Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186216 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Ary Tri Dharma
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kedudukan Bank Indonesia dalam
kepailitan bank dari kontruksi hukum Undang-undang No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. Yang
menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah dimana pada Pasal 2 ayat
(3) Undang-Undangn ini menyebutkan hanya Bank Indonesia yang berwenang
mengajukan permohonan pailit terhadap bank bermasalah, dan bukan para
kreditor bank pada umumnya, maka dibahas juga kewenangan kepailitan bank
oleh Bank Indonesia setelah kewenangan pengawasan bank dialihkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan
yuridis normatif untuk menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Melalui
penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban mengenai aspek hukum
terhadap kedudukan Bank Indonesia dalam kepailitan bank dengan melihat
berbagai sudut pandang, terutama Undang-Undang Perbankan dan Undang-
Undang Kepailitan

ABSTRACT
This thesis discusses about Bank Indonesia's Legal Position In Terms of
the Bank Bankruptcy at Law Constructions Law Number 37 of 2004 on
Bankruptcy and Postponement of Debt Payment. The primary issue for this thesis
is artikel 2 paragraaf 3 at this law, mentions that?s only Bank of Indonesia can be
initiate bankruptcy petitions for troubled bank, instead kreditors of bank which
commonly, will be discussed for authority bankruptcy of bank by Bank of
Indonesia after authority of supervisions bank move to Financial Services
Authority. The method of this research is used a normative juridical interpretive
to generate data that is descriptive analytical. Through this research is expected to
provide solve about the legal aspects of the position of Bank Indonesia in
bankruptcy bank with different points of view, especially the Banking Act and the
Bankruptcy Act."
2016
S65497
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melanie Wijaya Oei
"Tesis ini membahas tentang Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak permohonan pembatalan perdamaian penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan oleh para kreditor pemegang obligasi dengan dasar pertimbangan bahwa Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Pasar Modal mengatur pemegang obligasi harus diwakili oleh wali amanat di dalam maupun di luar pengadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif untuk menghasilkan data bersifat deskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemegang obligasi berhak untuk mengajukan tuntutan perkara kepailitan tanpa harus melalui wali amanat. Hal ini dikarenakan berlakunya asas perundang-undangan yaitu asas lex specialis derogat legi generali yang mengatur bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu meskipun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas namun dapat mencakup peristiwa khusus tersebut. Dengan demikian, untuk perkara kepailitan haruslah diberlakukan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Pemegang obligasi memenuhi segala syarat kreditor yang diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dan pada penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa bilamana terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.

This thesis discusses the Decision of Central Jakarta Commercial Court that rejected the cancellation of a reconciliation request filed by bondholders under the basis of Article 51 paragraph (2) of the Capital Market Law which dictates that bond holders must be represented by a trustee in, or outside a court. This study uses library research methods in a normal juridical manner to provide descriptive analytical data.
This research concludes that bondholders are entitled to file a lawsuit directly to the defendant without the need of being represented by a trustee. Based on lex specialis derogat legi generali, in a specific circumstance, laws concerning that circumstance must be applied even though laws that cover more general circumstances may also be applied to the same specific circumstance. Therefore, for a bankruptcy case as such, Law No. 37 Year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts must be enacted. Bondholders must satisfy all the creditor requirements that is stated in Article 1 Paragraph (2) of Law No. 37 Year 2004, the article is interpreted as such: in case of syndicated creditors, each of the creditors shall mean the creditor as referred to in Article 1 Paragraph (2).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46377
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Laura Lestari
"Tesis ini membahas mengenai akibat hukum Putusan Pernyataan Pailit dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah berkekuatan hukum yang tetap mengenai kewajiban pembayaran upah buruh/pekerja dan tentang perlindungan hukum yang diberikan kepada buruh/pekerja pada PT. Istana Magnoliatama (dalam pailit) ditinjau dari undang-undang kepailitan. Tesis ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian deskriptifanalitis yang menggunakan data sekunder. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, apabila telah keluar putusan pernyataan pailit, maka sebagi akibat hukumnya, putusan Pengadilan Hubungan Industrial harus dihentikan proses eksekusinya meskipun putusan Pengadilan Hubungan Industrial tersebut telah berkekuatan hukum yang tetap. Dan juga tidak adanya perlindungan hukum yang diberikan oleh PT. Istana Magnoliatama (dalam pailit) kepada buruh/pekerjanya yang telah melakukan kewajibannya.

This thesis discusses the legal consequences statement Bankruptcy Decision associated with the Industrial Relations Court decision that has legal force of the obligation to pay a fixed wage / labor and on the legal protection given to the laborers / workers at PT. Magnoliatama palace (in bankruptcy) in terms of the bankruptcy laws. This thesis is a juridical-normative research typology descriptive-analytical study using secondary data. Pursuant to Article 31 paragraph (1) of Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and PKPU, if the bankruptcy judgment has come out, then as a result of the law, the decision of the Industrial Relations Court has to stop the process of execution despite the decision of the Industrial Relations Court has the legal power remains. And also the lack of legal protection given from PT. Istana Magnoliatama (on bankruptcy) to workers / employees who have been doing their duty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42689
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michaell Yose Andersen
"Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Keberadaan BUM Desa tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Namun terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam pengaturan tentang BUM Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tersebut yakni terkait dengan konstruksi yuridis dari BUM Desa sebagai suatu subyek hukum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dikarenakan dikarenakan penelitian ini mencoba untuk mengkaji norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundangan yang berlaku terkait dengan BUM Desa serta terkait dengan kepailitan badan usaha yaitu Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa: Pertama, BUM Desa merupakan badan usaha yang tidak berbadan hukum, namun dalam perkembangannya BUM Desa dapat menjadi badan usaha yang berbadan Hukum. Kedua, BUM Desa dapat diajukan Pailit berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepalitian dan PKPU.

Village Owned Enterprises (BUM Desa) are business entities whose capital is wholly or partly owned by the village through direct investment originating from separated village assets aimed at the welfare of the community. The existence of BUM Desa is regulated in Law Number 6 of 2014 concerning Villages. However, there is a legal deficiency or vacuum in the regulation regarding BUM Desa in Law Number 6 of 2014 which is related to the juridical construction of BUM Desa as a legal subject in Indonesia. . This study uses a normative juridical research method because this research tries to examine the legal norms contained in the applicable laws and regulations related to BUM Desa and related to bankruptcy of business entities, namely Law Number 6 of 2014 concerning Villages and Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The results of the research that has been carried out can be concluded that: First, BUM Desa is a business entity that is not a legal entity, but in its development BUM Desa can become a legal entity. Second, BUM Desa can be filed for bankruptcy based on Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations (Bankruptcy Law and PKPU.)"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinnisa Anadya
"Adanya perbedaan antara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berlaku di Indonesia dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang terjadi akibat Rehabilitasi berdasarkan Financial Rehabilitation and Insolvency Act FRIA di Filipina menyebabkan perlunya perbandingan mengenai PKPU dengan negara lain. Filipina merupakan negara ASEAN pertama yang sudah mengadopsi UNCITRAL Model Law yang mengatur tentang kepailitan lintas negara. Undang-undang kepailitan di Filipina dianggap selangkah lebih maju daripada undang-undang yang berlaku di Indonesia. Tulisan ini akan mengkaji mengenai perbandingan PKPU di Indonesia dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang akibat Rehabilitasi di Filipina serta menjelaskan mengenai perbedaan apa saja yang ada dalam kedua sistem tersebut.

The difference between Suspension of Payment PKPU based on Law Number 37 Year 2004 applicable in Indonesia and Suspension of Payment due to Rehabilitation under the Financial Rehabilitation and Insolvency Act FRIA in the Philippines led to the need for comparison of PKPU with other countries. The Philippines is the first ASEAN country to have adopted the UNCITRAL Model Law that governs cross border insolvency. Insolvency law in the Philippines is considered one step ahead of Indonesian law. This paper will examine the comparison of PKPU in Indonesia and the Suspension of Payment due to Rehabilitation in the Philippines and explain what differences exist within the two systems."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusriza Abdullah Pratama
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kekeliruan Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat dalam memutus perkara kepailitan PT AAAS yang terdapat dalam Putusan
Perkara Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst yang diputus pada
tanggal 29 Juni 2015. Kekeliruan tersebut merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUK-PKPU terkait dengan prosedur permohonan
pernyataan pailit. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Hasil
penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, Para Pemohon yang dalam hal ini
diwakili oleh Kuasa Hukumnya/advokat dalam mengajukan permohonan pailit
kepada PT AAAS berdasarkan UUK-PKPU merupakan pihak yang keliru dan
tidak memiliki Legal Standing untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit,
karena hal tersebut bertentangan dengan Pasal 2 ayat (4) UUK-PKPU. Kedua,
terdapat putusan yang berbeda dalam menyikapi ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUKPKPU
yaitu dalam kasus permohonan pernyataan pailit Kasus PT Antaboga Delta
Securitas Indonesia, sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Dengan melihat putusan PT AAAS maka nasabah perorangan dari perusahaan
efek dapat dengan mudah memohonkan pernyataan pailit terhadap perusahaan
efek, terjadi penarikan besar-besaran terhadap dana harta nasabah di perusahaanperusahaan
efek lainnya dan membuat iklim investasi di pasar modal terganggu

ABSTRACT
The focus of this thesis is the mistake made by judges at the Central Jakarta
Commercial Court in deciding the case of bankruptcy of PT AAAS contained in
Decision Case No. 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst which ended on
June 29, 2015. The mistake was a violation of the provisions of Article 2 ayat (4)
UUK-PKPU regarding about declaration of bankruptcy application procedure.
This study uses normative juridical approach. The results of this study are as
follows: First, the applicant in this case represented by the Legal Counsel in filing
bankruptcy petition for PT AAAS under UUK-PKPU is wrong party and doesn?t
have the Legal Standing to file an application for declaration of bankruptcy,
because it is contrary to Article 2 ayat (4) UUK-PKPU. Secondly, there is a
different decision in response to the provisions of Article 2 ayat (4) UUK-PKPU
i.e. in case of declaration of bankruptcy petition Case of Antaboga Delta
Securities, which can lead to legal uncertainty. By looking at the PT AAAS case,
the impact is the individual customers of securities companies can easily call a
bankruptcy declaration against securities firms, massive withdrawals to fund
client assets in other securities firms and make the investment climate in the
capital markets disrupted"
2016
T45672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra
"Dalam hal harta debitor pailit yang ditemukan saat proses pengurusan dan pemberesan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan, Hakim Pengawas mengusulkan kepada Hakim Pemeriksa untuk melakukan pencabutan pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUK & PKPU. Namun, dalam Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 74/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung No. 1037.K/PDT.SUS/2010 yang mengajukan pencabutan pernyataan pailit adalah Kurator dengan hanya berdasarkan dugaan tidak ditemukan harta pailit. Permohonan pencabutan kepailitan oleh Kurator yang demikian tentu akan merugikan para kreditor untuk memperoleh pembayaran. Padahal, UUK & PKPU seyogyanya tidak hanya memberikan perlindungan kepada debitor, tetapi juga para kreditor.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder atau studi kepustakaan dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara terhadap beberapa informan sebagai data tambahan yang menunjang atau melengkapi data sekunder.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Kurator dapat mengajukan permohonan pencabutan pernyataan pailit dengan terlebih dahulu melakukan rapat panitia kreditor untuk memastikan bahwa debitor pailit sudah tidak memiliki harta lagi untuk membayar biaya kepailitan, dan Kurator juga harus memperoleh izin dari Hakim Pengawas. Sehubungan dengan hal tersebut maka ada beberapa saran dari peneliti untuk melakukan pembaharuan terhadap UUK & PKPU, khususnya terkait prosedur dan tahapan pencabutan kepailitan.

In case that the debtors assets discovered during the management and settlement process of the bankruptcy assets are insufficient to cover the bankruptcy charge, the Supervisory Judge shall propose to the Panel of Judges to revoke bankruptcy decision as stipulated under Article 18 paragraph (1) of Law No. 37/2004. Having said that, however, on the Central Jakarta Commercial Court Verdict Number 74/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST jo. the Supreme Court Verdict Number 1037.K/PDT.SUS/2010, instead of the Supervisory Judge, it is the Receiver who proposed to revoke the bankruptcy decision merely based on unreasonable assumptions stating the debtors assets were insufficient. Such revocation proposal may have harmed the creditors to receive immediate payment. Whereas, Law No. 37/2004 implicates that reasonable protection should not only be given for the interest of the debtor, but also the creditors.
This research is a juridical-normative using secondary data or library research comprising primary, secondary, and tertiary legal materials. Additionally, the researcher also conducted key informants interview to further support and complement the secondary data.
The research shows that the Receiver may propose to revoke the bankruptcy decision by covening the creditors meeting in advance to ensure that the debtor does not have sufficient assets, and the Receiver must have obtained an authorization from the Supervisory Judge prior to the revocation proposal. In connection therewith, some recommendations for possible amendments to the Law No. 32004 are provided, specifically on the procedure and phase of bankruptcy revocation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matelesi, Nico
"Jaminan merupakan suatu tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin pelunasan utang debitur. Lembaga jaminan ini diberikan khusus untuk kepentingan kreditur guna menjamin piutangnya melalui perikatan khusus. Jaminan terbagi menjadi dua, yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan yang masing-masing memiliki ciri dan sifat tersendiri. Jaminan perorangan (Penanggungan) diatur di dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata.
Dari ketentuan pasal 1820 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa dalam suatu skema penanggungan terdapattiga pihak, yaitu debitur sebagai pihak yang berutang, kreditur sebagai pihak yang berpiutang, dan terkahir adalah penanggung sebagai pihak yang menjamin terpenuhinya prestasi debitur berupa utang-utang debitur kepada kreditur.
Pengajuan permohonan pailit terhadap penanggung merupakan hal yang cukup lumrah terjadi, khususnya apabila penanggung merupakan penanggung perusahaan (Corporate Guarantee). Namun tidak demikian halnya dengan permohonan pailit terhadap penanggung pribadi (Personal Guarantee). Hanya sedikit sekali permohonan pailit yang diajukan kepada penanggung pribadi, karena secara umum ada kecendrungan bahwa kreditur enggan berurusan dengan debitur untuk alasan praktis.
Dalam suatu skema penanggungan utang, terdapat dua perjanjian yang berbeda, yaitu perjanjian pokok antara debitur dan kreditur dan perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung. Perjanjian penanggungan itu sendiri bersifat Accesoir , jadi pada asasnya jika perjanjian pokoknya hapus maka perjanjian penanggungannya turut hapus. Perjanjian penanggungan sifatnya mengikuti perjanjian pokok sehingga suatu perjanjian penanggungan tidak dapat melebihi perjanjian pokoknya.
Seorang penanggung memiliki hak istimewa, salah satunya hak untuk menuntut supaya harta benda debitur terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Hak ini dapat dilepaskan oleh penanggung dalam perjanjian penanggungan, yang membuat kreditur dapat memilih harta mana yang harus disita dan dijual terlebih dahulu.

Collateral was a guarantee given by a debitor or third party for a creditor to guarantee of paying debt. Collateral institution was specially given for the significance of the creditor in order to guarantee the debt through a special bond. It was divided into two, they were property collateral and personal collateral in which each one had its own features and characteristics. Personal collateral was regulated in the Article 1820 to Article 1850 Civil Code.
In the regulation of Article 1820 KUHP Perdata, it could be understood that in the scheme of there were three parties, they were a debitor as the party who was in debt, a creditor as the party who gave debt, and the last, a guarantor as the party who guaranteed fulfillment of achievement that was debts of debitor to creditor.
Submission of Act of Bankruptcy toward the guarantor was a common thing, especially if he was a corporate guarantor. However, it would not happen to Act of Bankruptcy for personal collateral. It was only few of Act of Bankruptcy proposed by personal collateral since generally there was tendency that creditor was reluctant to have a deal with debitor for practical reasons.
In scheme of debt collateral, it was included two different agreements, they were main agreement between debitor and creditor and collateral agreement between creditor and guarantor. Collateral agreement itself was accesoir so that basically, if main agreement was removed, it was also the collateral agreement. It was based on main agreement so that it could not exceed its main agreement.
The person who guaranteed owned special rights, one of them was to insist so that properties of debitor, firstly, was confiscated and sold to pay the debt. The right could be undone by him in collateral agreement in order to make the creditor can choose which property had to be consficated and sold first.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lena
"Pailit merupakan upaya akhir bagi debitor yang berada dalam keadaan insolven dimana ia tidak lagi mampu melakukan kewajiban kepada para kreditornya. Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 merupakan peraturan terakhir yang diamandemen Indonesia namun masih memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan Jepang, Malaysia, dan Singapura tentang insolvency test yang dijadikan tolak ukur pengajuan pailit. Hukum yang seyogyanya dijadikan sandaran demi memenuhi nilai keadilan bagi debitor dan kreditor secara proporsional, dalam hal ini akan dibahas dengan membandingkan hukum kepailitan dan insolvency test.
Dengan melihat Undang-Undang Kepailitan Jepang, Malaysia, dan Singapura, tulisan ini dibuat untuk mengambil kelebihan yang ada pada hukum Negara lain serta melihat kekurangannya untuk dijadikan pegangan dalam memperbaiki Hukum Kepailitan Indonesia kearah yang lebih baik. Dengan demikian diharapkan hukum dapat memenuhi perannya sebagai pedoman dalam memberikan nilai keadilan, serta utilitas pengadilan dalam memutus perkara dengan waktu yang efisien dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Bankrupt ought to be last resort for debtor who could not pay his debt to his creditors as it became due and payable and he has been stated as insolvent. Bankruptcy Act Number 37 of 2004 is the last amended statute in Indonesia. This Act has fundamental difference with Bankruptcy Law of Japan, Malaysia, and Singapore concerning about insolvency test which is used as legal task for bankruptcy petition. Justice for both of debtors and creditors should rely on Bankruptcy Law in such case as mentioned. In this matter, insolvency test is an important point to be considered in bankruptcy law.
Discussion between Japan, Malaysia, Singapore, and Indonesia Bankruptcy Law is purposed to analyze law and to compare insolvency matters in each laws. Through this analytic discussion, taking excess points and also to prevent short points of law is the priority to improve Indonesia Bankruptcy Law. Thus law can fulfill its duties as reference to produce just norm, show utility of court in deciding case, and also give an efficient proceedings to support economic growth.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39018
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairun Nisa
"Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang merupakan salah satu wadah yang disediakan oleh Hukum di Indonesia dalam menghadapi suatu keadaan tidak mampu membayar yang dihadapi oleh Debitor terkait dengan
utang-utangnya pada satu atau lebih dari satu kreditor, dimana dapat diajukan atas inisiatif Debitor sendiri maupun atas permohonan Kreditor. Apabila suatu entitas hukum dinyatakan pailit, bagaimanakah boedel pailit dapat dieksekusi secara benar sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Bila terjadi suatu keadaan dimana kreditor separatis mengeksekusi boedel pailit sebelum habis masa tunggu (stay) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang pada Pasal 56, proses yang seperti apakah yang seharusnya dapat ditempuh bagi kreditor konkuren yang dirugikan atas eksekusi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis.

Bankruptcy and Suspension of Obligations and Debt Payment is one of the containers provided by law in Indonesia in the face of a state unable to pay faced by the debtor related to debts of her on one or more than one creditor, which can be submitted at the initiative of the debtor itself or at the request of creditors. If a legal entity is declared bankrupt, how boedel bankruptcy can be executed properly in accordance with applicable laws and regulations. If there is a situation where separatist creditor executes boedel bankruptcy before the expiration of the waiting (stay) which is regulated in Law Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligations and Debt Payments on Article 56, the process as if that should be taken for creditors concurrent aggrieved over the execution. This research used normative juridical research with descriptive analytical research specifications."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48894
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>