Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88002 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dianita Catriningrum
"ABSTRAK
Suap yang dilakukan kepada polisi merupakan upaya masyarakat yang melanggar lalu lintas untuk memotong birokrasi pengadilan pelanggaran lalu lintas. Kerumitan dan tidak seriusnya birokrasi penegakan hukum menimbulkan anggapan bahwa lebih baik memangkas prosedurnya dengan melakukan suap kepada petugas sejak awal pelanggaran diketahui. Suap menjadi pembiasaan yang diketahui melalui proses belajar hingga akhirnya membudaya karena terdapat pemahaman kolektif akan hal tersebut, baik di kalangan pelanggar maupun polisi. Perilaku suap yang dilakukan pelanggar lalu lintas terhadap aparat penegak hukum merupakan bentuk crime in everyday life karena dilakukan secara berulang-ulang setiap kali ada fenomena serupa. Kebiasaan yang terbentuk kemudian dikategorikan sebagai crime as culture karena adanya proses belajar dari pengalaman diri sendiri maupun orang lain, yang mana belajar itu sendiri terdapat dalam definisi budaya dan tindakan suap itu sendiri yang tergolong sebagai kejahatan. Kecenderungan tindakan ini untuk berulang kemudian menjadi collective meaning bagi setiap pelanggar lalu lintas. Pendekatan birokrasi yang personal juga menjadi masalah timbulnya peluang terjadi praktik suap dalam perkara pelanggaran lalu lintas, sehingga suap sebagai alternatif pemangkasan birokrasi akan dapat dikurangi ketika interaksi antara pelanggar dengan polisi tidak lagi bersifat langsung.

ABSTRACT
Bribery to the police is an effort done by people who have violated traffic laws to cut through the bureaucracy of traffic court. The complexity and the not serious nature of law enforcement bureaucracy resulted in the opinion that it is better to cut the procedures through bribery towards the official since the start of the known violation. Bribery becomes a norm that is known through learning process until it becomes a culture since there is collective understanding about it, both in the violators 39 case and the police itself. The bribery done by the traffic violators to the law enforcement official is a form of crime in everyday life because it is done repeatedly every time there is a similar phenomenon. The habit formed is then categorized as crime as culture because of the existence of learning process from self experience and also others 39 experience, and this learning itself is in the definition of culture and bribery itself is categorized as a crime. The inclination of this act of repeat itself becomes a collective meaning for each traffic violators. The personal approach of bureaucracy becomes an opportunity for bribery in traffic violations, thus bribery as an alternative of cutting through bureaucracy will be reduced when interaction between violators and the police is no longer direct."
2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhel Muhammad
"Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia khususnya dalam upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, sering kali bertentangan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa. Khususnya Penahanan yang membatasi kemerdekaan dan kebebasan sesorang tersangka atau terdakwa. Penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum haruslah sesuai dengan tata cara sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, dan dilakukan atas kewenangan jabatannya yang sah. Dalam hal penahanan harus dilakukan, tetapi untuk meminimalisir kerugian pada tersangka atau terdakwa maka dapat diupayakan penangguhan atas penahanannya. Penangguhan penahanan ini sendiri diatur dalam KUHAP dan beberapa peraturan terkait lainnya dimintakan oleh tersangka atau terdakwa, keluarganya atau penasihat hukumnya dalam setiap tingkatan pemeriksaan kepada penyidik, penuntut umum, ataupun hakim yang melakukan penahanan. Penangguhan penahanan dapat dimohonkan dengan jaminan atau tanpa jaminan uang maupun jaminan orang dengan syarat yang telah ditentukan, hal ini sebagaimana diatuliskan dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP. Apabila penangguhan penahanan dengan jaminan uang, maka uang jaminan tersebut disetorkan diawal kepada panitera pengadilan negeri. Sebaliknya jika penangguhan penahanan dengan jaminan orang maka orang tersebut menjamin bahwa terjamin akan memenuhi prestasi dan menjalan syarat sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Penangguhan Penahanan. Apabila terjamin melarikan diri dan tidak juga ditemukan setelah waktu tiga bulan, maka penjamin harus membayarkan uang tanggungan sejumlah yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Penangguhan Penahanan. Jika penjamin tidak dapat memenuhi prestasi sebagaimana dalam perjanjian, maka terhadap harta benda yang telah ditentukan oleh Penetapan Pengadilan akan dikenakan sita jaminan sita conservatoir untuk kemudian dijual lelang dan hasilnya akan disetorkan ke kas Negara sebagai pembayaran dari penjamin.

The implementation of the Criminal Justice System in Indonesia, especially in forced attempts by law enforcement officials, is often contrary to respect for the human rights of suspects or defendants. Specifically Detention which limits the freedom and freedom of a suspect or defendant. Detention carried out by law enforcement officials must be in accordance with the procedures as specified in the law, and carried out with the legal authority of his position. In the case of detention, it must be done, but to minimize the loss to the suspect or defendant, a suspension can be sought for his detention. The suspension of detention itself is regulated in the Criminal Procedure Code and several other related regulations are requested by the suspect or defendant, his family or his legal counsel at every level of the examination to the investigator, public prosecutor, or judge conducting the detention. Suspension of detention can be filed with a guarantee or without a guarantee of money or a guarantee of people on the conditions that have been determined, this is as stated in Article 31 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code. If the suspension of detention is guaranteed with money, then the security deposit is deposited at the beginning of the district court clerk. Conversely, if the suspension of detention is guaranteed by the person, then that person guarantees that the guarantee will fulfill the performance and fulfill the conditions as stipulated in the Detention Suspension Agreement. If it is guaranteed to escape and is not found after three months, the guarantor must pay a sum of money as stipulated in the Detention Suspension Agreement. If the guarantor cannot fulfill the achievement as stated in the agreement, then the assets that have been determined by the Decision of the Court will be subject to confiscation (sita conservatoir) and then sell the auction and the results will be deposited into the State treasury as payment from the guarantor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Handy Nurrachman
"Tesis ini membahas reformasi birokrasi bidang tata laksana terkait standar operasional prosedur di lingkungan Kementerian Sosial. Tesis ini menggunakan metode peneilitian yuridis normatif. Bagaimana kebutuhan PNS di lingkungan Kementerian Sosial penggunaan SOP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 32 Tahun 2012 serta bagaimanakah hukuman yang sebaiknya diterapkan terhadap pelanggaran SOP berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010? Keberadaan SOP bagi PNS merupakan pedoman dan panduan dalam melaksanakan kegiatan secara lebih efektif dan efisien. Keberadaan SOP tersebut membuat pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh PNS menjadi lebih terukur dan dapat dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaannya. SOP yang telah disusun dan ditetapkan tersebut juga sebagai pelindung bagi aparatur bagi terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya tuduhan melakukan penyelewengan. Hukuman yang diterapkan terhadap pelanggaran SOP adalah hukuman disiplin yang mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 dengan melihat seberapa besar dampaknya terhadap organisasi. Kementerian Sosial perlu menyusun perencanaan yang lebih matang dan terintegrasi lintas sektor. Selain itu Kementerian Sosial juga perlu mengadakan sosialisasi dan internalisasi terkait SOP secara reguler dan periodik.

This thesis discussed bureaucracy reform in Ministry of Social Affairs related to standard operational procedures. This thesis used normative juridicial research. How is the need of civil servants in the Ministry of Social Affairs using SOP as regulated in the Regulation of the Minister of Social Affairs No. 32 of 2012 and how the penalties should be applied to the violation of SOP rsquo s based on Goverment Regulation No 53 of 2010 The existence of SOP is a guide of for more effectivly and efficiently civil servant activities. With the presence of SOP the civil servants acitivies become more measurable and evaluatable. SOP could be protector for civil servant for the posibility of allegations abuse. The penalty could be applied to SOP violation based on the disciplinary punishment which refers to Government Regulation Number 53 of 2010 by seeing how bid its impact to the organization. The Ministry of Social Affairs needs to develope a more mature and integrated plan among sectors. In addition, the Ministry of Social Affairs also needs to hold socialization and internalization related to SOP regularly and periodically."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T49436
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Putri Sujatmiko
"Belum tercapainya cita-cita birokrasi yang konstruktif seperti efektifitas dan efisiensi dalam kacamata reformasi birokrasi ketatalaksanaan,
pada dasarnya bukanlah disebabkan pada kesalahan satu-dua pihak. Terdapat determinant factor yang sifatnya sistemik di antaranya silo activity, pergantian kepemimpinan yang berdampak pada perubahan mekanisme tata kerja organisasi, serta tidak terpetakannya tugas, fungsi, dan hubungan kerja antar unit organisasi baik internal maupun eksternal. Mengatasi masalah ini, maka perlu digambarkan peta proses bisnis instansi pemerintahan. Peta ini nanti akan berperan sebagai
aset organisasi dalam hal menggambarkan hubungan kerja antar unit organisasi dalam instansi pemerintahan. Secara teoritis, praktik ini pula
merupakan refleksi implementasi teori metagovernance yang memiliki fokus dan lokus pada aktor-aktor yang menjalankan negara, seperti
hirarki birokrasi, pasar, dan network governance, dengan tujuan utama yakni menyelesaikan masalah publik yang kolektif, mengakomodir kepentingan bersama, serta mendorong efektifitas dan efisiensi dalam tatanan birokrasi."
Jakarta: Biro Hukum dan Komunikasi Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 2018
320 JPAN 8 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lesmana Rian Andhika
"The performance of a bad bureaucracy indicates a bureaucracy is riddled with problems; a pathology which arose not always coming from outside the bureaucratic body but pathology that has been flourishing and will be exerting in¬fluence when the bureaucracy is unhealthy. This research article would like to give an overview of the incidence of the pathological bureaucracy which argumentation pathology can prevent. The phenomenon occurs that the bureaucracy could not deliver good public services and bureaucracy is a den of disease. The specific purpose of this research is fo¬cused on finding ways of preventing the pathology of the bureaucracy that comes from a variety of scientific literature. The method in this research article is systematic reviews technique that tries to identify all the written evidence exists regarding research themes. The results of this study reveal that the pathology of the bureaucracy is something to be prevented if we want the bureaucracy to run the task properly one of the ways that can be done is to do a bureaucratic innovation (an innovation on structure, systems, culture]. The innovation of bureaucracy will not only make changes to the organization to prevent the pathology of the bureaucracy but also as an ingredient to do discretion for a government policy especially regional government."
Jakarta: Kementerian Dalam Negeri RI, 2017
351 JBP 9:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Willy Eka Pramana
"Bentuk birokrasi Indonesia yang cenderung hierarkis, kaku, serta lamban dalam merespon kebutuhan masyarakat menjadi alasan utama dikeluarkannya kebijakan penyederhanaan birokrasi. Penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional adalah salah satu bagian proses penyederhanaan birokrasi sesuai dengan Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia tahun 2010-2025 yang kemudian secara spesifik dijabarkan dalam Roadmap Reformasi Birokrasi tahun 2020-2024. Implementasi penyetaraan jabatan di lingkup pemerintahan daerah dalam prakteknya banyak menemui tantangan dan masalah yang beragam, termasuk di Pemerintahan daerah kabupaten Ogan Komering Ilir. Adapun permasalahan yang diangkat berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan penyederhanaan birokrasi melalui penghapusan eselon III dan eselon IV di lingkungan pemerintahan daerah dan pelaksanaan penyetaraan jabatan di kabupaten Ogan Komering Ilir dikaji dalam perspektif adminitrasi publik dan teori Neo-Weberian State. Metode analisis menggunakan pendekatan doktrinal dengan didukung data wawancara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pada prinsipnya penyetaraan jabatan merupakan sebuah kongkretisasi dari paradigma baru hukum administrasi publik dan memiliki korelasi yang sesuai dengan teori Neo Weberian State dari Pollit dan Bouckheart. Akan tetapi terdapat kompleksitas dalam pelaksanaannya ditingkat pemerintahan daerah berkaitan dengan tantangan terkait kualifikasi dan kecocokan jabatan, perubahan budaya organisasi dan resistensi terhadap perubahan. Penyetaraan Jabatan di pemerintahan daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam pelaksanaanya ditemui beberapa kendala. Pertama, sulitnya menemukan nama jabatan fungsional yang sesuai dengan tugas dan fungsi jabatan yang diduduki ataupun latar belakang Pendidikan yang dimilki. Kedua, motivasi pejabat hasil penyetaraan yang masih rendah berkaitan dengan pemahaman mengenai tugas dan fungsi sebagai pejabat fungsional seutuhnya, terlebih pejabat fungsional hasil penyetaraan masih menjalankan tugas koordinasi selayaknya pejabat administrasi sebelumnya. Ketiga, rendahnya informasi yang tersedia mengenai peningkatan kompetensi pejabat fungsional di lingkungan pemerintahan daerah.

The hierarchical, rigid, and slow-responsive nature of Indonesia's bureaucracy serves as the primary rationale for the issuance of bureaucracy simplification policies. The alignment of administrative positions into functional roles constitutes a pivotal facet of the bureaucratic streamlining process in accordance with the Grand Design of the Indonesian Bureaucratic Reform spanning from 2010 to 2025, subsequently detailed in the Bureaucratic Reform Roadmap for the years 2020-2024. The practical implementation of position alignment within local government entities encounters diverse challenges and issues, notably in the Ogan Komering Ilir Regency. The issues addressed pertain to the execution of bureaucratic simplification policies through the elimination of echelons III and IV in the local government structure and the execution of position alignment in the Ogan Komering Ilir Regency, scrutinized from the perspectives of public administration and Neo-Weberian State theory. The research methodology employed is doctrinal research, complemented by interview data. The findings of this study indicate that, fundamentally, position alignment embodies a concretization of the new paradigm in public administrative law and correlates appropriately with the Neo-Weberian State theory propounded by Pollit and Bouckaert. Nevertheless, complexities arise in its implementation at the local government level, particularly concerning challenges related to job qualifications and appropriateness, organizational cultural shifts, and resistance to change. The execution of position alignment in the Ogan Komering Ilir Regency encounters several impediments. Firstly, the difficulty in identifying functional position titles commensurate with the duties and functions of the occupied positions or the educational background of the incumbents. Secondly, the low motivation of officials resulting from position alignment, rooted in a limited understanding of the duties and functions as full-fledged functional officers, especially when these officials continue to perform coordination duties akin to their previous administrative roles. Thirdly, the scarcity of information available regarding the enhancement of competencies for functional officers within the local government milieu."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Kusuma Wardhani
"Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai pelayanan publik yang disosialisasikan STAN kepada mahasiswa dan proses pembentukan nilai melalui praktek budaya sekolah. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif.. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pembentukan nilai pelayanan publik melalui budaya sekolah di STAN, berimplikasi pada reproduksi aspek kepatuhan dan loyalitas berdasarkan jenjang hirarki wewenang dan hubungan formalisasi antar aktor di sekolah (STAN). Minimnya pengembangan budaya sekolah disebabkan inefektifitas jalur komunikasi oleh Lembaga STAN kepada mahasiswa, kemudian memberikan ruang terbentuknya subkultur. Subkultur yang terbentuk berorientasi pada kelompok kedaerahan dan iklim entrepreneurship di kalangan mahasiswa menjadi aspek produksi (kontra) terhadap karakter pegawai negeri sipil. Hal ini yang menjadi dinamika perubahan nilai-nilai yang ditanamkan oleh Lembaga STAN di masa prajabatan pegawai negeri, terutama di Era Reformasi yang terbuka pada penyerapan nilai-nilai modern dan peran swasta bagi praktik pendidikan kedinasan (STAN).

The aims of this study is describing public services values which had been socialized by STAN to students and explaining value construction process through school culture practice. The approach used in this study is a qualitative approach. Results of this study indicate that the process of construction the value of public services through school culture in STAN, affect for the reproductive aspects of obedience and loyalty based on the level of the hierarchy of authority and the formalization of relations among actors in the school (STAN). The lack of school because of ineffectiveness of cultural development of communication and coordination by the Institute of STAN to students which give a space formed subculture. Subcultures formed ethnic group-oriented and entrepreneurship climate is conceptualized as an aspect of production (contra) to the value and character of public service.This has become dynamics of changes in the values instilled by the STAN in the civil service, especially in the Reform Era to the absorption of modern values and the role of the private practice of education service (STAN)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Natalia
"Pemerintah Indonesia melalui penyederhanaan birokrasi berusaha untuk mencapai birokrasi yang ramping, lincah, dan profesional. Penyederhanaan birokrasi merupakan perwujudan dari praktik delayering diterapkan di Indonesia melalui pengalihan jabatan administrasi ke jabatan fungsional, penyederhanaan struktur, dan penyesuaian sistem kerja baru. Namun, masih terdapat permasalahan yang dihadapi dalam penyederhanaan birokrasi, seperti pengalihan jabatan yang tidak sesuai sistem merit, struktur organisasi yang baru hanya formalitas, dan adanya ketidakpahaman terhadap esensi sistem kerja yang baru. Penerapan penyederhanaan birokrasi merupakan perwujudan perubahan kelembagaan. Penelitian bertujuan menganalisis dinamika proses penyederhanaan birokrasi di Indonesia dalam perspektif institutional formation. Penelitian ini menggunakan kerangka institutional formation yang menggambarkan hubungan antara aturan, aktor, dan konteks dalam formasi kelembagaan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interpretasi, intervensi, dan kontestasi aktor merupakan aspek paling memengaruhi dinamika penyederhanaan birokrasi sebab terdapat perbedaan interpretasi dari instruksi pimpinan sebagai cikal bakal kebijakan dan kontestasi aktif dari para aktor dalam mempertahankan kepentingan instansi masing-masing. Kemudian, ditemukan adanya hubungan konteks organisasi dan aturan terhadap dinamika penyederhanaan birokrasi. Dengan demikian, dinamika dalam penyederhanaan birokrasi dipengaruhi oleh aturan, aktor, dan konteks.

The Indonesian government, through simplification of the bureaucracy, seeks to achieve a lean, agile and professional bureaucracy. The simplification of the bureaucracy is a manifestation of the delayering practice implemented in Indonesia through the transfer of administrative positions to functional positions, simplification of structures, and adjustments to new work systems. However, there are still problems encountered in simplifying the bureaucracy, such as transferring positions that are not in accordance with the merit system, the new organizational structure is only a formality, and there is a lack of understanding of the essence of the new work system. The application of bureaucratic simplification is a manifestation of institutional change. This study aims to analyze the dynamics of the bureaucratic simplification process in Indonesia from the perspective of institutional formation. This study uses an institutional formation framework that describes the relationship between rules, actors, and context in institutional formation. This research uses a qualitative approach. Data collection techniques using in-depth interviews and literature studies. The results of the study show that actors' interpretation, intervention, and contestation are the aspects that most influence the dynamics of bureaucratic simplification because there are different interpretations of the leadership's instructions as the forerunner of policies and active contestation from actors in defending the interests of their respective agencies. Then, it was found that there was a relationship between organizational context and rules on the dynamics of bureaucratic simplification. Thus, the dynamics in bureaucratic simplification are influenced by rules, actors, and context."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006
302.35 REF
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Ahmad
"Revitalisasi kelembagaan birokrasi dilakukan guna
mengembalikan birokrasi kepada fungsi dukungannya dengan dasar pencapaian Nawacita, penegakkan hukum dan peraturan perundangan dengan memperhatikan aspek dukungan politik dan legitimasi, serta duk ungan sumber-sumber daya organisasi. Revitalisasi yang dilakukan meliputi dimensi filosofi, paradigmatik, kelembagaan, ketatalaksanaan dan dimensi sumber daya manusia. Di sisi lain pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang
dimandatkan oleh UUD 1945 yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif, konstitutif dan auditif diselenggarakan dalam bentuk kelembagaan tinggi negara sesuai tugas dan fungsinya masing-masing yang dijalankan secara independen. Walaupun demikian, seluruh lembaga negara terkoneksi satu sama lain berdasarkan keeratan tugas dan fungsi yang saling melengkapi, maupun berdasarkan kesamaan karakteristik kelembagaan birokrasi dari masing-masing lembaga negara sebagai unit pemberi dukungan administratif dan teknis operasional. "
Jakarta: Biro Hukum dan Komunikasi Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 2018
320 JPAN 8 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>