Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 224720 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Maulida Adhiningsih
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang pergeseran hubungan Kadin dengan negara di masa Orde Baru dan masa reformasi. Argumen dari penelitian ini adalah bahwa telah terjadi pergeseran dalam hubungan Kadin dengan negara di masa Orde Baru dan reformasi dari bentuk predation ke mutual hostage. Pergeseran hubungan yang terjadi dipicu oleh pergantian struktur politik sebagai antecendent condition terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan studi literatur. Adanya perubahan struktur politik yang lebih demokratis memberikan kesempatam bagi Kadin selaku asosiasi puncak di sektor bisnis untuk berkembang ke arah yang lebih otonom. Tingkat kemandirian Kadin juga didukung oleh semakin melemahnya dominasi negara, sehingga Kadin tidak lagi didominasi oleh kepentingan-kepentingan negara. Karakter negara yang tidak lagi mendominasi mempengaruhi Kadin untuk lebih berkembang menjadi asosiasi bisnis yang lebih otonom. Kemudian, dengan adanya perubahan struktur politik memunculkan beberapa perubahan dalam urusan internal Kadin, salah satunya ialah pemilihan jabatan Ketua Umum yang menjadi lebih demokratis. Berubahnya sistem tersebut memunculkan faksi-faksi dalam internal Kadin yang kemudian turut mempengaruhi hubungan Kadin dengan negara serta preferensi kepentingannya. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor yang turut mempengaruhi pergeseran hubungan kelompok bisnis dengan negara diantaranya ialah karakter negara, karakter kelompok bisnis (dalam hubungannya dengan negara) serta kondisi internal kelompok bisnis.

ABSTRACT
This thesis discussed about shifting in state business relations: Study case Indonesian Chamber of commerce and Industry in New Order Era and Reform Era. The argument of this study is, has been shifting in state business relation in New Order Era and Reform era from predation to Mutual Hostage relation. The triggered of shifting happen because political structure has changed, Politcal Stucture as anticendent codition from this process. This thesis used qualitative and literature study method. The findings of this study indicate that the factors that caused the shift is character of the state, bussines association character (From this relation to state) and internal of business association. In the reform era, there was a change in political structure to become more democratic than the new order era, in this era gave space for business association to be more autonomous. When domination of the state is decreased, make kadin freely from state interests. At the end, this factor encourage Kadin to develop into an autonomous business association. when political structure has changed, making the internal Kadin more democratic than before. At the end, the process triggered the emergence of factions within the Kadin. This process influenced their relations with the state and their interests."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Renata R.I.S.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S8701
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta Kamar Dagang dan Industri Indonesia 1997,
380.139598 IND h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Satria Utama
"Penelitian ini menjelaskan tentang faktor penentu terjadinya pergeseran dominasi elit lokal dari aktor aristokrat Sasak kepada kelompok Tuan Guru NW dalam pilkada NTB pasca Orde Baru. Secara umum, pergeseran elit lokal pasca kejatuhan rezim Orde Baru terjadi akibat adanya kekosongan dominasi struktur pemerintah pusat dan kelembagaan partai politik di daerah yang memberi ruang aktor lokal untuk mendominasi melalui ikatan-ikatan etnis untuk menguasai struktur pemerintahan di daerah (Vel, 2001; Buehler, 2007; MacDougall, 2007; Toha, 2012; Tasanaldy, 2012; Choi, 2014). Di sisi lain, kekosongan aktor pemerintah pusat mendorong adanya perubahan peran elit agama yang terlibat dalam politik (Kingsley, 2014; Fahrrurozi, 2018). Fenomena pergeseran dominasi aktor aristokrat Sasak kepada kelompok Tuan Guru di NTB menunjukkan hal yang berbeda. Kendati hilangnya dominasi rezim Orde Baru, akan tetapi dominasi dari aktor yang memiliki kedekatan pada struktur kekuasaan di pemeritah pusat mampu mendominasi kontestasi politik elektoral di daerah. Di sisi lain, ikatan etnis hanya menjadi media penguat perbedaan identitas kelompok yang bersaing, bukan sebagai penentu kemenangan aktor. Justru faktor utama yang menyebabkan adanya pergeseran dominasi elit di NTB yakni kapasitas dari aktor sentral dan institusi informal yang memiliki kedekatan dengan beragam aktor lain di daerah. Dengan kata lain, kehadiran aktor elit agama dalam aktivitas politik merupakan cerminan dari ketiadaan kompetitor dari luar kalangan elit agama yang memiliki kapasitas aktor dan kelembagaan informal yang kuat di daerah. Studi ini menggunakan teori struktur kekuasaan masyarakat (Knoke, 1990) dan teori kelembagaan informal (Helmke & Levitsky, 2002) sebagai alat analisis. Berdasarkan penggunaan teori tersebut, pergeseran elit lokal di NTB terjadi akibat adanya kapasitas aktor sentral yang dimiliki kelompok Tuan Guru NW yang mampu memanfaatkan struktur informal Nahdlatul Wathan melalui pilkada langsung pada tahun 2008, 2013 dan 2018. Di pihak lain, kelompok aristokrat Sasak hanya terfokus pada aktor tanpa menggunakan kelembagaan informal dalam membentuk integrasi dan koordinasi guna mencapai tujuan bersama. Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan aktor aristokrat Sasak hanya mampu mendominasi dalam pemilihan kepala daerah melalui DPRD pada tahun 1998 dan 2003, sedangkan kelompok Tuan Guru NW memiliki dominasi dalam pilkada langsung tahun 2008, 2013 dan 2018.

This study explains the determinants of the shift of local elite domination from Sasak aristocratic actors to the group of Tuan Guru NW in the West Nusa Tenggara Elections post New Order. In general, the shift in local elites after the fall of the New Order regime occurred due to the emptiness of the dominance of the central government and political parties in the regions which gave local actors space to dominate through ethnic ties to control the governance structures in the regions (Vel, 2001; Buehler, 2007; MacDougall, 2007; Toha, 2012; Tasanaldy, 2012; Choi, 2014). On the other hand, the void of central government actors encourages a change in the role of religious elites involved in politics (Kingsley, 2014; Fahrrurozi, 2018). The phenomenon of Sasak aristocratic actor domination shifting to the Tuan Guru group in West Nusa Tenggara shows a different matter. Although there was a loss of dominance of the New Order regime, the dominance of actors who had a closeness to the power structure at the Soeharto regime was able to dominate electoral political contestation in the regions. On the other hand, ethnic ties only serve as a medium to reinforce the differences in the identities of competing groups, not as a determinant of actor's victory. It is precisely the main factor that causes a shift in dominance, namely the capacity of the central actor who has closeness with various other actors in the area. In other words, the presence of religious elite actors in political activities is a reflection of the absence of competitors from outside the religious elite who have strong informal actor and institutional capacity in the regions. This study uses the theory of community power structures (Knoke, 1990) and informal institutional theory (Helmke & Levitsky, 2002) as analytical tools. Based on the use of this theory, the shift in local elites in West Nusa Tenggara occurred due to the capacity of the central actors owned by the Tuan Guru NW group who were able to utilize the informal structure of Nahdlatul Wathan through direct elections in 2008, 2013 and 2018. On the other hand, Sasak aristocratic groups were only focused on actors without using informal institutions in forming integration and coordination in order to achieve common goals. This study shows that the ability of Sasak aristocratic actors was only able to dominate in parliament elections in 1998 and 2003, while the Tuan Guru NW group had dominance in the direct elections in 2008, 2013 and 2018."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54803
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lili Muhammad Romli
"Pada masa Orde Baru terjadi berbagai peristiwa penting yang melibatkan interaksi antara Islam dan Kristen di Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan terjadinya ketegangan antara Islam dan Kristen di Indonesia. Para pemimpin dari kedua belah pihak terlibat dalam pergumulan. H.M. Rasjidi muncul sebagai tokoh intelektual Muslim yang memberikan pandangannya mengenai hubungan kedua agama. Tesis ini membahas pandangan H.M. Rasjidi mengenai relasi Islam dan Kristen pada masa Orde baru. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana latar belakang pemikiran H.M. Rasjidi, bagaimana Rasjidi melihat relasi Islam dan Kristen serta bagaimana pandangan Rasjidi mempengaruhi wacana relasi Islam dan Kristen di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari tahapan heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber-sumber yang digunakan adalah arsip-arsip, karya-karya H.M. Rasjidi yang tersebar dalam bentuk buku, makalah, dan artikel di media massa, serta pemberitaan media massa sezaman.  Pendekatan yang digunakan adalah teori strukturasi dari Anthony Giddens yang memandang adanya dualitas struktur. Penelitian ini menemukan bahwa pandangan H.M. Rasjidi dipengaruhi oleh struktur Islam dan Barat. Adapun pandangan H.M. Rasjidi mengenai relasi Islam dan Kristen pada masa Orde Baru adalah terjadinya penyebaran agama Kristen kepada orang-orang Islam dengan menyalahgunakan diakonia. Selain itu terjadi kesalahpahaman orang Kristen terhadap orang Islam yang menyebabkan umat Kristen selalu menghalangi keinginan umat Islam untuk menerapkan Syariat Islam. Rasjidi menjunjung tinggi kebebasan beragama sebagai  kebebasan menjalankan suatu agama dalam satu komunitas tanpa diganggu oleh upaya penyebaran agama lain. Pandangan Rasjidi memiliki pengaruh baik di kalangan Muslim maupun non Muslim.

During The New Order Era, there were various important events involving the interaction between Islam and Christianity in Indonesia. These events reflect the tension and mistrust between the two religions. Numerous leaders from both religions took part in the struggle. H.M. Rasjidi emerged as a Muslim intellectual figure who gave his views on the relationship between the two religions. This thesis discusses Mohammad Rasjidi's views on the relationship between Islam and Christianity in Indonesia during the New Order era. The problem raised in this research is how the background of H.M. Rasjidi's thinking, how Rasjidi saw the relationship between Islam and Christianity and how Rasjidi's views influence the discourse on the relationship between Islam and Christianity in Indonesia. This study uses historical methods consisting of heuristic, criticism, interpretation and historiography. This thesis takes sources from archives and literature written by Mohammad Rasjidi, in the form of books, papers, and articles in the mass media, as well as mass media reports. This study uses a structuration approach from Anthony Giddens which views the duality of structure. This research found that H.M. Rasjidi’s view was influenced by Islamic and Western structures. According to H.M. Rasjidi, the interaction between Islam and Christianity in New Order era was characterized by the abuse of diakonia in order to spread Christianity among Muslims. In addition, there was miscommunication between Christians and Muslims. In addition, there were misunderstandings between Muslims and Christians  which caused Christians to always hinder the wishes of Muslims to implement Islamic law. Rasjidi upholds religious freedom as the freedom to practice a religion in one community without being disturbed by efforts to spread other religions. Rasjidi uphelds religious freedom as the freedom to practice a religion in one community without being disturbed by efforts to spread other religions. Rasjidi's views had influenced both Muslims and non-Muslims."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nia Namirah Hanum
"Di era modern, kehadiran beton tidak hanya sebagai sebuah material. Eksistensinya memicu untuk menggali kembali bagaimana sebuah inovasi teknologi mempengaruhi peradaban, khususnya dalam wacana arsitektural. Jika diaplikasikan ke dalam bangunan, beton dipandang tidak memiliki prinsip dan bentukan yang baku jika kita bersedia membuka pikiran lebih jauh bahwa setiap bangunan, yang mengandung beton maupun tidak, adalah hasil turunan dari berbagai parameter, yaitu kultural, sosio-politik, dan ekonomi. Brutalisme, adalah salah satu gaya arsitektur yang erat kaitannya dengan beton ekspos/polos. Namun dewasa kini bangunan yang memiliki struktur beton polos sangat banyak, termasuk di Indonesia. Hal yang dikritisi adalah bagaimana Brutalisme dikupas melalui kacamata penggunaan beton di Indonesia, saat sokongan teknologi dan peristiwa- peristiwa politik menjadi alasan pembangunannya. Dengan studi kasus Wisma Hayam Wuruk (1976) yang ditengarai sebagai salah satu gaya Brutalisme di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk menelisik kemunculan Brutalisme di Indonesia dengan penggunaan teknologi beton pada arsitektur modern dan pengaruh sosio-politik di era Orde Baru sebagai alat penelitian. Metode sejarah digunakan untuk menyajikan analisis terutama dalam menggambarkan beberapa peristiwa politik, yang dilakukan dalam bentuk deskriptif analitis untuk lebih menjelaskan kejadian dalam dimensi ruang dan waktu yang terjadi di masa lampau.

In the modern era, the presence of concrete is not merely as a material. Its existence triggers to rethinking on how a technological innovation affects civilization, especially in architectural discourse. If applied to buildings, concrete is deemed not to have a standard principle and form if we are willing to open our minds further that each building, whether or not containing concrete, is derived from various parameters, namely cultural, socio- political, and economic. Brutalism, is one of the architectural styles that is closely related to exposed concrete. But nowadays buildings that have plain concrete structures are very numerous, even in Indonesia. What was criticized was how Brutalism was peeled through the lens of concrete use in Indonesia, when technological support and political events became the reason for its development. With the case study of Wisma Hayam Wuruk (1976) which was suspected as one of the styles of Brutalism in Indonesia. This paper aims to explore the emergence of Brutalism in Indonesia with the use of concrete technology on modern architecture and socio-political influence in the New Order era as a research tool. Historical methods are used to present analysis, especially in describing several political events, carried out in descriptive analytical form to better explain events in the dimensions of space and time that occurred in the past."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T54105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Femmy Roeslan
"Orde Baru yang memegang kekuasaan selama lebih dari 30 tahun merupakan pemerintahan terlama dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Kemajuan ekonomi yang pesat pada era ini memungkinkan Indonesia bergeser dari kelompok negara berpenghasilan rendah pada pertengahan 1960-an menjadi kelompok berpenghasilan menengah pada awal 1990-an. Pada masa Orde Baru terjadi dua kali oil boom, yaitu pada tahun 1973/1974 dan 1979/80. Berkah minyak ini telah mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa Orde Baru telah membawa perubahan radikal dalam pemikiran ekonomi, dari yang awalnya relatif tertutup dan nasionalis menjadi lebih terbuka. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengulas dinamika perkembangan pemikiran ekonomi yang dipraktekkan di nusantara sejak masa pra-kolonial hingga Orde Baru; (2) menjelaskan peran dan kontribusi para pelaku dalam pembentukan ekonomi Orde Baru; (3) memaparkan dinamika kebijakan ekonomi Orde Baru selama masa pemulihan ekonomi dan bonanza minyak serta setelah berakhirnya bonanza minyak; dan (4) menguraikan dinamika kelembagaan ekonomi pada masa Orde Baru. Studi ini akan menggunakan pendekatan multi-disiplin, yaitu teori-teori ekonomi dan sejarah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemerintah Orde Baru merupakan aliansi tiga kelompok, yaitu teknokrat, militer dan kapitalis, di mana Soeharto telah berhasil memainkan perannya sebagai agent of change yang dengan sadar dan terencana mengendalikan ketiga kelompok tersebut. Penelitian ini juga menemukan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada era Orde Baru belum membawa perubahan secara struktural yang komprehensif karena pemerintah Orde Baru belum berhasil membangun institusi ekonomi dan politik yang bersifat inklusif.

The period of the New Order which held power for more than 30 years was the longest government regime in the history of post-independence Indonesia. The rapid economic progress of this era allowed Indonesia to shift from from a low- income group in the mid-1960s to a middle-income group in the early 1990s. During the New Order there were two oil booms, namely in the 1973/1974 and 1979/80 period. This blessing of oil has accelerated Indonesia's economic growth. Previous studies have shown that the New Order has brought about a radical change in economic thought, from being relatively closed and nationalist to being more open. This study aims to (1) examine the dynamics of the development of economic thought from pre-colonial times to the New Order; (2) explain the role and contribution of the 'actors' in the formation of the New Order economy; (3) reviewing the dynamics of the New Order's economic policies during the economic recovery period and followed by the oil bonanza, as well as after the oil bonanza; and (4) examine the dynamics of economic institutions during the New Order era. This study will exercise a multi-disciplinary approach, namely economic development and history theories. This study concludes that the New Order government was an alliance of three groups, namely technocrats, military and capitalists, in which Suharto had succeeded in playing his role as an agent of change who consciously and plannedly controlled those groups. This study also finds that Indonesia's economic development during the New Order era has not been able to conduct comprehensive structural changes because the New Order government was unable to build inclusive economic and political institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinckey Triputra
"Belajar dari kegagalan Soekarno yang administrasi pemerintahannya relatif tidak stabil disertai indikator ekonomi yang makin memburuk, Rezim Orde Baru memprioritaskan kestabilan politik yang dijadikan dasar untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua strategi ini dipromosikan kepada negara Barat yang sedang kuat sentimen anti-komunismenya guna menarik modal asing. Bagi rezim Soeharto, pengintegrasian struktur ekonomi nasional ke dalam pasar bebas dengan spirit Neoliberalisme (ekspansi modal global yang agresif dengan tuntutan membebaskan pasar dari segala intervensi), dilakukan dalam upaya meningkatkan legitimasi (pencapaian) ekonomi Orde Baru. Namun pada masa itu pun telah terdapat dilema, berupa upaya melindungi modal nasional dalam industri media yang antara lain dilakukan secara sepihak oleh Harmoko selaku Menteri Penerangan; serta terlibatnya bagian dari elite yang berkuasa dalam permodalan industri media (integrasi vertikal). Lebih jauh, pengintegrasian ke dalam pasar bebas ini juga membawa dilema berupa kerentanan terhadap arus informasi dan perubahan persepsi, misalnya (atau utamanya) terhadap perpindahan modal asing.
Penekanan pada kestabilan politik mendorong pemerintah Orde Baru melakukan kontrol preventif dan korektif yang menyeluruh terhadap pers di Indonesia, dalam bungkus hegemoni "Pers yang bebas dan bertanggung jawab", "Pers Pancasila" dan lain lain. Di luar TVRI, kelima stasiun TV swasta pertama dimiliki oleh anggota atau kroni bisnis Keluarga Cendana. Kontrol ini justru membuat mereka tidak dapat mengidentifikasi atau mengevaluasi berbagai persoalan yang mengancam kelangsungan rezim tersebut tepat pada waktunya. Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada tahun 1997, meningkatnya intensitas gerakan mahasiswa dan aktivis dengan alur informasi dari media alternatif (internet, jaringan berita kampus dan LSM) membantu aksi sosial jurnalis secara bertahap guna mengatasi hambatan struktural di ruang-ruang redaksi media cetak, radio dan TV. Perpindahan modal sebagai konsekuensi logis dari kerentanan pengintegrasian ke dalam pasar bebas, akhirnya ikut berkontribusi pada terjadinya the unthinkable Revolusi Mei 1998.
Jatuhnya Soeharto memulai suatu pemerintahan baru yang relatif lemah karena masih terasa kuatnya perlawanan elemen-elemen Civil Society menuntut perubahan di segala bidang. Pembubaran Departemen Penerangan oleh Abdurrahman Wahid membuat terdapatnya semacam kondisi lawlessness pada industri penyiaran, karena eksekutor dari Undang-Undang Penyiaran No 24/1997 tidak lagi eksis. Di tengah tuntutan akan demokratisasi sistem media, yang muncul kemudian hanyalah 5 stasiun TV komersial yang masih berlabel nasional, juga dengan prinsip-prinsip Neoliberalisme.
Sejalan dengan advokasi dari elemen-elemen Civil Society untuk menghasilkan Undang-Undang Penyiaran yang baru, bermunculanlah stasiun-stasiun TV lokal. Hal ini antara lain banyak dikaitkan dengan spirit desentralisasi sebagaimana yang tercermin pada Undang-Undang Otonomi Daerah. Rancangan Undang-Undang Penyiaran pun mengedepankan prinsip Diversity of Ownership dan Plurality of Content yang mendorong lahirnya stasiun-stasiun TV lokal, dan mengubah secara prinsipil istilah stasiun TV nasional menjadi sistem berjaringan.
Untuk memberikan dimensi historical situatedness, analisis disertasi ini dilakukan dalam konteks historis spesifik pada zaman Orde Baru hingga pascareformasi. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif terutama berdasarkan studi literatur dan wawancara mendalam di lapangan dengan nara sumber dari berbagai kalangan yang relevan pada industri penyiaran Indonesia dalam jumlah cukup besar.
Figure (Model) untuk menggambarkan Theoretical Framework (Kerangka Teori) dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa baik di Masa Orde Baru maupun Reformasi terdapat sejumlah dilema dalam industri penyiaran Indonesia yang terkait dengan spirit Neoliberalisme, pada 3 level, yakni: level struktur, organisasi, dan individu. Pada level struktur, baik di masa Orde Baru maupun Reformasi, keinginan mengintegrasikan atau membuka diri pada pasar bebas umumnya diikuti oleh keinginan melindungi modal nasional dari penetrasi dan ancaman modal global. Hal ini pada gilirannya juga menimbulkan dilema berupa monopoli oleh pemain nasional. Untuk mengimbanginya, Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran yang lahir di masa reformasi, mendorong keberagaman kepemilikan pada TV-TV lokal sekaligus membatasi area jangkauan sebuah stasiun televisi pada ambang yang akan ditentukan kemudian. Pada level organisasi, di masa Orde Baru, dilema antara fungsi ekonomis dan ideologis, umumnya dimenangkan oleh fungsi ekonomis sejalan dengan kuatnya kontrol politik oleh pemerintah. Hal tersebut, berimbas pada level individu yang membuat praktisi atau pekerja media relatif lebih menjadi "buruh industri media" yang tunduk pada seluruh keinginan dan kepentingan modal yang overlapped dengan kepentingan kontrol pemerintah.
Sekalipun TV-TV lokal di Masa Reformasi relatif tidak memiliki hubungan langsung dengan modal global, namun mereka juga termakan imbas kekuatan Neoliberalisme. Misalnya, pada level organisasi, mereka juga relatif tergantung pada dominasi produk-produk yang dianggap sebagai sebuah super culture terhadap produk-produk lain, baik itu dengan melakukan peniruan atau adaptasi dari produk global, yang pengenalan atau popularitasnya dijembatani oleh TV-TV besar yang telah lebih dulu bersiaran di Jakarta. Selain soal selera global ini, standar keberhasilan TV lokal pun umumnya didasarkan pada fungsi-fungsi ekonomis, yang mengacu pada spirit Neoliberalisme seperti rating. Begitu pula dalam pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, referensi terhadap keahlian dan kebaruan, serta pembelian dan perawatan alat-alat juga mengacu pada ukuran-ukuran dan pasar global.
Di sisi lain, harapan akan munculnya TV Publik Lokal dan TV Komunitas yang dapat menjadi alternatif untuk memutus terkaman imbas kekuatan modal global dalam berbagai level tersebut, masih belum menjadi sebuah realitas yang menjanjikan. Untuk itulah diperlukan sebuah intervensi politik dari publik, melalui Komisi Penyiaran Indonesia.
Jika tidak terdapat contoh-contoh praktek alternatif seperti itu, maka pada level individu, atau lebih spesifik dalam dunia jurnalistik, maka jurnalis Indonesia dikhawatirkan tidak lagi merupakan insan kreatif, namun hanya merupakan one-dimensional man yang dalam segala arah tunduk pada keinginan dan kepentingan pemodal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D587
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinckey Triputra
"ABSTRACT
Penelitian bertujuan mengungkap bagaimana ideologi neoliberalisme mempengaruhi struktur dan perilaku industri penyiaran, dalam hal ini televisi, baik pada masa orde baru maupun pada pasca revolusi Mei 1998. Dengan pendekatan ekonomi politik penelitian menyimpulkan bahwa pendirian industri penyiaran didorong semangat neoliberalisme alih-alih demokratisasi yang mengutamakan keberagaman isi dan kemajemukan kepemilikan"
Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP UI, 2005
MK-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>