Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100625 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nila Kartika Ratna
"ABSTRAK
Pendahuluan
Penyakit infeksi paru dan kanker paru termasuk 5 penyakit respirasi terbanyak ditemukan di dunia. Infeksi pernapasan akut menyebabkan 4 juta kematian per tahun dan kanker paru sebanyak 1,18 juta kematian secara terpisah. Penyakit infeksi juga merupakan bagian dari perjalanan penyakit kanker paru dan menjadi salah saru penyebab kematian tersering pada kanker paru berkisar 50-70% kasus. Tren munculnya patogen baru dan meningkatnya angka resistensi obat menyebabkan penanganan infeksi ini menjadi lebih sulit.
Metode Studi deskriptif potong lintang pada pasien kanker paru yang dilakukan bilasan bronkus dan diperiksakan biakan mikroorganisme dari bahan bilasan tersebut. Jumlah sampel adalah total sampling dalam kurun waktu 1 tahun. Penelitian dilakukan di SMF Paru RSUP Persahabatan.
Hasil
Bakteri yang banyak ditemukan pada pasien kanker paru merupakan golongan gram negatif dengan species terbanyak adalah K. pneumonia dan B. cephacia. Ditemukan resistensi obat pada hampir semua jenis bakteri dan minimal dari 2 golongan antibiotik. Jenis jamur yang terbanyak dari genus Candida yaitu C. Albicans. Ditemukan resistensi obat anti jamur golongan azol pada species C. tropicalis, C. krusei dan A. Flavus. Hanya ditemukan 2 pasien kanker paru dengan biakan M. tuberculosis positif dari 108 pasien yang diperiksa dan tidak ditemukan resistensi obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama.
Kesimpulan
Pemeriksaan jenis mikroorganisme pada saluran napas bawah pasien kanker paru perlu dilakukan sebagai dasar pemberian terapi empiris bila terjadi infeksi
Introduction: Lung infections and lung cancer include in 5 most common respiratory diseases in the world. Acute respiratory infection and lung cancer caused 4 million deaths per year and 1.18 million deaths respectively. Infectious diseases are part natural course of lung cancers and become one of the most common causes of death in lung cancer patients ranging from 50-70%. The emergence of new pathogens and the increasing numbers of drug resistance causing infections treatment become more difficult.
Method: A cross-sectional descriptive study obtaining cultured microorganisms results in lung cancer patients who have been performed bronchial washings. These have been a total sampling within a period of 1 year. Research has been conducted in the Department of Pulmonology Persahabatan Hospital.
Result: Most common bacteria type found in lung cancer patients belong to gram-negative group with K. pneumoniae and B. cepacia as the most common species. Drug resistance found in most of bacteria from at least two classes of antibiotics. Most common types of fungi come from Candida genus, namely C. albicans. Drugs resistance in antifungal drug, azole, was found in C. tropicalis, and C. krusei. Only 2 lung cancer patients had M. tuberculosis positif culture from 108 patients were examined and first line anti-tuberculosis drugs resistance was not found.
Conclusion: Microorganism culture obtained from lower respiratory tract in lung cancer patient is neccesary as basis of empiric therapy when infection occurs"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jennifer Sahira Sunukanto
"Latar belakang: Situasi pandemi COVID-19 membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama pada masyarakat dengan penyakit kronis seperti kanker paru. Perubahan akibat pandemi memengaruhi tingkat kualitas hidup pasien yang penting untuk kesejahteraan hidup mereka. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kualitas hidup pasien kanker paru pada pandemi COVID-19.
Metode: Studi dengan metode potong-lintang dilakukan di Poli Rawat Jalan Onkologi Toraks RSUP Persahabatan, Jakarta. Sampel diambil menggunakan metode consecutive sampling. Tingkat kualitas hidup dinilai menggunakan kuesioner European Organisation for Research and Treatment of Cancer Quality of Life Questionnaire Core 30 items (EORTC QLQ-C30) versi Bahasa Indonesia. Penelitian ini juga menilai karakteristik sosiodemografis dan klinis pasien, serta faktor terkait COVID-19 yang meliputi kekhawatiran akan terhambatnya pengobatan, paparan informasi mengenai COVID-19, hambatan akses menuju fasilitas kesehatan, hambatan kelanjutan pengobatan, tekanan mental yang dialami, serta hubungan dengan keluarga dan teman selama pandemi COVID-19.
Hasil: Sebanyak 94% dan 6% pasien kanker paru memiliki tingkat kualitas hidup sedang dan buruk selama pandemi COVID-19. Keseluruhan pasien mengalami gangguan kualitas hidup selama pandemi, tetapi tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna secara statistik pada tingkat kualitas hidup dengan karakteristik subjek, maupun dengan pandemi COVID-19. Sebagian besar pasien mengkhawatirkan keterlambatan pengobatan dan mengalami tekanan psikologis, namun hanya sedikit pasien yang mengalami hambatan pengobatan selama pandemi.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan adanya gangguan kualitas hidup pada pasien kanker paru selama pandemi COVID-19. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut serta pengembangan intervensi yang lebih holistik dan komprehensif untuk pasien kanker paru, terutama selama pengobatan jarak jauh.
Kata kunci: Kanker Paru, Kualitas Hidup, COVID-19

Introduction: The COVID-19 pandemic has affected various aspects of life, especially for people with chronic diseases such as lung cancer. The changes due to the pandemic impact their quality of life (QoL) which is important for their well-being. This study aimed to provide an overview of lung cancer patients’ QoL during the COVID-19 pandemic.
Method: A cross-sectional study was conducted in the Thoracic Oncology Outpatient Clinic of Persahabatan National Respiratory Referral Hospital, Jakarta. Patients were recruited using consecutive sampling methods. QoL was assessed using the Indonesian version of the European Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of Life Questionnaire Core 30 items (EORTC QLQ-C30). This study also assessed the patients’ sociodemographic and clinical characteristics and the factors related to COVID-19, including concerns about treatment delays, exposure to COVID-19 information, barriers to access to healthcare facilities and treatment continuation, psychological pressure, and interpersonal relationships with family and friends.
Results: 94% and 6% of lung cancer patients have moderate and poor QoL during the COVID-19 pandemic. All patients have impaired QoL, but no statistically significant relationship was found between QoL and the subjects’ characteristics or the factors related to the pandemic. Most patients are concerned about treatment delays and experiencing psychological pressure, but only a few patients experience treatment barriers during the pandemic.
Conclusion: This study showed an impaired QoL in lung cancer patients during the COVID-19 pandemic. Further research and development of more holistic and comprehensive interventions for lung cancer patients, particularly during remote treatment, are needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Hermansyah
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit infeksi paru menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, termasuk mikosis paru yang disebabkan oleh infeksi, kolonisasi jamur maupun reaksi hipersensitif terhadap jamur. Bronkoskopi sebagai alat diagnostik untuk melihat gambaran lesi endobronkial dan mengambil bahan klinis seperti bronchoalveolar lavage BAL dan bilasan bronkus. Pemeriksaan biakan jamur dari bahan klinis bronkoskopi dapat membantu penegakan diagnosis mikosis paru.Metode: Studi deskriptif potong lintang pada pasien bronkoskopi yang dilakukan pemeriksaan biakan jamur dari BAL dan bilasan bronkus. Jumlah sampel adalah total sampling sejak Januari 2016 sampai dengan Desember 2017. Penelitian dilakukan di SMF Paru RSUP Persahabatan.Hasil: Bahan klinis dari bronkoskopi pada penelitian ini berupa bilasan bronkus sebanyak 67 buah dan BAL sebanyak 21 buah. Dari bahan klinis didapatkan hasil biakan tumbuh jamur sebanyak 35 buah dan tidak tumbuh jamur sebanyak 53 buah.Jenis jamur yang tumbuh adalahCandida sp. dengan spesies terbanyak Candida albicans sebanyak 30 isolat, Candida parapsilosis sebanyak 3 isolat, serta spesies Candida glabratadanCandida tropicalis masing-masing sebanyak 1 isolat.Kesimpulan: Bahan bronkoskopi BAL dan bilasan bronkus dapat digunakan untuk pemeriksaan biakan jamur.Kata Kunci: biakan jamur, bronkoskopi, bronchoalveolar lavage, bilasan bronkus.
Background: ABSTRACT
Lung infection diseases become health main problem in Indonesia, including lung mycosis caused by infection, fungal colonization or hypersensitivity reaction against the fungal. Bronchoscopy is used as diagnostic tool to see endobronchial lesion and to gain clinical specimens such as bronchoalveolar lavage BAL and bronchial washing. Fungal culture from clinical specimen of bronchoscopy can help diagnosing lung mycosis.Method: Cross sectional descriptive study of bronchoscopy patients with fungal culture assay from BAL and bronchial washing. Total sample is total sampling from January 2016 to December 2017. The study is in Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Persahabatan Hospital, JakartaResult: Clinical specimens from bronchoscopy in this study are 67 samples of bronchial washing and 21 samples of BAL. There are positive fungal growth in 35 samples and no fungal growth in 53 samples.All growing fungal come from Candida sp. with most species come from Candida albicans 30 isolates, followed by Candida parapsilosis 3 isolates, Candida glabrata and Candida tropicalis each one 1 isolate.Conclusion: Bronchoscopy samples of BAL and bronchial washing can be used forfungal culture assay examination."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Atit Puspitasari Dewi
"Latar belakang: Pneumonia menjadi penyebab infeksi tersering yang meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasien kanker paru. Serum procalcitonin (PCT) merupakan penanda hayati yang sering digunakan untuk mendiagnosis infeksi terutama pneumonia. Nilai titik potong kadar PCT untuk mendiagnosis pneumonia pada kanker paru sampai saat ini belum diketahui. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran PCT dalam diagnosis pneumonia pada pasien kanker paru.
Metode: Penelitian uji diagnostik dengan desain potong lintang terhadap pasien kanker paru dan terduga pneumonia di Instalasi Gawat Darurat dan ruang perawatan paru RSUP Persahabatan Jakarta bulan Agustus-Oktober 2018. Pneumonia ditegakkan berdasarkan panduan pneumonia yang dikeluarkan oleh Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pemeriksaan PCT dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar PCT pada kanker paru dengan dan tanpa pneumonia serta dilakukan analisis untuk menentukan titik potong optimal kadar PCT untuk diagnosis pneumonia pada pasien kanker paru dengan menggunakan ROC.
Hasil: Sebanyak 60 pasien kanker paru diikutsertakan. Pasien kanker paru dengan pneumonia sebanyak 31 orang (51,7%) dengan karakteristik laki-laki sebanyak 77,4% dan rerata usia 54,68±10,59 tahun, jenis kanker terbanyak adenokarsinoma (51,6%), stage IV (83,9%), skala tampilan 3 (45,2%), status gizi kurang (45,2%), dan bekas perokok (54,8%). Terdapat perbedaan bermakna median kadar PCT pasien kanker paru dengan pneumonia dibandingkan tanpa pneumonia [1,81 (0,08-200)μg/L berbanding 0,30 (0,05-3,67) μg/L;p<0,001]. Terdapat peningkatan kadar PCT pasien kanker paru dengan metastasis, komponen neuroendokrin, jumlah metastasis ≥ 2, metastasis hepar meskipun hasil ini tidak bermakna secara statistik. Serum PCT berperan lebih baik dibandingkan kadar leukosit dan hitung jenis neutrofil untuk membedakan antara pneumonia dan bukan pneumonia pada pasien kanker paru (p <0,001, p=0,297; p=0,290). Serum PCT memiliki akurasi yang baik dengan AUC 0,829 (IK 95% 0,722-0,935]. Titik potong optimal kadar PCT untuk mendiagnosis pneumonia pada pasien kanker paru adalah 0,65 μg/L dengan sensitivitas 77,4% dan spesifisitas 79,3%.
Kesimpulan: Kadar PCT pada pasien kanker paru dengan pneumonia lebih tinggi dibandingkan tanpa pneumonia. Titik potong optimal kadar PCT untuk diagnosis pneumonia pada kanker paru adalah 0,65 μg/L.

Background: Pneumonia accounts for higher morbidity and mortality than any other infections in lung cancer patients. Procalcitonin (PCT) is a clinical biomarker to diagnose infection including pneumonia. Cut off point to diagnose pneumonia in lung cancer patient still unclear. The study aims to determine the roleof PCT in diagnosing pneumonia in lung cancer patients.
Methods: Diagnostic test with cross sectional design was conducted in lung cancer patients with suspected pneumonia admitted to emergency and pulmonary ward of Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between August – October 2018. A diagnosis of pneumonia was complying to the guideline provided by the Indonesian Society of Respirology. Serum PCT level (sPCT) between lung cancer patients with and without pneumonia was measured followed by statistical analysis. The optimal sPCT cut off point to diagnose pneumonia in lung cancer was determined using ROC curve.
Result: From sixty patients, lung cancer patients presented with pneumonia was found in 31 patients (51.7%) with mean age 54.68±10.59 yo, which 77.4% were males, 51.6% were adenocarcinomas, 83.9% were stage IV cases, 45.2% were patients with ECOG performance status of 3, 45.2% were underweight and 54.8% were ex-smokers. The sPCT were significantly higher in lung cancer with pneumonia compared to those without pneumonia [1.81 (0.08-200)μg/L vs 0.30 (0.05-3.67) μg/L; p<0.001]. The sPCT were higher in lung cancer accompanied with metastasis, neuroendocrine component, ≥2 metastatic sites and liver metastatic, although these results were not statistically significant. The sPCT showed a better performance in differentiating pneumonia in lung cancer compared to leucocyte count and absolute neutrophil count (p <0.001, p=0.297; p=0.290, respectively). The sPCT showed a good accuracy to diagnose pneumonia in lung cancer with AUC 0.829 (CI 95% 0.722-0.935). The optimal cut off point of sPCT to diagnose pneumonia in lung cancer was 0.65 μg/L with 77.4% sensitivity and 79,3% specificity.
Conclusion: The sPCT was significantly higher in lung cancer with pneumonia than those without pneumonia. The optimal cut off point of sPCT to diagnose pneumonia in lung cancer was 0.65 μg/L.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Claudhea Salsabila
"Latar Belakang: Kanker paru merupakan salah satu kanker yang paling sering terjadi
dan menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi. Salah satu komplikasi yang dapat
timbul adalah infeksi oportunistik berupa mikosis paru. Mikosis paru masih jarang
dikenali, padahal menyebabkan beban kesehatan dan peningkatan laju mortalitas. Salah
satu penyebabnya adalah diagnosis yang masih menjadi tantangan karena tidak
spesifiknya gejala klinis dan uji diagnosis tidak invasif yang ada juga masih belum
diketahui kepastian tingkat akurasinya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kaitan berupa nilai akurasi hasil
diagnosis immunodiffusion test (IDT) dibandingkan dengan profil IgG spesifik
Aspergillus.
Metode: Metode penelitian ini adalah dengan uji laboratorium IDT dan IgG spesifik
Aspergillus dengan desain studi potong lintang. Pemeriksaan IDT menggunakan crude
antigen Aspergillus sedangkan pemeriksaan IgG spesifik Aspergillus menggunakan kit
komersial Dynamiker dengan hasil positif jika nilai absorbansi di atas 120 AU/mL.
Hasil: Berdasarkan 70 subjek didapatkan karakteristik sebagai berikut yaitu subjek
umumnya berjenis kelamin laki-laki 61,4% (n=43), berusia di atas 60 tahun 54,3%
(n=38), memiliki riwayat merokok 60,0% (n=42) dengan indeks Brinkmann berat
31,4% (n=22). Pasien umumnya memiliki jenis histologi berupa adenokarsinoma 74,3%
(n=52) dengan stadium IIIB-IV sebesar 78,6% (n=55) dan tampilan status kategori PS 1
40,0% (n=28). Prevalensi aspergillosis berdasarkan IgG spesifik Aspergillus pada
penelitian ini adalah 25,7%, sedangkan prevalensi jika menggunakan IDT sebesar 42,9%. Nilai akurasi IDT dengan IgG spesifik Aspergillus sebagai baku emas menunjukkan tingkat sensitivitas 44,4% (IK95% 21,5%-67,4%), spesifisitas 57,7% (IK95% 44,3%-71,1%), nilai duga positif 26,7% (IK95% 10,8%-42,5%), dan nilai duga
negatif 75,0% (IK95% 61,6%-88,4%) dan nilai Kappa sebesar 0.017. Selain itu, terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara jenis kelamin dan indeks brinkmann terhadap hasil pemeriksaan IDT Aspergillus (p<0.05).
Kesimpulan: IDT bukan merupakan metode diagnosis yang baik dan perlu adanya validasi terhadap crude antigen yang digunakan.

Background: Lung cancer is one of the most common cancers and causes a high
mortality rate. One of the complications that can arise is an opportunistic infection in
the form of pulmonary mycosis. Pulmonary mycosis is rarely recognized, even though it
causes a health burden and an increased mortality rate. One of the causes is the method
of diagnosis which is still a challenge because the clinical symptoms are not specific
and the existing non-invasive diagnostic tests are not yet known for its exact level of
accuracy.
Aim: This study aims to determine the correlation in the form of accuracy value of the
immunodiffusion test (IDT) diagnostic results compared to the Aspergillus-specific IgG
profile.
Method: The method of this research was laboratory tests in forms of IDT and
Aspergillus-specific IgG with cross-sectional study design. IDT test used crude antigen
while Aspergillus-specific IgG test used a commercial Dynamiker Kit with a positive
result if the absorbance value above 120 AU/mL.
Results: Based on 70 subjects, the characteristics of the subjects are mainly male 61.4%
(n=42) with age over 60 years old 54.3% (n=43), had a history of smoking 60% (n=42)
with a severe Brinkmann index 31.4% (n=22). Subjects generally had a histological
type of adenocarcinoma 74.3% (n=52) with stage IIIB-IV 78.6% (n=55) and
performance status category PS1 40.0% (n=28). The prevalence of aspergillosis in this
study was 25.7% using Aspergillus-specific IgG, while the prevalence when using IDT
was 42.9%. The IDT accuracy value with Aspergillus-specific IgG as the gold standard
showed a sensitivity level of 0.444 (95%CI 0.215-0.674), a specificity of 0.577 (95% CI
0.443-0.711), a positive predictive value of 0.267 (95% CI 0.108-0.425), and a negative
predictive value of 0.750 (95% CI 0.616-0.884) and the Kappa value is 0.017. In
addition, there was a statistically significant relationship between gender and the
Brinkmann index on the results of the Aspergillus IDT examination (p <0.05).
Conclusion: IDT is not a good diagnostic method and it is still necessary to validate the
crude antigen used.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claresta Diella
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas laktat dehidrogenase LDH serum dan korelasinya dengan asupan karbohidrat pada pasien kanker paru stadium lanjut di Rumah Sakit Kanker Nasional Dharmais Jakarta. Pada sel kanker terjadi efek Warburg yaitu kecenderungan sel kanker untuk melakukan glikolisis anaerob. Enzim LDH berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah piruvat menjadi laktat pada keadaan anaerob. Peran laktat pada pada sel kanker meliputi inisiasi pertumbuhan tumor, menjaga kelangsungan sel kanker, proliferasi, angiogenesis, dan metastasis. LDH dapat digunakan sebagai marker diagnostik, penentu prognosis, sensitivitas dan resistensi tumor terhadap terapi, dan target potensial untuk kemoterapi. Subjek didapatkan melalui consecutive sampling yang melibatkan 56 subjek kanker paru stadium lanjut. Rerata usia hasil adalah 56,98 10,36 tahun, sebanyak 55,4 berjenis kelamin laki-laki. Asupan karbohidrat berdasarkan food recall 1 x 24 jam adalah 57,64 10,85 , sedangkan berdasarkan food frequency questionnaire FFQ semikuantitatif adalah 57,98 10,50 . Nilai median aktivitas LDH adalah 541,5 164 ndash;6539 IU/L yang sebanyak 60,7 aktivitasnya meningkat. Pada penelitian ini didapatkan korelasi negatif yang bermakna dengan kekuatan sedang p = 0,017, r = - 0,317 antara asupan total karbohidrat per hari dalam gram berdasarkan metode food recall 1 x 24 jam dengan aktivitas LDH serum. Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara total karbohidrat per hari dalam gram berdasarkan metode FFQ semikuantitatif dan asupan karbohidrat terhadap total energi dengan aktivitas LDH baik berdasarkan metode FFQ semikuantitatif dan food recall 1 x 24 jam.Kesimpulan: Asupan karbohidrat dalam 24 jam berkorelasi negatif bermakna dengan aktivitas LDH serum pada pasien kanker paru stadium lanjut.

The aim of this study is to determine serum lactate dehydrogenase LDH activity and its correlation with carbohydrate intake in advanced lung cancer patients at Dharmais National Cancer Hospital Jakarta. Cancer cells are characterized by increase anaerobic glycolysis termed the Warburg effect. LDH enzyme catalyzes the convertion of lactate to pyruvate in anaerobic condition. Activity of lactate in cancer influences on tumor growth initiation, tumor survival, proliferation, angiogenesis and metastasis. Serum LDH activity can be used as a diagnostic marker, prognostic marker, predictive marker for tumor sensitivity and resistancy to therapy, and potensial target for chemotherapy. 56 subjects of advanced lung cancer are recruited by consecutive sampling. The mean of age subjects is 56,98 10,36 years old and 55,4 were male. Carbohydrate intake based on food recall 1 x 24 hours is 57,64 10,85 , while based on food frequency questionnaire FFQ semiquantitative is 57,98 10,50 . The median of LDH activity is 541,5 164 ndash 6539 IU L and 60,7 is increse. This study show medium negative significant correlation p 0,017, r 0,317 between total carbohydrate intake per day in grams based on food recall 1 x 24 hours with LDH serum activity. There is no significant correlation between total carbohydrate intake per day in grams based FFQ semiquantitative and carbohydrate intake of total energy with LDH serum activity based on food recall 1 x 24 hours and FFQ semiquantitative. In conclusion, there is medium negative significant correlation between carbohydrate intake in 24 hours with LDH serum activity in advanced lung cancer patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Anissa
"Pada penderita kanker paru terjadi inflamasi sistemik dan dapat dilihat dengan peningkatan rasio netrofil limfosit di mana pemeriksaan ini lazim dilakukan di Rumah Sakit. Inflamasi sitemik dapat menyebabkan anoreksia sehingga asupan pada penderita kanker paru menurun dan memengaruhi status gizinya.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan rasio netrofil limfosit pada pasien kanker paru di RSUP Persahabatan. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Data diambil dari wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan dari rekam medis pasien poliklinik onkologi RSUP Persahabatan (n=52). Pada penelitian ini subjek sebagian besar berjenis laki-laki (61,5%), rentang usia terbanyak antara 50-60 tahun (38,5%), memiliki riwayat merokok (55,8%) dengan indeks Brinkman berat (30,8%). Lebih dari 50% subjek dengan asupan energi dan protein dibawah rekomendasi asupan untuk pasien kanker. Sebagian besar subjek penelitian berisiko malnutrisi atau malnutrisi sedang (38,5%) dan sebanyak 67,3% mengalami malnutrisi. Sebagai kesimpulan tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan rasio netrofil limfosit pada penelitian ini (p = 0,35).

Systemic inflammation in patients with lung cancer can be seen by the increase in the neutrophil lymphocyte ratio where these examinations are common in hospitals. Systemic inflammation can cause anorexia, with the result that nutrition intake of patients with lung cancer decreases and affects their nutritional status. This study aims to determine the association between nutritional status and the ratio of lymphocyte neutrophils in patients with lung cancer at Persahabatan Hospital. This is a cross-sectional study. Data were taken from interviews, physical examinations, laboratory analysis, and patients medical records in the oncology clinic of Persahabatan Hospital (n = 52) The subjects of the study were mostly male (61.5%), the largest age range was between 50-60 years (38.5%), had a history of smoking (55.8%) with a severe Brinkman index (30.8%). More than 50% of the subjects with energy and protein intake were below the recommended intake for cancer patients. Most of the study subjects were at risk of malnutrition or moderate malnutrition (38.5%) and 67.3% of them were experiencing malnutrition. In conclusion, there was no relationship between nutritional status with the ratio of neutrophil to lymphocytes in this study (p = 0.35)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satrial Male
"ABSTRAK
Elektron biasanya digunakan untuk pengobatan kanker payudara sebagai dosis
tambahan. Pengukuran dosis yang diterima pasien pada rentang energi 6 MeV, 10
MeV dan 12 MeV dari kepala linac, lapangan aplikator 14 x 14 cm2, SSD 95 cm
disimulasikan. Dosis pada paru disimulasikan dengan sistem EGS monte carlo.
Distribusi dosis yang dikalkulasi dengan teknik monte carlo berbeda dengan hasil
TPS. Hal ini karena adanya koreksi dari densitas jaringan (inhomogenitas)
disekitar paru pada simulasi monte carlo sedangkan pada kalkulasi TPS ISIS tidak
memperhitungkan hal tersebut. Dosis 10% di paru hasil kalkulasi simulasi monte
carlo diperoleh pada kedalaman 4.22 cm sedangkan pada TPS 2.98 cm untuk
energi 6 MeV. Sedangkan untuk 10 MeV dan 12 MeV dosis 10% untuk simulasi
monte carlo dan TPS berutur-turut adalah 4.69 cm, 5.72 cm dan 5,79 cm dan 6.95
cm.

ABSTRACT
Treatment option by using electron beam is always done after surgery as booster
doses. Dose measurement in patient lung in energy range 6 MeV, 10 MeV and 12
MeV, filed size 14 x 14 cm2 and SSD 95 cm was simulated. The modelings in
Monte Carlo simulation are modeling treatment head and water phantom by using
BEAMnrc and DOSXYZnrc based on EGSnrc codes. The result from
measurement and simulation is diffrent because correction factors of
inhomogenity lung not included in the TPS ISIS. Depth Dose 10% in lung from
calculation with monte carlo simulation is 4.22 cm and TPS is 2.98 cm with
energy of 6 MeV. For energy of electron 10 MeV and 12 MeV, depth dose 10%
from simulation monte carlo and TPS 4.69 cm, 5.72 cm and 5,79 cm, 6.95 cm."
2012
T30854
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Claudhea Salsabila
"Kanker paru sebagai salah satu kanker terbanyak di dunia merupakan faktor risiko dari infeksi oportunistik, seperti mikosis paru. Mikosis paru masih jarang dikenali akibat diagnosis yang masih menjadi tantangan karena gejala dan radiologis yang tidak spesifik dan uji diagnosis yang tidak invasif masih belum diketahui kepastian tingkat akurasinya. Studi ini dilakukan untuk mengetahui nilai akurasi hasil pemeriksaan immunodiffusion test (IDT) yang menggunakan crude antigen dibandingkan dengan profil immunoglobulin G (IgG) spesifik Aspergillus sebagai baku emas yang menggunakan kit Dynamiker dengan hasil positif jika absorbansi di atas 120 AU/mL. Penelitian dilakukan melalui uji laboratorium dengan desain studi potong lintang. Prevalensi aspergillosis berdasarkan IgG spesifik Aspergillus didapatkan 25,7% dan nilai akurasi IDT didapatkan sensitivitas 44,4% (IK95% 21,5%-67,4%), spesifisitas 57,7% (IK95% 44,3%-71,1%), nilai duga positif 26,7% (IK95% 10,8%-42,5%), dan nilai duga negatif 75,0% (IK95% 61,6%-88,4%) dengan nilai Kappa sebesar 0.017. Selain itu, terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara jenis kelamin dan indeks Brinkmann terhadap hasil pemeriksaan IDT Aspergillus (p<0,05). Oleh karena itu, IDT bukan merupakan metode diagnosis yang baik dan perlu adanya perbaikan terhadap antigen yang digunakan.

Lung cancer as one of the most common cancers in the world is a risk factor for opportunistic infections, such as pulmonary mycoses. Pulmonary mycoses is still rarely recognized due to the challenging diagnosis because the symptoms and radiology are not specific and the accuracy value of diagnostic tests that are not invasive is still not yet known. This study was conducted to determine the accuracy of immunodiffusion test (IDT) using crude antigen compared to the Aspergillus-specific immunoglobulin G (IgG) as the gold standard using Dynamiker kit with the positive result if the absorbance value is above 120 AU/mL. The method of this research is laboratory test with a cross-sectional study design. The prevalence of aspergillosis based on Aspergillus-specific IgG is 25.7% and the accuracy values of IDT are sensitivity 44.4% (95% CI 21.5%-67.4%), specificity 57.7% (95% CI 44.3%-71.1%), positive predictive value 26.7% (95% CI 10.8%-42.5%), and negative predictive value 75.0% (95% CI 61.6%-88.4%) with Kappa value 0.017. Besides, there was a statistically significant difference between gender and the Brinkmann Index on the results of IDT examination (p>0.05). Therefore, IDT is not a good or reliable diagnostic method and there is a need for improvement or correction of the antigen used."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Cahyanti
"Latar Belakang: Kanker paru adalah penyakit dengan ancaman serius di Indonesia. Progresifitas massa tumor merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesintasan hidup pasien kanker paru. Karsinoma sel kecil (KPKSK) menunjukkan progresifitas yang lebih tinggi daripada karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK). Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien KPKBSK memiliki tingkat kesintasan hidup yang lebih baik daripada pasien KPKSK. Penelitian ini bertujuan untuk menilai perbedaan kesintasan antara pasien KPKSK dan KPKBSK di Rumah Sakit Kanker "Dharmais" (RSKD) dengan mengontrol variabel umur, jenis kelamin, stadium klinis, dan penatalaksanaan.
Metode: Studi kohort retrospektif ini melibatkan 949 partisipan (KPKSK dan KPKBSK) di RSKD dari tahun 2013 hingga 2017, dengan follow-up hingga tahun 2021. Tingkat kesintasan dianalisis menggunakan metode Kaplan-Meier, dan efek prediktor dinilai dengan model Cox proportional hazard.
Hasil: Kesintasan pasien KPKSK di RSKD pada periode 2013-2017 lebih rendah dibandingkan dengan pasien KPKBSK. Kesintasan di tahun pertama pada pasien KPKSK adalah 31,21%, dan pada tahun ketiga, keseluruhan pasien KPKSK meninggal. Pada pasien KPKBSK, kesintasan di tahun pertama, ketiga, dan kelima berturut-turut adalah 45,19%, 23,62%, 15,92%. Median waktu kesintasan pasien KPKSK adalah hari ke-172, lebih pendek dibandingkan dengan pasien KPKBSK (hari ke-272). Setelah mengontrol variabel-variabel kovariat, tidak terdapat perbedaan kesintasan yang bermakna secara statistik antara pasien KPKSK dan KPKBSK (p > 0,05).
Kesimpulan: Studi menunjukkan bahwa kesintasan pasien KPKSK lebih rendah dibandingkan dengan pasien KPKBSK di RSKD; namun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan signifikan setelah mengontrol variabel umur, jenis kelamin, stadium klinis, dan penatalaksanaan.

Background: Lung cancer is a disease with a serious threat in Indonesia. Tumor mass progression is one of the factors influencing the survival of lung cancer patients. Small cell carcinoma (SCLC) shows higher progression compared to non-small cell carcinoma (NSCLC). Several studies have shown that NSCLC patients have a better survival rate than SCLC patients. This study aims to assess the difference in survival rates between SCLC and NSCLC patients at Dharmais Cancer Hospital while controlling for age, gender, clinical stage, and management.
Method: This retrospective cohort study involved 949 participants (SCLC and NSCLC) from 2013 to 2017, with follow-up until 2021. Survival rates were analyzed using the Kaplan-Meier method, and the predictor effect was assessed using the Cox proportional hazard model.
Results: The survival rate of SCLC patients at Dharmais Cancer Hospital during the period 2013-2017 was lower compared to NSCLC patients. The survival rate in the first year for SCLC patients was 31.21%, and by the third year, all SCLC patients had passed away. For NSCLC patients, the survival rates in the first, third, and fifth years were 45.19%, 23.62%, and 15.92%, respectively. The median survival time for SCLC patients was day 172, which was shorter compared to NSCLC patients (day 272). After controlling for covariate variables, there was no statistically significant difference in survival between SCLC and NSCLC patients (p > 0.05).
Conclusion: The study shows that the survival rate of SCLC patients is lower than NSCLC patients at Dharmais Cancer Hospital , but statistically, there is no significant difference after controlling for age, gender, clinical stage, and management.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>