Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167245 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mukhlish, 1980-
"Legal aspects of impeachment of president and vice president in Indonesia."
Malang: Setara Press, 2016
342.598 MUK k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwik Budi Wasito
"Tesis ini membahas tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan impeachment yang di dalam mekanismenya melibatkan tiga lembaga negara, antara lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketiga lembaga negara ini memiliki wewenang atributif yang dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) untuk menjalankan proses impeachment tersebut. Sebagai wujud dari pelaksanaan sistem checks and balances, dalam melaksanakan proses impeachment, ketiga lembaga negara ini memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum dan peraturan perundang-undangan sebab Indonesia ialah negara hukum. Pengertian hukum tidak hanya terbatas pada adanya peraturan perundang-undangan saja, namun juga dipatuhinya putusan hakim yang bersifat memaksa dan mengikat. Dalam kasus impeachment, putusan MK yang bersifat final dan mengikat, pada akhirnya harus dipatuhi oleh DPR dan MPR dalam memutus pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya.

The thesis is about the discharging of the President and/or the Vice President in the Indonesian constitutional system as known as impeachment, which is the mechanism are involving three state organs, among others are, House of Representatives (DPR), Constitutional Court (MK), and People Representative Assembly (MPR). These three state organs have attributive authority, which is stated in the Constitution of the State of the Republic of Indonesia year 1945 (UUD 1945), to role the impeachment's process. As a concrete implementation of checks and balances system, in order to role impeachment process, these three state organs have obligation to obey the law and the legislations because Indonesia is a state law. The definition of law is not restricted only into rules and legislation, but also by the obedient of the judge's verdict which is force and bound. In impeachment cases, Constitutional Court's verdict is final and bound, and had to be obeyed by DPR dan MPR when they resolving the discharging of the President and/or the Vice President from their function."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25265
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Khairul
"Negara Indonesia adalah negara hukum. Penegasan terkait ketentuan tersebut, tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3) yang juga sekaligus menegaskan bahwa Negara Indonesia bukan negara atas dasar kekuasaan belaka (machtstaat). Namun, kekuatan hukum tersebut masih saja diabaikan oleh kekuatan politik yang justru merupakan perwujudan dari machtstaat. Hal ini terbukti dalam ketentuan mengenai mekanisme impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Putusan MK terkait impeachment, dapat diabaikan oleh mekanisme impeachment di MPR.
Metode pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode yuridis normatif, yaitu dengan cara melakukan penelitian yang mengacu kepada aspek-aspek yuridis. Metode ini dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) atas berbagai literatur yang terkait dengan teoriteori dan asas-asas hukum. Sumber-sumber hukum yang dipakai dalam studi kepustakaan ini meliputi; bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data-data dikumpulkan dengan cara melakukan pencarian, sistematisasi dan analisa terhadap tulisan-tulisan yang terkait dengan permasalahan yang tengah diteliti. Berbagai data itu kemudian dianalisa secara yuridis analitis.
Tulisan ini bertujuan untuk memahami mekanisme impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Tahun 1945 dan merumuskan mekanisme impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden yang baru, yang sesuai dengan prinsip negara hukum.

Indonesia is a rechtstaat (rule of law). Assertion related provisions, contained in the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 in Article 1 paragraph (3) who also confirmed that Indonesia is not a country on the basis of sheer power (machtstaat). However, the power of the law still ignored by political power is precisely the embodiment of machtstaat. This is evident in terms of the mechanics of impeachment of President and/or Vice President of the Section 7A and 7B 1945. Decision of the Court related impeachment, impeachment mechanism can be ignored by the MPR. Method of approach used in this paper is normative method, that is by doing research that refers to the juridical aspects.
This method is done through the study of literature (library research) on the literature related to theories and principles of law. Legal sources used in the study of this literature include: primary legal materials, legal materials and secondary and tertiary legal materials. The data were collected by way of doing a search, systematization and analysis of writings on the issues being studied. A variety of data was then analyzed by juridical analytically.
This paper aims to understand the mechanism of impeachment of the President and/or Vice President under the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 and formulate the new impeachment mechanism of President and/or Vice President, which is according by the rule of law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Dzaki Wiyata
"Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan menjadi tiga cabang, yakni legislatif, eksekutif, dan kekuasaan kehakiman. Setelah amendemen UUD NRI 1945, Indonesia memiliki lembaga kehakiman, yakni Mahkamah Konstitusi (MK). Pembentukan MK ditujukan untuk menafsir dan mengawal konstitusi melalui putusannya. Salah satu kewenangan dari MK adalah memberikan putusan terkait dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden atau proses impeachment Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam proses impeachment Presiden ada beberapa lembaga yang berperan, yakni lembaga politik DPR dan MPR serta lembaga peradilan yaitu MK. Adapun yang menjadi masalah proses yang dilaksanakan DPR ini adalah bersifat politis walaupun atas dasar dugaan pelanggaran hukum. Berbeda dengan lembaga politik, tentu lembaga peradilan mengambil keputusan berdasarkan fakta material. Sehingga, timbul persoalan jika MK memutuskan Presiden bersalah dan MPR kemudian membatalkan putusan tersebut dengan tidak memberhentikan Presiden. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dalam penelitian ini dengan menganalisis prinsip hukum dan sumber hukum tertulis terkait dengan impeachment di Indonesia dan membandingkannya dengan mekanisme impeachment di negara lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peranan MK melalui putusannya memiliki peran yang strategis sebab putusan tersebut final dan mengikat bagi DPR sebagai pihak yang melakukan permohonan ke MK. Selain itu, putusan MK disini bukan sebagai vonis tetapi lebih kepada suatu pertimbangan hukum bagi DPR dan MPR. Maka dari itu, perlu untuk melakukan amendemen UUD 1945 dengan menjelaskan secara tegas mengenai sifat final dan mengikat putusan MK dalam proses pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden.

Montesquieu divided government power into three branches, namely legislative, executive, and judicial powers. After the amendment of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, Indonesia has a judicial institution, namely the Constitutional Court (MK). The formation of the Constitutional Court is intended to interpret and guard the constitution through its decisions. One of the powers of the Constitutional Court is to give decisions related to the dismissal of the President and/or Vice President or the impeachment process of Article 24C paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. MK. The problem with the process carried out by the DPR is that it is political in nature even though it is based on alleged violations of the law. In contrast to political institutions, of course the judiciary makes decisions based on material facts. Thus, a problem arises if the MK decides the President is guilty and the MPR then cancels the decision by not dismissing the President. The author uses the juridical-normative method in this study by analyzing legal principles and written legal sources related to impeachment in Indonesia and comparing them with impeachment mechanisms in other countries. The results of the study show that the role of the MK through its decisions has a strategic role because the decisions are final and binding for the DPR as the party making the application to the MK. In addition, the MK decision here is not a verdict but rather a legal consideration for the DPR and MPR. Therefore, it is necessary to amend the 1945 Constitution by clearly explaining the final and binding nature of the Constitutional Court's decision in the process of dismissing the President or Vice President."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Wilma
"Penundaan Pemilihan serentak tahun 2020 akibat pandemi covid-19 yang dinyatakan sebagai bencana nasional, harus dapat memberikan kepastian hukum dan menjamin sistem politik pemilu di Indonesia tetap menciptakan sistem demokratisasi dalam Pemilihan sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Penundaan Pemilihan serentak tahun 2020 dilakukan sebagai bentuk nyata bahwa apabila Pemilihan serentak tahun 2020 tetap akan dilaksanakan, dampak yang paling terkena adalah masalah kesehatan. Oleh karena itu, metode yang digunakan untuk mengkaji permasalahan ini adalah metode normatif analisis atau disebut juga penelitian doktrinal, yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Melalui kajian penelitian ini diharapkan, Pemerintah segera menyusun regulasi baru yang mengakomodir terjadinya force majeure seperti bencana nonalam. Penundaan Pemilihan lanjutan dapat dipergunakan sebagai kontrol atau persiapan terhadap penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai perangkat penunjang aktivitas Pemilihan di tengah pandemi covid-19 serta dapat sebagai kontestasi politik sekaligus sebagai momentum terhadap perbaikan sistem Pemilihan oleh pemerintah. Selain itu, Penundaan Pemilihan lanjutan tahun 2020 sangat tepat dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa, lebih berharga masalah kesehatan dan nilai keselamatan manusia daripada sebuah nilai Pemilihan serta hal ini sudah sesuai dengan perintah konstitusi sesuai dengan prinsip Salus populi suprema lex esto."
Jakarta: KPU, 2020
321 ELE 2:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Meray Hendrik Mezak
"Indonesia adalah negara berdasar atas hukum. Oleh karena itu, segala peraturan perundang-undangan harus bersumber pada hukum dasar dan aturan-aturan pelaksana tidak dibenarkan bertentangan dengan hukum dasar dan peraturan yang lebih tinggi. Di samping itu segala tindakan penyelenggara pemerintahan harus dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum. Guna mengatasi terjadinya penyimpangan produk peraturan perundang-undangan perlu adanya sarana pengendali konstitusional yang disebut hak menguji materiil di Indonesia dirumuskan dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 dan diperkuat dengan Tap. MPR No. III/MPR/1978 serta terakhir dipertegas dengan Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1986 yang pada intinya memberikan kewenangan pada Mahkamah Agung untuk menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan dari tingkat di bawah undang-undang karena bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Putusan ini dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi. Dalam pengertian dapat berarti pelaksanaan hak uji materiil tidak harus melalui pemeriksaan perkara biasa yang urut-urutannya dimulai dengan perkara tingkat pertama, banding dan kemudian kasasi, akan tetapi dalam pelaksanaannya belum optimal dan terkesan tidak efektif. Oleh karena itu, penerapan Legislatif Review merupakan alternatif yang tepat guna menjaga konsistennya konstitusionalisme di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musthofa Faruq
"Presiden pada sistem negara Presidensial memiliki kedudukan yang kuat karena tidak mudah untuk diberhentikan. Namun, mekanisme pemberhentian Presiden tetap diperlukan demi terciptanya checks and balances antar kekuasaan, untuk itu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memberikan ruang bagi cabang kekuasaan lain, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk memberhentikan Presiden, dengan alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 7A Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), yaitu: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Perumus amendemen UUD NRI 1945 menghendaki proses pemberhentian Presiden jauh dari alasan politis, dan harus berlandaskan alasan hukum, maka dari seluruh alasan pemberhentian Presiden merupakan perbuatan hukum yang diatur dan dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi pada frasa 'perbuatan tercela' batasannya hanyalah 'merendahkan martabat Presiden,' sehingga sangat berpotensi membuka alasan politis untuk memberhentikan Presiden. Berdasarkan hasil penelitian, frasa 'perbuatan tercela' diambil dari frasa misdemeanor, frasa ini awalnya digagas di Inggris sebagai salah satu alasan impeachment, kemudian diadopsi oleh Amerika Serikat dan diadopsi di Indonesia. Walaupun di kalangan ahli hukum masih terjadi perdebatan mengenai batasan perbuatan tercela, perumus amendemen menganggap penting frasa 'perbuatan tercela' sebagai penjaga moral Presiden, karena Presiden adalah panutan rakyatnya. Dari hasil penelitian, diajukan saran untuk frasa 'perbuatan tercela' diperjelas dengan ditambah maknanya yang terdiri dari: penyalahgunaan kekuasaan, mengabaikan tugas, mengganggu hak prerogatif parlemen, pengkhianatan terhadap kepercayaan, dan melanggar moral. Atau apabila proses pembentukan UU tidak berhasil memberikan batasan yang jelas terhadap makna perbuatan tercela, maka demi terwujudnya tujuan proses pemberhentian Presiden yang beralasan hukum dan bukan beralasan politik, untuk itu frasa perbuatan tercela dihapus dari rumusan Pasal 7A UUD NRI 1945 apabila terjadi proses amendemen kelima.

The president in the presidential state system has a strong position because President is not easy to impeach. However, the mechanism of impeachment of the President is still needed for the sake of checks and balances between powers, for this reason the Indonesian constitutional system provides chance for other branches of power, the People's Consultative Assembly (MPR), to impeach the President with reasons stated in Article 7A State Law of the Republic of Indonesia 1945 (UUD NRI 1945): betrayal of the state, corruption, bribery, other serious crimes, or misdemeanors or if it is proven that it no longer fulfills the requirements as President. The formulator of the 1945 Indonesian Constitution amendment requires the process of dismissing the President away from political reasons, and must be based on legal reasons, so that all reasons for dismissal of the President are legal actions based on regulation and explanation in Law Number 24 of 2004 concerning the Constitutional Court. However, in the phrase 'misdemeanor' the limits are only 'degrading the President', so it has the potential to open up political reasons for dismissing the President. Based on the results of the study, the phrase 'misdemeanor' was taken from the phrase misdemeanor, this phrase was originally conceived in England as one of the reasons for impeachment, later adopted by the United States and adopted in Indonesia. Although there are still debates among legal experts regarding the limits of despicable acts, the amendment formulator consider it important that the phrase 'misdemeanor' be the guardian of the President's morality, because the President is a role model for his people. From the results of the study, researcher suggest for the phrase 'misdemeanor' must be clarified by adding their meaning consisting of: abuse of power, neglecting duties, disrupting parliamentary prerogatives, betrayal of trust, and violating morals. Or if the process of forming a law does not succeed in giving a clear boundary to the meaning of a misdemeanor act, then for the purpose of the termination of the President's legal grounds and not political reasons, for this reason the phrase misdemeanor is removed from the formulation of Article 7A 1945 Constitution in the event of the fifth amendment process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarihoran, Naf`an
"ABSTRAK
Impeachment secara formal didefinisikan merupakan pasal-pasal tentang dakwaan yang terdapat dalam Konstitusi Amerika yaitu pasal I sampai III, yang diberikan kepada House of Representatives, dan yang mengadilinya diserahkan kepada Senat.
Dalam prakteknya, impeachment merupakan proses konstitusional yang berupaya untuk memproteksi kepentingan umum dari kejahatan-kejahatan (crimes), pelanggaran-pelanggaran (misdemeanors), pengkhianatan (treason) dan penyogokan (bribery) yang dilakukan oleh Presiden, Wakil Presiden dan pejabat negara lainnya.
Penulisan tesis ini bertujuan untuk menunjukkan bagimana proses impeachment presiden dilaksanakan dan apa makna impeachment (dakwaan) presiden bagi orang Amerika. Selain itu, juga untuk memperlihatkan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat Arnerika ketika berlangsungnya impeachment presiden tersebut.
Makna impeachment presiden tersebut merupakan wujud dari nilai-nilai masyarakat Amerika itu sendiri berupa nilai-nilai persamaan dan individualisme. Impeachment presiden telah berfungsi sebagai sarana untuk melestan ikan nilai-nilai tersebut, sekaligus sebagai ajang untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya demokrasi dipahami sebagai kebudayaan konflik, yaitu pedoman dalam bersaing untuk memperolah kemenangan tanpa harus menghancurkan pesaing lainnya, serta menutut diberlakukannya suatu aturan main yang adil dan beradab yang sesuai dengan hukum Amerika.
Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian berupa kajian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif dan teknik deskriptif-interpretif Selain itu, untuk memahami keterkaitan berbagai aspek yang terdapat dalam impeachment presiden itu, maka penulisan tesis ini melibatkan bidang kajian ilmu sosial, ekonomi dan politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, meng-impeach presiden bagi orang Amerika merupakan hal yang unik, oleh sebab itu, impeachment presiden diangggap begitu penting bagi orang Amerika.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Amanda
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S25439
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhry Amin
"ABSTRAK
Tesis ini mengkaji tentang mekanisme pemberhentian Kepala Daerah sebagai pejabat publik oleh DPRD di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia dan permasalahan dalam proses pemberhentian Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD sejak berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah serta memperbandingkan dengan proses impeachment untuk mendapatkan titik temu dalam persepsi yang selama ini berkembang bahwa pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD merupakan mekanisme impeachment, sebuah mekanisme pendakwaan untuk memberhentikan pejabat publik dari jabatannya yang berkembang di negara federal. Penelitian ini dikaji dengan melalui pendekatan yuridis-normatif. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis-historis dan yuridis-komparatif. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris sekaligus tetapi, dalam penelitian ini lebih menitikberatkan pada penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian hukum empiris berfungsi sebagai informasi pendukung. Pendekatan yang bersifat yuridis-normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang dianalisis menggunakan silogisme dan interpretasi. Sementara itu, penelitian empiris dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui berbagai diskusi dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan pengetahuan yang mendalam di bidang hukum tata negara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan mekanisme pemberhentian Kepala Daerah mengalami perubahan dari masa ke masa. Dalam perkembangannya, saat ini mekanisme yang hadir dalam ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bukanlah mekanisme “impeachment” karena desentralisasi yang tercipta di Indonesia bersifat “desentralisasi eksekutif”, sehingga dalam proses pemberhentian tersebut tidak melibatkan lembaga legislatif, tetapi lembaga pembuat kebijakan yang dikenal dengan istilah “council” di Inggris yang mirip dengan peran DPRD di Indonesia saat ini. Selain itu, mekanisme “Pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD” belum secara rinci diatur di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dewasa ini, termasuk dalam hal beracara di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, untuk menjamin asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, sekiranya apabila dilakukan revisi terhadap Undang-undang Pemerintahan Daerah mekanisme “Pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD” harus diatur lebih rinci lagi di dalam Undang-Undang.

ABSTRACT
This thesis examines the mechanisms "Dismissal of Head of region as public officials by (DPRD/council) in Indonesian" in legislation ever prevailing in Indonesia and the problems in the dismissal process conducted by the Regional Council since enactment the "Act Number 32 of 2004 on Regional Government" as well as to compare with the "impeachment" process to get a common ground in which during the growing perception that the dismissal of the Head of the Regional Council is the mechanism by "impeachment", a mechanism to suspend the prosecution of public officials from office that developed in the federal state. This study examined the juridical-normative approach. In addition, this study also uses juridical-historical and juridical-comparative. The method used in the study are normative legal research methods and empirical legal research methods as well but, in this study is more focused on normative legal research, while empirical legal research serves as supporting information. Approach juridical-normative will be done by means of primary legal materials, legal materials secondary, tertiary and legal materials were analyzed using "syllogisms" and "interpretation". Meanwhile, empirical research in this study was done by collecting data through various discussions with the parties who have the competence and in-depth knowledge in the field of constitutional law.
The results showed that the developmental mechanism dismissal Regional Head amended from time to time. During its development, the current mechanism is present in the provisions of "Act Number 32 of 2004 on Regional Government" is not a mechanism of "impeachment" because decentralization created in Indonesia is "decentralized executive", resulting in the dismissal process does not involve the legislature, but the policy-making body, known by the term "council" in the English country which is similar to the role "DPRD" in Indonesia today. In addition, the mechanism of "Dismissal Regional Head by (DPRD/Council)" has not been regulated in detail in the Local Government Act today, including in the case of proceedings in the Supreme Court. Therefore, to ensure fairness, expediency and legal certainty, in case if the revision of the Local Government Act mechanism "Dismissal Regional Head by (DPRD/Council)" shall be regulated in more detail in the Act."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>