2015). The results of the study show that gender meaning is proven to be deconstructed through Yves Saint Laurent's haute couture clothing model. This finding is followed by two important meanings about gender which are also following Butler's (1990) concept of gender through the three sample designs analyzed, that: 1). gender is a spectrum (its existence in a person cannot be categorized in only one or two definitions), 2). Gender is something that will always change and transform according to the times. This also shows that Yves Saint Laurent's haute couture designs are visionary and relevant to social issues in the future."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Friska Adelia Savira
"Dalam beberapa tahun terakhir AXE, produk perlengkapan mandi untuk pria, telah diminta dari media untuk pergantian strategi mereka yang tiba-tiba yang merupakan citra diri AXE tentang 'garis perawatan halus yang dirancang untuk meningkatkan kepercayaan diri pria dengan membantu mereka melihat dan merasakan gaya hidup mereka. terbaik” yang berarti reputasi mereka sebagai produk yang akan selalu membantu pria mendapatkan wanita dengan lebih mudah dengan kampanye yang tidak jauh dari hasrat, kesuksesan, rayuan, maskulinitas, dan daya tarik seksual. Perubahan tersebut cukup signifikan dari reputasi dan strategi mereka sebelumnya tentang maskulinitas, maskulinitas hegemonik yang ternyata merugikan, yang banyak mendapat perhatian tidak hanya dari media tetapi juga dari audiensi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan stereotip maskulinitas dalam iklan produk AXE. Analisis Wacana Multimodal akan digunakan untuk menjelaskan hubungan antara stereotip gender, bahasa, dan identitas. Kajian kualitatif ini mengkaji perkembangan iklan AXE dengan menggunakan empat versi iklan AXE sebagai contoh, yaitu dari tahun 2002, 2007, 2012, dan 2017 dalam kaitannya dengan maskulinitas dan stereotip gender. Hasilnya menunjukkan bahwa AXE membangun konsep maskulinitas mereka dalam iklan mereka pada maskulinitas hegemonik, tetapi untuk mempertahankan relevansi merek mereka, mereka mengubahnya menjadi kampanye maskulinitas anti-toksik, terlepas dari reputasi awal mereka.

In recent years AXE, a toiletries product for men, has been asked from the media for the sudden switch of their strategy which was AXE’s own self defined image of ‘a refined grooming line designed to boost guys’ confidence by helping them look and feel their finest” means their reputation has always been that of a product that would help men to get women more effortlessly with campaigns not far from desire, success, seduction, masculinity and sex-appeal. The change is quite significant from their prior reputation and strategy about masculinity, which was hegemonic masculinity that turned out to be harmful, that has gained a lot of attention not only from the media but also from the audience. The aim of the study is to explain the stereotypes of masculinity in advertisements for AXE products. Multimodal Discourse Analysis will be used to explain the relation between stereotype gender, language, and identity. This qualitative study examines the development of AXE advertisements using four versions of AXE advertisements as examples, which are from 2002, 2007, 2012, and 2017 in relation to masculinity and stereotype gender. The results demonstrate that AXE constructed their concept of masculinity in their commercial on hegemonic masculinity, but in order to maintain their brand relevant, they converted it into an anti-toxic masculinity campaign, despite their initial reputation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dyah Wijayanti
"Laki-laki yang maskulin didefinisikan dengan kemachoan, berotot dan dekat dengan kekerasan, struktur membuat laki-laki yang dikatakan "ideal" ini memiliki posisi yang lebih tinggi dibanding yang "tidak ideal". Hal ini secara tidak langsung memberikan kekuasaan pada laki-laki. Laki-laki dan kekuasaan yang berelasi hadir dalam sebuah ranah politik yang sifatnya membuat kelahiran akan konsep dominasi itu sendiri, dengan begitu dapat dikatakan bahwa dominasi maskulinitas yang terjadi bukan disebabkan tanpa alasan. Persoalan Maskulinitas akan dibahas secara mendalam dengan menggunakan teori dari Pierre Bordieu.

Male masculine defined, muscular and close to violence, the structure makes men say "ideal" has a higher position than the "not ideal". This indirectly gives power to men. Man and power are related is present in a political sphere that are making the birth of the concept of domination itself, so it can be said that the dominance of masculinity that occurs is not caused without reason. Masculinity issues will be discussed in depth by using the theory of Pierre Bordieu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S62686
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Nurfaidah
"Tesis ini membahas representasi maskulinitas yang terdapat dalam korpus berupa film yang berjudul Malaikat Bayangan dan Malaikat Tanpa Sayap. Penelitian ini dilakukan sebagai penelitian kualitatif melalui pendekatan cultural studies. Penelitian ini menggunakan beberapa teori berikut, yaitu maskulinitas Reeser dan Beynon, metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson, metafora multimodal Forceville, dan struktur film dari Boggs dan Petrie, serta Nathan Abrams, et.al. Reeser dan Beynon memandang maskulinitas sebagai satu konsep yang dinamis, cair, dan kompleks. Kedua korpus penelitian tersebut memiliki perbedaan, antara lain, dalam latar tahun produksi, genre, atau setting. Film Malaikat Bayangan mengangkat tema maskulinitas imperial dengan latar era kolonial. Sosok maskulin imperial, Thomas, mengabdikan diri sepenuhnya pada kepentingan negara tanpa mengaharapkan imbalan materi. Untuk itu maskulin imperial dituntut untuk tidak menjalin hubungan yang terlalu intim dengan lawan jenis serta memiliki kemampuan untuk menguasai diri seutuhnya. Jika dikaitkan dengan teori Reeser, sosok maskulin imperial dalam film Malaikat Bayangan tidak berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain. Namun, dalam sebuah penyamaran, Thomas tidak dapat menghindari untuk mengadopsi unsur-unsur dari kluster lain, seperti metroseksual dan narcissist. Sementara itu, Film Malaikat Tanpa Sayap mengangkat konsep maskulinitas breadwinner yang dapat berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain, yaitu new man as a nurturer dan maskulinitas imperial. Sosok maskulin yang diangkat di dalam tesis ini merupakan sosok yang dianggap sebagai malaikat (malaikat metaforis). Metafora konseptual yang muncul sebagai penguat tokoh malaikat metaforis cenderung untuk mengarah pada sikap, sifat, serta peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Dalam film Malaikat Bayangan, sosok Thomas memenuhi kriteria sebagai malaikat karena ia mengabdi dengan sepenuh hati tanpa pernah memikirkan imbalan materi; memiliki kekuatan fisik dan batin yang prima; patuh pada aturan, dan cernat. Sementara itu, film Malaikat Tanpa Sayap menampilkan tokoh Amir sebagai sosok yang dianggap sebagai malaikat. Tokoh Amir tanpa menunjukkan kontak fisik mampu memberikan kontribusi besar bagi anaknya sendiri dan orang lain. Konsep maskulinitas tersebut didukun unsur sinematografis (teknik pengambilan gambar, penentuan ukuran gambar, teknik pencahayaan) dan unsur naratif (tema, alur, latar, dan penokohan).

This thesis discusses the representation of masculinity in Malaikat Bayangan (1987) and Malaikat Tanpa Sayap (2012). This is a qualitative research with cultural studies approaches. There are several theories used in this study: Reeser (2010) and Beynon (2002) masculinities, Lakoff and Johnson's (2003) conceptual metaphor, Forceville's (1996) multimodal metaphor, and film structures from Boggs & Petrie (2008) and Nathan Abrams, et al (2001). Both movies have differences, especially in these points: year of production, genre, or setting. However, they were assumed to share common concepts of masculinity. Malaikat Bayangan provided representation of imperial masculinity. The imperial masculine gave his life serving the state totally without material orientation. He was not allowed to have an overly intimate relationship with women and ought to have a perfect stamina. Based on Reeser's view, the imperial masculine figure in Malaikat Bayangan can not be substituted with another type of masculinity. However, on certain occasions, the main character must be adaptive to elements of other clusters, such as metrosexual and narcissist. On the other hand, Malaikat Tanpa Sayap provided a fluid masculinity concept. The breadwinner can be subsituted with other types of masculinity, such as nurturer or imperial masculinity. The thesis focuses on masculine figures that are metaphorically regarded as angels. Conceptual metaphor application is related to their attitudes, characteristics, and experiences. In Malaikat Bayangan, Thomas gives his total commitment for the state without material reward. He has the most powerfull energy, obedient, and has good precision. Meanwhile, Malaikat Tanpa Sayap is featuring Amir as a metaforic angel in a different way. Through his own fight, without physical contact as Thomas, which is associated to the contemporary period, Amir fulfills his angelic criteria. The concept of masculinity that emerges in both movies is supported by the cinematographic elements (shooting technique, size of the image, or lighting techniques) and narrative elements (theme, plot, setting, and characterization)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Putri Aprillia
"Penelitian ini menganalisis representasi maskulinitas dalam iklan rekrutmen militer Rusia dengan slogan “Ты же мужик” (Kau kan pria) yang ditujukan kepada para pria di Rusia untuk mendaftar militer pada masa perang Rusia-Ukraina. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan mise en scène untuk menguraikan representasi maskulinitas pada iklan pendaftaran rekrutmen militer Rusia dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes (1964) bersamaan dengan konsep maskulinitas hegemoni dari R. W. Connell dan James W. Messerschmidt (2005), dan konsep struktur patriarki dari Sylvia Walby (1990). Hasil penelitian ini mengungkap adanya penekanan pada re-tradisionalisasi maskulinitas yang dikonstruksi dan disampaikan melalui sinergi isyarat linguistik dan visual dalam iklan rekrutmen militer Rusia yang mencerminkan maskulinitas hegemoni dan patriarki di era Federasi Rusia.

This research analyzes the representation of masculinity in Russian military recruitment advertisement with the slogan “Ty zhe muzhik” (You are a man) aimed at men in Russia to enlist in the military during the Russia-Ukraine war. This research uses a qualitative research and mise en scene method to describe the representation of masculinity in Russian military recruitment enlistment advertisement using Roland Barthes' semiotic theory (1964) along with R. W. Connell and James W. Messerschmidt's concept of the hegemony of masculinity (2005), and Sylvia Walby's concept of patriarchal structure (1990). The results of this research reveal an emphasis on re-traditionalization masculinity which is constructed and conveyed through the synergy of linguistic and visual cues in Russian military recruitment advertisements which reflect the hegemonic masculinity and patriarchy in the era of the Russian Federation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Destia Nur Arafah
"Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terdapat pergeseran representasi maskulinitas dalam film perang, di mana citra tradisional prajurit “ideal” yang maskulin telah sedikit demi sedikit tergantikan oleh citra tentara yang lebih “feminin.” The Yellow Birds (2017) adalah sebuah film Hollywood kontemporer mengenai perang yang mengangkat isu maskulinitas dalam dunia militer dengan menantang ideologi maskulinitas yang bersifat hegemonik dalam dunia militer. Makalah penelitian ini akan menganalisis konstruksi dan representasi maskulinitas yang diangkat oleh film tersebut dengan meneliti fitur-fitur eksplisit dan implisit, seperti simbol, penggunaan bahasa, dan aksi, yang muncul selama film berlangsung. Analisis dilakukan dengan menerapkan berbagai teori yang berkaitan dengan isu maskulinitas, seperti konsep maskulinitas militer, dan teori yang berhubungan dengan setiap fitur yang dianalisis, seperti simbolisme dan penggunaan bahasa oleh pihak atasan utuk menunjukkan kekuasan terhadap bawahan. Penelitian ini menunjukkan bahwa film The Yellow Birds berusaha menantang ideologi maskulinitas yang bersifat hegemonik dalam dunia militer dengan cara memanusiakan tokoh prajurit, mengkritik institusi militer, dan menampilkan tokoh prajurit sebagai korban dari maskulinitas hegemonik militer.

A number of research has found that there has been a shift in the representation of masculinity in war movies, in which the image of traditional masculine “ideal” soldier has gradually been replaced by the image of a more “feminine” soldier. The Yellow Birds (2017) is a contemporary Hollywood war movie which grapples with the issue of masculinity by challenging the notion of hegemonic military masculinity. This research paper will analyze the movie’s construction and representation of masculinity by examining the explicit and implicit elements, such as symbols, language use, and actions, which appear throughout the movie. To do so, it employs various theories and concepts related to the issue, such as the concept of military masculinity, and those related to each of the features of the movie, such as symbolism and the use of language as a means by the superior to demonstrate power over the subordinates. This research demonstrates that the movie attempts to contest hegemonic military masculinity by means of humanizing the characters, criticizing the military institution, and presenting characters as victims of hegemonic military masculinity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>