Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194217 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yunani
"ABSTRAK
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) merupakan prosedur pembedahan revaskularisasi yang digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan aliran darah ke jantung. Masalah paling umum yang timbul pada pasien pasca CABG adalah nyeri pasca CABG/Post CABG pain (PCP). Latihan peregangan otot pernafasan merupakan suatu latihan untuk memelihara dan mengembangkan fleksibilitas atau kelenturan otot pernafasan dan dapat mengurangi nyeri. Beberapa jenis latihan untuk mengurangi nyeri telah banyak diidentifikasi seperti latihan aerobik dan anaerobik, namun hanya sedikit penelitian yang telah mengkaji keefektifan latihan peregangan otot dan latihan nafas dalam pada pasien CABG khususnya terhadap nyeri. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi keefektifan latihan peregangan otot pernafasan terhadap penurunan nyeri pada pasien pasca coronary artery bypass grafting di rumah sakit jantung dan pembuluh darah Harapan Kita Jakarta. Penelitian quasi experiment ini menggunakan sampel 30 responden, masing-masing 15 responden untuk kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan untuk mengukur nyeri adalah visual analog scale (VAS) dengan kombinasi numeric pain scale dengan skala 1-10. Pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti dan data yang diperoleh dianalisa secara univariat, bivariat dan general linear model (GLM) menggunakan t test, anova, korelasi dan GLM repeated measures. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara tingkat nyeri sebelum dan sesudah latihan peregangan otot pernafasan pada kelompok intervensi dan kontrol (p=0.018, α=0.05). Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi layanan keperawatan dan perkembangan ilmu keperawatan dalam menggunakan latihan peregangan otot sebagai salah satu terapi modalitas keperawatan untuk mengurangi nyeri. Direkomendasikan untuk penelitian lanjut tentang latihan ini pada pasien pasca bedah kardiotorak lainnya.

ABSTRACT
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) is a revascularization surgery procedure which is done to repair and improve the blood circulation to heart. The most common problem encountered by patient during post CABG is Post CABG pain (PCP. Respiratory muscle stretching exercise is an exercise to maintain and develop flexibility of respiratory muscle and gon reduce pain. Some kinds of exercise to reduce pain have been identified such as aerobic and anaerobic exercises, though only a few researches which have studied the effectiveness of muscle stretching exercises and deep breathing for CABG patients especially towards pain. The purpose of this research is to identify the effectiveness of respiratory muscle stretching towards the decrease of pain on patients post coronary artery bypass grafting in Harapan Kita Cardiovascular Hospital Jakarta. This Quasi Experimental research used the sample of 30 respondents, each 15 respondent for intervention and control groups. Instrument used to measure pain is visual analog scale (VAS) by the combination of numeric pain scale at 1-10. Collection of the data was carried out by the researcher herself and the collected data was analyzed in univariate, bivariate, and general linear model (GLM) by using i test, anova, correlation and general linear model (GLM) repeated measures. The result of the research shows that there was a significant difference between the degree of pain before and after the respiratory muscle exercises on the intervention and control group (p=0.018, a 0.05). This research is expected to be beneficial for nursing service and development of nursing science in using muscle stretching exercises as one of the nursing modality therapy in reducing pain. It is also recommended for the further research about this kind of exercise for the other cardiothorac post surgery patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Balqis Islamadina
"Latar Belakang: Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit pernapasan akut yang ditandai dengan penurunan fungsi paru disertai gejala sesak, batuk dan produksi sputum. Otot inspirasi seringkali terlibat dan mengalami kelemahan serta kelelahan akibat adanya hiperinflasi. Kelemahan otot inspirasi sangat berperan pada kejadian sesak sehingga mengurangi kapasitas latihan pada pasien PPOK. Selain itu, Latihan penguatan otot inspirasi menggunakan Inspiratory Muscle Trainer (IMT) diketahui dapat meningkatkan kekuatan otot inspirasi, namun belum terdapat penelitian yang menilai efektifitasnya dalam meningkatkan kecepatan berjalan dengan uji jalan 4 meter pada pasien PPOK.
Tujuan: Untuk mengetahui efek latihan penguatan otot inspirasi dengan menggunakan IMT terhadap kecepatan berjalan menggunakan uji jalan 4 meter pasien PPOK.
Metode: Penelitian ini adalah studi intervensional prospektif untuk menilai kecepatan berjalan pasien PPOK setelah pemberian program latihan dengan IMT selama 8 minggu. Subjek penelitian adalah pasien PPOK kelompok GOLD A hingga D yang berobat jalan ke Poliklinik Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan Departemen Rehabilitasi Medik. Latihan IMT dilakukan di rumah selama 8 minggu, dengan dosis awal 30% PImax yang ditingkatkan 10% setiap 2 minggu hingga mencapai 60% PImax. Nilai PImax, kecepatan berjalan dan sesak dengan skala BORG dinilai setiap 2 minggu.
Hasil: Dari total 13 subjek, hampir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki dengan proporsi 92,3%. Nilai rerata usia subjek pada penelitian ini adalah 64,92 (SB 8,713) tahun. Terdapat peningkatan kecepatan berjalan dari 1,59 (SB 0,32) meter/detik hingga 1,74 (SB 0,49) meter/detik dan nilai PImax dari 58,50 (SB 19,70) cmH2O hingga 67,02 (SB 19,88) cmH2O setelah menjalani 8 minggu latihan IMT. Simpulan: Terdapat peningkatan yang secara klinis bermakna pada kekuatan otot inspirasi dan kecepatan berjalan pasien PPOK dengan uji jalan 4 meter setelah menjalani latihan penguatan otot inspirasi dengan Inspiratory Muscle Trainer selama 8 minggu. Latihan IMT dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada program rehabilitasi paru pasien PPOK.

Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a respiratory illness characterized by reduced pulmonary function that is accompanied by dyspneu, chronic cough and sputum production. The inspiratory muscles are frequently involved in the disease process due to hyperinflation., resulting in weakness and increased fatigability. Inspiratory muscle weakness has an important role in the manifestation of dyspneu, therefore reducing exercise tolerance in COPD patient. Strength training to inspiratory muscle has been shown to improve inspiratory muscle strength, however there has not been any literature measuring its effectiveness on gait speed using four meter lane in COPD patient.
Aim: To find the effect of inspiratory muscle strengthening using Inspiratory Muscle Trainer (IMT) on four meter gait speed in COPD patient.
Methods: This is a prospective interventional study to evaluate gait speed in COPD patient after undergoing IMT training for 8 weeks. The subjects in this study are patient with COPD GOLD A to D visiting the pulmonary clinics in the department of internal medicine and medical rehabilitation. IMT training was performed as a home program exercise for 8 weeks, with initial dose of 30% PImax and improved by 10% every 2 weeks, reaching to maximal dose of 60% PImax at the end of 8 weeks training. PImax, gait speed and dyspneu using BORG scale was measured every 2 weeks during follow up.
Result: From a total of 13 subjects, almost all subjects are male (92,3%) and mean age was 64,92 (SD±8,713) years. There was an increase of gait speed from 1,59 (SD±0,32) to 1,74 (SD±0,49) meter/second and PImax from 58,50 (SD±19,70) to 67,02 (SD±19,88) cmH2O after 8 weeks IMT training. However, there was no improvement in dyspneu symptoms from BORG scale assessment.
Conclusion: IMT training for 8 weeks resulted in clinical improvement of inspiratory muscle strength and 4 meter gait speed in moderate to very severe COPD patient. IMT training can be considered as an addition to pulmonary rehabilitation program in COPD patient."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Nurfauziah Br.
"Latar belakang: Musculoskeletal disorders (MSDs) berkontribusi 42-58% dari total penyakit akibat kerja dan 40% dari total biaya kesehatan kerja secara global. Tingginya angka gangguan musculoskeletal pada pekerja khususnya nyeri bahu menuntut adanya metode terapi dan pencegahan agar terhindar dari penyakit akibat kerja dan peningkatan produktivitas kerja, terutama nyeri bahu di antara pengemudi bus. Untuk mengurangi penyakit terkait pekerjaan dan untuk meningkatkan tingkat produktivitas, dipilih Active Isolated Stretching (AIS). Dengan pelatihan sistematis dan pengamatan untuk melakukan AIS setiap hari, studi di antara pengemudi bus kampus terbukti mengurangi rasa sakit dan meningkatkan fleksibilitas bahu.
Metode: Penelitian ini merupakan quasi-eksperimen. Penelitian dilakukan di salah satu kampus universitas di Jakarta selama 14 bulan berturut-turut. Mulai mengumpulkan data sebelum melakukan AIS (T1), 18 supir bus kampus sebagai subyek penelitian dilatih dan diamati oleh perawat terlatih untuk melakukan AIS secara teratur sebelum memulai mengemudi. Data dikumpulkan setiap 2 minggu oleh dokter medis yang terlatih (T1-T5). Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan fisik, observasi, kuesioner, pemeriksaan neurologis dan wawancara.
Hasil: Ada 18 pengemudi bis yang memiliki rata-rata VAS (Visual Analogue Score) dari T1 (rata-rata awal VAS) adalah 5,5 (0-10) dan meenurun secara bertahap menjadi 2 (0-6) pada minggu ke-8. Hasil rata-rata Apley Scratch Test (AST) T1 adalah (-9,122+11302) dan menjadi lebih baik secara bertahap ke T5 (-3,833+9,133). Semua ROM bahu memiliki peningkatan yang signifikan dari T1 ke T5. Pada Fleksi ada peningkatan rata-rata dari (166,22+7,697) menjadi (177,94+2,838). Abduksi dari 165 (160-180) menjadi 177 (165-180), Abduksi endorotasi dari 168,5 (150-165) menjadi 180 (170-180), Abduksi eksorotasi dari (162,56+4,605) menjadi (173,39+5.521), Ekstensi dari (42,11+6,747) menjadi (54,89+8,366), Adduksi dari 25 (20-40) menjadi 39 (30-45), Endorotasi dari (62,67+8,717) menjadi (80,67+10,738), Eksorotasi dari (71,28+9,670) menjadi (89,22+5,694). Ada juga korelasi yang signifikan antara kelompok usia dengan endorotasi bahu ROM p <0,05 dan r-0,474 dan abduksi eksorotasi bahu dengan p <0,05 dan r-0,477.
Kesimpulan dan saran: Hasil analisis menunjukkan bahwa ada penurunan rerata VAS dan peningkatan rerata ROM dan rerata Apley Scratch Test. Hasil ini menunjukkan bahwa AIS terbukti sebagai terapi dan pencegahan nyeri bahu, tetapi penelitian lebih lanjut pada populasi masyarakat pekerja lain diperlukan.

Background: Musculoskeletal disorders (MSDs) contribute 42-58 % of total occupational illnesses and 40% of total occupational healthcare costs globally. There were high numbers of MSDs among workers, those need special treatment for therapy and prevention, especially of shoulder pain among bus drivers. To reduce work related illnesses and to increase productivity rate, active isolated stretching (AIS) was selected to be aplicated in every day. By systematic trainings and observations to do AIS every day, the study among campus bus drivers proved to reduce the pain and to increase the shoulder flexibilities.
Method: This research was a quasi-experiment. The study was conducted in a campus of University in Jakarta for 14th months continuously. Started to collect the data before did the AIS (T1),18 campus bus drivers as study subjects were trained and observed by trained nurse to do AIS regularly before start the day. Data were collected every 2 weeks by trained medical doctors (T1-T5). The data collection procedures was done by an observation check list, questionnaire, neurological examination and interview.
Result: There were 18 bus drivers who had average VAS (Visual Analogue Score) of T1 (initial VAS average) was 5,5 (2-10) and reduce gradually to 2 (0-6) at week 8th (p<0,05). The results of average Apley Scratch Test (AST) of T1 was (-9,122+11,302) and became better gradually at T5 to -3,833 +9,133) p<0,05. All shoulder ROMs have a significant improvement from T1 to T5. On Flexion there is an average increase from (166,22+7,697) to (177,94+2,838). Abduction from 165 (160-180) to 177 (165-180), Abduction of endorotation from 168.5 (150-165) to 180 (170-180), Abduction of exorotation from (162.56+4,605) to (173,39+5,521), Extension from (42,11+6,747) to (54,89+8,366), Adduction from 25 (20-40) to 39 (30-45), Endorotation from (62,67+8,717) to (80,67+10,738), The exorotation from (71.28+9.670) to (89.22+5.694) p<0,05. There was also significant correlations between ages group with shoulder endorotation ROM p<0.05 and r -0.474 and abduction of shoulder exorotation with p <0,05 and r-0,477.
Conclusion and suggestion: The experimental study proved that there was a decrease of average VAS and an increase of average ROM and average Apley Scratch Test. These results suggest that AIS is best used as a therapy and prevention of shoulder pain, but further research on other working populations is needed."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T54389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hosea, Fransiscus Nikodemus
"Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak, yang dapat dialami oleh baik laki-laki ataupun perempuan. Salah satu tata laksana yang dapat dilakukan untuk kondisi ini adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara lama rawat, jumlah pembuluh arteri koroner yang tersumbat, dan hipertensi terhadap kematian pasien CABG di Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Desain penelitian yang dipilih adalah restrospective cohort. Data penelitian ini diperoleh dari rekam medik pasien yang tercatat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Data pada penelitian ini melibatkan 66 subjek penelitian. Data yang dikumpulkan kemudian diuji dengan Chi-square dan Fisher untuk menentukan nilai probabilitas (p).Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara mortalitas dengan lama rawat (RR=1,57 IK95%=0,60-4,08 p=0,35), jumlah pembuluh arteri koroner yang tersumbat (RR=0,90 IK95%=0,25-3,27 p=1,00), dan riwayat hipertensi (RR=1,59 IK95%=0,41-6,21 p=0,72). Faktor lama rawat, jumlah pembuluh darah arteri koroner yang tersumbat, dan riwayat hipertensi tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap mortalitas subjek penelitian dalam waktu 6 tahun pasca tindakan coronary artery bypass graft.

Coronary artery disease is one of the most common cause of death, that can be found both in men and women. This condition can be treated with some surgical intervention such as Coronary Artery Bypass Graft (CABG). The purpose of this study is to determine the association between length of stay, the number of diseased coronary artery vessel, and hypertension with mortality in post-CABG patients after 6 years in National Cardiovascular Center Harapan Kita. This study uses retrospective cohort as its design. Data used in this study involving 66 subjects. The data is then tested using Chi-square and Fisher to see the value of probability (p).Based on data analysis, it is found that there is no significant association between mortality with length of stay (RR=1.57 95%CI=0,60-4,08 p=0.346), the number of diseased coronary artery vessel (RR=0.90 95%CI=0.25- 3.27 p=1.000), and hypertension (RR=1.59 95%CI=0.41-6.21 p=0.716). Length of stay, the number of diseased coronary artery vessel, and hypertension are not associated with the mortality of post-coronary artery bypass graft patients after 6 years.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jun Absa B.
"Pendahuluan : Osteoarthrtis (OA) dideskripsikan sebagai sebuah proses degrasi matriks kartilago yang diikuti dengan ketidakefektifan usaha tubuh dalam memperbaiki. Hilangnya elastisitas pada kartilago dapat menyebabkan hilangnya kemampuan menahan air pada penggunaan beban yang berat. Aktivitas yang terbatas, interaksi sosial yang terbatas, Perubahan lingkungan, dan disfungsi bangun tidur yang selalu menjadi masalah karena nyeri yang muncul. Manajemen nonfarmakologi berupa terapi exercises fisik atau olahraga sangat direkomendasi oleh garis panduan klinis sebagai terapi inti atau managemen utama intervensi pasien dengan Osteoartritis. Perangkat VR salah satu metode pengendalian nyeri yang semakin pepuler. Virtual Reality (VR) adalah perangkat multimedia tiga dimensi yang memungkinkan pengguna untuk terlibat secara aktif di ruang virtual. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efektivitas pemberian terapi stretching exercise dengan media VR terhadap penurunan Skala Nyeri yang disertai kekakuan pada penderita Osteoarthritis (OA) lutut. Metode : Metode penelitian ini adalah quasi eksperimen pretest postest dengan randomized control group pre post test design. Sampel penelitian adalah pasien osteoartritis grade 1-3 dengan total 46 responden. Nyeri diukur menggunakan Numeric Rating Scale (NRS), Kekakuan dengan Western Ontario dan McMaster University Arthritis Index (WOMEC) dan media Virtual Reality (VR) yang mengkombinasikan visual gerakan stretching exercises lutut. Hasil : Rerata skor nyeri pada kelompok intervensi menurun dari 5,39 menjadi 3,35 skor kekakuan pada kelompok intervensi menurun dari 6,91 menjadi 5,35. skor kekakuan pada kelompok intervensi menurun dari 6,91 menjadi 5,35. Hasil uji statistik menunjukkan ada pengaruh yang signifikan intervensi stretching exercises melalui VR terhadap nyeri dan kekakuan (p=< 0.00; α < 0,05 ). Kesimpulan : Penalitian ini menunjukkan bahwa stretching exercises dengan menggunakan media VR memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan nyeri dan kekakuan pada pasien Osteoartritis lutut.

Introduction : Osteoarthritis (OA) is described as a process of degradation of the cartilage matrix followed by the ineffectiveness of the body's efforts to repair it. Loss of elasticity in cartilage can cause loss of water holding ability when using heavy loads. Limited activities, limited social interactions, environmental changes, and sleep-wake dysfunction are always problems because of the pain that appears. Non-pharmacological management in the form of physical exercises or sports therapy is highly recommended by clinical guidelines as core therapy or main intervention management for patients with osteoarthritis. VR devices are one method of pain control that is becoming increasingly popular. Virtual Reality (VR) is a three-dimensional multimedia device that allows users to actively engage in virtual spaces. Objective: This study aims to identify the effectiveness of providing stretching exercise therapy using VR media to reduce the pain scale accompanied by stiffness in sufferers of knee osteoarthritis (OA). Method : This research method is a quasi-experimental pretest posttest with a randomized control group pre-post test design. The research sample was osteoarthritis patients grade 1-3 with a total of 46 respondents. Pain was measured using the Numeric Rating Scale (NRS), Stiffness with the Western Ontario and McMaster University Arthritis Index (WOMEC) and Virtual Reality (VR) media which combines visual knee stretching exercises. Results: The mean pain score in the intervention group decreased from 5.39 to 3.35. The stiffness score in the intervention group decreased from 6.91 to 5.35. Stiffness scores in the intervention group decreased from 6.91 to 5.35. The statistical test results showed that there was a significant effect of stretching exercises intervention via VR on pain and stiffness (p=<0.00; α <0.05). Conclusion: This research shows that stretching exercises using VR media have a significant effect on reducing pain and stiffness in knee osteoarthritis patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulin Nasikah
"Nyeri pascaoperasi CABG merupakan salah satu penyebab terhambatnya aktifitas latihan napas dalam untuk mengembalikan fungsi paru. Cold pack gel merupakan satu metode nonfarmakologis yang efektif dan aman untuk menurunkan nyeri sebelum melakukan aktifitas latihan napas dalam.  Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi pengaruh kombinasi cold pack gel dan latihan napas dalam terhadap skor nyeri dan kapasitas fungsional paru. Metode  penelitan ini menggunakan Randomized Controlled Trial (RCT) single blind dengan pre-post-test with control group design pada 44 responden, dibagi dalam 2 kelompok yang dipilih dengan teknik  probability sampling. Cold pack gel diberikan diatas luka insisi sternum selama 15 menit, dilanjutkan dengan latihan napas dalam 30 kali napas. Kelompok intervensi mendapatkan cold pack gel 0-5℃,  sedangkan kelompok kontrol cold pack gel 15-22ƒ. Skor nyeri diukur dengan metode VAS pre-post intervensi, kapasitas fungsional paru dinilai dengan PEFR. Analisis uji Friedman, didapatkan  skor nyeri menurun secara bermakna pada pengukuran ke-1 sampai ke-6.  Uji RM Anova didapatkan nilai PEFR meningkat setiap hari. Dari uji independent t-test, didapatkan hasil terdapat penurunan skor nyeri yang bermakna pada keenam pengukuran (p <0,001) dan peningkatan kapasitas fungsional paru (p <0,001). Simpulan dalam penelitian ini kombinasi cold pack gel dan latihan napas dalam terbukti menurunkan skor nyeri dan meningkatkan kapasitas fungsional paru pada pasien pascaoperasi CABG.

Postoperative pain in CABG patients is one of the causes of delays in deep breathing exercises to restore lung capacity. Cold pack gel is an effective and safe non-pharmacological method for reducing pain before deep breathing exercises. This study aimed to identify the effect of a combination of cold pack gel and deep breathing exercises on pain scores and lung functional capacity. This research method uses a single blind Randomized Controlled Trial (RCT) with pre-post-test with control group design on 44 respondents, divided into 2 groups selected by probability sampling technique. Cold pack gel was given over the sternal incision wound for 15 minutes, followed by deep breathing exercises 30 breaths. The intervention group received 0-5℃ cold pack gel, while the control group received 15-22℃ cold pack gel. Pain score was measured by VAS pre-post intervention method, lung functional capacity was assessed by PEFR. Analysis used the Friedman test, the pain score decreased significantly in the 1st to 6th measurements. With the RM Anova test, the PEFR value increases every day. From the independent t-test, the results showed that there was a significant decrease in pain scores in all six measurements (p <0.001) and an increase in lung functional capacity (p <0.001). The conclusion of this study is the combination of cold pack gel and deep breathing exercises is proven to reduce pain scores and to improve functional capacity of the lungs in postoperative CABG patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Melania Muda
"Latar belakang: Pramugari merupakan salah satu pekerjaan yang sering terpapar stresor ergonomik sehingga sangat rentan terkena gejala gangguan muskuloskeletal. Salah satu cara untuk mengatasi keluhan muskuloskeletal adalah dengan peregangan otot. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat prevalensi gangguan muskuloskeletal dan pengaruh program latihan peregangan selama 2 mingggu menggunakan video peregangan Kemenkes RI terhadap perubahan intensitas nyeri gangguan muskuloskeletal pada pramugari pesawat komersil di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakanre -post study dengan instrumen Nordic Musculoskeletal Questionnaire dan Visual Analog Scale<.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 92 %  pramugari (n = 75) mengalami gangguan muskuloskeletal pada setidaknya 1 area tubuh dalam 12 bulan terakhir. 34 responden dijadikan sebagai subjek penelitian. Skor tingkat keluhan pada 28 area tubuh sebelum intervensi sebesar median 34 (29-84) dengan intensitas nyeri sebesar median 6 (2-9) masing-masing menjadi median 32 (28 - 67) dan  median 3 (0-9) setelah intervensi.
Kesimpulan: Didapatkan adanya perubahan yang bermakna pada skor tingkat keluhan pada 28 area tubuh yang bermakna pada skor tingkat keluhan pada 28 area tubuh (p < 0,001) serta intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi latihan peregangan (p < 0,001).

Background: Flight attendant (FA) is a job that often exposed to ergonomic stressors so they are very susceptible to symptoms of musculoskeletal disorders. One of the ways to overcome musculoskeletal complaints is to stretching. The aim of this study was to examine the prevalence of musculoskeletal disorders and the effect of a 2-week stretching exercise program using the Indonesian Ministry of Health's stretching video on changes in the intensity of musculoskeletal pain in FA on commercial aircraft in Indonesia.
Methods: This is a pre-post study with Nordic Musculoskeletal Questionnaire and Visual Analog Scale as instruments.
Results: The results showed that 92% of the FA (n=75) had musculoskeletal disorders in at least 1 area of the body in the last 12 months. 34 respondents were used as subjects. The complaint level score in 28 body areas before the intervention was a median of 34 (29-84) with pain intensity of a median of 6 (2-9) became a median of 32 (28-67) and a median of 3 (0-9) after the intervention, respectively.
Conclusion: The stretching exercise program showed significant changes in the complaint level scores in 28 body areas (p<0.001) and pain intensity before and after the stretching exercise intervention (p<0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triandana Budi Wisesa
"Latar Belakang: Operator crane merupakan pekerjaan yang memiliki resiko tinggi mengalami gangguan muskuloskeletal. Studi epidemiologi yang dilakukan oleh Kuswaha et al menunjukkan bahwa dari 90% operator crane, 63% mengalami nyeri leher.1 Operator crane melakukan sebagian besar aktivitas kerja mereka dengan postur tubuh yang janggal pada leher, bahu dan punggung. Prevalensi nyeri leher yang tinggi dikaitkan dengan derajat fleksi leher yang tinggi serta postur statis dan janggal saat duduk. Postur membungkuk yang terus menerus dapat menyebabkan ketegangan dan tekanan pada jaringan lunak di sekitar tulang belakang. 2 Bekerja mengoperasikan crane dalam posisi duduk statis dan membungkuk ke bawah dan dalam waktu yang lama merupakan bagian dari tuntutan pekerjaan yang tidak dapat diubah secara teknis, sehingga perlu dilakukan kontrol, salah satunya dengan program peregangan. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah peregangan yang dilakukan dalam waktu dua minggu (lebih singkat dari studi referensi) mampu menurunkan nilai VAS nyeri leher pada operator crane, serta untuk mengetahui berapa nilai penurunan VAS tersebut. pengukuran sebelum peregangan dan setelah peregangan.
Metode: Studi analitik dengan desain within group experiment with repeated measurement. Dilakukan terhadap 25 orang responden yang dipilih secara consecutive sampling dengan mempertimbangkan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Penelitian dilakukan dengan pemberian edukasi gerakan peregangan yang dilakukan dalam durasi sekitar lima menit, dilakukan dua kali dalam sehari yaitu sebelum dan setelah bekerja, dilakukan lima hari dalam satu minggu, selama dua minggu. Kemudian dilakukan pengukuran nilai Visual Analog Scale (VAS) sebelum dilakukan peregangan dengan sesudah dilakukan 5 hari peregangan dan 10 hari peregangan.
Hasil: Didapatkanya nilai prevalensi nyeri tengkuk sebanyak 39,6% serta terdapat penurunan signifikan dari nilai nyeri sebelum dilakukan peregangan (VAS = 5 (3-7)) dengan nilai nyeri setelah dilakukan peregangan (VAS = 3 (1-5)) dengan nilai p<0,01 dari uji wilcoxon. Tidak didapatkannya perubahan yang bermakna terhadap faktor individu yang dinilai, baik berdasarkan variabel umur, status gizi, kebiasaan olahraga, dan kebiasaan merokok.
Kesimpulan: Peregangan otot dapat menurunkan nilai nyeri tengkuk leher pada subjek penelitian operator crane, yang diukur berdasarkan Visual Analogue Scale (VAS) dengan intervensi peregangan dilakukan  selama 2 minggu.      

Background: Working to operate a crane in a sitting position for a long time with the back and neck bent is considered to be associated with an increased risk of neck and back pain disorders in crane operators, and is part of the job demands that cannot be changed technically. It is necessary to control the incidence of neck pain in crane operators, one of which is by stretching. The purpose of this study was to prove whether stretching that was carried out within two weeks (shorter than the reference study) was able to reduce the VAS value in neck pain in crane operators.
Methods: This study used an analytical study in the form of within group experiment with repeated measurement design. This research was conducted at the X container terminal located in North Sumatra, carried out when there were still social restrictions on the Covid-19 pandemic in October 2020. This study involved 25 respondents, who were obtained through consecutive sampling. Interventions were carried out by providing education for the McKenzie stretching movements which were about five minutes duration, twice a day, before and after work, for five days a week, in two weeks. Then the Visual Analog Scale (VAS) value was measured before stretching, 5 days of stretching and 10 days of stretching. The stretching and VAS measurement activities were monitored by the company doctor as well as the research team whose perceptions were matched.
Results: The prevalence value of neck pain was 39,6% and there was a statistically significant decrease in VAS levels from VAS = 5 (3-7) before stretching to VAS = 3 (1-5) after stretching for 2 weeks with p values 0.000. There were no significant changes in individual factors that could potentially be confounding factors, such as age, nutritional status, exercise habits, and smoking habits during the experiment.
Conclusion: Muscle stretching can reduce the value of neck pain in crane operator research subjects, which was measured based on the Visual Analog Scale (VAS) with stretching interventions carried out for 2 weeks.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Octavya Christianty L
"Penurunan fungsi fisiologis akibat penuaan pada lansia berdampak pada risiko jatuh. Berdasarkan hasil observasi selama tiga minggu praktik di STW Ria Pembangunan Cibubur, kejadian jatuh dari bulan Januari sampai dengan September 2023 sebanyak 22 kali kejadian jatuh beberapa diantaranya jatuh berulang. Risiko jatuh merupakan peningkatan potensial jatuh sehingga dapat menyebabkan cedera fisik. Risiko jatuh dapat diminimalisir dengan latihan peningkatan kekuatan otot. Salah satu intervensi latihan peningkatan kekuatan otot yaitu strengthening exercises. Latihan ini dilakukan selama dua minggu dengan frekuensi enam kali dalam seminggu. Hasil dari latihan strengthening exercises menunjukkan peningkatan kekuatan otot yang signifikan yaitu semula menjadi . STW Ria Pembangunan Cibubur diharapkan dapat memberikan perhatian lebih terhadap permasalahan risiko jatuh dengan melakukan latihan peningkatan kekuatan otot. Tidak hanya senam fisik biasa melainkan latihan yang dikolaborasikan dengan peningkatan kekuatan otot seperti strengthening exercises, agar kejadian jatuh tidak terjadi maupun tidak berulang dan risiko jatuh menurun.

Decreased physiological function due to aging in the elderly has an impact on the risk of falls. Based on the results of observations during three weeks of practice at STW Ria Pembangunan Cibubur, the incidence of falls from January to September 2023 was 22 falls, some of which were repeated falls. The risk of falling is an increase in the potential to fall so that it can cause physical injury. The risk of falling can be minimized by training to increase muscle strength. One of the training interventions to increase muscle strength is strengthening exercises. This exercise is carried out for two weeks with a frequency of six times a week. The results of strengthening exercises showed a significant increase in muscle strength, which was originally to . STW Ria Pembangunan Cibubur is expected to give more attention to the problem of fall risk by doing muscle strengthening exercises. Not only ordinary physical exercises but exercises that are collaborating with increased muscle strength, such as strengthening exercises, so that the incidence of falls does not occur or does not recur and the risk of falling decreases."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vienna Rossimarina
"Latar belakang: Pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) mengalami penurunan fungsi paru akibat inflamasi perioperatif sehingga terjadi ketidakcocokan ventilasi/perfusi dan kelemahan otot pernapasan. Akibatnya saat beraktivitas, terjadi keterbatasan oksigen sehingga terjadi kelelahan otot lebih cepat dan kapasitas fungsional rendah. Latihan pernapasan diharapkan membantu memperbaiki kapasitas fungsional melalui perbaikan fungsi paru.
Tujuan: Membuktikan manfaat latihan pernapasan terhadap kapasitas fungsional yang diukur dengan 6 Minutes walk test (6MWT) pada pasien pasca-BPAK yang menjalani rehabilitasi kardiovaskular fase II.
Metode: Uji klinis dengan merandomisasi subjek pada kelompok perlakuan yang mendapat adjuvan latihan pernapasan atau menjalani program rehabilitasi standard. Diukur kapasitas inspirasi dan 6MWT pada awal dan akhir rehabilitasi fase II.
Hasil: Dua puluh delapan subjek dirandomisasi menjadi 14 kelompok perlakuan dan 14 kelompok standard. Setelah menjalani program rehabilitasi, kelompok perlakuan dan standard mengalami peningkatan jarak 6MWT yang tidak berbeda bermakna (67 ± 62.9 meter VS. 53 ± 65.7 meter; p = 0.556 ) walau kelompok perlakuan mengalami peningkatan kapasitas inspirasi lebih baik daripada kelompok standard (1357 ± 691.4 mL VS 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ).
Simpulan: Latihan pernapasan sebagai latihan adjuvan rehabilitasi kardiovaskular fase II pasca-BPAK tidak memperbaiki jarak 6MWT secara bermakna dibandingkan program rehabilitasi standard, hanya mempercepat perbaikan fungsi paru.

Background : Patients undergoing coronary artery bypass graft (CABG) surgery develop pulmonary dysfunction due to inflammation and respiratory muscle weakness, hence ventilation/perfusion mismatch occurs then leads to low functional capacity. Respiratory training has been identified to improve functional capacity by recovering pulmonary function faster.
Objectives : To study respiratory training benefit as adjuvant training in 2 phase of cardiovascular rehabilitation program after CABG for improving functional capacity measured by 6 minutes walk test/6MWT distance.
Methods : This single blind clinical trial randomized subjects into intervention group or standard group. Intervention group received respiratory training up to 60% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant to the standard program. Then MIV and 6MWT distance were evaluated.
Result : Twenty eight subjects participated, 14 subjects were in intervention group and others were in standard group. Six MWT distance improvement is not significantly different between groups (67 ± 62.9 VS. 53 ± 65.7 meters respectively; p = 0.556 ). However, intervention group experienced better MIV improvement compared to standard group (1357 ± 691.4 VS. 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ).
Conclusion : Respiratory training as adjuvant training did not improve 6MWT distance among patients undergoing CABG surgery significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>