Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57160 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sufiarina
"Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan: “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.” Lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung meliputi peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.Pasal 3A ayat (2) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Peradilan Agama, menempatkan Mahkamah Syar’iyah sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama dan sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Penempatan Mahkamah Syar’iyah sebagai pengadilan khusus, sekaligus di dua lingkungan peradilan inkonsistensi dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Inkonsistensi ini menimbulkan permasalahan hukum yang perlu dicarikan penyelesaiannya secara yuridis. Permasalahan mengenai inkonsistensi aturan hukum tersebut dikaji secara yuridis normatif dalam cakupan penelitian terhadap taraf sinkronisasi horizontal dengan spesifikasi penelitian deskriptif analisis. Teknik pengumpulan data pada kajian ini melalui studi kepustakaan dan didukung data lapangan.Data yang diperoleh kemudiandianalisis secara yuridis kualitatif.Kajian ini menemukan bahwa Mahkamah Syar’iyah sesungguhnya bukanlah dalam kedudukan sebagai pengadilan khusus dan juga tidak berpijak pada dua lingkungan peradilan. Secaraadministrasi umum maupun pengelolaan perkara Mahkamah Syar’iyah merupakan Pengadilan Agama untuk wilayah Propinsi NAD yang kewenangannya diperluasdalam rangka melaksanakan otonomi khusus bidang pelaksanaan syariat Islam.

Article 27 paragraph (1) of Law No. 48 Year 2009 regarding Judicial Power states that special courts can only be formed in one of the court systems under the Supreme Court, which include general courts, religious courts, military courts and state administration courts. However, article 3A paragraph (2) of Law No. 50 Year 2009 concerning the Second Amendment to the Law on Religious Court places Shariah Court as a special court within the system of religious courts and as a special court within the system of general courts. Such positioning is inconsistent with Article 27 paragraph (1) of the Law on Judicial Power which raises a legal issue and therefore requires juridical solution. The inconsistency is subject to juridical normative study within the scope of a research concerning the level of horizontal synchronization, using descriptive analysis. The method applied for data collection in this research is through literature study supported by field data. The data obtained is analyzed by using juridical qualitative method. This study concludes that, in fact, the Shariah Court is neither a special court, nor does it stand in two systems of courts. Both in terms of general administration as well as case management, the Shariah Court is a Religious Court for the territory of the Province of Nanggroe Aceh Darussalam, the competence of which has been expanded in the context of the implementation of special autonomy, particularly in the field of the implementation of Islamic shari’a.
"
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2009
910SINP010
Multimedia  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Puteri Aliya Iskandar
"Eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di wilayah nusantara sedari dulu telah mendapatkan perhatian khusus para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya ketentuan Pasal 18 adalah wujud nyata pengakuan negara terhadap daerah-daerah yang memiliki keistimewaan dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sesuai asal-usul masing-masing wilayah. Eksistensi tersebut tidak terlepas dari peran lembaga dan hukum adat yang menjalankan fungsinya pada masing-masing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Acehadalah salah satu daerah yang bersifat istimewa sertamemiliki Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Dalam rangka menjalankan keistimewaan tersebut, Pemerintah Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh kemudian membentuk Qanun Lembaga Wali Nanggroe. Skripsi ini kemudian akan memberikan gambaran untuk mengetahui bagaimana kedudukan lembaga adat di Indonesia serta Lembaga Wali Nanggroe di Aceh. Kesimpulan: Setelah diberlakukan Undang-Undang Desa yang terbaru, kedudukan lembaga adat di Indonesia adalah sebagai mitra Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa, menyelenggarakan fungsi adat istiadat serta berperan dalam membantu Pemerintah Desa sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa. Sementara kedudukan Lembaga Wali Nanggroe adalah mitra pemerintah daerah sebagai lembaga kepemimpinan adat yang bersifat istimewa. Kata kunci: Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Desa dan Desa Adat, Lembaga Adat, Keistimewaan, Lembaga Wali Nanggroe.

The existence of Indigenous PeopleUnity in the Indonesia had always been a special concern of the founders of the Unitary of Indonesian Republic. The birth of provisions of Article 18 is the real form of state recognition of the regions that have the privilege and theIndigenous People Unity in accordance with origin of each region. The existence is highly influenced by the role of institutions and customary laws which carry out its own function. Aceh is one special region which own Indigenous Peoples Unity. In carrying out its function, Local Government jointly with Aceh rsquo s House of Representatives then forms Qanun of Wali Nanggroe Institute. This thesis will provide an overview on how the position of indigeneous institute in Indonesia as well as the Wali Nanggroe institute in Aceh. Conclusion After the latest legislation of village is recently applied, the position of indigenous institute in Indonesiais as a partner of Village Government and other Village institute in empowering the Village community, perform the functions of customs in assisting the Village Government as a form recognition of the customs of the Village community while the position of the Wali Nanggroe institute is as the partner of Local Government as an institute of indigeneous leadership with a previlege.Keywords Unity of Indigenous People, the Village and the IndigeneousVillage, Indigeneous Institute, Previlege, Wali Nanggroe Institute.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68971
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irasahwadi
"Dampak gizi buruk pada balita adalah selain mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan, juga menurunkan daya tahan tubuh yang secara langsung berpengaruh terhadap sumber daya manusia. Angka balita gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten Nagan Raya yang setiap tahunnya tidak ada penurunan yang signifikan, maka perlu dikembangkan suatu sistem informasi yang dapat dipergunakan untuk membantu para pengambil keputusan dalam melakukan tindakan penannggulangan berdasarkan wilayah.
Penelitian pemantauan status gizi balita dengan pemanfaatan aplikasi sistem informasi geografis di Kabupaten Nagan Raya Nanggroe Aceh Darussalam ini menggunakan desain penelitian dengan pendekatan sistem dalam penyelesaian masalah. Metode pendekatan sistem yang digunakan adalah system development life cycle digabungkan dengan elemen-elemen dalam model urutan model prototyping, juga berkaitan dengan keinginan pengguna yang bisa barubah seiring dengan waktu. Hasil analisa sistem dapat mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang ada dalam sistem yang sedang berjalan serta alternatif solusinya.
Pemantauan status gizi balita dengan pemanfaatan aplikasi sistem informasi geogrnfis didesain untuk memudahkan pemasukan data dan analisa yang akhirnya menghasilkan Informasi yang berkualitas. Keluaran yang dihasilkan dari sistem ini adalah informasi berbentuk laporan tabel bulanan per-puskesmas dan laporan bulanan per-kecamatan. Grafik yang dihasilkan adalah jumlah kasus gizi kurang dan gizi buruk, serta cakupan vitamin A. Peta yang dihasilkan yaitu cakupan indikator N/D, D/S, BGM/D, vitamin A, cakupan imunisasi, sebaran kasus infeksi. Dengan melakukan penghitungan pembobotan dengan tehnik query akan didapatkan wilayah potensial rawan gizi.
Pemantauan status gizi balita dengan pemanfaatan aplikasi sistem informasi geografi dapat dijadikan sebagai alat manajemen dalam pengambilan keputusan untuk penanggulanan gizi kurang dan gizi buruk di Kabupeten Nagan Raya.

The impact of malnutrition on kids does influence with their growth and development, and also decrease their body immune. This will directly affect in the quality of human resources. The number of kids either lack or malnutrition at Nagan Raya was insignificantly decreased in every year. In this case, it is needed to create information system that can be used to help the decision maker for dealing with the issues based on areas.
The research of this status monitoring of kids nutrition with the aid of geographic information system application in period of 2008 at Nagan Raya area, Nanggroe Aceh Darussalam used a problem solving approach. The applicable method is system development life cycle combined with elements in prototyping model. It matched with the changing needs of users during the time. The result of this system analysis can identify the problems in the operating system and provide the alternative solutions.
The status monitoring of kids nutrition with the aid of geographic information system application is designed to facilitate the data input and analysis and to come up with the quality of information. The output of this system is very useful information in forms of monthly table for each PUSKESMAS and monthly for each region. The graphic shows the number of kids that are either lack or malnutrition, including the coverage intake of vitamin A, immunization. the wide spread of infection cases.
With the calculation using query technique, the information will show the potential region where the malnutrition exists. This monitor will be useful for the decision makers for dealing with the lack as well as malnutrition issues at Nagan Raya area.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T21179
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
T. Zulfikar Y.
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan antara kelompok etnis maupun perbedaan dari masing-masing etnis terhadap etnis Aceh.dalam memilih tujuan migrasi keluar Nanggroe Aceh Darussalam. Disamping itu juga melihat perbedaan antar etnis dan faktor individu seperti tingkat pendidikan dan status pekerjaan dengan interaksi diantara 3 faktor tersebut.
Alat yang digunakan untuk menganalisa masalah yang dipelajari adalah Multinomial Logistik. Model ini digunakan karena variabel terikat dari penelitian ini yaitu tujuan migran yang keluar dari Nanggroe Aceb Darussalam adalah variabel katagorik dan variabel katagoriknya lebih dan dua.
Ada tiga tujuan migrasi yang menjadi variabel terikat, yaitu; Propinsi-propinsi lainnya di Sumatera, Pulau Jawa dan lainnya sebagai pembanding. Untuk variabel bebas ada enam kelompok etnis yang dianalisa yaitu: etnis Jawa, etnis Batak, etnis Melayu, etnis Minangkabau, etnis lainnya dan etnis Aceh sebagai pembanding.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data mentah (raw data) dari Sensus Penduduk (SP 2000) untuk data tingkat individu, sedangkan untuk data makro diambil dari data sekunder yang telah dipublikasi Badan Pusat Statistik.
Dari hasil analisis ditemukan variabel-variabel yang mempunyai hubungan terbalik dengan migrasi seperti tingkat pendidikan dimana semakin tinggi tingkat pendidikan jumlah migran keluar seanakin menurun. Demikian juga untuk kelompok umur terjadi penurunan jumlah migran jika semakin meningkatnya umur.
Dan hasil estimasi terhadap model yang digunakan untuk melihat perbedaan antar etnis maupun perbedaan dari masing-masing etnis terhadap etnis Aceh, secara statistik signifikan. Migran yang menuju propinsi-propinsi lainnya di Sumatera hanya kelompok etnis lainnya memiliki rasio kecendrerungan yang lebih kecil dibandingkan etnis Aceh, sedangkan untuk tujuan Pulau Jawa semua etnis memiliki rasio kecenderungan lebih kecil dibandingkan etnis Aceh.
Dengan memperhatikan interaksi etnis dengan migran yang bekerja, etnis Aceh yang menuju Sumatera memiliki rasio kecenderungan yang lebih kecil dibandingkan etnis yang lain, sedangkan untuk tujuan pulau Jawa adalah sebaliknya. Untuk pendidikan SLTP keatas etnis Aceh memiliki rasio kecenderungan yang lebih besar baik yang menuju Sumatera maupun pulau Jawa."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awaluddin
"Permasalahan Undang-undang Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darusalam merupakan suatu permasalahan rumit, dilematis dan bahkan dapat menimbulkan pemasalahan lainnya, terutama yang menyangkut dengan proses pembuatan qanun dan juga realisasi dari qanun itu sendiri. Upaya sosialisasi dan implementasi sudah dilakukan namun sampai saat ini masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga masih saja terjadi perdebatan dikalangan masyarakat termasuk eksekutif dan legeslatif. Disamping itu juga ada beberapa permasalahan dan pasal-pasal dalam UU No. 18/2001 yang diangap masih kontradiksi dengan UU No 22/1999. terutama yang menyangkut dengan pembagian kewenangan antara Bupati dan Gubernur dimana UU No. 22/1999 Otonomi terletak pada daerah tingkat II sedangkan dalam UU No.18/2001 Otonomi terletak pada daerah tingkat I yaitu Provinsi, semua permasalahan tersebut telah menimbulkan konflik pada tingkat wacana dan juga realisasi dari UU No.18/2001 sehingga tingkat efektifitas Undang Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, dengan menggunakan data primer dan juga data skunder, jadi analisis yang dilakukan adalah analisis kepustakaan dan juga analisis lapangan dimana data yang diperoleh dan pengamatan langsung dan juga informasi dan beberapa informan akan dapat memperkuat penelitian ini untuk mengkaji kondisi ril yang terjadi di anggroe Aceh Darussalam dalam status otonomi Khsus.
Berkenaan dengan berbagai kemungkinan perubahan dan reaksi yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat dan juga struktur masyarakat, dan sejauhmana tingkat partisipasi dan kemampuan masyarakat lokal, dalam hal ini penulis menggunakan teori fungsionalisme Talcott Parson dan Robert K.Merton. namun penulis melihat teorinya Robert k.Merton lebih cocok untuk kasus Aceh karena asumsi dasar dan teorinya menyatakan masyarakat terdiri dari sejumlah komponen struktural yang membentuk satu kesatuan yang sating berhubungan dan ketergantungan, dimana masing-masing komponen ada yang berfungsi dan ada yang disfungsi kondisi ini sesuai dengan realita yang terjadi di Aceh, dimana beberapa elemen masyarakat tidak berfungsi dalam memberikan kontribusi dan solidaritasm dalam sistem perjalanan Otonomi Khusus.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan masih terdapat banyak kekurangan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus baik dalam bentuk kebijakan hukum maupun realita dilapangan, sehingga hal tersebut telah membuat Otonomi Khusus belum dapat berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan.
Penulis menganggap penelitian ini mempunyai signifikansi tersendiri yaitu dapat membuat sebuah perbandingan antara teori dan realita empirik yang terjadi serta menemuka berbagai macam titik lemah dari.pemberlakuan UU No.18/2001.
Dari hasil pengamatan dilapangan dan juga informasi dari informan penulis menemukan beberapa persoalan yang kiranya menjadi penghambat terhadap pelaksanaan otonomi Khusus secara maksimal. pertama, adanya ketimpangan dan benturan kebijakan antara UU no.18/2001 dengan UU no.22/1999. terutama yang menyangkut kewenangan antara Bupati dan Gubernur. Kedua, terlambatnya proses pembuatan qanun, sehingga kebijakan yang digunakan cendrung mengunakan kebijakan yang lama. Ketiga, tidak adanya keterlibatan unsur masyarakat dalam menentukan kebijakan qanun yang akan dilahirkan sehingga qanun yang dihasilkan belum mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat. Keempat, masih adanya perdebatan terhadap pemberlakuan Syriat Islam yaitu terhadap & Brad yang digunakan. Kelima, tidak adanya ketentuan yang tegas dalam undang-undang Otonomi Khusus bahwa untuk Aceh hanya diberlakukan UU No.1812001. keenam, terlambatnya sosialisasi terhadap qanun-qanun yang telah dihasilkan khususnya menyangkut qanun Syari'at Islam dan Mahkamah Syari'ah
Dari berbagai persoalan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa masih dibutuhkan revisi secara lebih konprehensif terhadap UU No.18/2001 sehingga tidak ada aturan lain yang menghambat pemberlakuan Undang-undang Otonomi Khusus secara komplit yang dihasilkan melalui qanun, kemudian dengan berbagai macam persoalan dan kelemahan yang penulis kemukakan diatas telah membuat UU No.18/2001 belum bisa berjalan secara maksimal dan efektif, untuk ini dibutuhkan keterpaduan dan kerjasama seluruh elemen masyarakat dalam memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan Otonomi Khusus masyarakat Aceh."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bisariyadi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S25433
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The application of Islamic Syariah to Nangroe Aceh Darussalam which has already obtained special autonomy, based on its historically background which has a specific nature and it has already become the ideology and political agenda of the society. In addition, there is a justification based on the religious doctrine in theory of Islamic Law reception Authority, and it also is supported by the historical facts. Even, the application of Islamic Syariah especially to the adherent of religion, it becomes Constitutional Right to the Moslems in Indonesia. It should become the obligation of a State to facilitate and guarantee the realization."
JHUII 12:29 (2005)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yusinah Hanum
"Tujuan penelitian ini untuk mengoptimalkan peranan museum di kalangan masyarakat terutama sekali kalangan pendidikan sebagai penunjang sarana pendidikan dan pembelajaran di sekolah-sekolah. Museum berfungsi sebagai sarana pendidikan, terutama pendidikan budaya yang harus ditransformasikan kepada masyarakat luas termasuk kalangan pendidikan, namun pemanfaatannya sebagai sarana pendidikan itu belum maksimal digunakan. Belum maksimalnya pemanfaatan itu terlihat dari tingkat kunjungan kalangan pendidikan ke museum.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berkenaan dengan pengelolaan koleksi museum dalam tata pamernya sebagai sarana informasi dan pemanfaatan museum sebagai sarana pendidikan. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan keterangan tentang museum dan permasalahan-permasalahannya, sehingga akan memudahkan menemukan solusi yang perlu dilakukan untuk menarik minat masyarakat untuk berkunjung dan mengoptimalkan peranan museum sebagai sarana pendidikan.
Penelitian ini mencoba menawarkan pendekatan deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif, terhadap pengelolaan koleksi museum Nanggroe Aceh Darussalam terutama dalam hal penataan koleksinya dalam pameran yang dirancang museum. Pameran yang dibuat museum sebagai sarana informasi dan sarana komunikasi dengan pengunjung dapat membantu pengunjung dalam mendapatkan pengetahuan, terutama pengetahuan budaya. Dalam hal ini dilakukan wawancara kepada petugas museum dan juga mengumpulkan data dari pengunjung museum dan dari guru-guru sekolah yang ada di sekitar museum yang memanfaatkan museum sebagai sarana pendidikan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini ialah museum belum mampu memposisikan dirinya sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat umum terutama kalangan pendidikan. Hal ini terlihat dari 323 Sekolah Dasar yang ada di Kotamadya Banda Aceh dan Aceh Besar hanya 18 kelompok Sekolah Dasar saja yang berkunjung ke museum, kunjungan ini pun dilakukan hanya satu kali dalam satu tahun.
Pemanfaatan museum yang tidak optimal ini disebabkan lembaga pendidikan tersebut tidak memahami dengan jelas manfaat museum dalam proses belajar mengajar. Di pihak lain museum dalam melaksanakan kegiatannya belum menyadari sepenuhnya tentang kebutuhan pendidikan, karena itu para siswa kurang tertarik pada pameran yang disajikan museum. Promosi atau sosialisasi kegiatan museum belum sepenuhnya menjangkau masyarakat umum, khususnya kalangan pendidikan. Akibatnya hubungan antara pihak museum dengan pihak lembaga pendidikan tidak terjalin dengan baik. Kalangan pendidikan menganggap museum hanya sebagai tempat menyimpan benda-benda kuno.
Kenyatan tersebut menunjukkan bahwa museum harus berbenah diri agar tercapai tujuan dan fungsi museum sebagai lembaga penunjang dalam penelitian, pendidikan dan juga tempat rekreasi bagi masyrakat. Pembenahan ini bukan hanya dilakukan terhadap pengelolaan koleksi museum saja tetapi juga penyebaran informasi kegiatan-kegiatan museum kepada masyarakat melalui penyebaran brosur-brosur museum."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11819
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>