Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168427 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frederick Martinus
"Bangsa Manchuria (满族 Mǎnzú) adalah bangsa non-Han dari kawasan (东北 Dōngběi) yang menjajah Cina dan mendirikan Dinasti Qing pada tahun 1644. Selama berkuasa di Cina, Dinasti Qing menerapkan kebijakan rambut tocang sebagai alat penunjuk superioritas bangsa Man terhadap bangsa Han. Kebijakan ini mengakibatkan rakyat Han merasa terhina, sehingga ingin membalaskan dendam mereka dengan melancarkan gerakan anti tocang di Cina. Gerakan ini menjadi reaksi berbasis identitas kebangsaan yang mempengaruhi perkembangan nasionalisme Cina, terutama pada akhir abad ke-19. Penelitian ini memaparkan karakteristik dan keterkaitan dari gerakan anti tocang yang dilancarkan oleh Kelompok Teratai Putih, Taiping, Reformis, dan Revolusioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun para pemimpin gerakan anti-tocang hidup pada dimensi waktu yang berbeda, mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu menjunjung tinggi nasionalisme dan patriotisme untuk menyelamatkan dan memperkuat bangsa dan negara Cina. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menerapkan 4 tahapan metode penelitian sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

Manchus is a non-Han race from 东 北 region who conquered China and established Qing Dynasty in 1644. During its reign in China, Qing Dynasty implemented queue hairstyle policy as symbol of Manchus superiority toward Hans. This policy caused Hans feel humiliated, thus they tried to seek revenge by launching anti-queue hairstyle movement. This movement becomes nation reaction that influences nationalism development in the end of nineteenth century. This research will explain, analyze, and seek links between White Lotus Society, Taiping, Reformist, and Revolutionary anti-queue hairstyle movement. Result shows that these four movement leaders have one same goal, which is to uphold nationalism and patriotism spirit to save and strengthen China country nation. This thesis uses qualitative research methods with 4 historical stages, such as heuristic, critic, interpretation, and historiography.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S66437
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Dita Ferany
"Lu Xun adalah salah satu sastrawan Cina modern yang menaruh perhatian pada kondisi sosial masyarakat Cina di dalam beberapa karya sastranya. Salah satu karyanya yang terkenal adalah cerita pendek berjudul “药Yao” atau Obat. Melalui penokohan, metafora, dan gambaran kondisi sosial yang terdapat dalam cerita pendek Obat, Lu Xun mengungkapkan kondisi masyarakat yang sebenarnya terjadi pada masa pemerintahan dinasti terakhir di Cina, yaitu Dinasti Qing. Makalah ini membahas cerita pendek Obat yang merefleksikan kondisi sosial masyarakat pada masa akhir Dinasti Qing.

Lu Xun is one of the modern Chinese writers which pay attention to the social conditions of Chinese society in his several literary works. His one of the most famous writing is a “药Yao” or Medicine short story. Through the characterizations, metaphors, and descriptions of social conditions that are contained in the Medicine short story, Lu Xun revealed the real conditions about the society that happened during the reign of the last dynasty in China, which is called Qing Dynasty. This paper discusses about the Medicine short story that reflected society’s social condition at the end of the Qing Dynasty.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Zaki Rizqi Arraniri
"Semenjak abad pencerahan dimulai, Bangsa Barat yang mulai mengedepankan akal dan menjadikan eksplorasi dunia sebagai fokus mereka. Tiongkok yang kala itu berada di bawah pemerintahan Dinasti Qing dan memegang teguh konsep zhongguo, dihadapkan dengan kehadiran Bangsa Barat yang telah menganut nilai-nilai sosial hasil dari abad pencerahan. Intensi untuk berniaga dengan Tiongkok direspon dengan pemberlakuan sistem cohong, yang membatasi ruang gerak Bangsa Barat. Banyak upaya dilakukan untuk membatasi, namun justru berdampak negatif bagi Tiongkok. Mengakibatkan pecahnya Perang Candu I dan mengancam kedaulatan Tiongkok. Penelitian ini meneliti sejauh mana penerapan konsep zhongguo pada sistem cohong dalam perekonomian Dinasti Qing (1757-1842), dan akan membahas mengenai konsep zhongguo dan perannya dalam pemerintahan kekaisaran Tiongkok, sistem cohong dan bagaimana pelaksanaannya, situasi dan kondisi Tiongkok sebelum dan saat masuknya Bangsa Barat, dan menganalisis mengapa Tiongkok menerapkan sistem cohong dan sejauh mana sistem cohong menjadi wujud nyata dari penerapan konsep zhongguo.

Since the era of enlightenment began, Western nations who began to prioritize ratio made world exploration as their focus. China, which at that time was under the reign of the Qing Dynasty and adhered to the concept of zhongguo, was faced with the presence of Western nations who had embraced social values ​​as a result of the Enlightenment. The intention to trade with China was responded by the implementation of cohong system, which limited the space for Western nations to move. Many attempts were made to limit it, but it had a negative impact on China. Resulted in the outbreak of the Opium War I and threatened China's sovereignty. This study examines the extent of the application of the zhongguo concept to the cohong system in the economy of the Qing Dynasty (1757-1842), and will discuss the zhongguo concept and its role in the Chinese imperial government, the cohong system and how it was implemented, the situation and condition of China before and during the entry of the West, and analyze why China implements the cohong system and the extent to which the cohong system becomes a concrete manifestation of the application of the zhongguo concept.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiani Sarahofia Adji
"Artikel ini membahas tentang perkembangan etnis Han sebagai aspek utama pada integrasi sosial di Taiwan periode Qing (1780-1895). Taiwan yang merupakan wilayah yang dihuni oleh suku Austronesia justru memiliki sejarah yang panjang dan dinamis dengan karakteristik perkembangan masyarakat Han sebagai aspek utama. Hal ini disebabkan oleh aneksasi kekaisaran Qing yang membawa landasan nilai-nilai Tiongkok dalam pemeritahannya di Taiwan. Kebijakan-kebijakan yang dibentuk juga mempengaruhi perkembangan etnis Han di Taiwan seperti kebijakan karantina hingga kebijakan pro-kolonisasi (kaishan fufan). Apabila pada kebijakan karantina etnis Han dipandang berpotensi menjadi pemberontak, pada kebijakan pro-kolonisasi etnis Han dipandang sebagai agen kolonisasi internal yang tidak hanya mampu melawan agresi asing namun juga melakukan upaya sinifikasi terhadap penduduk asli Taiwan. Perkembangan etnis Han di Taiwan juga mempengaruhi kondisi sosial-budaya di Taiwan seperti meningkatnya populasi Han di Taiwan yang menyebabkan meningkatnya konflik sosial dan munculnya kelas sosial baru. Sehingga terbentuklah struktur dan sistem sosial yang condong pada sistem yang dimiliki orang Han, dan etnis Han menjadi etnis dominan di Taiwan.

This article discusses the development of the Han ethnicity as a major aspect of social integration in Taiwan in the Qing period (1780-1895). Taiwan, which is an area inhabited by Austronesian tribes, actually has a long and dynamic history with the characteristics of the development of Han society as the main aspect. This was due to the annexation of the Qing empire which brought the foundation of Chinese values ​​in its rule in Taiwan. The policies formed also influenced the development of Han Chinese in Taiwan, such as quarantine policies to pro-colonization policies (kaishan fufan). If the Han quarantine policy is seen as a potential rebel, the pro-colonization policy of Han ethnicity is seen as an internal colonization agent who is not only able to fight foreign aggression but also to make efforts to cynicize native Taiwanese. The development of the Han ethnicity in Taiwan also affects the socio-cultural conditions in Taiwan, such as the increasing Han population in Taiwan which causes increased social conflict and the emergence of a new social class. So that a social structure and system was formed that was leaning towards the system owned by the Han people, and the Han ethnicity became the dominant ethnicity in Taiwan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Theressa Sarma Margaretha
"Cheongsam sudah melewati berbagai macam perubahan dari masa ke masa. Perubahan yang paling signifikan terjadi dari akhir pemerintahan Dinasti Qing sampai berdirinya Republik Rakyat Cina. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan karakteristik perubahan pengaruh budaya asing yang ada pada Cheongsam pada awal abad 20. Metode penelitian yang digunakan adalah metode dekriptif analisis. Data yang digunakan berasal dari berbagai foto yang berasal dari akhir abad 19 sampai 1949 serta tabel data pengukuran Cheongsam dari Museum Pakaian Universitas Donghua. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa perubahan model busana Cheongsam merepresentasikan budaya asing dan mencirikan karakteristik pada masa tersebut.

Cheongsam has gone through various changes from time to time. The most significant changes appeared from the end of Qing Dynasty until the founding of People's Republic of China. This research aims to show the characteristics of changes especially Western culture influences that existed in Cheongsam in the early 20th century. The method used in this research is descriptive analysis method. The data that used are from various Cheongsam photographs from the late 19th century to 1949, and also tables of Cheongsam measurement data from the Donghua University Clothing Museum. The results of this research is that changes in the Cheongsam represent foreign cultures and characteristics of social conditions at that time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Assyifa Aulia Rahmadhiani
"Tugas Karya Akhir (TKA) ini akan membahas mengenai perkembangan praktik nasionalisme ekonomi Tiongkok melalui tinjauan literatur. Penulis melihat bahwa praktik nasionalisme ekonomi Tiongkok terus mengalami perkembangan, khususnya setelah Tiongkok hadir sebagai negara dengan laju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang cepat sejak pembukaan ekonominya pada tahun 1978. Sejak bergabungnya Tiongkok ke World Trade Organization (WTO) pada tahun 2001 yang menandai terintegrasinya Tiongkok secara penuh ke tatanan ekonomi internasional, kajian praktik nasionalisme ekonomi Tiongkok terfokus pada dampak internasional yang diberikan atas perilaku Tiongkok di tatanan internasional. Dalam meninjau perkembangan literatur mengenai praktik nasionalisme ekonomi Tiongkok melalui metode analisis taksonomi, penulis melakukan tinjauan atas literatur yang membahas mengenai 1) motivasi praktik nasionalisme ekonomi Tiongkok; 2) karakteristik nasionalisme ekonomi Tiongkok; dan 3) dampak praktik nasionalisme ekonomi Tiongkok di lingkungan internal dan eksternal. Tinjauan literatur yang penulis lakukan kemudian memunculkan beberapa temuan, yakni 1) praktik nasionalisme ekonomi Tiongkok dikaji berdasarkan keberadaan tujuan nasional Tiongkok sebagai pedoman perilaku Tiongkok dalam merumuskan kebijakan; 2) akademisi melihat Tiongkok sebagai negara yang menerapkan nasionalisme ekonomi secara adaptif; 3) terdapat tantangan dalam kajian praktik nasionalisme ekonomi Tiongkok yang berada pada keterbatasan konteks historis; dan 4) adanya peningkatan tren kajian praktik nasionalisme ekonomi Tiongkok berdasarkan dampak praktik terhadap lingkungan eksternal pada abad ke-21.

This final paper will discuss the development of Chinese economic nationalism practice through a literature review. The author sees that the practice of Chinese economic nationalism is developing continuously, especially after China emerged as a country with a fast paced development and steady economic growth since its economic opening in Deng Xiaoping’s regime in 1978. Since China joined the World Trade Organization (WTO) in 2001 which marked China’s full integration into the international economic order, the study of Chinese economic nationalism practice focuses on the international impact China has in the international order. This literature review aims to understand the development of Chinese economic nationalism practice through a taxonomic analysis model, by selecting the literature that discusses 1) the motivation behind the Chinese economic nationalism practice; 2) the characteristics of Chinese economic nationalism; and 3) the impact of China’s economic nationalism practices on both internal and external environment. Finally, the literature review contributes to several findings, namely 1) the Chinese economic nationalism practice was studies based on the existence of China’s national goals as a guideline for China’s behavior and policies formulation; 2) researchers see China as a country that implements economic nationalism adaptively; 3) there are challenges in studying the Chinese economic nationalism practices mainly due to the limited historical context of China domestic economic development; and 4) there is an increasing trend in the Chinese economic nationalism practice study, which based on the practice’s impact on the external economic environment in the 21st century."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alexandra Sawitri Ekapartiwi
"Kaum Ksim di Cina menjelang akhir Dinasti Qing. Kaum kasim adalah sekelompok atau segolongan laki-laki yang te1ah menjalani 'pengebirian' sebagai bagian dari kodratnya. Kelompok ini muncul dalam jumlah yang cukup besar di negara Cina sejak zaman dinasti Zhou (+1122-256 BC) hingga hancurnya dinastiitu (16144-1912). Pada jaman 1416, pengaruh kaum kasim tidak la_gi sebesar seperti jaman dinasti-dinasti sebelumnya. Penulis mengambil jaman peralihan dari dinasti ke republik, yaitu jaman dinasti Qing ke pemerintahan moderen, dapat mewakili kaum kasim keseluruhan di negeri itu. Pada awalnya kaum kasim merupakan orang-orang hukuman yang dihukum rata, secara perlahan-lahan dengan jalan mengebiri alat vital mereka. Namun hukuman ini tidak membuat mereka segera arti seperti yang diharapkan para penguasa, sehingga bebera_pa penguasa mengambil kebijkasanaan untuk memakai tenaga mereka. Pada jaman dinasti Tang (610--907) pengaruh dan kedudukan mereka semakin berkembang luas, hal ini disebabkan campur tangan per_maisuri atau ibusuri. Dorongan yang terkuat untuk memporkokoh kedudukan mereka datang dari kaisar yang masih kanak-kanak atau kaisar yang tidak bijaksana, dengan menunjuk kaum kasim ini dengan penasehat/menteri, bahkan kadang-kadang mewakili kaisar menemui pejabat--pejabat pemerintah lainnya. Kesempatan seperti ini merupakan peluang besar bagi kaum kasim untuk mengorgani_sir kelampoknya ke dalam satu wadah politik dengan nama Tian Li Jiao (organisasi Jalan Surga). Ambisi politik kaum kasim kadang berhasil, tetapi kebanyakan tenggelam dalam persaingan pribadi. Mereka yang kalah dalam persaingan biasanya dibunuh, begitu te_rus menerus dari satu dinasti ke dinasti lainnya. Gejolak pemberontakan dan runtuhnya satu dinasti dapat dikatakan sebagai akibat adanya kaum kasim ini. Ibusuri Ci Xi, kasim An Dehai dan Li Lianying adalah tiga serangkai pendukung runtuhnya kejayaan dinasti-dinasti di Cina. Ambisi politik dan keporcayaan Ibusuri Ci Xi yang be_sar terhadap dua kasim terdekatnya, tidak lagi dapat memperko_koh pemerintah Qing yang memang telah keropos. Kehancuran moral, pejabat-pejabat banyak yang korupsi, kaisar yang dikendalikan ibusuri, dan kaum kasim yang terlalu banyak ikut campur semakin membawa ke puncak kehancuran. Dinasti Qing hanya tinggal namanya saja"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S12859
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josephine Adriani
"Bangsa Cina memiliki kekayaan beraneka ragam karya sastra sejak era kedinastian, salah satunya adalah puisi. Puisi Cina terus mengalami perkembangan, mulai dari era klasik hingga kontemporer. Salah satu penyair Cina era kontemporer adalah Ai Qing 艾青(1910—1996). Puisi-puisi yang ditulis Ai Qing banyak mengungkapkan kecintaannya akan tanah air yang mencerminkan unsur nasionalisme di dalamnya. Penelitian ini menganalisis empat puisi karya Ai Qing yang ditulis selama awal Perang Sino-Jepang II (1937—1945) menggunakan metode kualitatif secara deskriptif-analisis dengan pendekatan stilistika. Melalui analisis ini, penulis bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana stilistika puisi Ai Qing dalam merefleksikan nasionalismenya. Berdasarkan hasil analisis, penelitian ini menemukan bahwa Ai Qing menggunakan romantisme sebagai sarana untuk menyuarakan unsur nasionalisme dalam karyanya. Karya-karya Ai Qing pada masa awal Perang Sino-Jepang II menciptakan narasi yang puitis, emosional, dan penuh semangat nasionalisme yang menjadi bentuk deskripsi atas realitas penderitaan dan perjuangan Tiongkok menghadapi Jepang.

The Chinese nation boasts a diverse literary heritage dating back to dynastic eras, with poetry being a significant component. Chinese poetry has continually evolved, spanning from classical to contemporary periods. One of the contemporary Chinese poets is Ai Qing 艾青 (1910—1996). His poems extensively convey his deep affection for the homeland, reflecting elements of nationalism. This research analyzes four poems by Ai Qing written during the early period of the Second Sino-Japanese War (1937—1945) employing a qualitative descriptive-analytical method with a stylistic approach. This analysis aims to examine how Ai Qing's poetic stylistics reflect his nationalism. Based on the results of the analysis, this study finds that Ai Qing employs romanticism as a means to articulate nationalistic elements in his work. Ai Qing's works during the early stages of the Second Sino-Japanese War construct a poetic narrative that is both lyrical and emotional, filled with a spirit of nationalism, serving as a descriptive depiction of the reality of China's suffering and struggle against Japan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hermin Leonny
"ABSTRAK
Sejak masa kanak-kanak, hidup Jiang Qing tidak bahagia. Ayahnya yang kejam dan sering berbuat sewenang-wenang terhadap ibunya, telah membuat Jiang Qing bertekad tidak akan menjadi wanita yang lemah seperti ibunya. Ia tumbuh menjadi seorang wanita yang pantang menyerah,pendendam, dan ambisius. Pernikahannyadengan Mao Zedong telah membuka jalan bagi Jiang-Qing untukmenunjukkan kekuasaannya. Revolusi Kebudayaan yang dilancarkan Mao untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya pada akhirnya dijadikan alat oleh Jiang Qing untuk membalaskan dendam pribadinya terhadap orang-orang yang pernah menghinanya. Tindakan pembersihan iniberlangsung dari tahun 1966 hingga tahun 1976. Ketika Mao Zedong wafat, kedudukan Jiang Qing mulai terancam. Pada bulan Oktober 1976, ia ditangkap dan dengan demikian berakhirlah dinastinya.

"
1996
S12882
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Maghriza Pradana Putra Saeful
"Artikel ini membahas satu bangunan bersejarah di Aleppo yaitu Benteng Aleppo. Penelitian ini membahas sejarah Benteng Aleppo dan perkembangan fungsinya dari tahun 1300 SM – 637 M. Di bahas juga perubahan bentuk bangunan benteng itu pada masa kekuasaan pemerintahan Islam tahun 1128 M – 1918 M. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif, dengan pengumpulan data studi pustaka. Teori yang digunakan adalah teori ashhabiyah dari Ibnu Khaldun yang berkaitan dengan benteng sebagai penunjang sistem pertahanan suatu wilayah. Penelitian ini mennyimpulkan bahwa Benteng Aleppo memiliki sejarah panjang, berawal dari sebuah kuil kerajaan Hettit pada tahun 1300 SM. Kemudian banyak kerajaan sebelum masa pra Islam yang menguasai Benteng Aleppo sampai tahun 637 M, di antaranya kerajaan Aramaen, Persia, Romawi, dan Byzantium. Pada masa Islam mulai dari tahun 637 M – 1918 M, dinasti-dinasti Islam yang berkuasa yaitu dinasti Umayyah, Abbasiyah, Hamdaniyah, Zenkiyah, Ayyubiyah, Mamluk, dan Utsmaniyah. Fungsi benteng Aleppo mengalami perkembangan, bermula dari sebuah kuil untuk penyembahan kepada dewa-dewa menjadi tempat tinggal, pusat pemetintahan, menjaga wilayah, dan pusat keagamaan. Bentuk bangunannya mengalami perkembangan pada masa Islam dari tahun 1128 M – 1918 M, perkembangan yang pesat terjadi pada masa dinasti Ayyubiyah tahun 1183 M – 1260 M.

This article discusses one historic building in Aleppo, the Aleppo Citadel. This research discusses the history of Aleppo Fortress and the development of its function from 1300 BC - 637 AD. Discussed also the change in the shape of the fort building during the reign of Islam in 1128 AD - 1918 AD. This research uses descriptive-qualitative methods, with the collection of literature study data. The theory used is the ashhabiyah theory of Ibn Khaldun related to the fort as a support for the defense system of a region. This study concludes that aleppo fortress has a long history, starting from a temple of the kingdom of Hettit in 1300 BC. Then many kingdoms before pre-Islamic times controlled the Citadel of Aleppo until 637 AD, among them the kingdoms of Aramaen, Persia, Rome, and Byzantium. During Islam from 637 AD to 1918 AD, the ruling Islamic dynasties were the Umayyad, Abbasid, Hamdaniyah, Zenkiyah, Ayyubid, Mamluk, and Ottoman dynasties. The function of aleppo's fortifications has been developed, across from a temple for worship of the gods to a residence, a center for government, guarding territory, and a religious center. The shape of the building developed during the Islamic period from 1128 AD - 1918 AD, rapid development occurred during the Ayyubid dynasty in 1183 AD - 1260 AD."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>