Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137268 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harun Al Rasid
"ABSTRAK
Cedera Medula Spinalis (CMS) merupakan kerusakan pada medula spinalis dan
akar syarafnya yang mengakibatkan defisit neurologis akibat trauma atau non
trauma. Seksualitas merupakan bagian integral dari kehidupan seseorang terutama masalah kompleks yang muncul setelah cedera medulla spinalis namun masalah seksual masih dianggap tabu (taboo) untuk didiskusikan dan dipublikasikan terutama di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran makna dari pengalaman perubahan fungsi seksual pada klien dengan cedera medulla spinalis. Desain penelitian adalah pendekatan fenomenologi pada enam partisipan. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan catatan lapangan. Analisa data menggunakan metode Collaizi. Penelitian ini menghasilkan enam buah tema yaitu 1) kesedihan akibat kelemahan/perubahan fisik, 2) adanya perubahan fungsi seksual, 3) respon psikologis terhadap perubahan fungsi seksual, 4) cara mengekspresikan fungsi seksual, 5) harapan untuk memenuhi kebutuhan seksual dan 6) harapan terhadap pelayanan keperawatan di rumah sakit dalam
mengatasi masalah kebutuhan seksual

ABSTRACT
Spinal cord injury (SCI) is a damage of the spinal cord and nerve roots that lead to neurological deficits due to trauma or non-traumatic. Sexuality is an integral part of a person's life, especially the complex problems that arise after a spinal cord injury but sexual matters are considered taboo (taboo) to be discussed and publicized, especially in Indonesia. The purpose of this study was to get an idea of the significance of experience changes in sexual function in clients with spinal cord injury. This is a qualitative study with phenomenological approach involving six participants. Collecting data with in-depth interviews and field notes. Data were analyzed with Collaizi's method. The result found six themes,1) sadness due to weakness / physical changes, 2) change in sexual function, 3) the psychological response to changes in sexual function, 4) how to express sexual function, 5) hopes for the sexual needs and 6) expectations of nursing care in hospitals addressing sexual needs"
2016
T45939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Amalia Utami Putri
"Tesis ini disusun untuk mengetahui pengaruh antara berbagai metode berkemih yang umum dilakukan di Indonesia dengan kualitas hidup penderita Cedera Medula Spinalis (CMS) yang memiliki gangguan berkemih neurogenik. Penelitian menggunakan desain uji potong lintang (cross-sectional). Subjek penelitian merupakan penderita gangguan berkemih neurogenik pada penderita CMS yang menggunakan metode berkemih secara spontan (dengan post voiding residu < 20%), kateterisasi bersih secara berkala (Clean Intermittent Catheterization/CIC) secara mandiri, CIC dibantu oleh pelaku rawat, dan kateter menetap. Semua subjek (n=85) dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik, kemudian mengisi kuesioner Qualiveen 30 versi Bahasa Indonesia yang sebelumnya telah diuji keshahihan dan keandalannya dalam versi Bahasa Indonesia. Hasil keluaran penelitian ini berupa penilaian Kualitas Hidup Berkemih pada Penderita Cedera Medula Spinalis dengan menggunakan instrumen spesifik yaitu Kuesioner Qualiveen-30 dalam bahasa Indonesia. Ditemukan bahwa skor total kuesioner Qualiveen-30 adalah 1,75  0,78 dengan skor terbesar terdapat pada domain Limitation (1,92  1,00) yang menunjukkan bahwa Limitation merupakan domain yang memiliki nilai kualitas hidup paling rendah diantara ke empat domain. Analisa bivariat menunjukkan bahwa domain Constraint memiliki hasil yang berbeda bermakna secara statistik (p = 0,007) diantara 4 metode berkemih yang dilakukan, dimana metode berkemih CIC oleh pelaku rawat memiliki kualitas hidup berkemih yang paling buruk dengan skor domain 2,500  0,727. Faktor – faktor lain yang berpengaruh kualitas hidup berkemih terhadap domain Constraint pada penderita CMS antara lain jenis kelamin (p=0,047), level cedera (p = 0,024), dan metode berkemih (p = 0,007). Pada analisis post hoc didapatkan subjek dengan metode berkemih CIC oleh pelaku rawat memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan subjek dengan metode berkemih spontan (p = 0,042) dan subjek dengan metode berkemih CIC mandiri (p = 0,009).

This thesis was aimed to determine the effect of various methods of urination that are commonly carried out in Indonesia and the quality of life of patients with Spinal Cord Injury (SCI) who have neurogenic bladder disorders. The design was cross-sectional. Subjects were SCI patients with neurogenic bladder disorders who used spontaneous voiding methods (with post voiding residue <20%), Clean Intermittent Catheterization / CIC independently, CIC assisted by caregivers, and indwelling catheters. All subjects (n = 85) were interviewed, physically examined by physician, and filled out the Indonesian version of the Qualiveen 30 questionnaire. The results of this study is to assess the Quality of Life for neurogenic bladder and its related factors.
It was found that the total score of the Qualiveen-30 questionnaire was 1.75 ± 0.78 with the highest score found in the Limitation domain (1.92 ± 1.00) which showed that it is the lowest quality of life value among the four domains (Limitation, Constraint, Fear, Feelings).
Bivariate analysis showed that the Constraint domain had statistically significant different results (p = 0.007) among the 4 ovoiding methods performed. Clean Intermittent Catheter by caregiver had the worst quality of voiding with a domain score of 2,500 ± 0.727. Other factors influencing the Quality of Life on the Constraint domain include gender (p = 0.047), injury level (p = 0.024), and voiding method (p = 0.007).
In the post hoc analysis it was found that subjects with CIC voiding methods by caregiver had lower quality of life compared to subjects with spontaneous voiding methods (p = 0.042) and subjects with independent CIC voiding methods (p = 0.009).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nella Yesdelita
"ABSTRAK
Latar Berlakang: Cedera medula spinalis (CMS) merupakan suatu kondisi medis yang kompleks dan dapat menyebabkan disabilitas. Pada CMS terjadi gangguan baik sementara maupun menetap pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Gangguan tersebut mengakibatkan menurunnya kemampuan fungsional seorang penderita CMS. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesahihan dan keandalan SCIM III versi bahasa Indonesia untuk menilai kemampuan fungsional penderita CMS.
Metode: SCIM III versi bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia melalui metode penerjemahan forward-backward serta dilakukan cognitivedebriefing sehingga didapatkan SCIM III versi bahasa Indonesia. SCIM III versi bahasa Indonesia ini digunakan kepada 30 orang penderita CMS di dua rumah sakit dan satu wisma penderita CMS di Jakarta. Tiga orang rater menilai setiap subjek menggunakan rekaman video. Penilaian ulang dilakukan oleh peneliti satu minggu kemudian. Kesahihan konstruksi dan kriteria dinilai menggunakan koefisien korelasi. Untuk uji keandalan, digunakan intraclass correlation coefficient untuk menilai keandalan inter-rater, paired t-test untuk keandalan test-retest, dan Cronbach?s α untuk internal consistency.
Hasil: Didapatkan nilai korelasi lebih dari 0,4 (p<0,05) untuk kesahihan konstruksi dan kriteria. Intraclass correlation coefficient lebih dari 0,8 (p<0,05) untuk keandalan inter-rater, nilai korelasi lebih dari 0,6 (p<0,05) untuk keandalan test-retest dan Cronbach?s α 0,895 untuk keandalan internal consistency.
Kesimpulan: SCIM III versi bahasa Indonesia terbukti sahih dan andal untuk menilai kemampuan fungsional penderita CMS.

ABSTRACT
Objective: Spinal cord injury (SCI) is a medically complex condition and can cause disability. Patients with spinal cord injury usually have either temporary or permanent insult to motor, sensory, or autonomic function. The impairments reduce the functional capacity of the patients. The aim of the study was to assess the validity and reliability of Indonesian version of SCIM III to measure the functional capacity of patients with SCI.
Methods: English version of SCIM III was translated to Indonesian involving a forward-backward translation and cognitive debriefing to develop Indonesian version of SCIM III. The tool was administered to 30 patients with SCI in two centers and a residential home of SCI in Jakarta. Three raters evaluate each subject by using video record. Writer assessed each subject one week later. Construct and criterion validity was assessed by using correlation coefficient. For reliability, intraclass correlation coefficient was used for inter-rater reliability, paired t-test for test-retest reliability, and Cronbach?s α for internal consistency.
Results: There was correlation coefficient above 0,4 (p<0,05) for construct and criterion validity. Intraclass correlation coefficient above 0,8 (p<0,05) for inter-rater reliability, correlation coefficient above 0,6 (p<0,05) for test-retest reliability and Cronbach?s α 0,895 for internal consistency.
Conclusion: Indonesia version of SCIM III was proven to be valid and reliable to assess the functional capacity of patients with SCI."
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabine Versayanti
"Latar Belakang. Pasien cedera medula spinalis CMS hampir selalu mengalami penurunan fungsi kardiovaskular, sedangkan aktivitas sehari-hari memerlukan kebugaran kardiorespirasi yang tinggi. Latihan endurans kardiorespirasi memiliki manfaat yang baik pada pasien CMS dan latihan ini harus dimulai dari awal sehingga dapat menunjang latihan fungsional yang akan diberikan untuk memperoleh kemandirian dengan lebih cepat.
Tujuan. Menilai manfaat penambahan terapi latihan endurans kardiorespirasi arm ergocycle pada kemampuan fungsional pasien CMS yang dinilai melalui jarak 6 Minutes Push Test 6MPT , Functional Independence Measure FIM, dan Fatique Severity Scale FSS.
Metode. Desain penelitian adalah uji klinis acak terkontrol. Subyek adalah pasien CMS rawat inap RSUP Fatmawati yang dirawat untuk latihan kemandirian. Subyek dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi menjadi kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang diberikan tambahan terapi latihan endurans kardiorespirasi arm ergocycle, 3 kali/minggu, durasi awal 10 menit yang dinaikkan secara bertahap, selama 3 minggu, intensitas latihan 40 power output maksimal.
Hasil. Terdapat 26 subjek yang mengikuti penelitian, namun 24 yang menyelesaikan penelitian yaitu 13 pada kelompok perlakuan dan 11 pada kelompok kontrol. Terdapat peningkatan jarak 6MPT pada kelompok perlakuan 136,36 39,02m menjadi 231,20 97,15m p=0,000 dan kelompok kontrol 134,55 52,32m menjadi 186,67 63,57m p=0,006. Delta jarak 6MPT pada kelompok perlakuan 94,83 66,92m dan kelompok kontrol 60,66 57,63m p=0,198. Kelompok perlakuan mengalami peningkatan FIM 66,77 13,88 menjadi 95,77 14,23 p=0,000, kelompok kontrol 68,46 18,12 menjadi 93,27 16,24 p=0,003. Delta FIM pada kelompok perlakuan 29 17,13 dan kontrol 25,45 21,75 p=0,659. Delta FSS pada kelompok perlakuan -4,3 5,14 dan pada kelompok kontrol -6,36 5,95 p=0,373. Tidak didapatkan korelasi yang bermakna peningkatan jarak 6MPT terhadap FIM dan FSS. Pada kelompok perlakuan didapatkan korelasi peningkatan jarak 6MPT dengan FIM r=0,359 p=0,228 dan pada kontrol r=0,120 p=0,725. Korelasi peningkatan jarak 6MPT dengan FSS pada kelompok perlakuan adalah r=-0,015 p=0,961 , sedangkan kontrol r=0,004 p=0,991.
Kesimpulan. Terdapat peningkatan jarak 6MPT, FIM dan FSS pada penambahan latihan endurans kardiorespirasi dengan arm ergocycle namun kenaikannya dibandingkan dengan kontrol tidak berbeda bermakna.

Background. Spinal cord injury SCI patient always experience decrease in cardiovascular function, while daily activities require high cardiorespiratory fitness. Cardiorespiratory endurance exercises have good benefits in CMS patients and this exercise should be started from the beginning to support the functional exercises that will be given to gain independency faster.
Aim. Assessing the benefits of additional endurance exercise therapy of arm ergocycle in SCI patients with the outcomes are 6 Minutes Push Test 6MPT distance, Functional Independence Measure FIM , Fatique Severity Scale FSS. Method. The study design was a randomized, controlled trial. The subjects were SCI patient in inpatient RSUP Fatmawati who was treated for independency. The subjects were divided into two groups randomly into the control group and the treatment group that given additional cardiorespiratory exercise with ergocycle, 3 times week, the initial duration of 10 minutes gradually increased, 3 weeks, 40 maximum power output.
Results. There were 26 subjects who followed the study but 24 who completed the study, 13 in the treatment group and 11 in the control group. There was an increase of 6MPT distance in the treatment group 136,36 39,02m to 231,20 97,15m p 0,000 and the control group 134,55 52,32m to 186,67 63,57m p 0,006. Delta distance of 6MPT in treatment group 94,83 66,92m and control group 60,66 57,63 m p 0,198. The treatment group experienced an increase of FIM 66,77 13,88 to 95,77 14,23 p 0,000 , control group 68,46 18,12 to 93,27 16,24 p 0,003. Delta FIM in treatment group 29 17,13 and control 25,45 21,75 p 0,659. Delta FSS in the treatment group 4,3 5,14 and in the control group 6,36 5,95 p 0,373. There was no significant correlation between 6MPT increase in FIM and FSS. In the treatment group, the correlation of 6MPT distance increased with FIM r 0,359 p 0,228 and control r 0,120 p 0,725. The correlation of 6MPT distance increase with FSS in treatment group was r 0,015 p 0,961 , while control r 0,004 p 0,991.
Conclusion. There was an increase in the distance of 6MPT, FIM and FSS in the exercise group but the increment was not significant compared with controls in inpatient SCI. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55536
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Marina
"ABSTRAK Depresi merupakan masalah psikologis yang paling sering ditemukan pada pasien cedera medulla spinalis (CMS). Kualitas hidup merupakan tujuan utama rehabilitasi. Depresi merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi kualitas hidup. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara tingkat depresi dengan kualitas hidup pada pasien CMS. Desain penelitian ini adalah studi potong lintang dengan pengambilan sampel secara consecutive dengan subjek sejumlah 67 orang. Sampel penelitian adalah seluruh pasien cedera medulla spinalis AIS A-D. Seluruh subjek diminta untuk melakukan pengisian kuesioner Beck Depression Inventory dan WHOQOL-BREF versi Bahasa Indonesia. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat depresi dengan kualitas hidup pada pasien CMS (p<0,001). Semakin tinggi tingkat depresi maka kualitas hidup pasien akan semakin rendah (p<0,001). Terdapat korelasi antara nilai SCIM dengan kualitas hidup (p<0.001), terutama pada subskala manajemen pernapasan dan sfingter (p<0.001) serta mobilitas ruangan dan toilet (p<0.001). Terdapat hubungan antara tingkat depresi dan kualitas hidup pada pasien CMS. Selain itu, kapasitas fungsional juga mempengaruhi kualitas hidup pada pasien CMS. 

ABSTRACT
Depression is the most common psychological problems in spinal cord injury (SCI) patients. Quality of life is the main goal of rehabilitation. Depression has known to have correlations with quality of life. The purpose of this study is to evaluate association between the level of depression and quality of life in SCI patients. Cross sectional study was applied in this study with 67 subjects in total collected by consecutive sampling technique. Patients who experienced SCI with AIS A-D were included in this study. All of subjects were asked to fill out Beck Depression Inventory questionnaire and WHOQOL-BREF Indonesian version. In this study, we found that there was an association between level of depression and quality of life in SCI patients (p<0.001). Patient with higher level of depression had lower quality of life (p<0,001). Also, there is correlation between SCIM and quality of life (p<0.001), especially in respiration and sphincter management and mobility in room and toilet (p<0,001). There was an association between level of depression and quality of life in SCI patients. Functional capacity had influence on quality of life in SCI patients. 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Asyiyah
"Dampak dari Cedera medula spinalis (CMS) adalah perubahan fungsi saluran kemih bagian bawah. Untuk mengatasi masalah tersebut klien CMS mendapatkan penatalaksanaan kandung kemih dengan metoda intermittent self catheterization (ISC). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran 'pengalaman klien CMS yang menjalani ISC dalam konteks asuhan keperawatan di RSUP Fatmawati'. Metoda penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Data didapat dengan rekaman wawancara mendalam menggunakan MP4 terhadap 6 partisipan, dengan karakteristik 5 partisipan laki-laki dan 1partisipan perempuan. Rentang usia 33 sampai dengan 51 tahun. Menderita CMS thorakal 12-Lumbal 1, ASIA Impaiment Scale (AIS) A 5 orang dan AIS B 1 orang. Lama waktu penggunaan ISC antara setengah tahun hingga 5 tahun. Hasil wawancara dianalisis menggunakan metoda Colaizzi.
Dari studi ini dihasilkan 8 tema, yaitu perubahan sistem tubuh, komplikasi penyakit, gangguan konsep diri, proses belajar ISC, berbeda dengan orang sehat, mampu beradaptasi dengan perubahan, sistem pendukung dan harapan klien CMS. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa klien yang mengalami CMS dengan gangguan berkemih mengalami proses belajar ISC yang sama, mampu melakukan tindakan sesuai ketentuan dan dapat memodifikasi pola kehidupan, serta dapat beradaptasi dengan kondisi yang dihadapi. Penelitian dapat dilanjutkan dengan metode Grounded Theory.

The consequences of a Spinal cord injury (SCI) are alterations in lower urinary tract function. Therefore, client with SCI need to use bladder management methode of intermittent self catheterization (ISC). The purpose of the study was to explore the experiences of the clients with SCI using ISC on nursing care contex at Fatmawati Hospital Jakarta. A qualitative approach was used based on phenomenology. Indepth MP4 interview were conducter to six partisipans, they were 5 males and 1 female, partisipans ages ranged between 33 -51 years. The segmental level of SCI is Thoracic 12 to Lumbar 1, the ASIA impaiment Scale (AIS) is 5 clients and AIS B one client. Duration of using ISC ranged from 6 month to 5 years, and the frequency is four times per day. The result was analysed with Colaizzi method.
The study showed that there were 8 themes. Those were altered of the neurology system, complication, decrease of self esteem, learning process ISC, differ from healthy peoples, self adaption, support system and the last client wishes. The research conclucion is SCI clients with urinary voiding dificulties, they had been same experience about ISC, skills of ISC and they made modification of them self. Recomedation for future research is Grounded Theory as Method.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Setiono
"Tujuan: Menilai manfaat edukasi mengenai gangguan berkemih neurogenik pada pasien cedera medulla spinalis (CMS) di RSUP Fatmawati terhadap pengetahuan dan kemampuan mengatasi masalah.
Metode: Desain studi eksperimental. Subyek 22 orang pasien paraplegi karena CMS dengan gangguan berkemih neurogenik yang dirawat pertama kali di RSUP Fatmawati. Subyek diberikan program edukasi yang terdiri dari 7 topik selama rentang 3 minggu. Dilakukan penilaian pengetahuan dan kemampuan masalah dengan menggunakan kuesioner pada awal penelitian, pasca pemberian edukasi, dan 3 bulan pasca edukasi. Selain itu dilakukan penilaian kepentingan topik edukasi menurut subyek dengan skala Likert.
Hasil: 22 subyek menyelesaikan penilaian awal dan pasca edukasi, namun hanya 18 orang yang dapat dihubungi saat follow up 3 bulan. Terdapat peningkatan pengetahuan yang bermakna antara awal dan pasca edukasi (p=0,033), pasca edukasi dan follow up (p=0,047). Terdapat peningkatan yang bermakna pada kemampuan menyelesaikan masalah antara awal dan pasca edukasi (p=0,000), tidak terdapat perubahan bermakna antara pasca edukasi dan follow up (p=0,157). Seluruh topik edukasi yang diberikan dianggap penting oleh subyek.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah setelah pemberian edukasi, dan terdapat retensi sampai dengan 3 bulan pasca edukasi. Pemberian program edukasi mengenai gangguan berkemih neurogenik pada pasien CMS penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah, serta mencegah komplikasi urologis.

Objective : To evaluate the effect of educational program in neurogenic bladder for spinal cord injury patient at Fatmawati General Hospital in improving knowledge and problem solving skill.
Methods : This is a experimental study. Twenty two paraplegic SCI patients with neurogenic bladder in Fatmawati hospital was included in this study. The subjects was given educational program which consist of 7 topics in 3 weeks period. Questionnaire for evaluating knowledge and problem solving skill was given at the beginning of the study, after completion of education program, and 3 months after education. A likert scale-based questionnaire also given at the end of education to assess patient?s perception of importance regarding the education topics.
Results : All subjects finished the initial and post education assessment, but only 18 subjects finished follow up evaluation. There was significant difference in knowledge between initial and post education assessment (p=0.033) and between post education and follow up (p=0.047). There was significant improvement in problem solving skill between initial and post education assessment (p=0.000) and no significant difference between post education and follow up (p=0.157). All topics given perceived as important by all the subjects.
Conclusion : There is a significant improvement in knowledge and problem solving skill after educational program, and there is retention up to 3 months after education. Educational program in neurogenic bladder for patients with SCI during hospital stay is important in improving patient?s knowledge and problem solving skill also for prevention of urological complication.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Pusat data nasional medula spinalis memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera medula
spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplit akibat
kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk dengan angka tetraplegia 200.000
pertahunnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi gambaran kecemasan
terhadap perubahan citra tubuh pada pasien cidera medula spinalis. Penelitian ini
dilakukan di RS Fatmawati Jakarta dengan jumlah responden 30 orang. Desain penelitian
yang digunakan adalah deskriptif sederhana dengan menggunakan alat instrumen
kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah perhitungan statistik proporsi. Hasil
penelitian ini menyimpulkan balmwa gambaran tingkat kecemasan pada pasien cedera
medula spinalis mengalami tingkat kecemasan sedang (53,3%) dan menggunakan koping
yang positif (83,3%) hal ini mungkin dipengaruhi oleh kondisi pasien yang sedang dalam
tahap perawatan dan rehabilitasi sehingga informasi tentang keadaan pasien telah
diberikan oleh petugas kesehatan dan sebagian besar rsponden telah melalui tahapan
respon kehilangan dimana masa Iamanya rawat inap dan rehabilitasi berkisar 1 - 3
minggu."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2005
TA5377
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widyastuti Srie Utami
"Pendahuluan: Spinal cord injury (SCI) merupakan kejadian yang katastrofik, yang sering kali menyebabkan disfungsi neurologis yang signifikan serta disabilitas yang seringkali permanen, yang konsekuensinya tidak hanya dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien sepanjang hidupnya, namun juga terhadap keluarga dan masyarakat.(6,7) SCI ditandai dengan disfungsi motorik, sensorik dan otonom yang kompleks, yang derajatnya menandakan berat SCI yang dialami. SCI terdiri atas sejumlah gejala yang menunjukkan kerusakan neuron dari Central Neural System (CNS), yang berkisar mulai dari foramen magnum hingga regio tulang belakang bawah.
Di seluruh dunia, angka kejadian SCI kurang lebih 40 kasus per juta orang per tahun. SCI traumatik disebabkan antara lain oleh kecelakaan lalulintas (47%), jatuh (23%), kekerasan/kriminalitas (14%), cedera olahraga (9%), serta penyebab lain yang mencakup hingga 7% angka kejadian, termasuk di dalamnya SCI iatrogenik yang dapat terjadi dalam operasi intervensi tulang belakang.(5) Di USA, Eropa, dan Jepang, SCI terjadi pada kurang lebih 30.000 individu per tahun, serta merupakan problem kronis bagi kurang lebih 500.000 pasien di seluruh dunia. Di wilayah Asia Pasifik, 300-400 kasus baru dilaporkan tiap tahunnya, dengan angka kejadian terbanyak terjadi pada usia 28.6 tahun, dan setengah dari seluruh pasien ini merupakan golongan usia muda yang seharusnya berada dalam periode paling produktif dalam hidup mereka.(6).
The National Institute on Disability and Rehabilitation Research melaporkan bahwa hingga 34.1% pasien yang mengalami SCI akan hidup dengan incomplete tetraplegia, 23% dengan complete paraplegia, 18.3% dengan complete tetraplegia, dan 18.5% dengan incomplete paraplegia. Hanya kurang dari 1% pasien dengan SCI yang cukup beruntung untuk mengalami recovery neurologis komplit.(5,10) Kebanyakan cedera di daerah thorakal menyebabkan complete SCI (73%), sedang cedera di daerah lumbal mengakibatkan incomplete SCI (79%).(2).
SCI pada manusia terutama diakibatkan oleh kombinasi dari tensile force atau gaya distraksi serta kontusio pada kolumna vertebra dan spinal cord itu sendiri. Gaya distraksi sering kali merupakan komponen integral dalam pathogenesis SCI, baik dalam kondisi traumatik maupun iatrogenik seperti pada saat tindakan intervensi tulang belakang.(4) Namun demikian belum banyak dibangun model ideal yang dapat meniru efek gaya distraksi pada spinal cord ini.
Kebanyakan pemahaman akan pathofisiologi serta tata laksana SCI didasari atau berawal dari temuan pada hewan coba yang digunakan sebagai model bagi SCI. Kebanyakan SCI termasuk yang terjadi pada saat operasi tulang belakang umumnya bersifat bireksional, sehingga model distraksi yang dapat meniru sifat bidireksional ini akan lebih dapat merefleksikan efek distraksi pada SCI yang timbul pada saat operasi intervensi tulang belakang.(4).
Tindakan bedah yang memanipulasi tulang belakang memiliki resiko tersendiri untuk terjadinya SCI intraoperatif. Koreksi deformitas skoliosis serta stabilisasi tulang belakang menggunakan instrumentasi seperti fixation rods, seringkali melibatkan gaya distraksi yang dalam besar yang cukup signifikan yang berpotensi menyebabkan terjadinya SCI iatrogenik.(3)
SCI yang terjadi pada prosedur ini dapat disebabkan oleh kompresi spinal cord akibat translasi dari vertebra, kinking dari spinal cord, buckling dari dura, hipoksia akibat ligasi pembuluh darah segmental dan menurunnya tekanan darah selama operasi, serta stretching atau distraksi langsung pada spinal cord saat koreksi deformitas.(3) Jika berlebihan, gaya distraksi ini dapat mengakibatkan defisit neurologis bahkan paralisis, yang masih terjadi pada 1-2% operasi tulang belakang. Pencegahan terjadinya SCI iatrogenik sebagai salah satu resiko penting dalam operasi atau prosedur tulang belakang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini.
Menilik tingginya derajat kecacatan dan bahkan kematian akibat kerusakan irreversibel yang dapat terjadi pada SCI, pencegahan terhadap terjadinya cedera ini sangatlah berharga baik dalam transportasi, tempat bekerja, olahraga, serta intraoperatif atau SCI iatrogenik. Jika memungkinkan, monitoring elektrofisiologi intraoperatif sangat berguna untuk mendeteksi dan mencegah terjadinga SCI iatrogenik ini. MEP yang diukur melalui stimulasi kortikal transkranial (TcMEP) dapat memberikan sarana deteksi dini ini.
Walaupun intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring dapat sangat membantu dalam identifikasi gangguan neurologis akut intraoperatif sehingga dapat membantu mencegah atau setidaknya membatasi kejadian SCI iatrogenik, pemeriksaan ini belum bisa rutin dilakukan di semua rumah sakit karena relatif masih mahalnya alat, terbatasnya ketersediaan, serta dibutuhkannya personel terlatih untuk melaksanakan monitoring intraoperatif bersangkutan, terutama di negara-negara dengan sarana yang masih terbatas.(4,33).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara besar gaya distraksi yang diberikan pada spinal cord kelinci coba dengan timbulnya gangguan neurologis serta perubahan histopathologis yang ditimbulkannya. Dalam penelitian ini, penulis mengajukan model SCI pada kelinci sebagai hewan coba dengan mengaplikasikan gaya distraksi pada spinal cord lumbal menggunakan alat distraktor yang telah diukur dan dikalibrasi, dan pada saat yang sama mengukur besaran perubahan amplitudo Transcranial Motor Evoked Potential (TcMEP) yang terjadi yang menggambarkan gangguan neurokonduksi yang terjadi secara real-time.(33) Gangguan neurologis juga diobservasi secara klinis, dan perubahan histopathologis akibat cedera pada spinal cord diteliti melalui pemeriksaan histopathologis setelah spinal cord melalui proses harvesting. Penelitian ini juga membandingkan hasilnya dengan hasil penelitian oleh kolega dr. Robin Novriansyah yang mempelajari efek distraksi pada spinal cord regio thorakal(35), dengan tujuan untuk membandingkan kerentanan antara kedua level spinal cord terhadap gaya distraksi selama prosedur intervensi tulang belakang.
Metode: Dua puluh kelinci jantan galur New Zealand dengan berat 3.000-3500 gram yang dibagi menjadi 4 kelompok intervensi (amplitudo TcMEP 80-60%, 60-40%, 40-20%, dan 20-0% (flat) dari amplitudo baseline awal sebelum dilakukan distraksi) dan kelompok kontrol digunakan dalam penelitian ini. Gaya distraksi diberikan intraoperatif menggunakan midline posterior approach pada vertebra lumbal L1-L2 menggunakan alat distraktor yang telah menjalani uji konstanta dan kalibrasi, dimana untuk tiap 1 milimeter peregangan pada alat ini diperlukan gaya distraksi sebesar 16.29 Newton. Monitoring TcMEP intraoperatif diukur pada tiap milimeter distraksi yang diberikan pada masing-masing kelompok intervensi. Gangguan motorik dimonitor pasca operasi, dan pada hari ke-10 dilakukan spinal cord harvesting yang kemudian dinilai secara histopathologis untuk mempelajari perubahan selular maupun struktural yang terjadi.
Hasil: Ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05) pada penurunan amplitudo TcMEP, jarak distraksi, gaya distraksi yang diperlukan, serta derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan neurologis antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Di antara kelompok intervensi juga ditemukan perbedaan yang berbeda secara bermakna secara statistik dalam hal penurunan amplitudo TcMEP, jarak distraksi, gaya distraksi yang diperlukan, serta derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan neurologis yang terjadi.
Jarak minimum sebesar 18 mm yang sesuai dengan gaya distraksi sebesar 293.22 Newton diperlukan untuk mencapai terjadinya amplitudo TcMEP 0% (flat). Gangguan neurologis ini ditemukan reversibel walaupun ditemukan perubahan iskhemik dengan edema, iskhemia, degenerasi, nekrosis, serta gliosis derajatnya bersesuaian dengan besar distraksi.
Menggunakan uji statistik regresi linear pada monitoring perubahan amplitudo TcMEP pada setiap pertambahan jarak distraksi yang dikenakan pada spinal cord lumbal kelinci coba, melalui penelitian ini didapatkan bahwa hubungan antara jarak distraksi (D) dalam satuan milimeter (mm) dengan amplitudo TcMEP (aTcMEP) pada kelinci coba dapat diformulasikan sebagai berikut :
aTcMEP = 82.069 - (4.844 x D)
Dengan :
aTcMEP = Amplitudo Transcranial Motor Evoked Potential
D = Distraction Distance dalam satuan milimeter (mm)
Dibandingkan dengan kelompok intervensi dari kelompok spinal cord level thorakal, terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0.05) pada gaya distraksi yang diperlukan untuk menimbulkan penurunan amplitudo TcMEP 80-60%, 60-40%, dan 40-20%.
Diskusi: Derajat distraksi yang direfleksikan dalam jarak dan gaya yang diaplikasikan pada spinal cord regio lumbal akan mengakibatkan timbulnya gangguan neurokonduksi yang bersesuaian dengan besarnya distraksi, yang tercermin pada derajat penurunan amplitudo TcMEP yang terjadi. Derajat ini juga bersesuaian dengan derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan jaringan spinal cord secara histopathologis yang terjadi.
Melalui rumus formulasi hubungan antara jarak distraksi (mm) dengan amplitudo TcMEP (aTcMEP) pada model kelinci coba yang didapatkan yaitu aTcMEP = 82.069 – (4.844 x D), diperlihatkan melalui penelitian ini bahwa perubahan amplitudo TcMEP yang menggambarkan perubahan status neurologis yang terjadi akibat distraksi pada kelinci coba adalah mungkin untuk diperkiraan, sehingga dengan penelitian lebih lanjut mengenai spinal cord, dapat dibangun suatu formulasi yang dapat menjadi perangkat yang berharga bagi ahli bedah dalam operasi intervensi tulang belakang dalam keadaan tanpa alat intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring.
Seperti yang terwakili dalam perbedaan besar gaya distraksi yang diperlukan untuk mencapai derajat gangguan neurologis dan kerusakan jarimgan spinal cord secara histopathologis yang bersesuaian, spinal cord regio lumbal menunjukkan ketahanan yang lebih besar atau lebih tidak rentan terhadap gaya distraksi jika dibandingkan dengan spinal cord regio thorakal.
Kesimpulan: Penelitian ini mengajukan model seberapa besar suatu distraksi diperkirakan masih bisa dianggap aman dengan resiko cedera yang seminimal mungkin secara struktural maupun fungsional pada spinal cord regio lumbal walaupun tanpa bantuan perangkat monitoring neurodiagnostik intraoperatif.
Dengan meningkatnya pemahaman akan biomekanika dan pathofisiologi SCI serta perubahan biokimia dan selular yang terjadi di dalamnya, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi tidak hanya bagi penelitian mendatang mengenai tata laksana SCI serta potensi recovery-nya, namun juga yang paling penting, bagi upaya ke arah pencegahan SCI iatrogenik, terutama selama prosedur intervensi tulang belakang.

Introduction: Acute traumatic spinal cord injury (SCI) is a catastrophic, devastating, life-altering event, with loss of function and poor long-term prognosis, which consequences often persist for life, both for the patient, family, and society at large.(6,7) It is marked by a complex motoric, sensoric, and autonomous disfunction, with severity that mirrors the degree of injury to the neurons of the Central Neural System (CNS), ranging from the foramen magnum to the lowermost spinal regions.
The incidence of traumatic spinal cord injury is approximately 40 SCIs per million persons per year. Traumatic SCI is reported to occur by motor vehicle and workplace accident, falls, violence, sports accident, and other sources of trauma (7%), including iatrogenic cause during spine surgeries.(5) In USA, Europe and Japan, its incidence reaches approximately 30.000 persons per year, and becomes a mainstay for health problem for more than 500.000 patients around the globe. In Asia Pacific regio, a staggering 300-400 new cases have been reported annually, with peak incidence at 28.6 year of age, and approximately half of these patients are of youth demographic, who supposedly at the most productive period of their lives.(6)
The National Institute on Disability and Rehabilitation Research reporting that up to 34.1% patients with history of SCI will live their lives with incomplete tetraplegia, 23% with complete paraplegia, 18,3% with complete tetraplegia, and 18,5% with incomplete paraplegia, with only less than 1% will be lucky enough to gain complete neurological recovery.(5,10) Injury to the thoracic regio usually will cause a complete SCI (73%), while injury to lumbar regio commonly will cause a less severe or incomplete SCI (79%).(2)
SCI on human are mostly caused by combination of tensile force or distraction combined with contusion to vertebral coloumn and spinal cord itself. This distraction force is an integral component in SCI, whether in traumatic or iatrogenic milieu, yet there’s still lack of such an ideal model that capable of mimicking the effect of this force to the spinal cord.(4)
Most new understanding of pathophysiology and current treatment on SCI were based on studies on animal models, and most SCIs including ones that occur in spine surgeries are of bidirectional force, thus a distractor model on experimental animal that able to mimic this bidirectional force would be a more reliable model in mimicking the effect of distraction in SCI on human during spine surgeries.(4)
Spine surgery contributes its own risks to iatrogenic SCI. Procedures that involve intervention to the spine, e.g during curved spine deformity correction and stabilization of the spine using instrumentation such as fixation rods, oftenly involve application of significant amount of distraction force with its potential as a cause of iatrogenic SCI.(3)
Insults that contribute to SCI during spine intervention surgery include cord compression due to vertebral translation, cord kinking, dura buckling, hypoxia secondary to segmental blood vessel ligation and decreased blood pressure, ischemia, and/or direct spinal cord stretching due to distraction forces applied. If excessive, these distraction forces may result in neurological deficit even paralysis, that still occurs in 1-2% of spine surgeries. Prevention to iatrogenic SCI as an important risk in spine surgeries would be the focus of this study.(3)
Considering catastrophic impairment and even permanent paralysis caused by SCI, its prevention is of utmost importance in every possible milieu, not only in transportation, workplace, sports setting, but also intraoperative or iatrogenic SCI. When available, intraoperative electrophysiological monitoring could be very useful for the detection and prevention of iatrogenic SCI. Motor evoked potentials (MEP), obtained by transcranial cortical stimulation (TcMEP), can provide this early detection.
Eventhough intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring could be very beneficial in early identification of intraoperative neurological disturbance, and thus, is such a valuable tool in preventing the incidence or limiting the degree of severity of iatrogenic SCI during spine intervention surgery, its expensive costs and limited availability and the need for its specifically-trained personnels has made its application in each and every spine surgery is still limited, particularly in developing countries with limited resources.(4,33)
This experiment aims to study the correlation of the amount of distraction force applied to experimental animal lumbar spinal cord with its resulted neurological disturbances and histopathological changes. In this study, author proposes an SCI model by applying distraction force to experimental animal lumbar spinal cord using calibrated distractor device, at the same time, neurological disturbances were monitored intraoperatively using TcMEP that will show the degree of amplitude declination that represents its real-time neuroconduction disturbance.(33) Neurological disturbances were also observed clinically, and after spinal cord harvesting, histopathological changes due to injury to the spinal cord were also examined.
This experiment also compares its result with study of effect of distraction to the thoracic spinal cord in animal model performed by colleague Robin Novriansyah, MD(35), with aim to compare the vulnerability between the two spinal cord levels to distraction injury during spine intervention procedures.
Methods: Twenty male New Zealand experimental rabbits weighting 3.000-3.500 grams were divided into 4 intervention groups (80-60%, 60-40%, 40-20%, and 20-0% (flat) amplitude group compared to their baseline amplitude prior to distraction) and control group were used in this study. Distraction force were applied intraoperatively using midline posterior approach to the vertebra L1-L2 using calibrated spinal cord distraction device, in which a force of 16.29 Newton was required for each millimetre of distraction. Declination of Transcranial Motor Evoked Potential (TcMEP) amplitude were measured for each millimetre of distraction applied to each intervention group. Motoric disturbances were also monitored post operatively, and on day 10, after spinal cord harvesting, the spinal cords were examined histopathologically for its degree of selullar and structural damages.
Results: We found that there were statistically significant differences (p<0,005) of TcMEP amplitude declination, distance of distraction, distraction force required, degree of neurological disturbance, and degree of histopathological changes between intervention groups and control group.
Among intervention groups, there were also statistically significant differences on TcMEP amplitude declination, distance of distraction, distraction force required, degree of neurological disturbance, and degree of histopathological changes between each intervention group.
A minimum distance of 18 millimetres of distraction equal to 293.22 Newton of distraction force was required to achieve a flat (0%) TcMEP amplitude in this animal model study. These neurological changes due to distraction force even in flat TcMEPs appear to be clinically reversible eventhough ischemic changes were histopathologically found, represented in the degree of severity of edema, degeneration, ischemia, necrosis, and gliosis findings that correlate to the amount of distraction force applied.
Using statistical linear regression on careful TcMEP amplitude monitoring in each and every additional distraction distance applied to the experimental rabbits’ lumbar spinal cord, through this study we conclude that the relationship between distraction distance (mm) and TcMEP amplitude (aTcMEP) in rabbit animal model can be formulated as :
aTcMEP = 82.069 – (4.844 x D)
When compared to the thoracic spinal cord study, there were statistically significant (p<0,05) differences of distraction force required in lumbar 80-60%, 60-40%, and 40-20% amplitude groups compared to the corresponding thoracic spinal cord groups.
Discussion: Degree of distraction reflected in its distance and force required to be applied to lumbar spinal cord in rabbit experimental model will cause a corresponding degree of neuroconduction disturbance represented in declination of its TcMEP amplitude. This degree also correlates with the degree of neurological disturbances clinically and the degree of histopathological changes in the injured spinal cord tissue represented in the degree of edema, degeneration, ischemia, necrosis, and gliosis findings.
Through the defined formula of relationship between distraction distance in millimeter unit applied with TcMEP : aTcMEP = 82.069 - (4.844 x D) established in this experiment, it is shown that TcMEP amplitude changes that reflect the neurological disturbances due to the applied distraction on rabbit animal model can be predicted, thus through further future spinal cord study, valuable formulation could be established for surgeons during spine intervension surgery in the circumstance without the availability of an intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring device.
Represented in statistically significant more amount of distraction force required to achieve similar degree of neurological disturbance and histopathologically corresponding spinal cord tissue damage, the lumbar spinal cord apparently shows a less vulnerability to distraction force compared to the thoracic spinal cord.
Conclusion: This model offers orthopaedic surgeons an animal model of how far a distraction could still be considered safe with the least risk of injury to the spinal cord structurally and functionally, even without the help of intraoperative neuro-electrodiagnostic device.
With the increasing understanding of the biomechanics and pathophysiology of SCI, and also its biochemical and celullar changes, we hope that this study could share its contribution not only for future study of SCI treatment and its recovery potential, but also of utmost importance, to the prevention of iatrogenic SCI, particularly during spine intervention procedures such as during scoliosis deformity correction surgeries.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Krisadelfa Sutanto
"Latar Belakang: Cedera tulang belakang dapat menyebabkan kelumpuhan kronis yang memengaruhi kebutuhan energi dan protein. Proses penyembuhan yang lama akibat trauma sistem saraf dan komplikasi akibat tirah baring lama berdampak pada penurunan angka harapan hidup dan kualitas hidup seseorang. Risiko malnutrisi akibat inaktivitas kronis dapat menyebabkan hilangnya massa otot yang juga berpengaruh pada status nutrisi. Terapi medik gizi bertujuan mengurangi respons metabolik, mempertahankan massa bebas lemak, dan mencegah komplikasi. Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan cedera tulang belakang yang memiliki karakteristik usia 29-58 tahun. Status gizi pasien saat admisi adalah berat badan BB normal. Terapi medik gizi yang diberikan menggunakan panduan sakit kritis. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna dengan target capaian 30 kkal/kg BB. Mikronutrien utama yang diberikan adalah vitamin B. Hasil: Dua pasien kasus pertama dan ketiga pulang dengan pemenuhan nutrisi sesuai rekomendasi dan dapat mengkonsumsi asupan melalui jalur oral. Dua pasien yang meninggal pasien kedua dan keempat, tata laksana nutrisi tidak mencapai target. Pasien kedua memiliki penyulit berupa atelektasis paru kanan, infeksi sekunder Pseudomonas aeroginosa dan Klebsiella pneumoniae, sedangkan pasien keempat memiliki penyulit berupa kontusio paru, infeksi Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae. Kesimpulan: Terapi medik gizi yang adekuat mendukung kesembuhan pasien. Penyulit seperti infeksi sekunder atau komorbid lain dapat menjadi kendala keberhasilan tatalaksana nutrisi yang optimal.
Background: Spinal cord injury causes chronic paralysis that affects energy and protein requirement. The long-term healing process due to nervous system trauma and complications caused by prolonged bed rest impact on decreasing life expectancy and quality of life. The risk of malnutrition due to chronic inactivity can lead to loss of muscle mass, that also affects nutritional status. The aims of medical nutrition therapy are to decrease metabolic response, maintain fat-free mass, and prevent complications. Methods: This case series reported four critically ill patients with spinal cord injury aged 29-58 years. All patients had normoweight. Medical nutrition therapy was given based on nutrition guidelines for critically ill patients. Nutrition was given in accordance with clinical and gastrointestinal tolerance, increased gradually up to 30 kcal/kg body weight. Micronutrient given was vitamin B. Results: Two patients the first and the third discharged with optimal nutrient intake given orally. Other two patients the second and the fourth had right atelectasis, secondary infecton of Pseudomonas aeruginosa and Klebisella pneumoniae, the latter had pulmonary contusions and secondary infection as well. Conclusion: Adequate nutrition supports patient rsquo;s recovery. Comorbidty and infection can be obstacle to achieve optimal nutrition."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>