Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120734 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sulistyowati Irianto
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016
340.59 SUL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
"On position of women in pluralism of inheritance law in Indonesia; collected articles"
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , 2016
340.59 SUL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Maskurotul Ainia
"ABSTRAK
Keunikan dari manusia adalah alteritas, dan hanya dengan memahaminya kita
dapat memahami konsep tentang keadilan dan kemanusiaan. Pada tesis ini, saya
berpendapat bahwa pluralisme radikal tidak hanya kritisisme terhadap pluralitas
dan melampaui pluralisasi, tetapi juga mempunyai kecenderungan untuk
membangun ketidakmungkinan untuk landasan bagi keduanya. Jadi, saya sepakat
dengan Jaques Derrida ketika dia menulis, keadilan adalah dekontruksi, yang
mana ditujukan untuk kemajuan kemanusiaan itu sendiri.

ABSTRACT
The uniqueness of human is alterity, and only through such understanding we can
grasp the concept of justice and humanity. In this thesis, I argue that radical
pluralism is not only a criticism towards plurality and beyond plularization, but
also have the tendencies to build the impossibility of the ground for them. So, I
agree with Jaques Derrida when he wrote justice is deconstruction, which is for
the betterment of humanity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S1802
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Larasati
"Skripsi ini membahas mengenai alasan perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris dalam masyarakat adat Batak Toba serta hak perempuan terhadap harta kekayaan ayahnya. Pembahasan dilakukan melalui studi literatur, pengamatan di lapangan, serta wawancara. Penelitian ini dilakukan dengan cara pendekatan normatif, meliputi penelitian terhadap pengertian dan ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, serta pendekatan empiris untuk memperoleh fakta mengenai perilaku subyek hukum terkait dengan permasalahan yang dibahas. Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris karena pada dasarnya, kehidupan perempuan merupakan tanggung jawab dari laki-laki baik ayah maupun saudara laki-lakinya , perempuan juga sudah tidak akan menjadi anggota kerabat dari klan ayahnya ketika ia menikah sehingga tidak ada hubungan hukum, dan masyarakat adat Batak Toba menghindari adanya tindakan pengalihan harta apabila terjadi pemberian warisan kepada perempuan. Perempuan juga memiliki hak untuk menikmati kekayaan ayahnya, yang dapat diperoleh dengan melalui pemberian dari pewaris ataupun pemberian dari saudara laki-lakinya. Walaupun Negara, melalui putusan Mahkamah Agung tahun 1961, telah memutuskan bahwa perempuan adalah ahli waris yang sama kedudukannya dengan laki-laki, tidak semua masyarakat Batak Toba mengakui kedudukan perempuan sebagai ahli waris, terutama bagi keluarga Batak Toba yang masih bertempat tinggal di Desa Sibuntuon, dan tidak ada keseragaman pemahaman akan hak perempuan terhadap harta kekayaan orangtuanya yang diakibatkan tidak tertulisnya hukum waris adat Batak Toba. Dalam hal ini para tokoh Adat yang menekuni hukum adat Batak Toba dapat turut andil dalam memberikan pengertian terkait dengan proses waris-mewaris dalam masyarakat Batak Toba.

This thesis talks about the reasons why Batak women are not regarded as a legal heir in Batak Toba's custom and also their rights on their father's properties. The discussion is held through thorough literature study, field observatory and interviews. The research in this discussion is done through a normative approach, including research through legal understanding and provisions, whether it is written or not, as well as an empirical approach to obtaining facts about the behavior of legal subjects related to the issues discussed. The research has come to a conclusion that woman in Batak Toba's custom is not considered as a legal heir because they are considered as a responsibility of men whether it is their father or their relatives and women in Batak Toba's customs are no longer considered as a true relatives of their father's family clan as soon as they are married, which leave them with no legal relationship with their father. Although they are not considered as a legal heir, Batak Toba women also have the rights to enjoy their father's riches, which they can gained from the heir or gifts from their brothers. Although Indonesia's Law through the Supreme Court's decision of 1961 has ruled out that women are in the same position of heirs to men, not all Batak Toba community especially those in Sibuntuon Village consider women as heirs. There is also no uniform understanding of women's rights to their parents' property due to the unwritten law of the inheritance of Batak Toba. In this case, those who are considered as indigenous leaders in the community who pursue the customary law of Batak Toba can contribute in providing understanding about the inheritance process of Batak Toba community.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69188
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana posisi perempuan dalam konteks pluralisme hukum waris di Indonesia. Bagaimanakah perempuan diproyeksikan dalm norma hukum dan praktik hukum adat waris, hukum (agama) islam dan Hukum negara. tulisan ini akan menunjukan bahwa kajian tentang masalah waris bisa menjadi suatu lensa untuk menjelaskan kontestasi dan negosiasi kepentingan politik dan hukum yang terjadi sepanjang sejarah peradilan di Indonesia. Betapa kayanya lapangan Hukum waris sebagai bahan pemikiran akademik maupun praktik hukum , khususnya ketika membicarakan soal akses perempuan kepada sumberdaya waris ( tanah,sawah, ladang,rumah, juga benda bergerak). seberapa jauh perempuan dianggap sebagai pewaris, dan berap besar porsinya. Tulisan ini tidak memuat secara keseluruhan temuan penelitian, tetapi setidaknya memberi gambaran umum tentang isu-isu hukum waris di Indonesia dari persepektif pluralisme hukum. Studi ini dilakukan dengan menelusuri kepustakaan. pengambilan data berupa putusan Mahkamah Agung dimungkinkan sejak terbukanya situs Mahkamah Agung, berkat reformasi manajemen pengadilan di lembaga tersebut"
306 JP 73 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Laurensia Lefina Mulauli
"Di negara Indonesia dikenal adanya pluralisme hukum waris sebagaimana terdapat 3 (tiga) sistem hukum waris yang berlaku, antara lain hukum waris Islam, hukum waris perdata barat, dan hukum waris adat yang beraneka ragam mengikuti sistem kekeluargaan yang dianut oleh masing-masing suku bangsa di masyarakat. Tulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal dan berfokus pada keberlakuan hukum waris adat Batak. Tulisan ini menganalisis bagaimana penyelesaian sengketa kewarisan yang terjadi pada keluarga Batak saat ini, apakah Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya masih memberlakukan ketentuan hukum waris adat Batak secara penuh, sebagai masyarakat bercorak patrilineal, yang hanya memberikan bagian waris kepada anak laki-laki saja, atau turut mengindahkan adanya pergeseran nilai waris adat patrilineal dengan turut memberikan bagian waris kepada anak perempuan berdasarkan pada kaidah hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 179 K/SIP/1961 yang mempersamakan kedudukan dan hak ahli waris perempuan dan laki-laki dalam sistem waris adat patrilineal. Pertimbangan Majelis Hakim yang menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan, serta membagi proporsi warisan secara adil dan merata, dalam beberapa putusan penyelesaian sengketa kewarisan keluarga Batak saat ini, tidak serta merta dapat dikatakan sebagai suatu bentuk peleburan hukum waris adat Batak terhadap konsepsi hukum waris perdata barat yang secara prinsip tidak membedakan kedudukan dan hak ahli waris menurut jenis kelamin. Majelis Hakim tetap memberlakukan hukum waris adat Batak terhadap keluarga berperkara dengan mengindahkan adanya pergeseran nilai waris adat patrilineal sebagaimana kaidah hukum Yurisprudensi MA dengan turut memberikan bagian waris kepada anak perempuan, sebab sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh masyarakat adat Batak akan selamanya bersifat mengikat secara turun-temurun dan tidak dapat diubah di mana pun masyarakat adat Batak tersebut bertempat tinggal.

In Indonesia, there is known to be a pluralism of inheritance law as there are 3 (three) applicable inheritance law systems, including Islamic inheritance law, western civil inheritance law, and customary inheritance law which varies following the family system adopted by each ethnic group in the community. This paper is prepared with doctrinal research methods and focuses on the enforceability of Batak customary inheritance law. This paper analyzes how to resolve inheritance disputes that occur in Batak families today, whether the Panel of Judges in its legal considerations still applies the provisions of Batak customary inheritance law in full, as a patrilineal society, which only gives a share of inheritance to sons, or also heeds a shift in the value of patrilineal customary inheritance by contributing to giving a share of inheritance to daughters based on legal rules Supreme Court Jurisprudence No. 179 K / SIP / 1961 which equalizes the position and rights of female and male heirs in the patrilineal customary inheritance system. The consideration of the Panel of Judges who equalize the position of men and women, and divide the proportion of inheritance fairly and equitably, in some decisions on the settlement of Batak family inheritance disputes today, cannot necessarily be said to be a form of integration of Batak customary inheritance law to the conception of western civil inheritance law which in principle does not distinguish the position and rights of heirs according to sex. The Panel of Judges continues to apply Batak customary inheritance law to litigant families by heeding the shift in the value of patrilineal customary inheritance as the rule of Supreme Court Jurisprudence law by also giving a share of inheritance to daughters, because the patrilineal kinship system adopted by the Batak indigenous people will forever be binding for generations and cannot be changed wherever the Batak indigenous people live."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranggapandu Cindarputera
"Penelitian ini membahas mengenai kedudukan hak mewaris perempuan yang statusnya sebagai purusa dalam hukum waris adat bali, di mana perempuan yang telah melakukan perkawinan nyentana tidak lagi berstatus pradana, melainkan statusnya berubah menjadi purusa dan berhak untuk mewaris dari harta peninggalan orang tuanya. Tidak diakuinya status purusa oleh ahli waris lainnya mengakibatkan sengketa terhadap harta peninggalan orang tuanya berupa beberapa bidang tanah yang dikuasai oleh ahli waris lainnya. Kasus tersebut dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor 233/Pdt.G/2019/PN.Gin. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini mengenai hak mewaris perempuan yang tidak diakui sebagai purusa dalam hukum waris adat bali dan akibat hukum terhadap tanah waris dari perempuan yang berkedudukan sebagai purusa dalam putusan pengadilan ini. Untuk menjawab permasalahan hukum tersebut, digunakan metode penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis dalam penelitian adalah kedudukan perempuan yang tidak diakui sebagai purusa menurut sistem hukum waris adat Bali tetaplah sah sebagai ahli waris, di mana perempuan yang telah melangsungkan perkawinan nyentana mengakibatkan statusnya berubah menjadi sentana rajeg, di mana status sentana rajeg dapat dikatakan sama dengan status purusa. Selain itu, akibat hukum yang timbul terhadap tanah waris dari perempuan yang berstatus sebagai purusa mengakibatkan beberapa tanah waris yang dikuasai oleh ahli waris lainnya menjadi tidak sah, sehingga perempuan yang berstatus sebagai purusa berhak untuk mendapatkan setengah bagian dari tanah waris tersebut, sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan haknya yaitu dengan mengajukan permohonan pembatalan hak atas tanah Perkaban 21/2020 Kantor Pertanahan setempat.

This study discusses the position of women's inheritance rights whose status is purusa in Balinese customary inheritance law, where women who have married nyentana no longer have pradana status, but their status changes to purusa and has the right to inherit from their parents' inheritance. The non-recognition of purusa status by other heirs resulted in a dispute over the inheritance of his parents in the form of several parcels of land controlled by other heirs. The case can be seen in the Gianyar District Court Decision Number 233/Pdt.G/2019/PN.Gin. The problems raised in this study are regarding the inheritance rights of women who are not recognized as purusa in Balinese customary inheritance law and the legal consequences of the inheritance of women who are purusa in this court decision. To answer these legal problems, a normative legal research method with an explanatory type of research is used. The results of the analysis in the study are that the position of women who are not recognized as purusa according to the Balinese customary inheritance law system is still valid as heirs, where women who have married nyentana resulted in their status changing to sentana rajeg, where the status of sentana rajeg can be said to be the same as the status of purusa . In addition, the legal consequences arising from the inheritance of women with the status of purusa resulted in some of the inheritance lands controlled by other heirs being invalid, so that women with the status of purusa were entitled to get half of the inheritance land, so that efforts made This can be done to obtain the rights, namely by submitting an apliciation for the cancellation of land rights to Perkaban 21/2020 at the local Land Office."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Biondi Firmansyah
"ABSTRAK
Manusia akan mati suatu hari, dan akan meninggalkan warisan bagi ahli
warisnya. Cara pembagian harta warisan ini beraneka ragam, dapat ditentukan
dari agama, suku, golongan penduduk, atau kewarganegaraan si pewaris. Yang
dapat menjadi ahli waris bukan hanya anggota keluarga si pewaris, orang yang
bukan merupakan anggota keluarga si pewaris juga dapat menjadi ahli waris
apabila si pewaris membuat surat wasiat yang menyatakan demikian. Penulis
menggunakan metode yuridis normatif dalam tulisan ini. Kesimpulannya adalah
menurut Hukum Antar Tata Hukum Intern dan Hukum Antar Tata Hukum
Ekstern, pewarisan diatur oleh hukum waris si pewaris.

Abstract
Death is inevitable. People will die and leaving their heir inheritance.
Ways to divide inheritance is varied, it can be determined from religion, tribe, the
class population, or the nationality of the deceased. A heir is not always a part of
the deceased?s family, a heir could be a person from outside the family, if the
deceased wanted that person to be according to the deceased?s will if he or she
made one. In this thesis, the writer uses juridical normative research metode. The
conclusion is, in inheritance cases involving Law Between Law, we uses the
inheritance law of the deceased."
Universitas Indonesia, 2012
S43146
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vonny Hardiyanti
"[Pengangkatan anak (adopsi) di kalangan masyarakat adat Tionghoa merupakan suatu perbuatan yang lazim dilakukan bila tidak terdapat keturunan laki-laki dalam suatu perkawinan. Keberadaan keturunan laki-laki dalam masyarakat Tionghoa adalah sangat penting sebagai penerus marga (she) dan pemelihara abu leluhur. Dalam perkembangannya masyarakat adat Tionghoa mengalami perubahan sistem kekerabatan menjadi bercorak parental sehingga sekarang dikenal pula pengangkatan anak perempuan. Motif utama pengangkatan anak turut mengalami perubahan, tidak lagi demi melanjutkan keturunan semata tetapi demi kepentingan terbaik anak. Kedudukan anak angkat dalam keluarga angkat haruslah dalam posisi yang menjamin kesejahteraan anak tersebut, termasuk pula bila orang tua angkatnya meninggal kelak berkaitan dengan warisnya. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak pada masyarakat adat Tionghoa di Indonesia, bagaimana akibat hukum dari pengangkatan anak terhadap kedudukan anak angkat dalam hukum waris adat Tionghoa, bagaimanakah pelaksanaan pengangkatan anak (adopsi) yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa dalam penetapan Pengadilan
Negeri Jember Nomor 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr. Metode penelitan yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dengan studi kepustakaan, selain itu dilakukan pula wawancara untuk mendukung fakta yang ditemukan dalam data sekunder. Dari penelitian diketahui bahwa masyarakat adat Tionghoa di Indonesia melakukan pengangkatan anak hanya secara adat karena pengangkatan anak melalui pengadilan dianggap rumit dan memakan banyak biaya. Akibat hukum dari pengangkatan anak terhadap kedudukan anak angkat dalam hukum waris adat Tionghoa adalah anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa dalam penetapan Pengadilan Negeri Jember Nomor 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr adalah pengangkatan seorang anak perempuan yang awalnya hanya dilakukan berdasarkan adat kebiasaan yang kemudian dapat disahkan oleh pengadilan negeri demi mendapat kepastian hukum dan mewujudkan kepentingan terbaik anak tersebut.

Adoption among Chinese Indonesians are a very common thing to do if there's no male descendant born in a marriage. Male descendants play a very important role as they are the successor whom continue the passage of family name (she) and the person in charge of preserving ancestor?s ash. Over the time Chinese Indonesian's descent system transforming into bilateral kinship system so that girls adoption are also recognized now. Adoption's main motives also started shifting, it was to
carry on the lineage but now it is for foster child's own benefit. Foster child?s should be placed in the proper position that guarantee his/her welfare being, including in the time of foster parents? death regarding the legacy. The subjects of this research are how is the practice of adoption among Chinese Indonesians, what
is the legal consequence of adoption in matter of foster's child's position in Chinese Indonesians customary inheritance law, how is the practice of adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr. The research method are juridicial normative method with explanatory typology. Data used are secondary data which gathered through literature study, beside there's also interview performed to advocating facts found in secondary data. From the research we can tell that Chinese Indonesians conduct adoption solely based on their tradition because doing it through court considered complicated and will cost a lot of money. The legal consequence of adoption in Chinese Indonesians customary inheritance law is foster child becomes adoptive parent's heir. Adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr is the adoption of a girl which at first only conducted based on tradition then authorized by district court for the sake of legal certainty and to actualize the child's best interest.;Adoption among Chinese Indonesians are a very common thing to do if there’s no male descendant born in a marriage. Male descendants play a very important role as they are the successor whom continue the passage of family name (she) and the person in charge of preserving ancestor’s ash. Over the time Chinese Indonesian’s descent system transforming into bilateral kinship system so that girls adoption are also recognized now. Adoption’s main motives also started shifting, it was to carry on the lineage but now it is for foster child’s own benefit. Foster child’s should be placed in the proper position that guarantee his/her welfare being, including in the time of foster parents’ death regarding the legacy. The subjects of this research are how is the practice of adoption among Chinese Indonesians, what is the legal consequence of adoption in matter of foster’s child’s position in Chinese Indonesians customary inheritance law, how is the practice of adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr. The research method are juridicial normative method with explanatory typology. Data used are secondary data which gathered through
literature study, beside there’s also interview performed to advocating facts found in secondary data. From the research we can tell that Chinese Indonesians conduct adoption solely based on their tradition because doing it through court considered complicated and will cost a lot of money. The legal consequence of adoption in Chinese Indonesians customary inheritance law is foster child
becomes adoptive parents’ heir. Adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr is the adoption of a girl which at first only conducted based on tradition then authorized by district court for the sake of legal certainty and to actualize the child’s best interest., Adoption among Chinese Indonesians are a very common thing to do if there’s no
male descendant born in a marriage. Male descendants play a very important role as they are the successor whom continue the passage of family name (she) and the
person in charge of preserving ancestor’s ash. Over the time Chinese Indonesian’s
descent system transforming into bilateral kinship system so that girls adoption
are also recognized now. Adoption’s main motives also started shifting, it was to
carry on the lineage but now it is for foster child’s own benefit. Foster child’s should be placed in the proper position that guarantee his/her welfare being, including in the time of foster parents’ death regarding the legacy. The subjects of
this research are how is the practice of adoption among Chinese Indonesians, what
is the legal consequence of adoption in matter of foster’s child’s position in
Chinese Indonesians customary inheritance law, how is the practice of adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr. The research method are juridicial normative method with explanatory typology. Data used are secondary data which gathered through
literature study, beside there’s also interview performed to advocating facts found
in secondary data. From the research we can tell that Chinese Indonesians
conduct adoption solely based on their tradition because doing it through court
considered complicated and will cost a lot of money. The legal consequence of
adoption in Chinese Indonesians customary inheritance law is foster child
becomes adoptive parents’ heir. Adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr is the adoption of a girl which at first only conducted based on tradition then authorized by district court for the sake of legal certainty and to actualize the child’s best interest.]
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44955
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kharisanty Soufi Aulia
"Pasca 8 tahun UU no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disahkan, paradigma tentang pemidanaan bagi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) berubah menjadi pemidanaan yang lebih mengedepankan
pelaksanaan akses keadilan dan berprinsip pemulihan melalui konsep keadilan restoratif. Baik secara substansi maupun prosedural, anak berhak atas peradilan yang objektif and non diskriminatif, khususnya jika anak merupakan bagian dari kelompok rentan. Menggunakan metode studi putusan dan studi empiris di kota Surakarta, penulis menemukan bahwa masih terdapat fenomena kontras yang
menunjukan adanya diskriminasi akses keadilan bagi Anak Perempuan Berhadapan dengan Hukum, khususnya anak perempuan. Praktek dan koordinasi yang apik di antara aparat penegak hukum, pemerintah daerah dan pelaksana kesejahteraan sosial tidak diimbangi secara substansial oleh putusan Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta yang memberikan pertimbangan hukum menggunakan riwayat
seksualitas, termasuk status sebagai Anak dengan HIV/AIDS (ADHA). Selain itu, Anak juga tidak didampingi oleh bantuan hukum yang efektif sejak tahap awal penyidikan. Temuan implementasi akses keadilan yang belum optimal tersebut adalah evaluasi terhadap pelaksanaan akses keadilan bagi anak berhadapan dengan hukum.

After 8 years of Law no. 11 of 2012 regarding SPPA was passed, punitive paradigm for children in conflict with law has changed to the priority for the implementation of access to justice and principles of recovery through the concept of restorative justice. Both substantially and procedurally, children have the right to an objective and non-discriminatory trial, especially if the child is part of a vulnerable group.
Using both court decision study and empirical data within the city of Surakarta, this research found that there is a contrast phenomenon that shows about discrimination to access to justice for girls in conflict with the law. The judge in the Surakarta regional court provided legal considerations with a tendency to blame the girl's sexuality history, including the her status as a girl with HIV/AIDS (ADHA).
She was also not accompanied and provided by proper legal aid since the initial stage of the investigation. These findings of ineffective of access to justice is an evaluation for Law no. 11 of 2012 as the main legal framework in pursuing access to justice for child in conflict with law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>