Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163453 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Liza Rastiti
"Kadar HbA1c sebagai parameter keberhasilan terapi pasien Diabetes Melitus DM dipengaruhi oleh berbagai hal. Pasien DM tipe 2 yang fungsi ginjalnya menurun sering kali diberi vitamin B12. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi faktor faktor yang mempengaruhi kadar HbA1c pasien yang menggunakan vitamin B12.
Metode penelitian adalah potong lintang. Sampel adalah rekam medis pasien rawat jalan yang menderita DM tipe 2 di RS Pasar Rebo, periode Mei-November 2015 di Jakarta yang menerima vitamin B12 dan menjalani pemeriksaan kadar HbA1c. Analisis data dilakukan dengan Kai Kuadrat. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria sebanyak 42 orang.
Hasil penelitian menunjukkan kondisi klinis pasien dan penggunaan obat tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kadar HbA1c. Kondisi klinis pasien yang dianalisis ialah usia, jenis kelamin, penyakit ginjal kronik, hipertensi, hiperlipid, dan gout. Penggunaan obat yang dianalisis adalah pemakaian metformin, sulfonilurea, akarbosa, dan pioglitazon HCl.

HbA1c levels as parameters of the success for the treatment of patients with diabetes mellitus DM was influenced by many things. Type 2 diabetes patients whose kidney function decline often given vitamin B12. This study was aimed to evaluate the factors affecting HbA1c levels of patients who use vitamin B12.
The method was a cross sectional study. Samples were outpatient medical records of patients who suffer from type 2 diabetes in Pasar Rebo Hospital, the period from May to November 2015 in Jakarta who received vitamin B12, and undergo HbA1c levels. Data analysis was done by Kai Squares. The number of samples that meet the criteria as much as 42 people.
The results shown that patient 39 s clinical condition and use of the drug was not have a significant effect on HbA1c levels. The clinical condition of patients analyzed were the age, sex, chronic kidney disease, hypertension, hiperlipid, and gout. The use of drugs analyzed were the use of metformin, sulfonylurea, akarbosa, and pioglitazone HCl.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Dina Rusdi
"Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang dalam penatalaksanaan penyakit tersebut memerlukan biaya yang besar karena pengobatan dilakukan secara intensif dan berlangsung terus menerus seumur hidup. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis biaya per episode pengobatan rawat jalan penyakit DM tipe 2 dan faktor-faktor yang berhubungan dengan biaya tersebut berdasarkan perspektif RSUD Pasar Rebo pada tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian analitik deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan total biaya pengobatan rawat jalan penyakit DM Tipe 2 selama setahun adalah sebesar Rp. 593.839.605, rata-rata biaya per episode pengobatan rawat jalan penyakit DM Tipe 2 di RSUD Pasar pada tahun 2015 adalah Rp 417.131 dan ada hubungan yang signifikan antara rata-rata biaya per episode pengobatan rawat jalan penyakit DM tipe 2 dengan umur, lama berobat dan jumlah komplikasi. Rata-rata pembayaran BPJS Kesehatan per episode pengobatan rawat jalan penyakit DM Tipe 2 di RSUD Pasar pada tahun 2015 adalah Rp 208.260. Dengan demikian, rata-rata pembayaran BPJS Kesehatan per episode pengobatan rawat jalan penyakit DM Tipe 2 lebih rendah dibandingkan biaya RSUD Pasar Rebo pada tahun 2015.

Type 2 Diabetes mellitus is a chronic disease that requires big cost for the intensive treatments carried out through out patients rsquo lives continuously. The aim of this research is to analyze the cost per episode of type 2 DM out patient treatments and the related factors based on RSUD Pasar Rebo perspective in2015. This research is a descriptive analytical study with cross sectional design. The results showed the total cost of type 2 DM out patient treatments for a year isRp. 593.839.605, the average cost per episode of type 2 DM outpatient treatmentsat RSUD Pasar Rebo in 2015 is Rp 417.131 and there is significant correlation between the average cost per episode of type 2 DM outpatient treatments with patients age, the duration of treatment and the number of complications. The average payment BPJS Kesehatan provided for type 2 DM out patient treatments per episode at RSUD Pasar Rebo in 2015 is Rp 208.260. Therefore, the averagepayment BPJS Kesehatan provided for type 2 DM out patient treatments per episode is lower than the cost needed at RSUD Pasar Rebo in 2015."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T47281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banjarnahor, Reny Damayanti
"Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan hiperglikemia sebagai karakteristik utama. Hiperglikemia terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, dan atau keduanya. Sekitar 50% penyandang diabetes di Indonesia belum terdiagnosis sehingga komplikasi akibat DM tidak dapat dihindari. Pengendalian terjadinya komplikasi dilakukan dengan kontrol glikemik secara teratur. Pemeriksaan kontrol glikemik antara lain dengan glukosa darah puasa, HbA1c, dan fruktosamin.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kadar fruktosamin dan HbA1c pada diabetes melitus tipe 2 tidak terkontrol, mengetahui perubahan kadar fruktosamin dan HbA1c setelah terapi 2 minggu dan 8 minggu, serta hubungan antara keduanya.
Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 33 subyek yang terdiri dari 24 orang perempuan dan 9 orang laki-laki. Subyek penelitian diikuti selama 2 minggu dan 8 minggu sejak dilakukan perubahan terapi. Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai April 2015. Subyek yang termasuk dalam penelitian adalah diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol dengan HbA1c>7%.
Hasil penelitian diperoleh nilai median dan rentang fruktosamin pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 berturut-turut 362 μmol/L (257-711), 327 μmol/L (234-616), dan 350 μmol/L (245-660). Kadar HbA1c memiliki nilai median dan rentang pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 yaitu 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7), dan 8.4% (5.9-14.2). Terdapat penurunan bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c dengan p<0.001. Adanya korelasi yang kuat dan arah korelasi yang positif antara fruktosamin dan HbA1c (minggu ke-0, r=0.86; minggu ke-2, r=0.82; minggu ke-8, r= 0.84).
Pada penelitian ini diperoleh penurunan yang bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c pada 2 minggu dan 8 minggu setelah terapi dengan korelasi yang kuat ( r > 0.8) dan arah korelasi positif. Fruktosamin lebih baik digunakan untuk kontrol glikemik jangka menengah (2 minggu) sedangkan HbA1c lebih baik dipakai untuk kontrol glikemik jangka panjang (8 minggu).

Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with hyperglycemia as the main characteristics. Hyperglycemia occurs due to abnormalities in insulin secretion, insulin action, or both. Approximately 50% of people with diabetes in Indonesia have not been diagnosed, thus complications due to diabetes cannot be avoided. Taking control of diabetes mellitus can be done through glycemic control measurements on a regular basis. Fasting blood glucose, HbA1c, and fructosamine tests are lists of key features for glycemic control measurements.
The aims of this study was to overview the levels of fructosamine and HbA1c in uncontrolled type-2 diabetes mellitus, determine changes in fructosamine and HbA1c levels after two weeks and eight weeks of treatment, and analyze the relationship between the two.
This study used a prospective cohort design with 33 subjects consisted of 24 women and 9 men. Subjects were followed for two weeks and eight weeks after the initial therapy amendment. The study began in February and April 2015. The subjects included in the study were uncontrolled type-2 diabetes mellitus with HbA1c> 7%.
Fructosamine concentration, given as median and range values, at weeks 0, 2, and 8 were 362 μmol/L (257-711), 347 μmol/L (234-660), and 333 μmol/L (235-676), respectively. HbA1c levels (median and range) at weeks 0, 2, and 8 were 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7) and 8.4% (5.9-14.2). There was a significant reduction of fructosamine and HbA1c levels (p <0.001). A strong and positive correlation were found between fructosamine and HbA1c (week 0, r = 0.86; week 2, r = 0.82; week 8, r = 0.84).
From this study, it can be concluded that fructosamine and HbA1c levels were significantly reduced at weeks 2 and 8 after treatment, with a positive strong correlation (r> 0.8). Thus, fructosamine is preferable for medium-term (two weeks) glycemic control while the HbA1c is preferred for long-term (eight weeks) glycemic control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faradilla Eka Herastuti
"Diabetes melitus tipe 2 merupakan kasus diabetes yang paling umum terjadi dengan peningkatan prevalensi setiap tahun. Penyakit diabetes dapat menyebabkan biaya perawatan tinggi dan penurunan kualitas hidup. Terapi pengobatan diabetes yang beragam variasi dapat memberikan efektivitas dan biaya yang berbeda. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis efektivitas biaya terhadap kombinasi metformin-pioglitazon dan metformin-glimepirid pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan teknik pengumpulan data retrospektif. Data penelitian diambil dari rekam medis dan data biaya pasien rawat jalan diabetes melitus tipe 2 dengan kombinasi metformin-pioglitazon dan metformin-glimepirid di RSUD Pasar Rebo tahun 2020-2022. Parameter untuk melihat efektivitas terapi adalah pencapaian target HbA1c <7,0% dengan minimal 3 bulan. Data biaya pengobatan pasien menggunakan biaya langsung medis dengan perspektif rumah sakit. Nilai efektivitas terapi yang dihasilkan menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok metformin-pioglitazon dengan metformin-glimepirid (p > 0,05). Berdasarkan hasil analisis, nilai inkremental efektivitas antara kedua kelompok terapi sebesar 8% dan nilai inkremental total biaya sebesar Rp350.170,00. Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terapi kombinasi metformin-pioglitazon lebih efektivitas-biaya dibandingkan metformin-glimepirid dengan penambahan biaya sebesar Rp43.771,25 untuk berpindah dari terapi metformin-glimepirid menjadi metformin-pioglitazon pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD Pasar Rebo.

Diabetes mellitus type 2 is the most common case of diabetes with an increase in prevalence every year. Various diabetes treatment therapies can provide different effectiveness and costs. This study was performed to analyze cost-effectiveness of the combination of metformin-pioglitazone and metformin-glimepiride in patients with type 2 diabetes mellitus. This method was cross-sectional with retrospective data collection techniques. The research data was taken from medical records and cost data for type 2 diabetes with combination of metformin-pioglitazone and metformin-glimepiride at Pasar Rebo Hospital in 2020-2022. The parameter to see effectiveness of therapy is achievement of HbA1c target of <7.0% at least 3 months. Patient treatment cost data using medical direct costs with a hospital perspective. The resulting therapeutic effectiveness value showed no significant difference between the metformin-pioglitazone group and metformin-glimepiride (p > 0.05). Based on the results of the analysis, incremental value of effectiveness between the two therapy groups was 8% and total incremental value of cost was Rp350,170.00. Based on the results of this study, metformin-pioglitazone combination therapy is more cost-effective than metformin-glimepiride with additional cost of Rp43,771.25 by changing metformin-glimepiride therapy to metformin-pioglitazone in type 2 diabetes mellitus patients at RSUD Pasar Rebo."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Natasya
"Diabetes Melitus DM penyakit kronis yang membutuhkan terapi jangka panjang dan intervensi untuk adaptasi perubahan gaya hidup dan pengobatan untuk meningkatkan target terapi. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh konseling oleh apoteker pada perbaikan kepatuhan, kadar HbA1c dan kualitas hidup pasien DM tipe 2 di RSUD Kota Depok. Penelitian dilakukan dengan desain pretest-posttest control group design pada 81 responden dengan alat ukur pill count untuk kepatuhan, pemeriksaan darah untuk kadar HbA1c dan kuesioner EQ-5D-5L untuk kualitas hidup. Karakteristik sosiodemografi dan klinis responden DM tipe 2 di RSUD Kota Depok antara kelompok uji dan kontrol tidak terdapat perbedaan yang signifikan p>0,05 . Pasien kelompok uji menunjukkan peningkatan kepatuhan terapi, penurunan kadar HbA1c dan peningkatan kualitas hidup secara signifikan, sementara pada kelompok kontrol hanya kadar HbA1c peningkatan yang signifikan sementara kepatuhan dan kualitas hidup tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Kepatuhan terapi responden dipengaruhi oleh konseling apoteker secara signifikan. Kadar HbA1c responden dipengaruhi oleh kepatuhan terapi dan pola makan secara signifikan. Kualitas hidup responden berdasarkan nilai deskriptif dan nilai VAS dipengaruhi oleh kadar HbA1c secara signifikan. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan konseling oleh apoteker menyebabkan perbaikan pada kepatuhan, kadar HbA1c dan kualitas hidup responden pasien DM tipe 2 di RSUD Kota Depok.

Diabetes Mellitus DM a chronic disease requiring long term therapy and interventions for the adaptation of lifestyle changes and medications to improve therapeutic targets. The aim of this research is to know the influence of counseling by pharmacist on improvement of adherence, HbA1c level and quality of life of DM type 2 patient in RSUD Kota Depok. The research was done by pretest posttest control group design design on 81 respondents with pill count methods for adherence, blood tests for HbA1c levels and EQ 5D 5L questionnaires for quality of life. Sociodemographic and clinical characteristics of DM type 2 respondents in RSUD Kota Depok between test and control group were not significantly different p 0,05 . Patients in the test group showed improved adherence to therapy, decreased HbA1c levels and improved quality of life significantly, while in the control group only HbA1c levels were a significant increase while adherence and quality of life did not show significant change. Adherence of respondents influenced by pharmacist counseling significantly. HbA1c levels of respondents is influenced by adherence of therapy and diet significantly. The quality of life of respondents based on descriptive value and VAS value influenced by HbA1c level significantly. The results of this study can be concluded by the pharmacist counseling led to improvements in adherence, HbA1c levels and quality of life of DM type 2 patients in Depok City Hospital. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
T51627
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diyah Eka Andayani
"Tujuan : Mengetahui korelasi antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA dan monosit pada penderita DM tips 2
Tempat : Poliklinik Metabolik dan Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipta Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Metodologi : Penelitian potong lintang pada 52 orang pasien DM tipe 2. Data yang diambil meliputi data umum dan demografi, lama menderita DM, status gizi, komplikasi, asupan vitamin C dan pemeriksaan laboratorium meliputi kadar vitamin C, MDA plasma, jmlah monosit dan kadar HbAic. Uji korelasi dilakukan dengan mcnggunakan uji Pearson dan Spearman-Rank
Hasil : Subyek terdiri dari 37 prang perempuan dan 15 orang pria, dengan rerata usia 49,88 ± 5,87 tahun. Sebanyak 46,2% subyek berpendidikan rendah, 75% berada di bawah Upah Minimum Propinsi (UMP), median lama menderita DM 48 (1- 228) bulan dan 78,8% telah mengalami komplikasi. Rerata IMT 26,11 + 4,85 kg/m2 dan 69,3% tcrmasnk kategori BB lebih. Sebanyak 40,4% tergolong dalam kelompok dengan asupan vitamin C kurang. Median kadar-vitamin C plasma 21,14 (1,89 - 0,86) pmo11L dan 52% tergolong ke dalam kelompok dengan kadar vitamin C rendah dan defisiensi. Median kadar MDA plasma 0,37 (0,03 - 0,86) [anon dart 90,4% subyek tergolong dalam kelompok dengan MDA normaL Rerata jutnlah monosit 7,13 ± 1,78% dan 75% mempunyai kadar monosit normal. Terdapat korelasi bermakna (p=0,02) antara asupan vitamin C dengan kadar vitamin C plasma, dan antara kadar HbA,c dcngan kadar MDA plasma (p=0,02). Variabel lain yang diteliti tidak mempcrlihatkan korelasi yang bermakna
Kesimpulan: Antara kadar vitamin C dengan kadar MDA plasma dan jumlah monosit tidak didapatkan korelasi yang bermakna. Didapatkan korelasi bermakna antara asupan vitamin C dengan kadar vitamin C plasma dan antara kadar HbA1c dengan kadar MDA plasma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Juwita E.N.
"Penanganan diabetes melitus yang tidak baik dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Monitoring keberhasilan terapi dan tingkat keparahan pada pasien diabetes melitus dilakukan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan HbA1c secara rutin. Pemeriksaan HbA1c jarang dilakukan karena terkait biaya yang relatif mahal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kadar glukosa darah puasa dengan HbA1c pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang dilanjutkan dengan analisis korelasi. Data diperoleh dari rekam medis pasien diabetes melitus rawat jalan yang berkunjung pada bulan November di RSUD Depok. Data yang dianalisis sebanyak 111 pasien dengan 38 laki-laki dan 73 perempuan, 27,3 pasien murni DM dan selebihnya memiliki penyakit penyerta yang bervariasi. Terapi DM yang paling banyak digunakan adalah kombinasi obat golongan biguanida dan sulfonilurea. Hasil analisis dengan korelasi spearman menunjukkan adanya hubungan kadar glukosa darah puasa dengan HbA1c pada pasien diabetes melitus tipe 2 r = 0,480, p = 0,020 dengan arah hubungan positif yang berarti bahwa kadar glukosa darah puasa linear dengan kadar HbA1c. Usia dan jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi hubungan glukosa darah puasa dengan HbA1c.

The bad management of diabetes mellitus can cause various complications. Monitoring the success of therapy and severity of diabetes mellitus patients is done by examination the level of fasting blood glucose and HbA1c on a regular basis. HbA1c examination is rarely done because of the relatively high cost. This study aims to analyze the correlation of fasting blood glucose levels and HbA1c in type 2 diabetes mellitus patients. This study used a cross sectional design followed by correlation analysis. Data were obtained from medical records of diabetes mellitus outpatient visited in November at Depok Regional Public Hospital. Data were analyzed on 111 patients consisted of 38 men and 73 women, 27.3 were pure DM patients and the rest had various comorbidities. The most widely used DM therapy is a combination of Biguanida and sulfonylurea. The results of spearman correlation analysis showed a correlation of fasting blood glucose level and HbA1c in type 2 diabetes mellitus patient r 0,480, p 0,020 in positive association which means that fasting blood glucose level linear with HbA1c level. Age and sex are the factors that affect the association of fasting blood glucose and HbA1c."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Dorthy Santoso
"Latar belakang: Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit metabolik yang sering dijumpai dan merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular. Prevalensi penyakit DM meningkat dengan pesat dan akan menjadikan Indonesia peringkat ke empat dunia. Betambahnya jumlah penyandang DM dan komplikasi akibat DM menjadi beban negara terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu komplikasi yang terkait dengan bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin adalah komplikasi mikrovaskular yakni neuropati. Neuropati otonom ditandai dengan kulit kering dan jumlah keringat yang berkurang. Kekeringan kulit yang tidak di tata laksana dengan baik mempermudah timbulnya kaki diabetik.
Tujuan: Mengetahui pengaruh kadar HbA1c dan gula darah terhadap kulit kering pada pasien DM tipe 2.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklinik Endokrin Ilmu Penyakit Dalam dan Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN. Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik untuk menentukan derajat kekeringan kulit dengan menggunakan penilaian SRRC, dilanjutkan dengan pemeriksaan corneometer dan tewameter. Terakhir dilakukan pemeriksaan laboratorium darah untuk kadar HbA1c dan GDS.
Hasil: Didapatkan total 95 subjek dengan usia rerata 54 tahun, hampir sebagian besar pasien tidak merokok, tidak menggunakan pelembap dan AC, tidak menggunakan air hangat untuk mandi, mengkonsumsi obat penurun kolesterol, mengalami neuropati dan menopause, serta durasi lama DM ≥5 tahun. Hasil utama penelitian ini didapatkan korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar HbA1c dengan nilai SRRC berdasarkan uji nonparametrik Spearman (r = 0,224; p = 0,029). Perhitungan statistik dilanjutkan kembali dengan analisis stratifikasi dan regresi linear stepwise.

Background: Type 2 diabetes mellitus is one of the most common metabolic diseases and is one of the top four non-contagious priorities. DM prevalence has been increasing rapidly and would make Indonesia ranked fourth in the worldwide. The increasing number of people with DM and its associated complications are major burden, especially for developing countries such as Indonesia. One of the complications associated with Dermatology and Venereology is microvascular complications, specifically neuropathy. Autonomic neuropathy is characterized by dry skin and reduced amount of sweat. Unmanaged dry skin is a potential risk factor of developing diabetic foot.
Objective: To determine the effect of HbA1c and blood glucose level on dry skin in type 2 diabetes mellitus patient.
Methods: This study was a cross-sectional study conducted on patients with type 2 diabetes mellitus in the Endocrine outpatient clinic of the Internal Medicine and Dermatology and Venereology outpatient clinic of RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta from July to September 2018. History taking, physical examination to determine the degree of skin dryness using SRRC assessment, followed by examination of the corneometer and tewameter. At last, blood test examination was performed for HbA1c and random blood glucose levels measurement.
Results: A total of 95 subjects were enrolled with an average age of 54 years, most if the patients were non-smoker, did not use moisturizers and air conditioning, did not use warm water for bathing, consumed cholesterol lowering agent, experienced neuropathy and menopause, and have been suffering DM for more than 5 years. The main results of this study were statistically significant correlation between HbA1c levels and SRRC values based on the Spearman nonparametric test (r = 0,224; p = 0,029). Statistical calculations were continued with stratification analysis and stepwise linear regression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Avie Saptarini
"Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 mengalami peningkatan risiko kanker yang diduga diakibatkan oleh kondisi hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan inflamasi. Ketiga faktor tersebut dapat menginduksi proses tumorigenesis melalui jalur glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan mutan p53 sebagai tumor marker pada pasien DM tipe 2 dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker, mengukur dan membandingkan HbA1c pada kedua kelompok, serta melihat korelasi mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Kelompok yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 (n = 51) dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis mutan p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer.
Pada penelitian ini kadar serum mutan p53 pada kelompok pasien DM tipe 2 (1,62 ± 0,08 ng/ml) tidak berbeda bermakna dengan kelompok pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (1,64 ± 0,09 ng/ml) (p = 0,774). Sementara itu, HbA1c pada kelompok DM tipe 2 (8,42 ± 0,25 %) berbeda bermakna dengan kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c, baik pada kelompok DM tipe 2 (r = 0,083; p = 0,561), maupun kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (r = 0,072; p = 0,617). Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar mutan p53 pada kelompok DM tipe 2 dan DM tipe 2 yang menderita kanker tidak berbeda bermakna, namun HbA1c pada kedua kelompok berbeda bermakna. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok.

Type 2 Diabetes Mellitus has been found to increase the risk of cancer which is caused by conditions of hyperglycemia, hyperinsulinemia, and inflammation. These three factors are able to induce tumorigenesis through mechanisms of glucotoxicity, lipotoxicity, and oxidative stress. This study aimed to measure and compare mutant p53 as tumor marker in Type 2 Diabetes Mellitus patients and Type 2 Diabetes Mellitus patients with cancer, to measure and compare HbA1c level in both groups, and to analyze the correlation between mutant p53 and HbA1c level in both groups. This study was a cross-sectional study with consecutive sampling technique in which two groups were involved, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 51) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Serological level of mutant p53 protein was analyzed using ELISA and HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer.
The serological level of mutant p53 in the type 2 diabetes mellitus patients (1.62 ± 0.08 ng/ml) showed no significant difference compared with type 2 diabetes mellitus patients with cancer (1.64 ± 0.09 ng/ml) (p = 0.774). Meanwhile, HbA1c level showed significant difference between type 2 diabetes mellitus patients (8.42 ± 0.25 %) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (7.02 ± 0.20 %) (p < 0.001). Mild correlations between mutant p53 and HbA1c level were found in both type 2 diabetes mellitus patients (r = 0.083; p = 0.561) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (r = 0.072; p = 0.617). Based on the result, there was no significant difference between mutant p53 in type 2 diabetes mellitus patients with and without cancer. HbA1c level was found to be significantly different in both groups. Meanwhile, there was no significant correlation between mutant p53 and HbA1c in both groups.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yati Darmiati
"Diabetes Melitus tipe 2 merupakan sekumpulan gangguan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia. Komplikasi klinis akibat DM berkolerasi dengan status glikemik, sehingga diperlukan upaya pengontrolan status glikemik pasien DM, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang untuk mencegah atau mengurangi komplikasi progresif akibat penyakit tersebut. Parameter laboratorium untuk pemantauan status glikemik meliputi kadar glukosa darah harian, HbA1c, dan albumin glikat (AG).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kadar HbA1c dan kadar AG pada pasien DM tipe 2 tidak terkontrol, mendapatkan korelasi antara kadar HbA1c dan kadar AG, juga melihat penurunan kadar HbA1c dan AG sesudah terapi 1 dan 3 bulan. Penelitian dilakukan dengan desain studi diagnostik, yang melibatkan 32 subyek penelitian yang diikuti selama 3 bulan mulai bulan Februari hingga Mei 2014. Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan oleh dokter Spesialis Penyakit Dalam dan diagnosis DM tipe 2 tidak terkontrol didapatkan dari hasil pemeriksaan HbA1c > 7 %.
Hasil penelitian mendapatkan rerata (SD) kadar glukosa darah puasa bulan ke-0, ke-1, dan ke-3 berturut-turut sebesar 170,5(51,6) mg/dL; 162,7(54,6) mg/dL, dan 147,3(45,9) mg/dL. Median (rentang) kadar glukosa darah 2 jam postprandial l(G2PP) bulan ke-0 dan ke-1 sebesar 220 mg/dL (90-544) mg/dL dan 191,5 mg/dL (114-468) mg/dL; rerata(SD) kadar G2PP bulan ke-3 sebesar 201(65,98) mg/dL. Korelasi antara kadar HbA1c dan kadar AG adalah : pada bulan ke-0, r=0,79, p<0,001, bulan ke-1 r=0,74, p<0,001 dan bulan ke-3 r=0,78, p<0,001.
Penurunan kadar HbA1c dari baseline (delta-1) dan pada bulan ke-3 (delta-3) adalah median (rentang) delta-1 sebesar 0,43% (0,35-0,74)%, p<0,001 dan median (rentang) delta-3 sebesar 0,89% (0,64-2,30)%, p<0,001. Penurunan kadar AG bulan ke-1 dari baseline (delta-1) dan pada bulan ke-3 (delta-3): median (rentang) delta-1 sebesar 0,94% (0,48-1,64)%, p<0,001, dan median (rentang) delta-3 sebesar 1,79% (0,33-1,40)%, p<0,001.
Kami menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif bermakna antara kadar HbA1c dan kadar AG pada bulan ke-0, ke-1, dan ke-3, dengan kekuatan korelasi kuat (r = 0.7-0.8), selain itu terdapat penurunan kadar HbA1c dan AG yang bermakna sesudah terapi 1 dan 3 bulan.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a group of metabolic disorders with hyperglycemic characteristic. Clinical complications of DM correlate with glycemic state, therefore it is necessary to make an effort to control DM glycemic state, in short-, medium-, and long-term to prevent or minimize progressive complications due to the disease. Laboratory parameters to monitor glycemic state include daily blood glucose, HbA1c, and glycated albumin (GA).
This study aimed to obtain HbA1c and GA levels in uncontrolled type 2 DM patients, the correlations between HbA1c and GA levels, and also the decrease in HbA1c and GA levels after 1 month and 3 months treatment. This was a diagnostic study involving 32 subjects that were followed for 3 months from February to May 2014. Type 2 DM was diagnosed by the internist in the Department of Internal Medicine and the uncontrolled type 2 DM was confirmed by HbA1c measurement of > 7%.
The results showed that mean (SD) fasting blood glucose levels at baseline, 1 month and 3 months were 170.5 (51.6) mg/dL; 162.7 (54.6) mg/dL, and 147.3(45.9) mg/dL, respectively. Median (range) 2 hours postprandial blood glucose levels at baseline and 1 month respectively, were 220 mg/dL (90-544) mg/dL and 191.5 mg/dL, respectively, and mean (SD) at 3 months was 201,7 (65,98) mg/dL. Correlations between HbA1c and GA levels : at baseline r =0.79, p<0.001, at 1 month r=0.74, p<0.001 and at 3 months r=0.78, p<0.001.
Decreases of HbA1c level from baseline, at 1 month (delta-1) and at 3 months (delta-3) : median (range) delta-1was 0.43% (0.35-0.74)%, p<0.001 and median (range) delta-3 was 0.89% (0.64-2.30)%, p<0.001. Decreases of GA level from baseline, at 1 month (delta-1) and at 3 months (delta-3) : median (range) delta-1 was 0.94%(0.48-1.64)%, p<0.001, and median (range) delta-3 was 1.79%(0.33-1.40)%, p<0.001.
We concluded that there were significant positive correlations between HbA1c and GA levels at baseline,1 month and 3 months, with strong correlations (r=0.7-0.8). In addition, there were also significant decreases in HbA1c and GA levels from baseline at 1 month and 3 months therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>