Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163078 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lerivia Maharani
"ABSTRAK
Pada remaja, Psychotic-like experience memiliki asosiasi dengan internalizing
problems. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan Psychotic-like
experience dengan internalizing problems. Metode penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan alat ukur Strength and Difficulties Questionnaire
(SDQ) untuk mengukur internalizing problems. Psychotic-like Experiences (PLE)
digunakan untuk mengukur kecenderungan psikotik. Partisipan penelitian ini
adalah remaja berusia 11-16 tahun yang tinggal di daerah rural di Karawang, Jawa
Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara Psychotic-like experience dengan internalizing problems.
Sebanyak 7% partisipan (n= 270) memiliki Psychotic-like experience. Penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui faktor yang berkontribusi terhadap
Psychotic-like experience.

ABSTRACT
Psychotic-like experiences have been found to have association with
internalizing problems among adolescents. This research aim to investigate the
correlation between psychotic-like experiences with internalizing problems.
The Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) was used to examine
internalizing problems. Psychotic-like Experiences (PLE) was used to examine
psychotic tendencies. A total 270 adolescents (aged between 11-16 years old)
who lives in rural area in Karawang participated in this research. In our study,
7% participants reported having more than two symptoms of PLE. The result
showed that there is no significant correlation between psychotic-like
experiences with internalizing problems. Further investigation are needed to
examine which factor that give contribution to PLE.
"
2016
S63089
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vitriyanti
"Latar Belakang: simtom psikotik tidak hanya ditemukan pada populasi klinis, tetapi juga pada populasi non-klinis. Simtom psikotik yang muncul pada remaja dapat berkembang menjadi berbagai macam gangguan mental di masa mendatang dan diketahui sebagai faktor risiko berbagai gangguan mental. Orang yang menunjukkan minimal satu simtom psikotik namun tidak memenuhi kriteria untuk ditegakkan diagnosa mengalami psikotik dikategorikan sebagai psychotic like experience (PLE). Penelitian sebelumnya menemukan prevalensi PLE pada remaja anak buruh migran sebesar 78.3%-81.9% sedangkan pada populasi umum sekitar 7-8%. Intervesi dini pada remaja yang menunjukkan simtom PLE dianggap menguntungkan untuk mencegah PLE berkembang menjadi gangguan mental. Dialectical Behavior Therapy (DBT) diketahui efektif membantu mengatasi kekambuhan pada skizofrenia yang memiliki simtom yang mirip dengan PLE sehingga DBT juga diprediksi efektif menurunkan simtom PLE.
Tujuan: menguji penerapan DBT untuk memurunkan simtom PLE pada remaja anak buruh migran di Karawang.
Metode: partisipan pada penelitian merupakan murid SMP di Karawang dengan rentang usia 14 sampai 16 tahun dan merupakan anak buruh migran. Desain penelitian ini adalah repeating treatments within subject. Intervensi terdiri dari satu sesi individu untuk wawancara awal dan 6 sesi kelompok untuk meningkatkan skill behavioral. Skill mindfulness merupakan skill utama yang diajarkan sepanjang latihan skill distress tolerance, regulasi emosi, dan relationship effectiveness. Pengukuran dilakukan degan menggunakan alat skrining PLEs dan SGABS.
Hasil: Peserta menunjukkan penurunan skor pada alat skrining PLEs dan SGABS setelah dilakukan intervensi DBT. Hasil kualitatif menunjukkan peserta mendapatkan manfaat setelah mengikuti kegiatan intervensi. Peserta memiliki skill baru yang efektif dan bermanfaat untuk menghadapi masalahnya.
Kesimpulan: penerapan DBT membantu remaja anak buruh migran dalam mengatasi PLE.

Background: psychotic symptoms have been found in a wide range of population, not only among clinical population but also among non-clinical population. Psychotic symptoms on adolescents could lead to several serious mental illnesses in the future and is attributable as a risk factor to numerous forms of mental illnesses. People who shows minimum one psychotic symptom but do not meet criteria for clinical diagnosis are categorized as having psychotic like experience (PLE). Previous studies revealed that the prevalence of PLEs among left-behind early adolescents was around 78.3 % - 81.9 %, while the prevalence of PLEs among non-left behind children was around 7-8%. Early intervention program for adolescents exhibiting PLE symptoms will be beneficial prevent PLE develop into disorder. Dialectical Behavior Therapy (DBT) has been identified as an effective treatment to prevent relapse on schizophrenia which has similar symptoms with PLE. Hence, it is reasonable to expect that DBT would also be effective to reduce symptoms of PLEs.
Objective: examine the implementation of DBT in managing PLE.
Methods: the participants of this study were junior high school student age between 14 to 16 years old and having status as left-behind early adolescents. This study was a repeating treatments within subject. This intervention was contains of one individual session in initial interview and six group sessions of behavioral enhancement which was mindfulness as a core skill that also learn through skill for distress tolerance, skill for regulation emotion, and skill of relationship effectiveness. The PLEs screening tool and SGABS screening tool were administered to measure the outcomes.
Results: participants showed a decrease on PLEs score and SGABS score after undergoing the DBT intervention. Qualitative inquiries suggest that participants get benefit from participating in the intervention program. Participant gain a new skill that effective and useful to dealing with the problems.
Conclusion: the implementation DBT help left-behind early adolescents in managing PLE.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T51920
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Komang Bara Wedaloka
"Penelitian ini membahas peran resiliensi keluarga dan identitas etnis terhadap internalizing problems pada remaja dan dewasa awal di Provinsi Bali. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Penelitian ini menggunakan Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) untuk mengukur internalizing problems, Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) untuk mengukur resiliensi keluarga, dan Revised Multigroup Ethnic Identity Measure (R-MEIM) untuk mengukur identitas etnis. Ketiga alat ukur tersebut diberikan kepada partisipan dalam bentuk kuesioner daring. Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja dan dewasa awal yang berdomisili di Provinsi Bali. Jumlah keseluruhan partisipan adalah 305 partisipan dengan detil 181 remaja dan 124 dewasa awal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal internalizing problems antara remaja dan dewasa awal di Provinsi Bali. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa resiliensi keluarga dan identitas etnis secara bersama-sama memprediksi internalizing problems, baik pada masyarakat di Provinsi Bali secara keseluruhan, kelompok usia remaja, maupun kelompok usia dewasa awal.

This research discusses the role of family resilience and ethnic identity in internalizing problems among adolescents and early adults in the Bali Province. This research is a quantitative study with a correlational design. This study uses Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) to measure internalizing problems, Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) to measure family resilience, and Revised Multigroup Ethnic Identity Measure (R-MEIM) to measure ethnic identity. The three measuring instruments are given to participants in the form of an online questionnaire. Participants in this study were adolescents and early adults who live in the Bali Province. The total number of participants was 305 participants with details of 181 adolescents and 124 early adults. The results showed that there were significant differences in terms of internalizing problems between adolescents and early adults in the Bali Province. In addition, the results of the study also showed that family resilience and ethnic identity together predict internalizing problems, both among people in Bali Province as a whole, in the adolescent age group, and in the early adult age group."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Novembrina Dewi Embun Pramana
"Remaja rentan mengalami internalizing problems. Penelitian bertujuan untuk melihat interaksi faktor lingkungan dalam memprediksi internalizing problems pada remaja di masa pandemi. Penelitian merupakan studi skala nasional yang melibatkan 9.567 siswa SMA/sederajat di berbagai provinsi di Indonesia (M­ = 16.37, SD = 1.02). Hasil analisis multiple linear regression menunjukkan jenis kelamin, faktor keluarga, faktor sosial, dan faktor ekonomi dapat memprediksi internalizing problems secara signifikan (F(8,9588) = 83,683, p < .05, R2= .065), dengan jenis kelamin dan interaksi dengan teman sebagai kontributor.

Adolescents are prone to internalizing problems. This study aims to investigate how environmental factor predicts internalizing problems among adolescents during the pandemic. This is a national scale study involving 9.567 high school/vocational students from several provinces in Indonesia (M­ = 16.37, SD = 1.02). Multiple linear regression analysis indicated that gender, family factor, social factor, and economic factor significantly predicted internalizing problems (F(8,9588) = 83,683, p < .05, R2= .065), with gender and peer interaction as the biggest contributor."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Claudia Putri
"Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dari perceived social support dan internalizing symptoms pada remaja yang ditinggalkan orang tuanya untuk bekerja sebagai buruh migran di luar negeri. Alat ukur Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) digunakan untuk mengukur dukungan sosial yang dipersepsikan dari tiga sumber dan alat ukur Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) pada dimensi internalizing problems untuk gejala internalizing. 171 remaja terlibat dalam studi ini. Melalui teknik statistik Pearson Correlation, ditemukan bahwa perceived social support berkorelasi secara negatif dan signifikan dengan internalizing symptoms. Berdasarkan hasil dari studi ini, penulis menyarankan agar buruh migran tetap melakukan komunikasi dengan anak-anaknya.

This study aims to seek the relationship between perceived social support and internalizing symptoms in adolescents who are left behind by their parents to be a migrant worker abroad. Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) are used to measure perceived social support from three sources, and the broad dimension of internalizing problem in the Strength and Difficulties Questionnaire are used to measure internalizing symptoms. 171 adolescents are involved in this study. The Pearson Correlation indicates that perceived social support correlates significantly and negatively with internalizing symptoms. It is suggested that parents working abroad should communicate frequently with their children."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S58936
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Nordhani
"Remaja adalah fase yang rentan terhadap permasalahan kesehatan mental dan tingkah laku. Apabila tidak ditangani dengan tepat maka akan berdampak negatif selama fase hidup remaja tersebut (Kieling, et al., 2011). Remaja di daerah rural yang minim fasilitas penyedia kesehatan mental yang baik juga harus diperhatikan supaya dapat memberikan program preventif dan intervensi kepada remaja tersebut. Externalizing problem adalah salah satu masalah tingkah laku yang sering ditemukan pada remaja dengan self-esteem sebagai salah satu asosiasi yang kuat (Garaigordobil, Durá, & Pérez, 2005).
Studi ini bertujuan untuk melihat asosiasi antara externalizing problem dan self-esteem pada remaja rural di Karawang baik yang memiliki kehadiran orangtua dan tidak memiliki kehadiran orangtua karena bekerja sebagai TKI. Penelitian ini menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) untuk mengukur Self-Esteem dan Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) untuk mengukur externalizing problem pada remaja. Terdapat 270 remaja dengan orangtua non buruh migran dan 171 remaja dengan orangtua buruh migran menjadi responden dalam penelitian ini.
Melalui teknik Pearson Product Moment, ditemukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan externalizing problem baik pada sampel remaja dengan orangtua non buruh migran dan remaja dengan orangtua buruh migran. Selain itu, dengan independent sample t-test diketahui perbedaan tingkat self-esteem dan externalizing problem antara remaja dengan orangtua non buruh migran dan buruh migran.

Adolescent is more susceptible to mental health problems dan behavioral difficulties. Those problems will give greater impact to adolescent as they grew up if are not handled properly (Kieling, et al., 2011). Concerns should be thrown to adolescent who live in rural area with lack of mental health facilities in order to give preventive and intervention programs to support their mental health. Adolescents often show externalizing problem as one of their behavioral difficulties with self-esteem as one of their strong factor (Garaigordobil, Durá, & Pérez, 2005).
This study aims the association between self-esteem and externalizing problem in adolescents who live in rural area in Karawang district with their parents also adolescents who are left behind by their mgrant worker parents. The Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) is the instrument to measured self-esteem and the externalizing problem dimension of Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) is used to measure externalizing problem among respondents. 270 rural adolescents who live with their parents and 171 adolescents who left behind by their parents are involved in this study.
The results of this study indicate that there is negatively significant correlation between self-esteem and externalizing problem on both groups. And also, there is significant difference on self-esteem and externalizing problem between adolescents with non-migrant worker parent dan adolescents with migrant worker parent.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S64668
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspita Alwi
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keberfungsian keluarga sebagai prediktor internalizing problem pada remaja yang mengalami bullying. Selain itu penelitian ini ingin melihat dimensi keberfungsian keluarga yang berkontribusi terhadap internalizing problem tersebut. Pengukuran internalizing problem dilakukan dengan menggunakan Strengths & Difficulties Questionnaire(SDQ) dan pengukuran keberfungsian keluarga dilakukan dengan menggunakan Family Asessment Device (FAD). Responden juga diminta untuk mengisi alat ukur bullying questionnare sebagai screening korban bullying. Data didapatkan dari 201 responden yang berasal dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta. Usia responden berkisar antara 12-17 tahun (M = 14,3).
Melalui teknik statistik regresi linear, hasil penelitian menunjukkan bahwa keberfungsian keluarga secara umum berkontribusi menurunkan internalizing problem pada remaja yang mengalami bullying (p< 0,01) dengan nilai 𝑅2 sebesar 12,1 % dan nilai β sebesar -0,211. Selain itu didapatkan hasil bahwa diantara semua dimensi keberfungsian keluarga, dimensi respon afektif merupakan prediktor yang signifikan untuk mengurangi internalizing problem yang terjadi (p< 0,05). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa keberfungsian keluarga merupakan prediktor yang signifikan untuk mengurangi internalizing problem pada remaja yang mengalami bullying.

This study was conducted to determine the family functioning as a predictor for internalizing problems on adolescences who experience bullying. In addition this study wanted to see the dimensions of family functioning that contribute to internalizing problem. The internalizing problem was measured using Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) and family functioning was measured using Family Assessment Device (FAD). Respondents were also asked to fill bullying questionnare as a screening of bullying victims. Data were obtained from 201 respondents from Junior High School (SMP) and senior high school (SMA) in Jakarta. The age of respondents ranged between 12-17 years (M = 14.3).
Through linear regression statistical techniques, the results showed that family functioning in general contribute to decrease internalizing problems in adolescents who experienced bullying (p <0.01), with the value of 𝑅2 was 12,1 % and the value of β was -0,211. In addition it showed that among all the dimensions of family functioning, affective responsiveness was a significant predictor to decrease internalizing problems (p <0.05). Based on these results it can be concluded that the family functioning is a significant predictor to decrease internalizing problems in adolescences who experience bullying.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S66471
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qaishum Masturoh
"ABSTRAK
Orangtua memiliki peran penting dalam kehidupan remaja, khususnya pendidikan. Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara dukungan orangtua dengan motivasi berprestasi siswa. Daerah rural yang memiliki kemiskinan tinggi mendorong masyarakat untuk bekerja sebagai TKI di luar negeri. Kondisi tersebut memberikan konsekuensi kurang menguntungkan pada remaja yang ditinggalkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan dukungan orangtua yang diterima oleh remaja yang orangtuanya bekerja sebagai TKI dengan remaja yang orangtuanya tidak bekerja sebagai TKI di daerah Rural. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan orangtua dan motivasi berprestasi pada remaja rural. Sampel merupakan 257 remaja yang orangtuanya tidak bekerja sebagai TKI dan 171 remaja yang orangtuanya bekerja sebagai TKI. Kedua sampel berasal dari daerah rural Karawang. Pengukuran dukungan orangtua dilakukan dengan menggunakan Children Adolescent Social Support Scale (CASSS) dan motivasi berprestasi diukur dengan menggunakan Achievement Motivation Inventory (AMI). Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada dukungan orangtua dan motivasi berprestasi pada remaja rural yang memiliki orangtua bekerja sebagai TKI dengan remaja rural yang orangtuanya tidak bekerja sebagai TKI. Berdasarkan hasil analisis diketahui pula terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan orangtua dan motivasi berprestasi remaja rural di Karawang.

ABSTRACT
Parents play important role in adolescent?s life, especially education. Some studies have found that there is positive relationship between student?s achievement motivation and parental support. High poverty in rural area motivated people to work as migrant workers in another country. This condition gives disavantaged consequences to the adolescent who were left behind. This study aimed to know parental support and achievement motivation differences between adolescent whose parents work as migrant workers and non migrant workers. This study also aimed to understand the relationship between parental support and achievement motivation in rural adolescents. The sample in this study were 257 adolescent whose parents work as non migrant workers and 171 adolescent whose parents work as migrant workers. Both sample group come from rural area in Karawang. Parental support was measured with Children Adolescent Social Support Scale (CASSS) an Achievement motivation was measured by Achievement Motivation Inventory (AMI). Results showed that there are significant differences on parental support and achievement motivation in adolescent whose parents work as migrant workers and adolescent whose parents work as non migrant workers. The result also showed there is significant relationship between parental support and achievement motivation in rural adolescents.;"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S65463
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nezza Nehemiah
"Individu dalam populasi umum yang pernah mengalami gejala psikotik psychotic-like experience memiliki risiko lebih besar untuk mengembangkan berbagai gangguan klinis seperti gangguan psikotik maupun gangguan psikologis berat lain di masamendatang. Oleh sebab itu diperlukan langkah preventif untuk mencegah berkembangnya gangguan pada individu normal. Berbagai penelitian terdahulu telah menggunakan berbagai alat tes skrining dalam upaya mengidetifikasi kelompok-kelompok berisiko, salah satunya adalah kelompok remaja. Akan tetapi, validitas dari alat tes skrining yang ada dan digunakan belum banyak diuji.
Penelitian ini adalah penelitian longitudinal berbasis sekolah yang telah dimulai sejak awal tahun 2017. Dalam penelitian tahap awal telah diperoleh data mengenai fenomena psychotic-like experience dengan menggunakan alat tes skrining Psychotic-Like Experiences PLEs di 5 sekolah di Jakarta. Pada tahap kedua yang saat ini dilaksanakan, peneliti melibatkan 40 orang siswa yang dipilih dengan teknik purposive sampling berdasarkan hasil temuan penelitian tahap awal. 40 orang siswa dilibatkan dalam wawancara diagnostik dengan panduan yang diadaptasi dari The Structured Clinical Interview for DSM-IVAxis I Disorders SCID-IV untuk dijadikan dasar acuan pembanding hasil diagnosis gold standard dari alat tes skrining PLEs. Validitas alat tes skrining diuji dengan melakukan perhitungan sensitivitas, spesifisitas, predictive values, likelihood ratios, beserta nilai cut-off optimum dari alat skrining tes dilakukan dengan menggunakan analisis Cross-tabulation dan analisis Area Under the Receiver Operating Characteristic ROC Curve.
Berdasarkan analisis Area Under the ROC Curvediketahui bahwa alat tes skrining PLEs memiliki sensitivitas 75 dan spesifisitas 87.5 yang baik untuk membedakan individu dengan atau tanpa gejala psikotik. Alattes skrining PLEs juga telah memiliki nilai cut-off yang optimum yaitu sebesar 1 gejala.Terdapat perbedaan cakupan gejala antara alat tes skrining PLEs dan panduanwawancara SCID-IV yang dapat turut mempengaruhi hasil penelitian. Adaptasi lebih lanjut dengan menambah cakupan gejala dirasa dapat meningkatkan sensitivitas dari alattes skrining PLEs di masa mendatang.

Individuals from general population who ever experienced psychotic like experience areat more risk to develop psychotic disorder or other psychological disorders in the future.Therefore, any prevention action is needed to prevent the development of any seriousdisorder in individuals from general population. Previous research had used variousscreening instruments for psychotic experience to identify at risk groups one of them isadolescents. Unfortunately the validity of these screening instruments has not yet beentested.
This is a longitudinal school based study which has been conducted since theearly 2017. In the first study, we use the Psychotic Like Experiences PLEs questionnaire to identify at risk individuals from 5 high schools in Jakarta. In this study second study , 40 students are selected by using purposive sampling technique based on the result of our first study. These 40 students then interviewed using The Structured Clinical Interview for DSM IV Axis I Disorders SCID IV to provide the gold standardbases for measuring PLEs questionnaire validity. The sensitivity, specificity, predictive values, likelihood ratios, and optimum cut off score were analyzed by using the Crosstabulation and Area Under the Receiver Operating Characteristic ROC Curve analysis.
Based on the analysis, we found that the sensitivity 75 and specificity 87.5 ofPsychotic Like Experiences PLEs questionnaire is good enough to differentiate individuals with or without psychotic experience. The cut off score of PLEs questionnaire is also found to be optimum ge 1 symptom to identify at risk individuals. There are differences in the number of symptoms covered by PLEs questionnaire andSCID IV, which is assumed to affect this study result. Further adaptation by addingmore symptoms covered by PLEs questionnaire are believed to increase its sensitivity infuture studies.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
T49073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Puspitasari
"Kesejahteraan subjektif yang baik penting untuk dimiliki oleh remaja. Remaja dengan kesejahteraan subjektif yang tinggi cenderung berperforma lebih baik dalam kehidupan. Tantangan seperti pubertas dan tuntutan akademik yang dapat berisiko bagi kesejahteraan subjektif remaja. Keluarga berperan penting dalam terbentuknya kesejahteran subjektif remaja. Remaja dalam kondisi keluarga yang tidak lengkap seperti keluarga ibu tunggal kerap ditemukan memiliki kesejahteraan subjektif yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pola asuh ibu tunggal dengan kesejahteraan subjektif remaja awal. Responden penelitian ini yaitu 66 remaja awal (12-15 tahun) di Karawang. Alat ukur yang digunakan untuk kesejahteraan subjektif yaitu Satisfaction With Life Scale (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985), The Positive and Negative Affect Schedule (Watson, Clark, & Tellegan, 1988), dan Subjective Happiness Scale (Lyubomirsky & Lepper, 1999). Pola asuh ibu tunggal diukur dengan Parental Authority Questionnaire (Buri, 1991). Teknik analisis yang digunakan adalah simple regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh permisif dan autoritatif memprediksi kepuasan hidup, tidak terdapat pola asuh yang memprediksi afek positif dan negatif, serta pola asuh otoriter dan pola asuh autoritatif memprediksi kebahagiaan remaja awal di Karawang.

It is important for adolescent to have a good condition of subjective well-being. Adolescent with high subjective well-being tend to perform better in life. There are challenges such as puberty and academic demands that can be risks for adolescent to attain high subjective wellbeing. Family play an important role in the formation of adolescent’s subjective well-being. Adolescents in incomplete family conditions such as single-mother families are often found to have low subjective well-being. This study aimed to look at the relationship between perceived single mother’s parenting style with subjective well-being of early adolescents. There were 66 early adolescents (12-15 years) in Karawang that participated in this sudy. Subjective well-being were measured with Satisfaction With Life Scale (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985), The Positive and Negative Affect Schedule (Watson, Clark, & Tellegan, 1988), and Subjective Happiness Scale (Lyubomirsky & Lepper , 1999). Single mother parenting was measured by the Parental Authority Questionnaire (Buri, 1991). The analysis technique used in this study is simple regression. The results showed that permissive and authoritative parenting style predict life satisfaction, there is no parenting style that predicts positive and negative effects, also authoritarian and authoritative parenting style predict the happiness of early adolescents in Karawang."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>