Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81578 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fachrunisa Dwirachma
"Penelitian ini menitikberatkan pada pengaturan kedudukan film Soekarno dengan menggunakan Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 93/Pdt/Sus HAKCIPTA/ 2013/PN.NIAGA.JKT.PST. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah penelitian wawancara dengan tujuan untuk memperoleh data primer melalui alat pengumpul data yaitu wawancara dengan beberapa narasumber dan penelitian kepustakaan dengan tujuan untuk memperoleh data sekunder melalui alat pengumpul data yaitu studi dokumen. Data dalam penelitian diolah secara kualitatif yang nantinya akan menghasilkan bentuk data berupa deskriptif-analistis yang berguna untuk memberikan data seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala yang ada dan analisitis berguna untuk menarik asas-asas hukum yang terdapat di dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia. Di dalam UU Hak Cipta, sinematografi atau film merupakan salah satu komponen yang dilindungi oleh Hak Cipta. Maraknya film yang diangkat dari biografi seseorang tokoh sejarah atau tokoh terkenal menimbulkan problema yuridis yang kompleks karena film biografi yang diangkat dari pertunjukan/pagelaran merupakan sebuah hasil dari karya cipta yang sangat menarik untuk dikaji kedudukannya apakah sebagai karya cipta turunan atau tidak. Selanjutnya, dikarenakan yang menjadi obyek permasalahan disini adalah film, atau biasa disebut dengan istilah sinematografi di dalam UndangUndang Hak Cipta, maka diperlukan untuk menentukan siapa yang menjadi pencipta dalam sebuah karya film. Hal ini ditinjau dari dunia perfilman yaitu dengan melibatkan peran produser dan peran sutradara dalam pembuatan film. Hal penting lainnya yang perlu dibahas adalah mengenai pengaturan pemilihan aktor di dalam lingkup hukum Hak Cipta. Dengan menggunakan metode studi kasus pada penelitian ini, akhirnya patutlah dipertanyakan untuk putusan pengadilan dalam kasus yang diangkat mengenai ketepatan dari pertimbangan hakim dan putusan hakim pada tingkat Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pada Pengadilan tingkat Kasasi yaitu Mahkamah Agung.

This research focuses on the regulation of the movies position considered case study on first level court that the Commercial Court in Central Jakarta District Court Number: 93/Pdt/Sus HAK-CIPTA/2013/PN.NIAGA.JKT.PST. The latest research is normative juridical research is research which refers to the legal norms contained in legislation and court rulings. While research method used was an interview study with the aim to obtain primary source through a source collection tool that interviews with several sources and research literature in order to obtain secondary data through a data collection tool that studies document. The source were analyzed qualitatively in which will result in the form of descriptiveanalytical source in the form that is useful to provide the source as accurately as possible about the state or existing symptoms and analisitis useful to draw legal principles contained in the applicable positive law in Indonesia. In the Copyright Act, cinematography or film is one component that is protected by Copyright. The rise of the film adaptation of the biography of someone famous historical figure or figures give rise to more complex juridical problems for the Law of Copyright because biopic adaptation of the show / performance is a result of adaptation copyrighted works. It is so interesting to discuss position of Soekarno Film. Is it derivative work or not. Furthermore, because of which became the subject matter here is a movie, or commonly referred to as cinematography in Copyright Law, it is necessary to determine who is the creator of a film. It is seen from the world of cinema is to involve the role of producer and director roles in film making. The important thing that must be explain is about choosen of actor in copyright law. By using the case study method in this study, ultimately deem questionable for a court decision in a case that raised about the accuracy of judge’s consideration and the judge's decision on the level of the first level court that the Commercial Court in Central Jakarta District Court and the Court of Cassation is the Supreme Court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58700
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabian Raffa Reyhan
"Recaps film adalah salah satu jenis konten yang dapat dibuat oleh para creator YouTube untuk mendapatkan uang atau keuntungan dari sistem monetisasi yang disediakan oleh YouTube. Saqahayang adalah salah satu creator yang membuat jenis konten ini pada kanal YouTube-nya. Recaps film sendiri dapat di definisikan sebagai suatu konten penceritaan kembali suatu film/serial yang sedang atau sudah tayang di publik, dengan menggunakan narasi pembuat konten sendiri serta menggunakan unsur audio dan visual dari film atau serial yang dijadikan subjek yang memiliki sifat ‘pengganti’, dimana penonton atau calon penonton suatu film dapat menonton dan mengerti isi dari suatu film dalam waktu 15 sampai 30 menit tanpa harus menonton film yang dijadikan subjek secara keseluruhan di bioskop atau layanan streaming. Walaupun YouTube sebagai penyedia platform sudah memiliki aturan tentang larangan penggunaan karya orang lain tanpa ijin pengguna, pelanggaran mengenai hal tersebut masih kerap terjadi. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pembuatan konten berjenis recaps film yang dibuat oleh Saqahayang memiliki potensi pelanggaran Hak Cipta. Tindakan yang dilakukan Saqahayang juga tidak dapat dikategorikan sebagai ‘penggunaan yang wajar’ karena terdapat kepentingan ekonomi pencipta cuplikan film atau serial yang dirugikan. Sebagai bentuk tanggung jawab dan cara untuk menanggulangi permasalahan tersebut, YouTube memiliki Formulir Web DMCA Publik, Copyright Match Tool, dan Content ID yang dapat membantu dan melindungi pencipta dan para pemilik hak cipta. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, tulisan ini akan menganalisis mengenai bentuk pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh Saqahayang dan bagaimana bentuk tanggung jawab hukum YouTube sebagai penyedia platform.

Film recaps are one type of content that can be created by YouTube creators to earn money or profit from the monetization system provided by YouTube. Saqahayang is one of the creators who produces this type of content on their YouTube channel. Film recaps can be defined as a retelling of a movie/TV series that is currently airing or has already been released to the public, using the creator's own narration and incorporating audio and visual elements from the film or series being discussed. It serves as a 'substitute' that allows viewers or potential viewers to understand the content of a film within 15 to 30 minutes, without having to watch the entire film in theaters or on streaming services. Although YouTube, as a platform provider, has rules against the unauthorized use of others' work, violations still occur frequently. Referring to Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, the production of film recap content by Saqahayang has the potential to infringe on Copyright. Saqahayang's actions cannot be categorized as 'fair use' because they economically affect the creators of the film or series excerpts. As a form of responsibility and a way to address this issue, YouTube provides the Public DMCA Web Form, Copyright Match Tool, and Content ID to assist and protect creators and copyright owners. Using a normative juridical research method, this paper will analyze the forms of copyright infringement committed by Saqahayang and the legal responsibilities of YouTube as a platform provider."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Lintang Jantera
"PPFN mengaku sebagai pencipta dan pemegang hak cipta atas film G30S/PKI. PPFN mengatakan bahwa pemutaran kepada publik yang dilakukan oleh pemerintah belum mendapatkan izin dari PPFN. Berdasarkan sejarah, dihetahui bahwa PPFN membuat film ini atas perintah dari Presiden Suharto pada tahun 1984. dalam hal ini, penulis mempertanyakan apakah PPFN adalah pencipta dan pemegang hak cipta yang sah atas film G30S/PKI movie, apakah film G30S/PKI masih dilindungi hak ciptanya, dan apakah PPFN dapat melarang tindakan pemutaran yang dilakukan oleh pemerintah. Penelitian ini menggunakan metode Normatif Yuridis. Penulis mengkaji permasalahan yang terjadi dan menghubungkannya dengan teori-teori terkait dan peraturan yang berlaku. Berdasarkan penelitian, penulis menemukan bahwa PPFN adalah pencipta dan pemegang hak cipta yang sah atas film G30S/PKI. Perlindungan atas film G30S/PKI masih berlaku sampai tahun 2034 berdasarkan UU Hak Cipta 28 tahun 2014. Dalam kaitannya dengan pemutarannya di publik dengan atas perintah dari Pemerintah, undang-undang hak cipta melindungi tindakan pemerintah tersebut dan mengizinkan pemerintah untuk melakukan hal tersebut tanpa harus memperoleh izin terlebih dahulu kepada PPFN, dengan syarat harus membayarkan royalti kepada PPFN selaku pemegang hak cipta film G30S/PKI.

PPFN stating that they are the creator and copyright holder of the G30S/PKI movie. PPFN stated that the public showing of G30S/PKI movie which conduct by the government action has not grant permission from PPFN. Based on history, PPFN has made this movie by command of President Suharto in the year of 1984. It is questioned whether PPFN is the legitimate creator and copyright holder of the G30S/PKI movie, and whether PPFN may prohibit the government action to make public showing of this movie. This research is using the normative juridical method. Based on the research conducted by author, author found that PPFN is the legitimate creator and copyright holder of G30S/PKI movie. G30S/PKI movie is still be protected under the Indonesian Copyright Law number 28 Year 2014 until 2034. In relation to the public showing conduct by the government, the copyright law has protecting the government action and allow the government to conduct such action without asking permission from PPFN, and has to give reward or royalty to PPFN as the copyright holder. 
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfi Prasetya Putra
"Penulisan ini membahas mengenai pengaturan hukum Hak Cipta, terutama Hak Moral dan Hak Ekonomi, pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dikaitkan dengan pemberlakuan Sensor Film yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Pembahasan mengenai hukum Hak Cipta dilakukan dengan melakukan perbandingan pengaturan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, terutama pada perbandingan pengaturan Hak Moral dan Hak Ekonominya. Selanjutnya, penulisan ini juga membahas sekilas industri perfilman Indonesia dan menganalisis pelaksanaan Sensor Film yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film sebagai salah satu lembaga negara Indonesia.

The focus of this study is about Copyright Law regulation, especially concerning Moral Right and Economic Right, in Law Number 28 of 2014 related to the implementation of Film Censorship that mandated by Law Number Number 33 of 2009. The analysis of Copyright Law done by doing comparison between Law Number 28 of 2014 and Law Number 19 of 2002. This writing is also at glance discuss the development of film industry in Indonesia and analyse the implementation of Film Censorship conducted by Film Censorship Body (Lembaga Sensor Film).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59058
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Marlin Agustin
"Karya Sinematografi dalam bentuk film impor merupakan bentuk tayangan yang diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia sejak sebelum kemerdekaannya. Film impor yang ditayangkan di Indonesia dapat dikonsumsi dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia karena adanya penerjemahan yang dilakukan atas film-film impor tersebut. Terdapat 2 dua metode penerjemahan film yang paling sering dipakai oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia yaitu metode sulih suara dubbing dan metode penerjemahan dalam bentuk teks subtitle.
Film impor yang selama ini diedarkan dan ditayangkan di bioskop untuk konsumsi publik, diterjemahkan menggunakan metode penerjemahan dalam bentuk teks subtitle, namun tidak demikian adanya dengan film impor yang ditayangkan di televisi. Film sebagai salah satu dari serangkaian Ciptaan yang dilindungi oleh hukum Hak Cipta di Indonesia diakui sebagai sebuah wujud nyata dari sebuah ide yang diekspresikan yang kepada Pencipta atau Pemegang Hak Ciptanya melekat Hak Ekonomi dan Hak Moral.
Dalam tulisan ini penulis akan membedah kedua metode penerjemahan film tersebut dan membongkar satu per satu setiap tahap yang harus dilalui untuk menerjemahkan film menggunakan kedua metode penerjemahan tersebut. Penulis juga akan membahas mengenai penerjemahan film dilihat dari perspektif hak ekonomi dan hak moral. Selanjutnya penulis menganalisis lebih jauh mengenai metode sulih suara dubbing yang selama ini dipakai untuk menerjemahkan film impor yang ditayangkan di televisi dan dampaknya terhadap hak moral Pelaku Kegiatan Perfilman sebagai Pencipta, dikaitkan dengan definisi Ciptaan yang dilindungi oleh hukum Hak Cipta sendiri. Penulis berharap pada akhirnya film impor yang ditayangkan di televisi Indonesia dapat disuguhkan kepada masyarakat menggunakan metode penerjemahan film yang tetap memastikan Hak Ekonomi Pencipta terlindungi namun tidak menciderai Hak Moral Pencipta.

Cinematographic work in the form of imported film is something that was already introduced to the people of Indonesia even prior to its independence as a nation. Imported film that are aired in Indonesia are able to be consumed and enjoyed by Indonesian people because of film translation methods applied on the films, that allow them to do so. There are 2 two methods of film translating that are most commonly used in many countries across the world including Indonesia itself, which are dubbing and subtitling.
The imported films that have been circulated and showcased in movie theatres for publics consumption, are translated by subtitling them, but it isnt so when it comes to those that are aired on television. Film as one of the forms of creation that are protected under the Copyright Law which recognizes it as an embodiment of an expressed idea. On that creation economic and moral rights are attached.
In this writing, author hopes to be able to dissect both film translating methods in terms of the technicalities and how they affect the moral rights of creator with how the Copyright Law defines the very creation it protects in mind. Author hopes for a future where imported films are able to be consumed by our society using a translating method that is able to make sure that both of creators rights which the economic one and the moral one stay protected, specifically in terms of sound which is one of the most important elements in movie as a form of audiovisual work.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadek Denny Baskara Adiputra
"Skripsi ini membahas tentang yurisdiksi ICSID terhadap sengketa kewajiban kontraktual dan sengketa kewajiban traktat. Sengketa kewajiban kontraktual tunduk pada hukum nasional negara penerima investasi sehingga diselesaikan melalui pengadilan nasional negara penerima investasi. Sedangkan, sengketa kewajiban traktat tunduk pada hukum internasional, yang di antara lain meliputi prinsip hukum umum maupun hukum kebiasaan internasional sehingga diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa seperti ICSID. Dalam praktik, seringkali terdapat tumpang tindih antara kedua jenis sengketa tersebut karena investor asing dapat mengajukan sengketanya ke ICSID secara langsung meskipun lahir dari pelanggaran kontrak investasi dan bukan perjanjian investasi bilateral (PIB). Hal ini disebabkan karena yurisdiksi ICSID berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam masing-masing kontrak investasi maupun PIB. Selain itu, majelis arbitrase ICSID memiliki pendekatan yang berbeda-beda untuk menentukan lingkup yurisdiksi ICSID.
Skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif untuk meninjau penerapan ketentuan yurisdiksi ICSID terhadap sengketa kewajiban kontraktual dan sengketa kewajiban traktat dalam kasus Churchill Mining v. Indonesia, Vivendi Annulment, SGS v. Pakistan, dan SGS v. Philippines. Berdasarkan keempat kasus tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa ICSID memiliki yurisdiksi terhadap sengketa kewajiban traktat selama persyaratan dalam yurisdiksi ICSID terpenuhi. Akan tetapi, yurisdiksi ICSID terhadap sengketa kewajiban kontraktual bergantung pada konstruksi masing-masing kontrak investasi dan PIB. Skripsi ini menyarankan agar para pihak penyusun kontrak investasi dan PIB memperjelas sengketa yang masuk dalam lingkup kesepakatannya. Selain itu, negara penerima investasi dapat menyisipkan kewajiban untuk menempuh seluruh upaya dalam hukum nasional negara penerima investasi (exhaustion of local remedies) sebelum para pihak dapat bersengketa di ICSID.

This thesis provides an overview of ICSID jurisdiction over contract and treaty claims. Contract claims are claims based on contract which fall within the purview of the domestic law of the host state, hence subject to the courts of the host state. On the other hand, treaty claims are based on violations of a treaty (in this case a Bilateral Investment Treaty or BIT) and is subject to international law with its own dispute settlement mechanism, such as ICSID. Contract and treaty claims are often conflated in practice because of the direct access that investors have to ICSID. This situation is perpetuated by the fact that ICSID jurisdiction under Article 25(1) of the ICSID Convention is based on the consent of both parties, which differs in each investment contract or BIT. Furthermore, tribunals employ different approaches to determine the scope of ICSID jurisdiction.
This thesis uses a juridical-normative approach to determine how tribunals apply ICSID jurisdiction over contract and treaty claims based on four cases, namely Churchill Mining v. Indonesia, Vivendi Annulment, SGS v. Pakistan, and SGS v. Philippines. Based on these four cases, ICSID has jurisdiction over treaty claims, so long as its jurisdictional requirements are met. However, ICSIDs jurisdiction over contract claims is highly contingent on the construction of each specific investment contract or BIT. In conlusion, this thesis suggests that drafters of investment contracts and BITs should explicitly provide the disputes that fall within each agreement. Moreover, BIT drafters could include an exhaustion of local remedies requirement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faiza Khalifa Pancaputri
"Sengketa Rumah Negara khususnya dalam penguasaan Rumah Negara terjadi karena beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut muncul karena alasan atau sebab yang beragam. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Rumah Negara merupakan fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh Pejabat Negara atau Pegawai Negeri untuk menunjang kebutuhan hunian dalam melaksanakan tugas negara. Pemanfaatan Rumah Negara yang dihuni akan disesuaikan dengan ketentuan masing- masing status/ golongannya. Sengketa hukum Rumah Negara terkait pemanfaatan dan penguasaan Rumah Negara dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya ketidaksesuaian jangka waktu penghunian, kekeliruan pemahaman mengenai rumah negara sebagai objek waris, ketidakteraturan tata usaha dokumen terkait pengalihan status dan hak Rumah Negara, serta kecenderungan lambatnya penegakan hukum penyelesaian sengketa Rumah Negara. Faktor-faktor tersebut dapat timbul karena perkembangan ketentuan, penegakan hukum yang tidak tepat waktu, perubahan status Pegawai Negeri, dan penanganan sengketa yang cenderung lambat karena pengajuan gugatan pada peradilan yang berbeda.

State House disputes, especially over control of State Houses, occur due to several factors. These factors arise because of various reasons and causes. This article was prepared using doctrinal research methods. A State House is a facility that can be utilized by State Officials or Civil Servants to support housing needs in carrying out state duties. The use of State Houses will be adjusted to the provisions of each status/class. Legal disputes regarding State Houses related to the use and control of State Houses can be caused by several things, including discrepancies in the period of occupancy, misunderstanding regarding state houses as objects of inheritance, irregularities in the administration of documents related to the transfer of status and rights of the State Houses, as well as the tendency for slow enforcement of the law for resolving State House disputes. These factors can arise due to developments in provisions, law enforcement that is not accordingly done on time, changes in the status of civil servants, and the way of handling disputes which tends to be slow due to filing lawsuits at different kind of courts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febri Ariadi
"Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi memiliki peranan penting dalam memajukan perekonomian, utamanya bagi negara berkembang dan negara terbelakang yang belum menguasai teknologi tepat guna bagi perindustrian. Untuk mengadakan akses terhadap teknologi bagi negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang, dilakukanlah transfer of technologi dari negara maju agar negara berkembang dan negara terbelakang dapat menguasai teknologi-teknologi yang meningkatkan daya saing mereka dalam perdagangan internasional. Namun, kerjasama transfer of technology seringkali menimbulkan sengketa, khususnya terkait hak dan kewajiban para pihak (termasuk hak kekayaan intelektual pengalih teknologi dan perbedaan kepentingan antara negara berkembang dan negara maju). Untuk itu, dalam skripsi ini penulis meninjau sengketa-sengketa terkait transfer of technology dari perspektif hukum perdagangan internasional. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis menganalisis sengketa transfer of technology dari berbagai perjanjian antarnegara, peraturan perundang-undangan dan kasus-kasus. Dari penelitian tersebut, penulis menemukan bahwa sengketa transfer of technology pada umumnya mencakup pelanggaran hak kekayaan intelektual pengalih teknologi dan aspek-aspek lain dalam perdagangan internasional. Kemudian, penulis menemukan bahwa sejatinya instrumen-instrumen hukum perdagangan internasional telah mengakomodasi kepentingan negara berkembang dan negara terbelakang untuk menguasai teknologi yang dapat memajukan perekonomian serta kepentingan negara maju terkait pelindungan hak kekayaan intelektual.

As the world advances to a new era, technology remains at the corner stone of economic development, especially for developing and the least-developed nations, which have yet to possess viable technological base for their industries. To provide access for such technology, transfer of technology from the developed to the developing and least-developed countries is necessary, as it would lead the recipients to a more competitive position in the international trade. This, however, is not without its issues. Transfer of technology often sparks dispute between the parties involved, mainly with respect to their rights and obligations (including, but not limited to, the intellectual property rights of the transferor and competing interests of developing and developed nation). For that reason, the author will thoroughly observe the legal aspects of such disputes from international trade law standpoint. In doing so, the author implements the normative-juridical method, of which the author will analyze those disputes based on treaties, laws and regulations, and case laws. From this observation, the author found that transfer of technology disputes strongly connects with intellectual property issues and other aspects of international trade. Furthermore, the author found that international trade law instruments have sufficiently accommodate the interests of developing and the least-developed nations with respect to technology dissemination, as well as developed countries interest on intellectual property rights protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arimansyah
"Tesis ini menganalisis mengenai Singapore Convention on Mediation yang merupakan solusi bagi beberapa pihak yang tidak memilih penyelesaian sengketa perdagangan internasional melalui mediasi karena tidak memiliki kekuatan legitimasi internasional. Konvensi ini diterbitkan oleh UNCITRAL pada tanggal 7 Agustus 2019 dan secara resmi diberlakukan terhitung tanggal 12 September 2020. Dalam perkembangannya, konvensi ini semakin diminati dalam upaya sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sampai saat ini masih belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan untuk menyelesaikan sengketa secara cepat, sederhana, dan biaya ringan. Mengingat konvensi ini baru saja disepakati dan belum diterapkan secara efektif oleh negara-negara lain, dan untuk itu, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai pertimbangan-pertimbangan Indonesia dalam menentukan sikap keikutsertaan dalam konvensi ini sebagai solusi penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Singapore Convention on Mediation adalah salah satu upaya untuk meningkatkan Ease of Doing Business (EODB) di Indonesia, namun tetap harus mempertimbangkan apakah proses aksesi dibutuhkan oleh negara Indonesia, atau merupakan kepentingan negara lain untuk memudahkan proses eksekusi dari kesepakatan hasil mediasi yang dilakukan di luar negara Indonesia.

This thesis discusses the Singapore Convention on Mediation which is a solution for some parties who do not choose to settle international trade disputes through mediation because they do not have the power of international legitimacy. This convention was published by UNCITRAL on 7 August 2019 and officially entered into force on 12 September 2020. In its development, this convention is increasingly in demand as an alternative to out-of-court dispute resolution which until now has not fully accommodated the need to resolve disputes quickly, simple, and low cost. Considering that this convention has just been agreed upon and has not been effectively implemented by other countries, and for that, this research will discuss Indonesia's considerations in determining its participation in this convention as an effective and efficient dispute resolution solution. The research method used is normative juridical research. The Singapore Convention on Mediation is one of the efforts to increase the Ease of Doing Business (EODB) in Indonesia, but still has to consider whether the accession process is required by the Indonesian state, or is in the interest of other countries to facilitate the execution process of the mediation result agreement conducted outside the Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasya Ardellia Pranandha
"Hak-hak lama atas tanah wajib dilakukan konversi ke dalam sistem hak atas tanah nasional sebagaimana diatur dalam Diktum Kedua Undang-Undang Pokok Agraria dengan tujuan untuk terciptanya unifikasi hukum tanah di Indonesia. Pada realitanya, sampai saat ini masih banyak hak-hak lama yang tidak dikonversi. Tidak adanya kepastian hukum terhadap tanah yang ditempati seringkali menimbulkan sengketa, terutama ketika tanah sudah dikuasai secara fisik oleh pihak lain seperti pada Putusan Nomor 109 Pk/Pdt/2022 antara Keluarga Muller dan PT. Dago Intigraha melawan warga Dago Elos. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji kekuatan bekas Hak Eigendom dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan pemberian hak prioritas kepada subjek hukum yang menguasai tanah bekas Hak Eigendom tersebut. Kajian dilakukan menggunakan metode penulisan yuridis normatif dan didukung oleh hasil wawancara kepada narasumber. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kekuatan eigendom verponding yang dimiliki oleh Keluarga Muller masih berlaku sebagai bukti tertulis untuk mendaftarkan tanah sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, namun tanah yang dilekati eigendom sudah menjadi tanah negara sebagaimana ketentuan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979. Selain itu, penerapan pemberian hak prioritas atas tanah negara bekas Hak Eigendom dalam Putusan Nomor 109 Pk/Pdt/2022 belum tepat karena tidak mempertimbangkan unsur-unsur kriteria pemberian hak prioritas, melainkan hanya mengacu pada bukti akta eigendom verponding saja. Kemudian tidak diuraikan pula apakah akta eigendom memenuhi syarat pembuktian hak lama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dengan demikian, diperlukan penegasan terhadap hak-hak lama yang belum dikonversi karena dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, terutama terhadap tanah yang sudah dikuasai oleh pihak lain yang berbeda dengan pemilik hak lama. Selain itu perlu juga diatur mengenai ketentuan hak prioritas atas tanah secara jelas.

Old land rights must be converted into the national land rights system as stipulated in the Second Dictum of the Basic Agrarian Law with the aim of creating unification of land laws in Indonesia. In fact, until now there are still many old rights that are not restricted. The absence of legal certainty regarding the land occupied often creates disputes, especially when the land is physically controlled by another party, as in Decision Number 109 Pk/Pdt/2022 between the Muller Family and PT. Dago Intigraha against the people of Dago Elos. Therefore, this study examines the strength of the former Eigendom Rights in the laws and regulations in Indonesia and gives priority to rights to legal subjects who control the land of the former Eigendom Rights. The study was carried out using normative juridical writing methods and was supported by the results of interviews with informants. The results of this study found that the power of eigendom verponding owned by the Muller Family is still valid as written evidence for registering land as in Government Regulation Number 24 of 1997, but the land attached to the eigendom is already state land as stipulated in Presidential Decree Number 32 of 1979. In addition, the implementation of granting priority rights to state land of former Eigendom Rights in Decision Number 109 Pk/Pdt/2022 is not completely correct because it does not consider the elements of the criteria for granting priority rights, but only refers to evidence of priority rights eigendom verponding. Then it is also not spelled out whether the eigendom deed fulfills the requirements for proving old rights in Government Regulation Number 24 of 1997. Thus, it is necessary to confirm old rights that have not been released because they can lead to legal injustice, especially to land already controlled by other parties different from the previous owner. In addition, it is also necessary to clearly regulate the provision of priority rights over land.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>