Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143935 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Berthauli Ester Nurmaida
"ABSTRAK
Penyakit ginjal kronis merupakan suatu keadaan kerusakan ginjal yang bersifat menetap, dan dapat mengakibatkan terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus atau ketidakmampuan ginjal dalam mempertahankan homeostasis. Perawatan untuk penyakit ginjal kronis stadium akhir dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal. Gambaran klinis rongga mulut anak penyakit ginjal kronis tahap akhir dapat berupa gingivitis dan periodontitis. Adanya peningkatan produksi leptin merupakan suatu tanda adanya kondisi inflamasi persisten pada penderita penyakit ginjal kronis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kadar leptin saliva antara anak penyakit ginjal kronis hemodialisis dan anak sehat yang menderita gingivitis. Subjek penelitian sebanyak 20 orang berusia 11-16 tahun, 10 anak penyakit ginjal kronis hemodialisis dan 10 anak sehat. Sampel saliva yang diambil dilakukan pengukuran kadar leptin saliva dengan metode ELISA. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan bermakna antara kadar leptin saliva anak penyakit ginjal kronis hemodialisis dan anak sehat dengan rerata pada anak penyakit ginjal kronis hemodialisis 61,300 4,151 pg/ml dan anak sehat 57,200 3,173 pg/ml. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kadar leptin saliva anak penyakit ginjal kronis hemodialisis dan anak sehat.
ABSTRACT Chronic kidney disease is known as insufficiency of renal function and an irreversible reduction of glomerular filtration rate that happens over years. Gingivitis is a common oral findings, especially in children with chronic renal failure. The production of leptin is a sign of active humoral immune response in the oral cavity. The purpose of this research is to analyze the difference of salivary leptin between hemodialysis children and health children, both having gingivitis. Twenty children aged 11 16 years old with gingivitis were taken as subjects, consisting of 10 hemodialysis children and 10 health children. The level of salivary leptin was measured with ELISA methods. The result showed a significant difference of salivary leptin levels between hemodialysis children 61,300 4,151 pg ml and health children 57,200 3,173 pg ml. In conclusion there is a significant difference of salivary leptin levels in hemodialysis children with gingivitis and health children with gingivitis."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Oktasari
"ABSTRAK
Penyakit ginjal banyak dikaitkan dengan status kesehatan mulut dan kelainan dalam rongga mulut diantaranya perubahan karakteristik pada saliva yaitu laju alir saliva dan pH saliva. Tujuan: Untuk mengevaluasi dan membandingkan laju alir saliva dan pH saliva pada pasien dengan penyakit ginjal kronis PGK stadium Pre Dialisis dan Hemodialisis. Metode: Penelitian analitik observasional dengan metode potong lintang dengan jumlah partisipan sebanyak 32 anak penderita PGK terdiri dari dua kelompok: 16 anak PGK Pre Dialisis LFG > 15 ml / menit / 1,73 m2 dan 16 anak PGK hemodialisis LFG

ABSTRACT
Kidney disease is associated with many abnormalities in the oral health status as well as with alterations salivary charateristics in salivary flow and salivary pH. The aim of this study was to evaluate and to compare salivary flow and salivary pH values in patients with chronic kidney disease CKD on stadium Pre Dialysis and Hemodialysis. Aim To evaluate and to compare salivary flow and salivary pH values in patients with chronic kidney disease CKD on stadium Pre Dialysis and Hemodialysis treatment. Method In a cross sectional study 32 patients were included was composed of two groups 16 patients with CKD Pre Dialysis GFR 15 ml min 1,73 m2 and 16 patients with CKD on hemodialysis GFR 15 ml min 1,73 m2 . Salivary flow and Salivary pH of unstimulated saliva were evaluated. Conclusion Salivary flow was no difference in stadium Pre Dialysis and Hemodialysis patients. Salivary pH was significantly lower in stadium Pre Dialysis patients, while the highest was in the Hemodialysis patiens findings observed in our study. "
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elfrida Atzmaryanni
"ABSTRAK
Leptin merupakan polipeptida dari sebuah gen obese,dan disintesis terutama oleh
sel adiposa. Obesitas merupakan penyakit multifaktoral yang disebabkan interaksi
antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Leptin merupakan indikator biologis
yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat obesitas. Anak obesitas
mempunyai indeks karies yang rendah. Mikroorganisme utama penyebab karies
adalah Streptococcus mutans. Tujuan penelitian melihat perbedaan kadar leptin
saliva dan jumlah koloni S. mutans pada anak obesitas dan anak normal. Kadar
leptin dinilai menggunakan ELISA dan jumlah koloni menggunakan pembiakan
bakteri di TYS20B. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan bermakna antara
kadar leptin dan jumlah koloni S. mutans pada anak obesitas dan anak normal

ABSTRACT
Leptin, product of the ob gene, is a peptide hormone and synthesized mainly by
adipose cells Obesity is a multifactoral disease caused by genetic factors and
environmental factors. Leptin as one of biological indicators which can used to
measure the level of obesity. Children with obesity has low caries index. The
main microorganisms that cause caries is Streptococcus mutans. This study aimed
to see differences in salivary leptin levels and the number of S. mutans colonies in
obese children and normal children. Leptin levels assessed using ELISA and total
of colonies using bacterial cultures in TYS20B. The results showed significant
differences between leptin levels and total of colonies of S. mutans in obese
children and normal children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heidy Diandra Ciptaninggita
"Latar Belakang: Stunting merupakan salah satu bentuk dari malnutrisi dengan prevalensi paling tinggi. Kondisi ini terjadi di berbagai negara salah satunya di Indonesia dengan prevalensi terbesar berada di NTT. Dampak dari stunting bermacam-macam seperti meningkatkan resiko penyakit non-communicable pada saat dewasa, serta meningkatkan resiko obesitas pada saat dewasa. Pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai hormon, salah satunya adalah leptin. Leptin dapat diproduksi dalam jumlah sedikit pada kelenjar saliva mayor. Namun, penelitian yang menunjukan hubungan stunting dengan kadar leptin masih terbatas khususnya dalam penelitian yang menggunakan saliva sebagai sampel. Tujuan: Menganalisis perbedaan kadar leptin pada saliva anak usia 6-8 tahun pada anak-anak berkategori stunting dan non-stunting serta menganalisis korelasinya. Metode: Penelitian ini menggunakan 84 sampel saliva anak usia 6-8 tahun di NTT yang dikategorikan menjadi stunting dan non-stunting. Saliva diteliti menggunakan BioEnzy© ELISA kit untuk melihat kadar leptin lalu dilakukan kuantifikasi menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm. Dari pembacaan tersebut didapatkan nilai absorbance dan konsenterasi sampel saliva. Selanjutnya konsenterasi leptin sampel saliva dianalisis secara statistik menggunakan SPSS untuk mengetahui nilai komparasi dan korelasi dengan status stunting dan non-stunting. Hasil: Rata-rata kadar leptin saliva anak-anak 6-8 tahun stunting ditemukan lebih tinggi daripada anak-anak non-stunting. Terdapat hubungan linear negatif sedang yang bermakna antara kadar leptin saliva anak 6-8 tahun dengan status stunting (r = -0,287, p < 0,05). Kesimpulan: Terdapat perbedaan dan hubungan antara kadar leptin pada saliva anak usia 6-8 tahun dengan status stunting dan non-stunting. Hal ini dapat terlihat dari rata-rata kadar leptin pada saliva yang lebih tinggi pada anak-anak berstatus stunting daripada non-stunting.

Background: Stunting is a form of malnutrition with the highest prevalence. This condition occurs in various countries, one of which is Indonesia, with the greatest prevalence in NTT. The impact of stunting varies, such as increasing the risk of non-communicable diseases as adults and increasing the risk of obesity as adults. Growth is influenced by various hormones, one of which is leptin. Leptin can be produced in small amounts in the major salivary glands. However, research showing the relationship between stunting and leptin levels is still limited, especially in studies using saliva as a sample. Objectives: Analyzing the differences between salivary leptin levels in children aged 6-8 years in the stunting and non-stunting groups and analyzing the correlation between salivary leptin levels in children aged 6-8 years with stunting. Method: This study used 84 saliva samples of children aged 6-8 years in NTT who were categorized as stunting and non-stunting. Saliva was examined using the BioEnzy© ELISA kit to see leptin levels and then quantified using an ELISA reader with a wavelength of 450 nm. From the readings, the absorbance and concentration values of the saliva samples were obtained. Furthermore, the leptin concentration of saliva samples was analyzed statistically using SPSS. Results: The average salivary leptin level of stunted children aged 6-8 years was found to be higher than the non-stunted children. There was a significant negative linear correlation between salivary leptin levels in children aged 6-8 years and stunting status (r = -0.287, p <0.05). Conclusion: There is a significant difference between leptin levels in the saliva of children aged 6-8 years with stunting and non-stunting status. There is also a significant correlation between leptin levels in the saliva of children aged 6-8 years with stunting and non-stunting status. This can be seen from the average leptin level in saliva which is higher in stunted children than non-stunted children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danar Pradipta Rani
"Latar belakang: Anak yang menderita Leukemia Limfoblastik Akut LLA menunjukkan peningkatan sistem imun pada akhir perawatan kemoterapi. sIgA merupakan hasil dari sistem imun yang ada pada saliva.
Tujuan: Menganalisis perbedaan kadar sIgA saliva antara anak LLA fase pemeliharaan dengan gingivitis dan anak sehat dengan gingivitis.
Metode Penelitian: Saliva diambil dari anak LLA dan anak sehat. selanjutnya kadar sIgA saliva diukur dengan metode ELISA.
Hasil: Signifikansi Mann-Whitney menunjukkan besar 0.157 p>0.05 .
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kadar sIgA saliva antara anak LLA fase pemeliharaan dengan gingivitis dan anak sehat dengan gingivitis, namun tidak signifikan.

Background: Acute Lymphoblastic Leukemia ALL children shows an increasing of immune system in the late phase of chemotherapy. sIgA is a product of immune system in saliva.
Aim: To analyze salivary sIgA difference between ALL children in maintenance phase and healthy children with gingivitis.
Method: Saliva was collected from ALL and healthy children. The salivary sIgA level was then measured with ELISA method.
Results: Mann Whitney significance shows the number 0.157 p 0.05 .
Conclusion There is a difference in salivary sIgA levels among ALL children in the maintenance phase and healthy children with gingivitis, but the difference is not significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyaningrum Sekar Ardiasti
"ABSTRAK
Obesitas adalah keadaan patologis akibat penimbunan jaringan lemak berlebih.
Leptin merupakan indikator biologis untuk mengukur obesitas. Streptococcus mutans
merupakan bakteri penyebab karies. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan
pembentukan biofilm S. mutans in vitro antara anak obesitas dan anak normal (kajian
kadar leptin saliva). Sampel plak dan saliva didapatkan dari 20 anak obesitas dan
normal, dinilai sampel plak untuk uji biofilm dan ELISA untuk menilai kadar leptin
saliva. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan tidak bermakna
pembentukan biofilm S. mutans in vitro antara anak obesitas dan normal (p=0.14)
dengan kadar leptin saliva yang lebih tinggi secara signifikan pada anak obesitas
dibandingkan anak normal (p=0.003).

ABSTRACT
Obesity is pathological condition caused by accumulation of fatty tissue in excess.
Leptin as biological indicator to measure obesity. Streptococcus mutans is etiology of
dental caries. This study aimed to examine difference of biofilm formation S. mutans
in vitro between obese and normal children (Review by Salivary Leptin Level).
Plaque and saliva samples were collected from 20 obesity and normal children, in
value biofilm formation by biofilm test and ELISA to assess salivary leptin level. The
study showed no significance difference in biofilm formation S. mutans in vitro
between obesity and normal children (p=0.14) with significance difference in salivary
leptin in obese compared normal children (p=0.003)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Dhearine Pratiwi
"Talasemia beta mayor merupakan suatu penyakit darah yang ditandai dengan tidak ada atau menurunnya produksi rantai protein beta dalam globulin yang mengakibatkan anemia mikrositik dengan derajat keparahan yang bervariasi. Perawatan untuk penderita talasemia beta mayor adalah dengan melakukan transfusi darah secara rutin. Kondisi gingivitis kerap kali juga ditemukan pada anak talasemia beta mayor. Adanya produksi sIgA saliva merupakan suatu tanda aktifnya respons imun humoral dalam rongga mulut.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kadar sIgA saliva pada penderita gingivitis antara anak talasemia beta mayor dan anak normal. Subjek penelitian sebanyak 32 anak dengan gingivitis moderat berusia 5-8 tahun, 16 anak penderita talasemia beta mayor dan 16 anak normal. Sampel saliva yang diambil diukur kadar sIgA salivanya dengan menggunakan metode ELISA.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan bermakna antara kadar sIgA saliva anak talasemia beta mayor dan anak normal dengan hasil rerata pada anak talasemia beta mayor 186.136 ± 92.342 μg/mL dan anak normal 111.541 ± 71.000 μg/mL. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kadar sIgA saliva penderita gingivitis antara anak talasemia beta mayor dan anak normal.

Thalassemia beta major is a blood disorder that is characterized by a decrease or absence of beta protein chain production in globulins, which caused various degree of microcytic anemia. People with thalassemia beta major require scheduled blood transfusion as treatment. Gingivitis is a common oral finding, especially in children with the disorder. The production of salivary IgA (sIgA) is a sign of active humoral immune response in the oral cavity.
The purpose of this research is to analyze the difference of salivary IgA between thalassemia beta major children and normal children, both having gingivitis. Thirty-two children aged 5-8 years old with moderate gingivitis were taken as subjects, consisting of 16 thalassemia beta major children and 16 normal children. The level of salivary IgA was measured with ELISA method.
The result showed a significant difference of salivary IgA levels between thalassemia beta major children (186.136 ± 92.342 μg/mL) and normal children (111.541 ± 71.000 μg/mL). In conclusion there is a significant difference of salivary IgA levels in thalassemia beta major children with gingivitis and normal children with gingivitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmatuz Zulfia
"Penyakit ginjal kronis pada anak merupakan kondisi kerusakan ginjal yang permanen pada struktur atau fungsi ginjal anak. Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal sebagai jembatan sebelum tindakan transplantasi ginjal dilakukan, untuk dapat meningkatkan kondisi klinis anak. Penerimaan diri terhadap penyakit merupakan fase penting yang akan menentukan keberhasilan program terapi. Tujuan penulisan karya ilmiah ini untuk melakukan analisis terhadap penerapan teori kenyamanan Kolcaba dalam asuhan keperawatan anak dengan penyakit ginjal kronis tahap akhir yang menjalani hemodialisis. Penulis melakukan analisis terhadap lima kasus anak yang menjalani hemodialisis dan telah diberikan asuhan keperawatan menggunakan pendekatan teori kenyamanan Kolcaba. Aplikasi teori kenyamanan Kolcaba terbukti efektif memberikan kenyamanan pada anak yang menjalani hemodialisis. Acceptance of Illness Scale (AIS) berbasis sistem informasi yang digunakan dalam penilaian penerimaan penyakit terbukti valid dan reliabel. Proyek inovasi menggunakan AIS berbasis sistem informasi pada anak dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis efektif dilakukan untuk menilai penerimaan penyakit anak. Edukasi suportif yang diberikan juga terbukti berpengaruh pada peningkatan penerimaan penyakit anak.

Chronic disease in children is a condition of permanent kidney damage to the structure or function of the child's kidneys. Hemodialysis is one of the renal replacement therapies as a bridge before a kidney transplant is carried out, to improve the clinical condition of children. Self-acceptance of the disease is an important phase that will determine the success of program therapy. The purpose of writing this scientific paper is to analyze the application of Kolcaba's theory of comfort in the care of children with end-stage chronic diseases undergoing hemodialysis. The author conducted an analysis of five cases of children who underwent hemodialysis and were given nursing care using the Kolcaba comfort approach. The application of Kolcaba's theory of comfort has proven to be effective in providing comfort to children undergoing hemodialysis. The Information System-based Disease Acceptance Scale (AIS) used in the assessment of disease acceptance has been proven to be valid and reliable. An innovation project using AIS based on an information system in children with chronic diseases undergoing effective hemodialysis was carried out to assess the acceptance of children's disease. The supportive education provided has also been shown to have an effect on increasing the acceptance of children's illnesses."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andita Tissalia
"Down Syndrome (Sindroma Down) merupakan suatu kelainan autosom kongenital akibat disjungsi kromosom 21 yang ditandai dengan keterbelakangan perkembangan fisik, mental serta intelektual. Penelitian menunjukkan prevalensi penyakit periodontal yang tinggi pada anak sindroma Down. 1 C-telopeptida merupakan penanda biologis yang ditemukan meningkat pada kerusakan tulang alveolar. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perbedaan konsentrasi C-telopeptida saliva pada anak sindroma Down dan anak normal dengan penyakit periodontal. Seluruh subyek dinilai tingkat keparahan penyakit periodontal (PBI= Papilla Bleeding Index) dan konsentrasi C-telopeptida pada salivanya. Hasil penelitian menunjukkan nilai PBI yang lebih tinggi pada kelompok sindroma Down dibandingkan dengan kelompok normal (p= 0.061). Konsentrasi C-telopeptida pada kelompok sindroma Down lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok normal (p=0.101). Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan antara konsentrasi C-telopeptida dan keparahan penyakit periodontal pada anak sindroma Down.

Down Syndrome is an autosome congenital disorder caused by disjunction of chromosome 21, which is characterized by growth retardation of physical, mental and intellectual. Research shows a high prevalence of periodontal disease in Down syndrome children. 1 C-telopeptide were a biological marker that found increased in alveolar bone resorption. This study aimed to determine differences in the concentration of salivary C-telopeptide in Down syndrome children and normal children with periodontal disease. All subjects assessed for the severity of periodontal disease (PBI = Papilla Bleeding Index) and the concentration of salivary C-telopeptide. The results showed a higher value of PBI in the Down syndrome group compared with the normal group (p = 0.061). Concentration of salivary C-telopeptide on child with Down syndrome was higher than the normal group (p = 0.101). This study shows there is a relationship between the concentration of C-telopeptide and severity of periodontal disease in Down syndrome children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andria Diarti
"ABSTRAK
Obesitas merupakan kondisi patologis akibat terjadinya penimbunan lemak yang
berlebih dibandingkan dengan keadaan normal. Leptin (Ob) merupakan salah satu
hormon yang dapat menggambarkan jumlah jaringan lemak di dalam tubuh
sehingga dapat dijadikan sebagai indikator biologis untuk mengukur tingkat
obesitas. Anak obesitas diketahui memiliki pertumbuhan tulang kraniofasial yang
lebih cepat. Salah satu pengukuran pertumbuhan tulang kraniofasial dapat
dilakukan dengan menghitung besar sudut gonial. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara kadar hormon leptin saliva dengan sudut gonial
anak obesitas. Seluruh subyek dinilai kadar hormon leptin saliva menggunakan
metode ELISA dan penghitungan besar sudut gonial dilakukan dari interpretasi
foto panoramik. Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif sangat
lemah tidak bermakna antara kadar hormon leptin saliva dan sudut gonial (r= -
0.02, p=0.490). Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi
yang bermakna antara kadar hormon leptin saliva dan sudut gonial.

ABSTRACT
Obesity is a pathological condition resulting from the occurrence of excess
bodyfat compared to normal circumstances. Leptin (Ob) is one of the hormones
that could describe the amount of fatty tissue in the body so it could be used as
biological indicators to measure the degree of obesity. Obese children were
known to have a faster craniofacial bone growth. The measurement of craniofacial
bone growth could be conducted by calculating the gonial angle. This study aimed
to investigate relationship of salivary leptin hormone concentrations with gonial
angle in obese children. All subjects were assessed by ELISA method for the
salivary leptin hormone concentrations and measurement of the gonial angle by
using interpretation of a panoramic radiographs. An insignificant very weak
negative correlation was found between salivary leptin hormone concentrations
and gonial angle (r= -0.02, p=0.490). This study concluded that between salivary
leptin hormone concentrations and gonial angle has insignificant correlation."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T35041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>