Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202102 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ida Bagus Ivan Dharmadipraja
"ABSTRAK
Merek merupakan "tanda" berupa kata, angka, gambar, symbol ataupun
warna untuk memberikan identifikasi pembuatnya sehingga dapat membedakan satu barang dengan barang lainnya. Peraturan mengenai merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasia Geografis. Putusan kepailitan menunjuk kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP) untuk mewakili Perseroan Terbatas (PT) melakukan tindakan hukum menyangkut harta Perseroan Terbatas (PT) untuk tujuan pemenuhan hak para Kreditornya. Di dalam praktek Kurator sangat terbatas di dalam melakukan tindakan hukum berkaitan dengan aset tak berwujud (intangible asset) khususnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) milik perseroan terbatas. Padahal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan aset yang paling potensial saat perseroan terabatas ada pada kegiatan usaha. Tesis ini akan membahas tentang penilaian dan kendala serta konsekuensi yuridis pada proses pengalihan asset HKI berupa merek terdaftar dalam pemberesan boedel pailit ditinjau dari aspek hukum kepailitan dan mengambil contoh kasus kepailitan PT. Nyonya Meneer yang merupakan pioneer industry jamu di Indonesia. Peneliti mengambil contoh kasus Nyonya Meneer dikarenakan banyak hal yang dapat digali dari pailitnya perusahaan jamu terbesar pada masanya itu, tesis ini juga akan membahas tentang resep jamu Nyonya Meneer yang dikualifisir dapat
dilindungi menggunakan rezim rahasia dagang (trade secret).
Metode penulisan tesis ini akan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang memiliki makna pencarian sebuah jawaban tentang suatu masalah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kegiatan penelitian kepustakaan, wawancara, dan mempelajari data sekunder. Dapat disimpulkan bahwa penilaian suatu merek akan lebih maksimal dan/atau optimal ketika merek tersebut masih beroperasi dan/atau going concern, akan tetapi dalam keadaan pailit, suatu merek terkenal seperti Nyonya Meneer pun masih dapat memiliki valuasi merek yang tinggi, disamping itu merek Nyonya Meneer akan dialihkan dengan menggunakan perjanjian lisensi setelah kurator menjual secara lelang merek tersebut.

ABSTRACT
Trademark is a "sign" the form of words, numbers, pictures, symbols, or colors to provide identification of the manufacturer so it can distinguish between goods. Trademark protection arranged in Act No.20 Year 2016 about Trademark and Geographic Indication. The verdict has been made by bankruptcy Court of Justice which pointed the curator to represent the company to fullfil their creditor debt. In the field, curator usually has limited steps to perform legal action regarding the company assets specifically in intangible asset in the scope of Intellectual Property Rights. However, IP Rights are the most potential asset that company have when their company are still running. This dissertation will elaborate the value, the obstacle, and also the juridical consequences by transferring the trademark rights, from bankruptcy law point of view, and the researcher have chosen PT. Nyonya Meneer case, which is one of the pioneer for traditional medicine in Indonesia. The researcher chosen the Nyonya Meneer, one of the biggest traditional medicine company case because there are a lot of issue that can be observed which include the receipt of Nyonya Meneer which can be qualified as trade secret.
Collecting data methods conduct with using the research literature, interview and study of secondary data. We can concluded, that the value of the trademark are going to be higher if the company are still running their business. However, when the company bankrupt, if they have famous mark just like Nyonya Meneer, their brands are still valuable. Furthermore, the Nyonya Meneer brand are going to be transferred using license agreement after the curator sell their assets by auction methods."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50386
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natassa Raemavenzka
"Penerapan doctrine of foreign equivalents terhadap Merek AQUA yang merupakan merek untuk produk air minum dalam kemasan, menempatkan Merek AQUA sebagai merek generik dalam tingkatan kekuatan daya pembeda merek, sebab kata ‘aqua’ dalam Merek AQUA memiliki arti kata ‘air’ apabila diterjemahkan dari bahasa Latin ke dalam bahasa Indonesia merupakan kata yang menerangkan nama barangnya yaitu air minum. Unsur berupa keterkenalan merek dan penggunaan merek secara terus-menerus oleh PT Aqua Golden Mississippi sekalipun tidak dapat memberikan secondary meaning terhadap Merek AQUA sebagai merek generik. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap Merek AQUA hanyalah Merek AQUA sebagai marks as per set dengan pengecualian terhadap kata ‘aqua’.

The application of doctrine of foreign equivalents to AQUA® which is the trademark for bottled drinking water products, placing AQUA® as a generic marks based on the spectrum of trademark distinctiveness, because the word 'aqua' in AQUA® means 'water' when translated from Latin to Indonesian describing the products namely bottled drinking water. Even elements such as famous and well-known marks and continuous usage of trademark by PT Aqua Golden Mississippi cannot achieve any secondary meaning to AQUA® as generic marks. The legal protection that can be given to AQUA® as trademark is only as marks as per set with the exception of the word 'aqua'.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Atqa Fautar
"Dewasa ini, sering dijumpai permasalahan pendaftaran merek. Salah satunya terkait ketidaksesuaian penerimaan merek yang bertentangan dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Terutama pada Pasal 20 huruf (b) dan (f) dimana dalam penjelasan undang-undang tersebut juga tidak dijelaskan secara spesifik terkait kriteria merek yang “sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang jasa yang dimohonkan pendaftaran” dengan merek yang “merupakan nama umum dan/atau lambang umum”. Sebagai contoh akibat ketidakjelasan pasal tersebut yakni pada kasus merek “Open Mic Indonesia”. Dalam penulisan hukum ini penulis melakukan penelitian menggunakan metode yuridis normatif yang didukung dengan wawancara narasumber. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis menyimpulkan bahwa Pasal 20 huruf (b) penggunaan kata yang digunakan pada merek memiliki hubungan langsung terhadap produk sebagai deskripsi, sedangkan Pasal 20 huruf (f) penggunaan kata yang terlah digunakan sebagai bahasa sehari-hari atau dimiliki umum. Merek “Open Mic Indonesia” berdasarkan doktrin spectrum of distinctiveness memiliki kekuatan pembeda yang rendah karena frasa “open mic” merupakan generic term. Dimana hakim pada putusan No:85/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN.Niaga.Jkt.Pus berpendapat bahwa “open mic” merupakan istilah umum dan hakim memutus untuk membatalkan merek tersebut karena dinilai bertentangan dengan kepentingan umum dan adanya iktikad buruk.

Nowadays, there are often problems with trademark registration. One of them is related to the incompatibility of trademark acceptance which is contrary to Article 20 of Law Number 20 Year 2016 on Trademarks and Geographical Indications. Especially in Article 20 letters (b) and (f) where the explanation of the law is also not specifically explained related to the criteria of the trademark that is "the same as, related to, or only mentions the goods and services applied for registration" with a trademark that "is a common name and / or public symbol". As an example due to the vagueness of the article is the case of the "Open Mic Indonesia" trademark. In this legal writing, the author conducts research using normative juridical methods supported by interviews with sources. Based on the research conducted, the author concludes that Article 20 letter (b) the use of words used in the trademark has a direct relationship to the product as a description, while Article 20 letter (f) the use of words that have been used as everyday language or commonly owned. Trademark "Open Mic Indonesia" based on the doctrine of spectrum of distinctiveness has a low distinguishing power because the phrase "open mic" is a generic term. Where the judge in Decision No: 85/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN.Niaga.Jkt.Pus argued that "open mic" is a generic term and the judge decided to cancel the trademark because it was considered contrary to the public interest and bad faith."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didit Sugiharto
"Secara historis perkembangan hukum atas peraturan perundangan-undangan di dalam rezim merek di Indonesia telah terjadi begitu banyak perubahan yang sangat mendasar. Pada saat ini pengaturan atas merek di Indonesia diatur berdasarkan Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis. Sistem pendaftaran merek di Indonesia menganut sistem konstitutif (first to file) sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis. Sistem pendaftaran merek di Indonesia memberikan perlindungan hukum atas merek terdaftar. Secara faktual di dalam pendaftaran merek di Indonesia telah terjadi praktik–praktik pendaftaran merek milik pihak asing yang dilakukan oleh Pemohon beriktikad buruk dengan maksud dan tujuan mengambil manfaat secara ekonomi. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Maraknya praktik–praktik pendaftaran merek oleh Pemohon beriktikad buruk disebabkan tidak terdaftarnya merek milik pihak asing di Indonesia. Apabila merek milik pihak asing telah dilakukan pendaftaran oleh Pemohon beriktikad buruk di Indonesia, maka upaya hukum yang tepat dapat dilakukan yaitu Penghapusan Merek dan Gugatan Pembatalan Merek atas merek terdaftar yang didasari iktikad buruk. Urgensi perlindungan hukum atas merek dari Pemohon beriktikad buruk dapat diatasi dengan adanya suatu kesadaran bagi Pemilik merek asing untuk melakukan pendaftaran merek miliknya di Indonesia.

Historically, the legal development of the laws and regulations in the trademark regime in Indonesia has occurred so many fundamental changes. Currently, the regulation of trademarks in Indonesia is governed by Law Number 20 Year 2016 on Trademarks and Geographical Indications. Trademark registration system in Indonesia adheres to the constitutive system (first to file) as stipulated in Article 3 of Act No. 20 Year 2016 on Trademarks and Geographical Indications. Trademark registration system in Indonesia provides legal protection for registered trademarks. Factually in the registration of trademarks in Indonesia there have been practices of registration of trademarks owned by foreign parties carried out by the Applicant in bad faith with the intent and purpose of taking economic benefits. This research was prepared using doctrinal research methods. The rise of trademark registration practices by bad faith applicants is due to the unregistered trademarks owned by foreign parties in Indonesia. If the trademark owned by a foreign party has been registered by the Applicant in bad faith in Indonesia, then the appropriate legal remedies can be done namely Trademark Removal and Trademark Cancellation Lawsuit on registered trademarks based on bad faith. The urgency of legal protection of the trademark of the bad faith applicant can be overcome by an awareness for foreign trademark owners to register their trademarks in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Adi Pramono
"Skripsi ini membahas perlindungan hukum bagi pemilik merek lokal yang mereknya memiliki kemiripan dengan merek terkenal asing. Pembahasan dalam skripsi ini didasarkan pada sengketa merek terkenal IKEA melawan merek lokal IKEMA yang telah diputus sampai tingkat Peninjauan Kembali. Dalam sengketa merek ini, terdapat perbedaan jenis barang atau jasa. Sedangkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur tentang persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa tidak sejenis belum dibentuk. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ikea adalah merek terkenal. Pemilik merek Ikema mendaftarkan mereknya dengan itikad baik dan Ikema tidak memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek Ikea karena terdapat perbedaan jenis barang atau jasa antara merek tersebut.

This thesis discusses about the legal protection for the owner of a local trademark that the trademark has similarities with well-known mark. The discussion in this thesis is based on dispute between well-known mark IKEA against local trademark IKEMA that has been decided by the court. In this trademark dispute, there are different types of goods or services. While government regulation to regulate likelihood of confusion with dissimilar goods or services has not been established. This research use qualitative descriptive method. The results showed that Ikea is a well-known mark. Ikema owners register that trademark in good faith and Ikema doesn’t have likelihood of confusion with Ikea because there are differences the types of goods or services in that trademark.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57629
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Puspito Rini
"Gugatan ganti rugi yang diajukan Hardwood Private Limited kepada PT Unilever Indonesia, Tbk adalah keberatan Hardwood Private Limited kepada PT Unilever Indonesia, Tbk yang menggunakan kata strong pada produk pasta gigi merek ‘Pepsodent Strong 12 Jam’. Kata strong pada merek ‘Pepsodent Strong 12 Jam’ mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek ‘Strong’ milik Hardwood Private Limited. Dalam perkara ini, Mahkamah Agung RI memberikan putusan Nomor 332K/Pdt.Sus-HKI/2021 tanggal 30 Maret 2021 dengan membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 18 November 2020 yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada Hardwood Private Limited sebagai penerima peralihan hak dari pendaftar pertama merek “Strong”. Dengan pertimbangan hukum Hakim Agung adalah merek ‘Pepsodent Strong 12 Jam’ dengan menggunakan kata Strong telah terdaftar sehingga PT Unilever Indonesia, Tbk mempunyai alasan menggunakan merek tersebut. Tujuan dari penulisan ini untuk mengkaji putusan dan pertimbangan hukum yang diberikan Hakim Agung pada perkara aquo secara mendalam. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil dari penelitian adalah Hakim Agung dalam perkara a quo sudah intervensi dalam memberikan putusan dan pertimbangan hukum yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR dan asas hakim bersifat pasif dalam Hukum Acara Perdata serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

The lawsuit for compensation filed by Hardwood Private Limited against PT Unilever Indonesia, Tbk is Hardwood Private Limited’s objection to PT Unilever Indonesia, Tbk for using the word strong in its ‘Pepsodent Strong 12 Jam’ toothpaste product. The word strong on the mark ‘Pepsodent Strong 12 Jam’ is basically similar to the mark ‘Strong’ owned by Hardwood Private Limited. In the case, the Supreme Court of the Republic of Indonesia issued a decision Number 332K/Pdt.Sus-HKI/2021 dated March 30, 2021, by canceling the decision of the Central Jakarta Commercial Court Number 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst dated 18 November 2020 which provides legal protection and certainty to Hardwood Private Limited as the recipient of the transfer of rights from the first registrant of the “Strong” mark. With the legal considerations of the Supreme Court Judge, the mark 'Pepsodent Strong 12 Jam' using the word Strong has been registered so that PT Unilever Indonesia, Tbk has reasons to use the mark. The purpose of this paper is to examine in depth the decisions and legal considerations given by the Supreme Court Justices in the case. The type of research used is a normative legal research method with a statutory approach. The results of the research are that the Supreme Court Judge in the case has intervened in giving decisions and legal considerations that are contrary to the provisions of Article 178 paragraph (3) HIR and the principle of passive judges in the Civil Procedure Code and Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Indications Geographical."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Sindy
"Penelitian ini dilatarbelakangi sengketa yang melibatkan penggunaan merek terkenal dengan unsur "persamaan pada pokoknya". Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, bersifat deskriptif, dan pendekatan perundang-undangan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka atas bahan-bahan hukum, baik primer, sekunder, maupun tersier. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang  Merek tidak mengatur dengan jelas mengenai istilah "persamaan pada pokoknya". Istilah "persamaan pada pokoknya" justru muncul terkait dengan merek yang harus ditolak pendaftarannya oleh Direktorat Jenderal HKI; 2) Terhadap pelanggaran merek yang berujung sengketa, maka pemilik merek dapat melakukan upaya-upaya hukum yaitu mengajukan gugatan secara perdata melalui Pengadilan Niaga, atau melaporkan adanya pelanggaran tindak pidana pelanggaran merek kepada aparat kepolisian; 3) Terjadinya perbedaan dalam putusan No. 557 K/Pdt.Sus-HKI/2016 dengan No. 591 K/Pdt.Sus-HKI/2016, disebabkan oleh fakta bahwa seorang hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada satu asas saja.

This Research is motivated by disputes involving the use of well known brands with the element "principle of similarity". Type of research is normative juridical, descriptive, and statute approach. Data collection techniques are carried out through literature studies on legal materials, both primary, secondary and tertiary. The results show: 1) Law No. 15 of 2001 concerning Trademarks does not clearly regulate the term "principle of similarity". The term "principle of similarity" actually appears related to the brand that must be refused registration by the Directorate General of Intellectual Property Rights; 2) With regard to brand violations that lead to disputes, the brand owner may make legal remedies, namely filing a lawsuit through the Commercial Court, or reporting violations of criminal offenses of brand violations to the police; 3) The difference in decision No. 557 K/Pdt.Sus-HKI/2016 with No. 591 K/Pdt.Sus-HKI/2016, caused by the fact that a judge in examining and deciding cases is not always fixed on one principle."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52388
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria A. Nareswari
"Dengan berkembangnya dunia perdagangan, perlindungan akan merek pun menjadi hal yang sangat penting. Pada dasarnya, merek adalah sebagai tanda yang menunjukkan asal barang, membedakan antara satu produsen dengan produsen lainnya. Merek harus memiliki daya pembeda. Merek tidak dapat didaftarkan jika merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang/jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Kata/istilah generik yang menerangkan barang/jasa tersebut tidak dapat didaftarkan karena memiliki daya pembeda yang lemah. Dalam kasus Kopitiam, Mahkamah Agung mengabulkan kopitiam sebagai merek eksklusif individu karena kopitiam tidak memiliki arti kedai kopi seperti yang diutarakan pemohon Peninjauan Kembali. Pemberian arti kopitiam yaitu kopi berasal dari Bahasa Melayu, dan tiam dari Bahasa Hokkien yang berarti kedai (pemaknaan kopitiam yaitu sebagai kedai kopi), tidak dapat diterima Mahkamah Agung. Penggunaan istilah tersebut bukanlah sesuatu yang lazim, namun bagi masyarakat terutama daerah pesisir Sumatera, Kalimantan, dekat Singapura dan Malaysia, menganggap istilah kopitiam adalah identik dengan sebuah kedai kopi. Perbedaan pemahaman ini yang akhirnya membuat secara hukum kopitiam diterima sebagai merek dan tidak bagi masyarakat terutama para pengusaha Kopitiam di Indonesia.

With the fast development of tradingscene, the legal protection of trademarks becomes an important issue. Basically, trademark is a sign which indicates the origin of certain goods, and it can also distinguish one producer’s good from the competitors’. Trademark should have a distinctiveness. A mark cannot be registered if it is in some ways related to the product/service. In the Kopitiam case, the Supreme Court has granted the exclusive right of that mark with reasoning there is not enough evidence that “Kopitiam” translates to “Coffee Shop”, as Abdul Alek has stated. Kopitiam is originated from Kopi from Malay language and Tiam which means shop (from Hokkien dialect). The Supreme Court stated that the use of the term ‘Kopitiam’ is not common, but for the citizen, especially originating from Sumatera, Kalimantan, and around Singapore and Malaysia, the term Kopitiam is synonymous with “Coffee Shop”. The difference in understanding leads to legal acceptance of “Kopitiam” as an exclusive trademark in Indonesia, with the general public, especially other Kopitiam business, unable to use it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54344
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Nuraeni
"Skripsi ini membahas tentang ketentuan persamaan pada pokoknya dalam sebuah merek berdasarkan pada doktrin-doktrin merek yang dianut dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Doktrin-doktrin merek tersebut menjadi dasar pengujian dalam penolakan pendaftaran merek, oposisi, pembatalan , dan juga salah satu dasar gugatan dalam sebuah pelanggaran merek. Sebagai pembanding tentang ketentuan tersebut digunakan ketentuan yang dianut sistem Amerika Serikat dan Masyarakat Uni Eropa ( European Economic Community). Untuk memahami konsistensi penerapan ketentuan tersebut dalam kasus digunakan dua buah kasus yaitu kasus sengketa merek antara Extra Joss melawan Enerjos dan Kasus IKEA dengan IKEMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan desain preskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat inkonsistensi dalam penerapannya doktrindoktrin merek, sehingga diperlukan beberapa revisi terhadap undang-undang yang berlaku saat ini.

This thesis investigated the use of likelihood of confusion clause from its doctrine point of view as stated in Indonesia’s Mark Law No. 15 Year 2001.The doctrines serve as grounds for refusing registration, opposing application, canceling registration, and for claiming infringment of mark. The U.S System and Europan Economic Community (EEC) sytems are used as comparison to the Indonesian law. To understand the application of the doctrines in cases, two cases were selected, which are Extra Joss versus Enerjos and IKEA versus IKEMA. This thesis used doctrinal method as a research method with prescriptif design. The study found that there are inconsistencies in the application of the mark doctrines therefore some revisions to the law should be made accordingly."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54072
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>