Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128955 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyna Evalina Syahlul
"Latar belakang. Stenosis mitral masih menjadi masalah kesehatan di negara berkembang dengan hipertensi pulmoner sebagai salah satu komplikasinya. Disfungsi endothelium berperan penting pada hipertensi pulmoner dimana terdapat peningkatan produksi mediator vasoaktif. Endotelin-1 merupakan vasokonstriktor yang kuat dan berperan penting dalam hipertensi pulmoner.
Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort pada 32 pasien stenosis mitral bermakna dengan hipertensi pulmoner sedang-berat yang menjalani pembedahan katup mitral di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari bulan April hingga November 2014. Dilakukan analisa statistik untuk mencari hubungan antara kadar endotelin-1 dengan tekanan sistolik arteri pulmoner pasca operasi.
Hasil. Terdapat korelasi antara kadar endotelin-1 pre operasi dengan tekanan sistolik arteri pulmoner pasca operasi (r 0,387 dengan p 0,029). Analisa regresi linear antara kadar endotelin-1 pre operasi dengan tekanan sistolik arteri pulmoner pasca operasi (adjusted analysis sesuai usia, jenis kelamin, hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, atrial fibrilasi dan waktu cross clamp aorta dan penggunaan mesin cardiopulmonay bypass menunjukan nilai koefisien β 11,4 dengan IK 95% 2,9-19,9 dan nilai p 0,011. Analisa regresi linear antara kadar endotelin-1 pasca operasi dengan tekanan sistolik arteri pulmoner pasca operasi (adjusted analysis) menunjukan nilai koefisien β 4,3 dengan IK 95% -5,4-13,9 dan nilai p 0,367. Analisa regresi linear antara perubahan kadar endotelin-1 pre dan pasca operasi dengan tekanan sistolik arteri pulmoner pasca operasi (adjusted analysis) mendapatkan nilai koefisien β 12,5 dengan IK 95% 0,5-24,4 dan p 0,041.
Kesimpulan. Kadar endotelin-1 pre operasi berhubungan dengan tekanan sistolik arteri pulmoner pasca operasi mitral pada pasien mitral stenosis dengan hipertensi pulmoner.

Background. Mitral stenosis is still the major health problem in developing countries with pulmonary hypertension as one of the complications. Endothelial dysfunction play significant role in pulmonary hypertension where the production of vasoactive mediators increase. Endothelin-1 is a very strong vasoconstrictor which play role in pulmonary hypertension.
Methods. A cohort study in 32 patients with significant mitral stenosis complicated with moderate-severe pulmonary hypertension who underwent mitral valve surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita from April to November 2014. Statistical analysis is done to explore the correlation between endothelin-1 level and systolic pulmonary arterial pressure post surgery.
Results. There was correlation between endothelin-1 pre surgery with systolic pulmonary arterypressure after surgery (r 0,387 and p value 0,029). Linear regression analysis of the endothelin-1 level pre surgery with systolic pulmonary artery pressure post surgery (adjusted analysis to age, sex, hypertension, diabetes mellitus, dyslipidemia atrial fibrillation, aortic cross clamp time and cardio-pulmonary bypass time) with β coefficient 11,4 with 95% confidence interval 2,9-19,9 and p 0,011. Linear regression analysis between endothelin-1 level post surgery with systolic pulmonary artery pressure (adjusted analysis) showed β coefficient 4,3 with 95% confidence interval -5,4-13,9 and p 0,367. Linear regression analysis between the difference of endothelin-1 level post and pre surgery and systolic pulmonary artery pressure post surgery (adjusted analysis) showed β coefficient 4,3 with 95% confidence interval 0,5-24,4 and p 0,041.
Conclusion. Endothelin-1 level pre surgery is correlated with systolic pulmonary artery pressure post mitral valve surgery in mitral stenosis patients with pulmonary hypertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Hilal Nurdin
"Latar belakang. Hipertensi pulmonal merupakan salah satu komplikasi jangka panjang pada stenosis mitral, dan meningkatkan morbiditas serta mortalitas. Peningkatan resistensi vaskular paru terjadi pada fase reaktif hipertensi pulmonal akibat stenosis mitral. Pada hipertensi pulmonal terjadi gangguan keseimbangan sistem otonom, yang berpengaruh pada perubahan laju jantung saat uji latih. Laju jantung pemulihan dihitung dari selisih laju jantung maksimal saat uji latih dengan laju jantung menit pertama fase pemulihan dipengaruhi oleh reaktivasi sistem parasimpatis saat akhir latihan, dan merupakan prediktor mortalitas jangka panjang.
Metode. Penelitian ini dilakukan pada 20 pasien stenosis mitral bermakna dengan hipertensi pulmonal yang menjalani pembedahan katup mitral di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari bulan Agustus hingga November 2014. Dilakukan pengukuran resistensi vaskular paru sebelum operasi dan sebelum pasien dipulangkan. Laju jantung pemulihan diambil dari uji treadmil pada akhir program rehabilitasi kardiak fase 2. Dilakukan analisa statistik untuk mencari hubungan antara resistensi vaskular paru dengan laju jantung pemulihan saat latihan pasca operasi katup mitral.
Hasil. Laju jantung pemulihan yang diukur pada menit pertama fase pemulihan uji treadmill adalah 11,5 + 5,9 kali per menit, dan perubahan resistensi vaskular paru pre dan paska operasi sebesar 1,55 + 2,1 WU. Laju jantung pemulihan menit pertama memiliki korelasi sedang dengan perubahan resistensi vaskular paru (r 0,537; p 0,015) . Analisa regresi linier laju jantung pemulihan menit pertama dengan perubahan resistensi vaskular paru pre dan paska operasi mendapatkan nilai koefisien β 1,52 dengan IK 95% 0,338-2,706 dengan nilai p 0,015. Analisa bivariat menyimpulkan bahwa digoxin merupakan variabel perancu (p 0,048). Analisa regresi linier antara perubahanresistensi vaskular paru pasca operasidengan laju jantung pemulihan menit pertama(adjusted analysis sesuai variable perancu)menunjukkan nilai koefisien β 1,244 dengan IK 95% 0,032-2,457 dengan nilai p 0,045.
Kesimpulan. Perubahan resistensi vaskular paru pada pasien stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal yang menjalani pembedahan berhubungan dengan laju jantung pemulihan menit pertama saat uji latih jantung.

Background. Pulmonary hypertension is one of the long-term complication of mitral stenosis, resulting increase of morbidity and mortality. Pulmonary vascular resistance (PVR) is increase in reactive phase of pulmonary hypertension due to mitral stenosis. There is impaired autonom regulation following pulmonary hypertension, affecting heart rate changes during exercise test. Heart rate recovery (HRR) is defined as the difference between heart rate at peak exercise and 1 minute of recovery phase. It is affected by reactivation of parasympathetic system after cessation of exercise, and has been known as a long-term mortality predictor.
Method. A study of 20 patients with significant mitral stenosis with pulmonary hypertension who underwent mitral valve surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita was done from August to November 2014. PVR data from echocardiography was measured before surgery and before the patients were discharged. HRR data was taken from the treadmill test at the end of phase 2 cardiac rehabilitation program. Statistical analysis is done to explore the correlation between pulmonary vascular resistance and heart rate recovery after exercise test.
Result. Mean heart rate recovery after exercise test is 11,5 + 5,9 beat perminute, and changes of pulmonary vascular resistance after surgery is 1,55+2,1 WU. There was a correlation between change of PVR and heart rate recovery (r 0,537; p 0,015). Linear regression analysis of the change of PVR and heart rate recovery (unadjusted analysis) showed β coefficient 1,52 with 95% confidence interval 0,338-2,706 and p 0,015. Adjusted analysis to confounding variabel showed β coefficient 1,244 with 95% CI 0,032-2,457 and p 0,045.
Conclusion. Changes of pulmonary vascular resistance after mitral valve surgery in mitral stenosis pastient is positively correlated with heart rate recovery during exercise test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Suryaatmaja
"Latar Belakang : Hipertensi pulmoner (HP) merupakan faktor independen kematian, kematian kardiovaskular, dan gagal jantung pada pengamatan 4 tahun pasien pascabedah katup mitral. Masalah pasien pascabedah thoraks adalah menurunnya fisiologi dan mekanik paru yang menyebabkan gangguan ventilasi perfusi dan hypoxia induced pulmonary vasoconstriction sehingga perbaikan HP pascabedah menjadi lambat.
Tujuan Penelitian : Menilai efek latihan pernapasan sebagai adjuvan latihan fisik yang terstruktur terhadap penurunan tekanan sistolik arteri pulmoner (TSAP) pada pasien pascabedah katup mitral dengan hipertensi pulmoner.
Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda dan prospektif. Kelompok perlakuan diberikan latihan pernapasan 50% volume inspirasi maksimal (VIM) sebagai adjuvan latihan fisik atau plasebo pada kelompok kontrol selama rehabilitasi fase 2. Sampel diambil secara konsekutif dari populasi terjangkau pascaoperasi katup mitral yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 43 subyek yang terbagi dalam 2 kelompok yakni 21 orang kelompok perlakuan dan 22 orang kelompok kontrol. TSAP dinilai dengan ekokardiografi sebelum dan sesudah program latihan.
Hasil Penelitian : Didapatkan nilai TSAP sesudah latihan pada kelompok kontrol lebih rendah secara signifikan (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg;P<0.001) dan ∆TSAP kelompok perlakuan lebih besar secara signifikan (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg;P<0.001) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kesimpulan : Terdapat penurunan TSAP yang lebih besar pada kelompok yang mendapatkan latihan pernapasan 50% VIM dibanding kelompok plasebo.

Background: Pulmonary hypertension is an independent factor for mortality, cardiovascular mortality, and heart failure in four years observation of patients underwent mitral valve operation. In patient with open chest surgery, lung physiology and mechanic function deteriorates. This leads to ventilation perfusion mismatch and hypoxia induced pulmonary vasoconstriction, causing problems in recovery post operatively.
Objectives: To study the effect of respiratory training as an adjuvant to structured physical exercise in the decrease of pulmonary artery systolic pressure in patient with pulmonary hypertension post mitral valve surgery.
Methods: a double blind randomized trial was done, dividing 2 groups of subjects. It company the effect of respiratory training of 50% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant intervention to the current phase 2 rehabilitation program in intervention group vs control group. Sample was taken consecutively in patient underwent mitral valve operation and fulfilled inclusion criteria. 43 subjects were divided in 2 groups. 21 patients were given respiratory training and 22 patients were in the placebo group. Systolic pulmonary artery pressure (sPAP) was measured by echocardiography before and after intervention was performed.
Result: sPAP and ∆sPAP in the intervention group were significantly lower compare to the placebo group; (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg; p<0.001) and (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg; p<0.001).
Conclusion: The decrease of sPAP was found to be significantly higher in the intervention group than placebo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Vanissa
"Menurut data World Health Organization (WHO) hipertensi merupakan penyebab dari 75 juta kematian yang merupakan 12,8% dari seluruh kematian di dunia. Hipertensi merupakan penyakit yang multifaktorial, yang disebabkan oleh berbagai faktor yang salah satunya adalah kadar kolesterol atau lebih spesifiknya kadar low density lipid (LDL). Penurunan dari kadar LDL telah menjadi salah satu tatalaksana yang penting pada hipertensi. Maka dari itu peneliti melakukan penelitian ini untuk mengetahui signifikansi dari kadar LDL terhadap kendali tekanan darah pada pasien hipertensi. Penelitian dilakukan dengan metode cross sectional menggunakan data sekunder dari rekam medis poliklinik Ginjal dan Hipertensi IPD RSCM. Setelah data terkumpul dilakukan analisis menggunakan uji hipotesis chi square.
Pada penelitian ini sampel penelitian sebanyak 117 orang, 55 orang laki-laki dan 53 orang perempuan. Kelompok usia dengan prevalensi hipertensi terbanyak adalah usia 60-79 tahun. Pada penelitian ditemukan perbedaan proporsi antara pasien dengan kadar LDL yang tinggi pada hipertensi tidak terkendali sebesar 43,8% dan hipertensi terkendali sebesar 20,3%.
Berdasarkan uji hipotesis didapatkan hasil variabel kadar LDL dengan nilai p=0,006, rasio prevalensi 2,156 dan interval kepercayaan (CI) 95% 1,223-3,802. Dari hasil ini disimpulkan bahwa terdapat hubungan kadar LDL yang bermakna secara statistik terhadap kendali tekanan darah dan kadar LDL merupakan faktor risiko dari kendali tekanan darah.

Based on the data from World Health Organization (WHO) hypertension is the cause of more than 75 million deaths or 12,8% of overall death in the world. Hypertension is a multifactorial disease causes by many risk factors, and one of them is low-density lipid (LDL) level. One of the focuses of hypertension management nowadays is to reduce the lowdensity lipid (LDL) level. This what makes researcher to do this research, to know the significance of low-density level to hypertension. This research was done with cross sectional method using secondary data from medical record in Cipto Mangunkusumo hospital. After the researchers collected all the data, we analyze the hypothesis using chi square test.
In this research, there were 117 samples, which 55 of them are male and 53 of them are female. The highest prevalence of hypertension was found in patients aged 60-79 years old. We also found proportion differences in patients with high low-density lipid level, in uncontrolled hypertension the percentage is 43,8% and in controlled hypertension the percentage is 20,3%.
The result of this test is that the low-density level is statistically connected with blood pressure control, since the p is 0,593, and is a risk factor of hypertension since the prevalence ratio is 2,156 and the confidence interval is 1,223-3,802.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Putra Swi Antara
"Latar Belakang. Hipertensi merupakan faktor utama penyebab gagal jantung yang saat ini sudah menjadi pandemi dunia, terutama dalam bentuk gagal jantung dengan preservasi fraksi ejeksi ventrikel. Kontrol terhadap hipertensi secara tradisional dilakukan berdasarkan pemeriksaan rutin ke fasilitas kesehatan yang diikuti dengan pengaturan terapi yang diberikan. Saat ini pengukuran tekanan darah rumah ditempatkan sebagai pemeriksaan tambahan yang dapat memberikan informasi tambahan mengenai kontrol tekanan darah sehingga mencegah terjadinya kerusakan target organ. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara nilai pengukuran tekanan darah rumah dengan derajat disfungsi diastolik sebagai indikator kerusakan target organ.
Metode. Studi potong lintang yang dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UI / RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada kelompok pasien hipertensi dari poliklinik rawat jalan yang telah mendapatkan terapi rutin. Pengukuran tekanan darah rumah dilakukan dengan alat yang terstandarisasi. Pemeriksaan ekokardiografi lengkap terhadap parameter diastolik dilakukan dan dikelompokkan berdasarkan derajat disfungsi diastoliknya.
Hasil. Sebanyak 56 pasien ikut dianalisa dalam penelitian ini, dengan rerata umur subyek adalah 51,2 + 7,2 thn dan sebagian besar wanita (58,9%). Didapatkan disfungsi diastolik derajat I pada 11 subyek (19,6%), derajat II pada 19 subyek (33,9%). Parameter fungsi diastolik E/A memiliki hubungan linear yang paling signifikan terhadap TD Rumah sistolik setelah dikontrol terhadap usia, jenis kelamin, IMT, dan DM (R2=0,27;p<0,01). Uji ANOVA menemukan perbedaan rerata TD Rumah Sistolik yang signifikan antara fungsi diastolik normal dan disfungsi diastolik derajat 2 (p=0,02). Uji regresi logistik menemukan perbedaan yang signifikan antara TD Rumah sistolik <127 mmHg dengan TD >135 dengan OR 12,68 (IK 2.03-79.08;p<0.01).
Kesimpulan. Pengukuran TD Rumah Sistolik memiliki hubungan signifikan terhadap derajat disfungsi diastolik. Gangguan parameter fungsi diastolik dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih rendah daripada target yang umum digunakan saat ini.

Background. Hypertension the main factor leading to heart failure which has become a world pandemic, especially in the form of heart failure with preserved ejection fraction. Traditional control for hypertension comprise of regular outpatient clinic visits followed by adjustment of the drug regimen. Recently, home blood pressure monitoring has been been accepted as an additional tool to provide more information on blood pressure control and prevent target organ damage. This study aim to evaluate the relationship between home blood pressure measurement with the degree of diastolic dysfunction as an indicator of target organ damage.
Methods. A cross-sectional study performed at Cardiology and Vascular Medicine Department FK UI / National Cardiac Centre Harapan Kita, Jakarta, on a group of hypertensive patients in the outpatient clinic currently receiving active treatment. Home blood pressure measurement are performed with a standarized device. Full echocardiography study on diastolic function parameters are performed and grouped based on the diastolic dysfunction grade criteria.
Result. Fifty six patients are enrolled in this study with average age of 51,2 + 7,2 y.o. which are mostly women (58,9%). Grade I diastolic dysfunction was found in 11 subjects (19,6%), Grade II on 19 subjects (33,9%). One parameter of diastolic dysfunction, E/A ratio, have the strongest linear correlation with systolic HBP after adjusted for age, sex, BMI, and DM (R2=0,27;p<0.01). ANOVA test found a significant difference on mean of systolic HBPM between normal and grade II diastolic dysfunction (p=0.02). Logistic regression test showed significant difference between <127 and >135 mmHg of systolic HBPM with OR 12,68 (CI 2.03-79.08;p<0.01).
Conclusion. Systolic HBPM have a significant relationship to the degree of diastolic dysfunction. A worsening of diastolic function parameter can occur on a level of blood pressure lower then the target level commonly used today.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jeane Andini
"Hipertensi merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Dari Riskesdas tahun 2007 dilaporkan prevalensi penduduk Indonesia usia di atas 18 tahun yang menderita hipertensi mencapai 31,7%. Hipertensi seringkali disertai perubahan-perubahan metabolik, salah satunya dislipidemia.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hubungan kadar High Density Lipoprotein (HDL) terhadap kendali tekanan darah pada pasien hipertensi. Penelitian dilaksanakan dengan metode cross sectional menggunakan data sekunder dari 117 rekam medis pasien hipertensi poliklinik penyakit dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Uji hipotesis dilakukan menggunakan uji Chi-square.
Dari hasil penelitian didapatkan jumlah pasien hipertensi tidak terkendali sebanyak 48 pasien (41%). Jumlah pasien hipertensi tidak terkendali dengan kadar HDL rendah sebanyak 11 pasien (61,1%), sedangkan jumlah pasien hipertensi terkendali dengan kadar HDL rendah sebanyak 7 pasien (38,9%).
Dari penelitian ini didapatkan proporsi pasien hipertensi tidak terkendali dengan kadar HDL rendah secara signifikan lebih besar dibandingkan pasien hipertensi terkendali dengan kadar HDL rendah, namun nilai p=0,060 (p>0,05) yang didapatkan menyimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara kadar HDL terhadap kendali tekanan darah pada pasien hipertensi poliklinik penyakit dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Hypertension is a major public health problem in Indonesia. Riskesdas 2007 reported the prevalence of Indonesia's population aged over 18 years who suffering hypertension achieve 31.7%. Hypertension is often accompanied by metabolic changes, one of them is dyslipidemia.
This study aims to prove the association of High Density Lipoprotein (HDL) level to blood pressure control in hypertensive patients. Research is carried out by cross sectional method using secondary data from 117 medical records of hypertensive patients at internal medicine clinic Cipto Mangunkusumo general hospital. Hypothesis testing is done using the Chi-square test.
From the results, the number of uncontrolled hypertensive patients were 48 patients (41%). The number of uncontrolled hypertensive patients with low HDL level were 11 patients (61.1%), while the number of controlled hypertensive patients with low HDL level were 7 patients (38.9%).
From this study, the proportion of uncontrolled hypertensive patients with low HDL level is significantly greater than controlled hypertensive patients with low HDL level, but the value of p = 0.060 (p> 0.05) were obtained concluded that no statistically significant relationship between the level of HDL to blood pressure control in hypertesive patients at internal medicine clinic Cipto Mangunkusumo general hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aravinda Pravita Ichsantiarini
"Hipertensi sebagai penyebab kematian terbanyak di dunia seringkali disertai beberapa penyakit lain, di antaranya ialah diabetes melitus (DM) tipe 2. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan DM tipe 2 berpengaruh terhadap ketidakterkendalian tekanan darah pada pasien hipertensi, meningkatkan komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara keduanyasehingga membantu dalam pencegahan, penatalaksanaan, serta deteksi dini komplikasi hipertensi. Penelitian yang dilakukan menggunakan menggunakan data sekunder dari rekam medik Poliklinik Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Ciptomangunkusumo pada tahun 2013 dengan metode cross sectional. Melalui consecutive sampling didapatkan 117 jumlah sampel, diperoleh karakteristik berupa usia, jenis kelamin, kendali hipertensi, dan keberadaan diabetes melitus (DM) tipe 2. Didapatkan proporsi penderita DM tipe 2 pada pasien hipertensi ialah 30,8% dengan proporsi hipertensi tidak terkendali lebih tinggi (58,3%) dibandingkan proporsi hipertensi terkendali (41,7%). Sementara itu, pada pasien tanpa DM tipe 2, proporsi hipertensi tak terkendali (33,3%) lebih rendah dibandingkan proporsi hipertensi terkendali (66,7%) (p= 0,011; RP= 1,750; dan 95% CI= 1,157 ? 2,646). Dapat disimpulkan bahwa DM tipe 2 merupakan faktor risiko tekanan darah yang tidak terkendali pada pasien hipertensi.

Hypertension as a major health problem causing death in the world is often accompanied by several other diseases, including type 2 diabetes mellitus (DM). Several previous studies indicated that type 2 DM strongly correlated with uncontrolled hypertension, increased cardiovascular and cerebrovascular complications. Therefore, this study was conducted to determine the relation between them, so that help in the prevention, management, and early detection of complications of hypertension. Research conducted using secondary data from medical records of Kidney Hypertension Polyclinic, Internal Medicine Department of Ciptomangunkusumo Hospital in 2013 with a cross sectional method. Through consecutive sampling 117 the number of samples obtained, acquired the characteristics of age, gender, blood pressure control, and the presence of type 2 DM. Analyzed using SPSS 20.0 obtained the proportion of patients with type 2 DM in hypertensive patients was 30.8% with the proportion of higher uncontrolled hypertension (58.3%) compared to the proportion of uncontrolled hypertension (41.7%). Meanwhile, in patients without type 2 DM, the proportion of uncontrolled hypertension (33.3%) was lower than the proportion of uncontrolled hypertension (66.7%) (p = 0.011; RP = 1.750, and 95% CI = 1.157 to 2.646). It can be concluded that type 2 DM is a risk factor for uncontrolled blood pressure in hypertensive patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Wiryawan
"Latar Belakang. Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan dunia dan merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular yang berhubungan dengan proses aterosklerosis dan aterotrombosis. Pengukuran tekanan darah di klinik atau rumah sakit saat ini masih dianggap sebagai metode referensi dalam mendiagnosis dan evaluasi pasien hipertensi, tetapi disebabkan adanya fenomena white-coat terlihat semakin jelas informasi yang diberikan seringkali tidak adekuat tentang status tekanan darah pasien yang sebenarnya. Hipertensi sendiri dikaitkan dengan kerusakan target organ dan salah satu diantaranya ke organ pembuluh darah. Pemeriksaan ketebalan tunika intima media arteri karotis dimaksudkan untuk melihat kerusakan yang terjadi akibat efek fenomena white-coat pada pembuluh darah yang mencerminkan terjadinya proses aterosklerosis dini.
Tujuan dari penelitian ini adalah menilai hubungan antara kejadian fenomena white-coat pada pasien hipertensi dalam pengobatan dengan ketebalan tunika intima media arteri karotis.
Metode. Studi potong lintang dengan pengambilan pasien hipertensi dalam pengobatan secara konsekutif, mulai bulan Januari - Mei 2014 di poli rawat jalan RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta. Pasien menjalani pemeriksaan OBP saat kontrol dan HBP dilakukan selama 4 hari berturut-turut dengan memakai alat tensimeter osilometri yang tervalidasi. Pemeriksaan ketebalan tunika intima media arteri karotis dilakukan pada semua pasien yang masuk dalam kriteria inklusi untuk mendapatkan nilai rerata ketebalan kompleks tunika intima.
Hasil. Didapatkan 219 subyek penelitian yang masuk kriteria inklusi. Uji statistik Mann Whitney digunakan untuk mengetahui hubungan pasien hipertensi yang mengalami fenomena white-coat dengan ketebalan tunika intima media arteri karotis. Hasil yang didapat, tidak terdapat perbedaan rerata yang bermakna secara statistik ketebalan tunika intima media arteri karotis antara pasien hipertensi yang mengalami fenomena white-coat dan yang tidak (A. Karotis kanan 0,7 ± 0,5 vs 0,8 ± 0,4 mm, nilai p = 0,153 ; A. Karotis kiri 0,8 ± 0,4 vs 0,7 ± 0,4 mm, nilai p = 0,900 ; A. Karotis kanan dan kiri 0,7 ± 0,4 vs 0,8 ± 0,3 mm, nilai p = 0,260). Dari hasil uji bivariat terhadap seluruh faktor perancu didapatkan variabel obat antihipertensi golongan enzym penyekat angiotensin dan usia terbukti sebagai perancu dalam penilaian hubungan antara fenomena white-coat dengan rerata ketebalan tunika intima media arteri karotis.
Kesimpulan. Penelian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata yang bermakna secara statistik ketebalan tunika intima media arteri karotis antara pasien hipertensi yang mengalami fenomena white-coat dan yang tidak.

Background. Hypertension is one of the most important public health problems worldwide and a major risk factor for all forms of atherosclerotic and atherothrombotic CVD. Office blood pressure monitoring nowadays still considered as a method of reference for diagnosing an evaluating hypertensive patients, but due to white coat phenomenon, the information for the real blood pressure status is unclear. Hypertension itself was related to target organ damage and one of them is vascular damage related to atherosclerosis. Evaluation of carotid intima media thickness can represent early atherosclerotic process that happened in organ vascular caused by white-coat phenomenon.
Our objective was to analyze the relationship between white-coat phenomenon in hypertensive patients with carotid intima media thickness.
Method. This is a cross sectional, consecutive study. Data was collected from January ? May 2014 in National Cardiac Centre Harapan Kita Hospital Outpatient clinic. Office Blood pressure was measured when patients controlled to the clinic and HBP was measured for 4 consecutive days with the same validated electronic device. B-mode ultrasound of carotid arteries was performed to measured mean of carotid intima media thickness.
Results. Two hundred and nineteen hypertensive patients on therapy were enrolled in this study. Mann Whitney statistic test was used to determine the relationship of independent variables in hypertensive patients with white-coat phenomenon with carotid intima media thickness and found that there is no significant difference between hypertensive patients with white-coat phenomenon and no white-coat phenomenon with mean carotid intima media thickness (Right Carotid artery 0.7 ± 0.5 vs 0.8 ± 0.4 mm, p value = 0.153 ; Left Carotid Artery 0.8 ± 0.4 vs 0.7 ± 0.4 mm, p value 0.900 ; Right and left Carotid Artery 0.7 ± 0.4 vs 0.8 ± 0.3 mm, p value 0.260). From bivariate analysis results, obtained on all confounding variables, ACE-inhibitor and age proved as confounding in the assessment of the relationship between hypertensive patients with white-coat phenomenon and mean carotid intima media thickness.
Conclusions. This study showed that there is no significant difference of mean carotid intima media thickness in hypertensive patients with white-coat and no white-coat phenomenon.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktorilla Fiskasianita
"Tidur yang cukup merupakan kebutuhan dasar yang sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan fungsi kardiovaskular. Penelitan ini merupakan penelitian descriptive correlative dengan desain studi cross sectional yang bertujuan mengidentifikasi hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan darah pada pasien hipertensi. Penelitian dilakukan di Puskesmas Beji-Depok terhadap 97 pasien hipertensi rawat jalan yang dipilih dengan teknik consecutive sampling. Kualitas tidur diukur menggunakan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), sedangkan tekanan darah diukur menggunakan sphygmomanometer digital.
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden yaitu sebanyak 87 orang (89,7 %) memiliki kualitas tidur buruk (PSQI ≥ 5), sedangkan hanya 10 orang (10,3 %) memiliki kualitas tidur baik (PSQI ≤ 5). Rata-rata tekanan darah responden secara keseluruhan 145,19/86,15 mmHg. Hasil analisis uji T independent menunjukan secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara kualitas tidur dengan tekanan darah. Namun, secara klinis hasil analisis data menunjukkan responden yang memiliki kualitas tidur buruk memiliki tekanan darah lebih tinggi daripada responden yang memiliki kualitas tidur baik dengan mean differece sistolik sebesar 6,228 mmHg dan mean difference diastolik 4,409 mmHg.

Adequate sleep is a basic need which is important to maintain cardiovascular system function. It is a descriptive correlative study using cross sectional approach which aims to identify the relationship between sleep quality and blood pressure on hypertensive patient. The research was conducted in Public Health Center of Beji-Depok towards 97 participants recruited using consecutive sample method. Sleep quality is measured using Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) and blood pressure is measured using digital sphygmomanometer.
The result shows that 83 participants (89.7 %) have poor sleep quality (PSQI ≥ 5) while only 10 partcipants (10.3 %) have good sleep quality (PSQI ≤ 5). The average blood pressure of all participants is 145.19/86.15 mmHg. Statistical analysis using T independent test shows there is no significant relationship between sleep quality and blood pressure. However, in clinical basis the result shows a significant difference. Clinically speaking, participants with poor sleep quality indicates higher blood pressure compare to those with better sleep quality with systolic mean difference of 6.228 mmHg and diastolic mean difference of 4.409 mmHg.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S47215
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Canina Harlyjoy
"Hipertensi, salah satu contoh penyakit degeneratif, patut diwaspadai di Indonesia karena adanya transisi epidemiologis penyebab kematian utama, yakni dari penyakit infeksi menjadi degeneratif. Hipertensi memiliki berbagai akibat yang membahayakan, salah satunya adalah peningkatan leptin yang nantinya dapat memengaruhi pulsasi GnRH. Ketika pulsasi GnRH terganggu, maka dapat memengaruhi sekresi Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang apabila terganggu, dapat menyebabkan gangguan menstruasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan kadar FSH berdasarkan hipertensi pada perempuan usia subur, terutama pada perempuan dengan gangguan menstruasi.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional analitik dengan melibatkan 75 perempuan usia subur (15-45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian 'Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik'. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Windows versi 17.0 dengan menggunakan analisis bivariat uji T-Independen. Variabel bebas yang diuji adalah usia, aktivitas fisik, status gizi, gejala mental emosional, status hipertensi, serta status SOPK.
Berdasarkan analisis, didapatkan bahwa kadar FSH pada perempuan dengan hipertensi memiliki median yang lebih rendah (3,50: 1,70 - 4,80) dibandingkan dengan perempuan tanpa hipertensi (4,90: 1,20 - 33,40). Secara statistik, perbedaan tersebut bermakna dengan p = 0,025. Sementara, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar FSH pada usia, aktivitas fisik, status gizi, gejala mental emosional, serta status SOPK perempuan dengan gangguan menstruasi. Dapat disimpulkan bahwa terdapat peran hipertensi dalam perbedaan kadar FSH pada perempuan dengan gangguan menstruasi.

Hypertension, as one of the degenerative disease, should be one of the main issue in Indonesia because of the epidemiologic transition of the main cause of death, which is from infection diseases to degenerative diseases. Hypertension could lead to many dangerous complications. One of which is increased level of plasma leptin. Increased level of plasma leptin could disturb the GnRH pulsatility. When the pulsatility of GnRH is disturbed, it could influence the secretion of Follicle Stimulating Hormone (FSH), which when disturbed could lead into an abnormal menstrual cycle.
This analytical cross-sectional study was conducted to compare the FSH level in abnormal cycling reproductive women according to their hypertension status, using secondary laboratory and SCL-90 questionnaire data from the 'Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik' research that was conducted since year 2009 to 2011. In this study, 75 samples were used and analyzed with SPSS for Windows 17.0 version program using the bivariate T-independent analysis. Independent variables in this study included age, physical activity, nutritional status, mental and emotional symptoms, hypertension status, and PCOS status.
The analysis showed that FSH levels in hypertensive women is lower (3,50: 1,70 - 4,80) than non-hypertensive women (4,90: 1,20 - 33,40) with a statistically significant difference (p = 0,025). However, other variables such as age, physical activity, nutritional status, mental and emotional symptoms, and PCOS status did not have significant different FSH levels. It can be concluded that hypertension could be associated with FSH level in abnormal cycling women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>