Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149304 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hervita Diatri
"Komorditas risiko kardiometabolik pada ODS lebih besar dibandingkan populasi umum dan menyebabkan mortalitas tinggi di usia produktif. Berbagai modalitas tata laksana untuk masalah kesehatan tersebut tersedia di fasilitas primer hingga tersier. Sayangnya, akses layanan yang terpadu dan bermutu belum ada di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model layanan terpadu tersebut di fasilitas kesehatan primer di Indonesia. Penelitian ini menggunakan model pengembangan sistem spiral yang mengikuti tiga tahap action research. Tahap pertama menggabungkan metode kuantitatif desain potong lintang studi komparatif dan kualitatif observasi, penelusuran kepustakaan, wawancara mendalam, dan lokakarya untuk mengidentifikasi masalah, gambaran pelayanan, dan potensi penyelesaian masalah sebagai dasar pengembangan model layanan terpadu. Subjek penelitian kuantitatif pada tahap ini adalah ODS usia 18-59 tahun yang menjalani pengobatan di 20 puskesmasprovinsi DKI Jakarta. Data kualitatif berasal dari ODS, keluarga, penyedia layanan, akademisi, dan pemangku kebijakan di daerah maupun pusat. Model awal dikembangkan berdasarkan modifikasi terhadap clinical pathway dari WHO-PEN Package of essential noncommunicable disease interventions . Kemamputerapan dan kebutuhan penyesuaian model dinilai berdasarkan hasil identifikasi solusi. Model layanan terpadu yang dikembangkan, kemudian diujicobakan dan dinilai secara kuantitatif dan kualitatif di tahap kedua untuk melihat kemampulaksanaan melalui ketersediaan layanan, kesesuaian penerapan, dan kesediaan tenaga kesehatan untuk melanjutkan layanan. Evaluasi dampak model layanan melalui desain eksperimental kuasi dinilai melalui efektivitas terhadap parameter klinis dan nonklinis. Proporsi ODS dengan risiko kardiometabolik adalah 88 dari 216 partisipan ODS , dan hanya 6,8 yang mendapatkan akses layanan komorbiditas. Data kuantitatif maupun kualitatif menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan berharap akan model layanan terpadu dapat dikembangkan di puskesmas 63,7 , menggunakan berbagai sumber daya yang telah ada, melibatkan tim 61,1 , ditekankan pada upaya skrining dan pemantauan berkala 59,5 . Model layanan terpadu dalam bentuk clinical pathway maupun alur layanan ternyata tidak dapatditerapkan sepenuhnya di puskesmas karena masalah ketersediaan layanan, infrastruktur, keberadaan tenaga kesehatan, sistem komunikasi antar tenaga kesehatan, dan budaya kerja, serta faktor pasien dan keluarga. Namun demikian > 79 tenaga kesehatan yang terlibat bersedia untuk melanjutkan penerapan alur layanan. Model layanan efektif memperbaiki kadar kolesterol-HDL darah, tetapi untuk parameter tekanan darah, lingkar pinggang, kadar glukosa, trigliserida darah menunjukkan hasil tidak berbeda bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Evaluasi parameter nonklinis yang menunjukkan hasil bermakna terbatas pada tingkat aktivitas fisik ODS, tetapi tidak untuk variabel pola diet, pengetahuan, dan kepuasan pasien. Model layanan luar gedung yang pengaturannya terpisah dari tata laksana kegiatan puskesmas dan model layanan dalam gedung yang terpisah antara layanan penyakit tidak menular PTM dan layanan jiwa, adalah sebab utama kurang mampu laksananya model yang diujikan. Proses skrining dan pemantauan berkala perlu dilakukan pada semua ODS sebagai awal akses layanan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan ODS dan keluarga penting untuk meningkatkan kapasitas partisipatif, sedangkan bagi tenaga kesehatan diperlukan untuk manajemen risiko melalui skrining dan pemantauan berkala. Pengembangan tim terpadu PTM dan jiwa baik untuk kegiatan di dalam maupun luar gedung diharapkan dapat memudahkan kerja tim untuk mengatasi hambatan kesinambungan penyediaan layanan, infrastruktur, dan kesulitan akses ODS sehingga efektivitas layanan semakin baik.

Cardiometabolic comorbidity is higher in people with schizophrenia than in general population and this caused high mortality in productive age. A variety of management modalities for this specific health problem are available in primary to tertiary health facilities. Unfortunately, high quality and accessible comprehensive service did not exist in Indonesia. This research aimed to develop an integrated service in primary health facilities for PwS and cardiometabolic risks in public health centers in Indonesia.Using the spiral model of system development, this research followed the three phase of action research. The first phase combined quantitative comparative cross-sectional study and qualitative observation, literature review, in-depth interview, and workshop methods to identify problems, health service condition, and potential solutions as a basis for developing an integrated service model. Subjects for the quantitative research in this phase were PwS who were at the age of 18-59 years old who underwent treatment in 20 public health centers in Jakarta Special Capital Region. Qualitative data came from PwS, their families, academia, and policy makers at national and sub-national levels. Early model was developed based on modification to the WHO-PEN Package of essential noncommunicable disease interventions clinical pathway. Implementability and needs for model adjustments were evaluated from the result of solutions identification. The developed comprehensive service model was tested and evaluated quantitative and qualitatively in the second phase to see if it is feasible by means of availability of services, suitability of implementation, and availability of health workers to continue the service. Evaluation on the impact of the service model was done through quasi-experimental design to evaluate its efficacy using clinical and non-clinical parameters. Proportion of PwS with cardiometabolic risks was 88 from 216 PwS participants , from which only 6.8 had access to service for comorbidities. Quantitative and qualitative data showed that stake-holders would like to see that this integrated service model can be implemented in primary health care service PHCs 63.7 , using various existing resources, involving team approach 61.1 , and stressing on screening and periodic monitoring 59.5 . An integrated service model in the form of clinical pathway or service algorithm could not be fully implemented because of problems with service availability, infrastructures, availability of health workers, communication system among health workers, working culture, patient and family factors. In spite of that, more than 79 of health workers who were involved in the research are willing to continue implementing the service pathway. This service model was proven to be effective in controlling blood HDL-cholesterol level, but failed to show significant differences in blood pressure, waist circumference, blood glucose, and triglyceride between intervention and control groups. Evaluation on non-clinical parameters showed limited meaningful results on level of physical activities, but not on diet pattern, knowledge, and satisfaction. Extramural model, which separated arrangement from management activities in the PHC and disintegration intramural services between Non-communicable diseases NCDs and mental health services, was the main reason for the lack of efficacy in the tested model. Screening and periodic monitoring should be done for all PwS as initial access to service. Improvement of knowledge and skills of PwS and their families is important in increasing their participatory capacity and for health workers to be able to manage risks through screening and periodic monitoring. It is expected that the development of an integrated non-communicable disease and psychiatric team, intra and extra-mural of PHCs, could overcome the barriers of continuous provision of service, infrastructure, and access of PwS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Maharani Hardjono
"Skripsi ini tentang ayah sebagai caregiver orang dengan skizofrenia yang dibahas dari disiplin Ilmu Kesejahteraan Sosial, menggunakan metode kualitatif deskriptif. Orang dengan skizofrenia membutuhkan caregiver untuk membantu aktivitas sehari-hari. Caregiver terkategori menjadi tiga yaitu primary, secondary, dan tertiary yang didasari pada intensitas pemberian perawatan sehari-hari dan keputusan medis bagi ODS, serta serta pemenuhan kebutuhan finansial terkait perawatan bagi ODS. Peran pemberian perawatan oleh caregiver di Indonesia masih lekat dengan gender perempuan, yang umumnya menjadi primary caregiver, dan mengalami beban yang mengganggu kesejahteraannya. Oleh karena itu menjadi penting untuk meneliti bagaimana para ayah yang sebagai kepala keluarga juga terlibat menjadi caregiver bagi anak-anaknya yang mengalami skizofenia. Mengingat bila mereka mengalami beban terkait peran sebagai caregiver berpotensi mengganggu keberfungsian sosial dan kesejahteraan ayah. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan pada Januari hingga Juni 2024, melalui wawancara dengan dua informan yang dipilih secara accidental sampling karena berdasarkan ketersediaan dan kesediaan informan, dimana data terbatas dan yang tidak bersedia terlibat dalam penelitian. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pengalaman informan sebagai ayah dan caregiver tergolong sebagai secondary dan tertiary caregiver, dimana mereka tidak terlibat pada keputusan medis bagi ODS. Meskipun demikian, informan sebagai caregiver ayah ini juga mengalami beban sebagaimana hasil penelitian selama ini mengungkapkan dialami primary caregiver. Pengalaman beban yang dialami informan sebagai caregiver ayah dari putri-putrinya yang mengalami skizofenia adalah beban finansial. Untuk mengatasi beban tersebut, kedua informan menggunakan strategi koping yang didominasi kegiatan spiritual.

This study regarding fathers as caregivers of people with schizophrenia who are discussed from the discipline of Social Welfare Science, using a descriptive qualitative method. People with schizophrenia need caregivers to help with daily activities. Caregivers are categorized into three, namely primary, secondary and tertiary based on the intensity of providing daily care and medical decisions for people with schizophrenia. The role of providing care by caregivers in Indonesia is still closely linked to the female gender, who generally become primary caregivers, and experience burdens that interfere with their welfare.  Therefore, it is important to research how fathers who are the heads of families are also involved in being caregivers for their children with schizophrenia. Considering that if they experience a burden related to their role as caregivers, it has the potential to interfere with the social functioning and welfare of the father. The data collection of this research was carried out from January to June 2024, through interviews with two informants who were selected by accidental sampling because it was based on the availability and willingness of informants, where data was limited and those who were not willing to be involved in the research. The study revealed that the informant's experience as a father and caregiver was classified as a secondary and tertiary caregiver, where they are not involved in medical decisions for ODS. However, the informant as a father's caregiver also experienced a burden as the results of research so far revealed that the primary caregiver experienced. The experience of the burden experienced by the informant as a caregiver for the father of his daughters who have schizophrenia is a financial burden. To overcome this burden, the two informants used a coping strategy that was dominated by spiritual activities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Dwi Aryani
"Inekuitas pelayanan kesehatan masih terjadi setelah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pemantauan secara berkala Kinerja Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) merupakan kunci untuk menurunkan inekuitas pelayanan kesehatan sebagai tujuan utama JKN. Penerapan Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK) dengan tiga indikator sejak tahun 2016, menunjukkan terjadi perbaikan kinerja FKTP dalam meningkatkan kualitas dan efisiensi di pelayanan tingkat pertama. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model indikator kinerja, kapasitas FKTP dan indikator ekuitas agar dapat mengukur ekuitas pelayanan kesehatan. Desain penelitian menggunakan exploratory sequential-mixed method, dalam tiga tahap. Tahap penelitian secara berturut- turut, 1) Systematic Review (SR) untuk mengidentifikasi indikator yang dapat digunakan dalam mengukur kapasitas, kinerja FKTP dan ekuitas pelayanan kesehatan. 2) Consensus Decision Making Group (CDMG) untuk menetapkan indikator yang kapasitas, kinerja FKTP dan ekuitas pelayanan kesehatan dengan para pakar, 3) Membuat pengembangan model indikator kinerja FKTP berdasarkan skema kapitasi yang dapat mengukur ekuitas pelayanan kesehatan, menggunakan analisis Structural Equation Modelling (SEM) data BPJS Kesehatan tahun 2022. Berdasarkan hasil SR, CDMG dan analisis SEM, indikator terpilih untuk mengukur kapasitas FKTP terdiri dari tiga indikator yaitu rasio dokter umum, sumberdaya sarana dan manusia (skor rekredensialing) dan pembiayaan (persen pembayaran KBK yang diterima). Terpilih sembilan indikator kinerja yaitu angka kontak, proporsi penderita DM diperiksa gula darah, proporsi penderita Hipertensi diperiksa tekanan darah, rasio rujukan non spesialistik, proporsi pasien rujuk balik, proporsi skrining penyakit jantung, DM dan Hipertensi, rasio pasien prolanis terkendali. Ekuitas pelayanan kesehatan dilihat dari rate utilisasi peserta FKTP berdasarkan sosiodemografi (jenis kelamin, usia) dan sosial ekonomi (PBI-Non PBI). Analisis SEM menunjukan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kapasitas dan kinerja FKTP dengan ekuitas pelayanan. Indikator kapasitas, kinerja FKTP dan ekuitas pelayanan disusun dalam Primary Care Performance Indicator (PCPI) JKN Framework. Hasil penelitian ini direkomendasikan digunakan oleh BPJS Kesehatan untuk memantau kinerja FKTP dan ekuitas pelayanan kesehatan serta menyempurnakan kebijakan KBK; Kementerian Kesehatan dapat menyempurnakan kebijakan pelayanan kesehatan primer dan menyusun Indonesia Primary Health Care Performance Indicator (PHCPI) untuk memantau kinerja pelayanan kesehatan primer.

Healthcare inequities still occur after the implementation of the National Health Insurance (JKN). Regular monitoring of the performance of primary healthcare facilities (FKTP) is key to reducing healthcare inequities as the main goal of JKN. The implementation of Performance-Based Capitation (KBK) with three indicators since 2016 has shown improvements in the performance of primary healthcare facilities in improving the quality and efficiency of first-level services. Their capacity influences the performance of primary care facilities and impacts primary care performance outcomes (health service equity). This study objective was to develop a model of performance indicators, FKTP capacity and equity indicators to measure health service equity. The research design utilized an exploratory sequential-mixed method. The study was divided into three phases. Phase one was a systematic review to identify indicators that can be used in measuring capacity, FKTP performance and health service equity. Phase two was carried out by a qualitative approach with the Consensus Decision Making Group (CDMG) technique to determine indicators that can be used in measuring FKTP capacity and performance as well as measuring health service equity with experts. Phase three was the development of a model for FKTP performance indicators based on a capitation scheme that can measure the equity of health service access. This phase was carried out using Structural Equation Modeling (SEM) analysis. The SR, CDMG and SEM analysis show that there are three selected indicators to measure the capacity of primary health care facilities: general practitioner ratio, facility sufficiency(recredentialing score) and financing (percentage of KBK payments received). Nine performance indicators were selected, namely contact rate, proportion of DM patients checked for blood sugar, proportion of Hypertension patients checked for blood pressure, non-specialistic referrals ratio, proportion of patients referred back to primary care providers, proportion of screening for heart disease, diabetes mellitus, and hypertension; and ratio of controlled Prolanis patients. Health service equity was analyzed from the utilization rate of participants based on gender, age and socioeconomic factors(PBI-Non PBI). SEM analysis showed a positive and significant relationship between the capacity and performance of primary health care facilities and equity."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Omo Abdul Madjid
"Dalam pelayanan kesehatan, peranan Fasilitas Kesehatan Primer yang berhadapan langsung dengan masyarakat sangat penting. Kompetensi personal fasilitas pelayanan kesehatan dalam tatakelola pelayanan khususnya di fasilitas pelayanan primer masih terbatas. Hal itu disebabkan pembekalan melalui pendidikan dan pelatihan belum memenuhi kebutuhan kompetensi manajemen akibat kurikulum pendidikan dan pelatihan yang belum dirancang dan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.
Penelitian ini merupakan penelitian terapan bertujuan mengembangkan model manajemen peningkatan mutu terpadu pelayanan di Fasilitas Kesehatan Primer.
Penelitian menggunakan metode  Kombinasi Kuantitatif-Kualitatif (Mixed Methods) dan rancangan  sequential explanatory. Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu, tahap penelitian kuantitatif bertujuan menilai mutu layanan dari sisi pelanggan dengan rancangan potong lintang. Tahap penelitian kualitatif bertujuan menilai mutu dari sisi penyedia. Responden penelitian kuantitatif adalah akseptor penerima pelayanan KB AKDR Pasca Persalinan di Fasilitas Kesehatan Primer di Jakarta. Responden penelitian kualitatif adalah tim petugas di Fasilitas Pelayanan Primer dan Pakar di bidang Keluarga Berencana. Pengumpulan data penelitian kuanititatif menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Pengumpulan data penelitian kualitatif menggunakan metode wawancara mendalam menggunakan instrumen maturitas organisasi dan penilaian oleh pakar menggunakan metode Delphi.  Model akhir manajemen peningkatan mutu terpadu dikembangkan dari model awal yang disusun berdasarkan tinjauan pustaka.
Berdasarkan kepuasan pelanggan sebanyak 141 (81,1%) responden merasa puas, 35 (19,9%) responden merasa tidak puas. Berdasarkan keselamatan pasien 166 (94,3%) responden menyatakan keselamatan baik, 10 (5,7%) responden menyatakan keselamatan kurang. Pada penilaian mutu dari sisi pelanggan variabel yang memengaruhi mutu adalah regulasi dan standarisasi, sarana prasarana, komunikasi efektif dan kepemimpinan klinik. Pada penilaian mutu dari sisi penyedia dengan penilaian maturitas proses dan maturitas organisasi masing-masing pada tingkat pertama dan kedua dari empat tingkat maturitas. Dari model awal berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian disintesis model akhir Manajemen Peningkatan Mutu Terpadu di Fasilitas Kesehatan Primer.
Simpulan: Telah berhasil dikembangkan model Manajemen Peningkatan Mutu Terpadu (M-PMT) di fasilitas Kesehatan Primer yang merupakan perangkat manajemen fasilitas Kesehatan Primer dalam proses manajemen mutu pelayanan untuk mencapai kinerja mutu unggul. Model dikembangkan dengan pendekatan terpadu, komprehensif, holistik dan berkelanjutan. Pendekatan terpadu dalam struktur rancangan sistem sebagai komponen input. Komponen proses dengan pendekatan komprehensif dalam siklus perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan evaluasi melalui proses pembelajaran mencapai tingkat kematangan proses dan organisasi berkelanjutan.

In health services, Primary Health Facilities plays an important role in dealing directly with the community. The personal competence of health service facilities in service governance, especially in primary care facilities, is still limited. This is due to the fact that debriefing through education and training has not met the needs of management competencies due to education and training curricula that have not been designed and implemented according to the needs and expectations of the community.
This is an applied research aimed at developing an integrated quality improvement management model of service in Primary Health Facilities.
The study combined quantitative methods and sequential explanatory design. This study consists of two stages. The quantitative research stage aims to assess the quality of service from the customer side with a cross-sectional design. The qualitative research phase aims to assess the quality of the provider. Quantitative research respondents are acceptors of contraceptive services of postnatal IUD at Primary Health Facilities in Jakarta. respondents from qualitative research team were officers at Primary Service Facilities and experts in the field of Family Planning. Quantitative research data is collected using validated questionnaires. Collecting qualitative research data using in-depth interview methods using organizational maturity instruments and expert assessment using the Delphi method. The final model of integrated quality improvement management was developed from the initial model which was compiled based on literature review.
Regarding customer satisfaction, 141 (81.1%) respondents were satisfied and 35 (19.9%) respondents felt dissatisfied. Regarding patient safety, 166 (94.3%) respondents stated safety was good and 10 (5.7%) respondents said that safety was lacking. In the quality assessment from the customer side, the variables that affect quality are regulation and standardization, infrastructure, effective communication and clinical leadership. In the assessment of quality from the provider side by assessing the process maturity and organizational maturity of each at the first and second levels of the four maturity levels. The final model of Integrated Quality Improvement Management in Primary Health Facilities is synthesized from the initial model based on literature review and the results of the study.
Conclusion: The Integrated Quality Improvement Management (M-PMT) Management model in Primary Health facilities has been successfully developed. The result is a primary health facility management tool in the service quality management process to achieve superior quality performance. The model is developed with an integrated, comprehensive, holistic and sustainable approach. Integrated approach in the structure of the system design served as as an input component. The process component with a comprehensive approach in the cycle of planning, implementing and monitoring evaluations through the learning process reaches a sustainable level of process and organization maturity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyimas Heny Purwati
"

Rendahnya pengetahuan keluarga dan tidak adanya pengawasan dari petugas kesehatan pasca rawat inap, dapat menyebabkan anak mengalami berbagai masalah kesehatan dan berisiko untuk rawat ulang. Tujuan penelitian ini adalah  terbentuknya model asuhan keperawatan mandiri keluarga dengan anak balita pneumonia (ASTANIA) dan pengaruhnya terhadap  kemandirian keluarga dalam merawat anak balita dengan pneumonia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif melalui tiga tahapan; Tahap I yaitu mengidentifikasi kebutuhan keluarga dengan balita pneumonia melalui wawancara mendalam terhadap 10 orangtua anak dengan pneumonia yang dirawat di rumah sakit, data dianalisis secara tematik; Tahap II yaitu pengembangan model asuhan keperawatan mandiri keluarga dengan balita pneumonia berdasarkan hasil penelitian tahap I; Tahap III yaitu uji coba model ASTANIA, dengan metode quasi eksperimen pre-post test with control group terhadap 38 responden kelompok intervensi dan 38 responden kelompok kontrol. Hasil analisis data membuktikan bahwa setelah dilakukan intervensi selama tiga  bulan terjadi peningkatan perilaku (pengetahuan, persepsi dan keterampilan) dan kemandirian keluarga dalam merawat balita dengan pneumonia. Kesimpulan: Model ASTANIA berpengaruh pada perilaku dan tingkat kemandirian keluarga dengan balita pneumonia. Rekomendasi: perlunya  pelatihan bagi perawat di rumah sakit tentang perencanaan pulang yang terstruktur dan komprehensif khususnya pada balita dengan pneumonia dan perlunya komitmen perawat kesehatan masyarakat dalam memantau kesehatan balita pasca rawat melalui kunjungan rumah secara terjadwal untuk meningkatkan kemandirian keluarga dan mencegah terjadinya kekambuhan.

 

Kata Kunci: ASTANIA; Kemandirian keluarga; Anak dengan pneumonia; Perkesmas.


Low family knowledge and lack of supervision from post-hospitalized health workers, can cause children to experience various health problems and in risk for re-admission. The purpose of this study is the establishment of a model of family independent care for children under five with pneumonia (ASTANIA) and its effect on family independence in caring for children under five with pneumonia. This research uses qualitative and quantitative methods through three stages; Phase I is identifying family needs of children with pneumonia through in-depth interviews with 10 parents of children with pneumonia who were hospitalized, the data were analyzed thematically; Phase II, namely the development of a model of family independent nursing care for children under five with pneumonia based on the results of the Phase I research; Phase III is the ASTANIA model trial, with a quasi-experimental method pre-post test with control group of 38 respondents in the intervention group and 38 respondents in the control group. The results of data analysis prove that after three months of intervention there has been an increase in behavior (knowledge, perception and skills) and family independence in caring for infants with pneumonia. Conclusion: The ASTANIA model influences the behavior and level of independence of families with children with pneumonia. Recommendations: the need for training for nurses in hospitals on structured and comprehensive discharge planning especially for children under five years with pneumonia and the need for community health nurse commitments in monitoring post-hospitalized chilcren health through scheduled home visits to increase family independence and prevent recurrence.

 

Keywords: ASTANIA; Family independence; Children with pneumonia; Public Relations.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Betari Octavia P.H.
"Setiap manusia memiliki martabat dan otonomi yang diakui secara universal, termasuk orang dengan skizofrenia. Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang menghambat seseorang untuk dapat berfungsi secara sosial. Skripsi ini akan memaparkan perlakuan dalam masyarakat dan hukum bagi orang dengan skizofrenia sebagai minoritas.
Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian hukum empiris yang mencoba menggambarkan permasalahan dari diskriminasi terhadap orang dengan skizofrenia untuk mendapatkan hak kesehatan dan hak non-diskriminasi. Tindakan diskriminatif itu diakibatkan pandangan dominan bahwa orang dengan skizofrenia memiliki disabilitas psikososial, sehingga menimbulkan stigma yang membatasi kaum ini sebagai pribadi bermartabat.
Akibatnya, terdapat perubahan paradigma?entah itu instrumen hukum internasional maupun nasional?yang mencoba mengubah pandangan disabilitas dari yang disfungsional menjadi yang berpatokan pada hak asasi manusia. Akan tetapi, ketentuan hukum yang berlaku tidak dapat secara langsung menyelesaikan setiap masalah yang berkaitan dengan pengupayaan kedua hak ini. Akhirnya, tindakan dari masyarakat dan hukum sangat berpengaruh terhadap upaya pemenuhan kedua hak ini sehingga diperlukan ketentuan hukum yang memadai dan sosialisasi atau edukasi yang dapat mengimbanginya.

Every human being has dignity and autonomy that is universally acknowledged, including people with schizophrenia. Schizophrenia is a severe mental disorder that inhibits a person to function socially. This research will explain the treatment of society and law towards people with schizophrenia as a minority.
This research is an empiric legal research that seeks to describe problems of discrimination towards this minority group in an effort to obtain health and non-discrimination rights. That discriminative behavior is caused by a dominant gaze that people with schizophrenia has a psychosocial disability so that it became a stigma which limits this group as a person with dignity.
Consequently, there has been a paradigm shift?whether it is in the international or national legal instruments?which seeks to change the view of disability as dysfunctional to a view based on human rights. However, the positive law cannot directly solve every problems related to the exertion of both rights. At last, behaviors of society and law affects greatly on the fulfillment of both of these rights, so an adequate legal provision and socialization or education is needed.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56765
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galih Bramudyas Yogaswara
"Skizofrenia merupakan salah satu jenis gangguan jiwa yang sering dipahami secara keliru. Mispersepsi atas gangguan skizofrenia selanjutnya berpotensi untuk melahirkan stigma sehingga memposisikan penderitanya sebagai korban. dari ketiga penderita skizofrenia yang menjadi informan, pelajaran berharga terkait dengan stigma negatif tentang penderita gangguan jiwa dapat dipahami melalui pengalaman menjalani hidup dengan skizofrenia. Ketidaktahuan tentang penyakit skizofrenia akhirnya memunculkan stigma negatif terhadap penderitanya. Ketidaktahuan tentang penyakit skizofrenia selanjutnya mendorong sekelompok orang untuk membentuk suatu komunitas yang bergerak dalam isu kesehatan jiwa melalui Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) untuk memberikan dukungan sosial. Penderita skizofrenia mengikuti berbagai macam kegiatan KPSI yang bertujuan mendorong proses pemulihan. Dari cerita penderita skizofernia yang berhasil pulih, stigma negatif tentang gangguan jiwa skizofernia diharapkan dapat berkurang atau hilang sama sekali.

Schizophrenia is a type of mental disorder that is often misunderstood. Misperceptions on the disorder have the potential in creating stigma that will left people with schizophrenia as victims. From the three people with schizophrenia who become informants to this research, a valuable lesson about the negative stigma associated with people with mental disorder can be understood through their experiences living with schizophrenia. The lack of knowledge about schizophrenia further encourages a group of people to form a community engaged in mental health issues through Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) that give social support. People with schizophrenia follow a variety of activities aimed to support the recovery process. From the stories of people that have successfully recovered, the negative stigma towards schizophrenia is hoped to diminish and even disappear altogether.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46495
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tsaairoh
"Pekerjaan merupakan aspek fundamental bagi setiap orang untuk meningkatkan kesejahteraan. Hal ini juga berlaku bagi penderita skizofrenia, bekerja bukan hanya sebagai cara untuk mencari uang tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan sosial, penerimaan, penghargaan dan sebagainya yang dapat meningkatkan harga diri. Pekerjaan terbukti berdampak positif bagi mereka. Semua aspek tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk terapi bagi penderita skizofrenia. Namun, ada kendala yang dialami penderita skizofrenia dalam mencari dan mempertahankan pekerjaan. Salah satu permasalahan utamanya adalah stigma yang masih melekat di masyarakat. Stigma sendiri dikonseptualisasikan menjadi tiga masalah, yaitu; pengetahuan (ketidaktahuan dan informasi yang salah), sikap (praduga) dan perilaku (diskriminasi). Dengan kondisi tersebut, penderita skizofrenia biasanya tidak terbuka tentang penyakitnya dan tidak mendapatkan akomodasi yang memadai

Work is a fundamental aspect for everyone to improve welfare. This also applies to schizophrenics, working is not only a way to make money but also a part of social life, acceptance, appreciation and so on that can increase self-esteem. Work has proven to be positive for them. All these aspects can be said as a form of therapy for people with schizophrenia. However, there are obstacles that schizophrenics experience in finding and keeping a job. One of the main problems is the stigma that is still attached to society. Stigma itself is conceptualized into three problems, namely; knowledge (ignorance and misinformation), attitudes (presumptions) and behavior (discrimination). With these conditions, schizophrenics are usually not open about their illness and do not get adequate accommodation"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra
"Pelayanan ibu hamil yang sesuai standar di Indonesia hanya sekitar 19%. Penelitian ini untuk
mengevaluasi pelaksanaan pelayanan antenatal terpadu di Puskesmas perkotaan di wilayah
Kota Tangerang Selatan. Analisis dilakukan melalui kualitas dokumentasi pelayanan
antenatal atau antenatal care (ANC) di Puskesmas serta alternatif solusi perbaikan kualitas
ANC melalui model monitoring pelayanan antenatal berbasis teknologi informasi. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan mengambil pemberi layanan
antenatal serta penerima layanan antenatal di Puskesmas wilayah Kota Tangerang Selatan.
Penelitian menunjukkan bahwa kualitas pencatatan masih kurang lengkap. Permasalahan
utama dari kurangnya kualitas tersebut adalah beragamnya dokumentasi yang harus diisi
secara manual oleh Bidan. Survei terhadap penerima pelayanan yaitu ibu hamil,
menunjukkan bahwa ketepatan waktu kedatangan ibu di Puskesmas dipengaruhi oleh faktor
sosial seperti: status pekerjaan, penghasilan, mengetahui alasan kedatangan ANC, adanya
penjelasan diagnosis, dan jenis pencatatan jadwal ANC. Sedangkan faktor yang
mempengaruhi pelayanan sesuai standar adalah pendidikan, status pekerjaan, dukungan
komunitas (kader) dan dukungan dari Bidan. Hasil ini merekomendasikan penggunaan
teknologi informasi dalam pelaksanaan monitoring pelayanan antenatal terpadu
direkomendasikan agar meningkatkan efektifitas dan efisiensi pekerjaan yang dijalankan saat
ini. Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang aspek sosial dan teknikal yang
mempengaruhi kesiapan Puskesmas dalam mengadopsi Sistem Teknologi Informasi.
Mayoritas Bidan dan Kader di Puskesmas wilayah Kota Tangerang Selatan telah siap untuk
menggunakan sistem monitoring pelayanan antenatal berbasis teknologi informasi.
Sementara dari hasil pengujian keberpakaian menggunakan metode System Usability Scale
terhadap desain sistem monitoring dan registrasi ibu hamil (SIMORI) memperlihatkan bahwa
desain tersebut dapat diterima oleh pengguna. Kesimpulan dari penelitian ini adalah model
monitoring antenatal care terpadu berbasis Teknologi Informasi seperti sistem monitoring
dan registrasi ibu hamil (SIMORI) yang di desain sesuai kebutuhan pengguna. Sistem ini
direkomendasikan untuk mengintegrasikan proses pelayanan antenatal, mempermudah
proses monitoring standar pelayanan antenatal di Puskesmas, dan pemantauan sendiri oleh
ibu hamil.
Currently, only 19% of pregnant women in Indonesia have received the minimum standard
for antenatal care (ANC). Thus, the objective of this study is to evaluate the quality of ANC
services in South Tangerang District, an urban area of Banten Province through measuring
the quality of ANC documentation and factors related to the quality of ANC. Analysis of
ANC service standards through the evaluation of ANC documentation in Puskesmas was
carried out to provide a positive contribution to the government as well as health
organizations and offer an alternative solutions to improve the quality of ANC standards
through designing a monitoring and registration system for pregnancy named SIMORI. This
research is a descriptive study with qualitative and quantitative approaches. The participants
of this study were health workers who directly related to the ANC services such as health
management consist of 70 midwives, 140 community health workers and 207 pregnant
women who visited the Government Primary Health Care of South Tangerang District for
ANC. The result of the study shows that the quality of the ANC documentation in cohort
book is still poor with only 38% of the records completely filled by the midwives. The main
problems in the current ANC monitoring process from the midwives perspective are the
numbers of book that must be filled and the high workload due to the large number of
patients. Meanwhile, from the perspective of pregnant women, the result shows that the
punctuality of ANC visit in urban Puskesmas is strongly related to the social factors such as
employment status, awareness to know the reason for ANC visit, the reminder usage and
diagnosis information from midwife. While factors related to the basic standard for ANC
were related to level of education, environmental support from community health workers,
and working status. Furthermore, the health providers and pregnant women readiness for
eHealth implementation shows positive results where most of the health workers are ready
to implement an electronic monitoring system for pregnant mother. The conclusion of this
study is that the design of a monitoring and registration system for pregnant women
(SIMORI) can be recommended to integrate the antenatal, to improve the monitoring process
for minimum standard of ANC and to self-monitored system for pregnant women"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Franciscus Adi Prasetyo
"Fokus kajian penelitian ini adalah membahas tentang transformasi orang dengan schizophrenia dari sembuh ke pulih melalui kemampuan pengendalian diri. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kemampuan pengendalian diri yang dikuasai oleh orang dengan schizophrenia dapat menghantarkannya mencapai pemulihan diri yang diperoleh melalui latihan mengelola pikiran, perasaan, dan tindakannya. Perubahan yang dicapai orang dengan schizophrenia setelah pulih meliputi perubahan cara pandang terhadap schizophrenia, rasa nyaman hidup bersama schizophrenia, kemampuan mengelola perilaku, memiliki empati, mampu beraktivitas, memiliki pengetahuan tentang gangguannya. Orang dengan schizophrenia memiliki strateginya masing-masing untuk mengembangkan kemampuan pengendalian diri sebagai cara mempertahankan pemulihan jangka panjangnya.

The main fokus of this research is discusses the transformation of people with schizophrenia from heal to recovery through sself-control abilities. This research is qualitative research with a case study approach. The results of this study prove that self-control abilities of person with schizophrenia can help him achieve self-recovery through managing his thought, feeling, and behavior. Some changes achieved by people with schizophrneia after recovery include changes in perspective on schizophrenia, feeling confortable living with schizophrenia, able to manage behavior, having emphaty, being able to activity in his commnity, having knowledge of schizophrenia. People with schizophrenia have different strategies to develop their self-control ability as a way to maintain their long-term recovery.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>