Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137272 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frisky Maulida
"Background: Infection has been identified as a major cause of death and also morbidity in SLE patients. Studies in SLE patients have shown several risk factors that contribute to fungal infections or infections in general, including the risk of certain pharmacological treatments such as corticosteroids and cytotoxic agents, as well as the effects of intrinsic factors such as CD4 + counts.
Methods: A total of 20 medical records of SLE patients with fungal infections were obtained, and a case control study was carried out with age and gender suitable for a control group of 20 patients. Data obtained from the Cipto Mangunkusumo National Hospital. The confirmation diagnosis of SLE was based on the 2012 ACR criteria. Patients with comorbidities of various chronic diseases (diabetes, HIV, CKD) were excluded. In identifying risk factors, Chi-square and Mann-Whitney U-tests were used.
Results: The maximum corticosteroid dose of 24 (4-250) mg over the past 1 year was statistically significant with the development of fungal infections (P = 0.047). Lower ALC (748 (99-3312)) compared to the control group (1635 (259-2743)) was also significantly correlated with the occurrence of fungal infections in patients diagnosed with SLE.
Conclusion: Identifying predisposing factors in SLE patients is important to prevent the occurrence of serious fungal infections which are one of the main causes of death in SLE patients.

Latar Belakang: Infeksi telah diketahui sebagai penyebab utama kematian dan juga morbiditas pada pasien SLE. Studi pada pasien SLE telah menunjukkan beberapa faktor risiko yang berkontribusi terhadap infeksi jamur atau infeksi secara umum, termasuk risiko pengobatan farmakologis tertentu seperti kortikosteroid dan agen sitotoksik, serta efek faktor intrinsik seperti jumlah CD4 +.
Metode: Total 20 catatan medis pasien SLE dengan infeksi jamur diperoleh, dan studi kasus kontrol dilakukan dengan usia dan jenis kelamin yang cocok untuk kelompok kontrol yang terdiri dari 20 pasien. Data diperoleh dari Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo. Diagnosis konfirmasi SLE didasarkan pada kriteria ACR 2012. Pasien dengan komorbiditas berbagai penyakit kronis (diabetes, HIV, CKD) dikeluarkan. Dalam mengidentifikasi faktor-faktor risiko, Chi-square dan Mann-Whitney U-test digunakan.
Hasil: Dosis kortikosteroid maksimum 24 (4 - 250) mg selama 1 tahun terakhir bermakna secara statistik dengan perkembangan infeksi jamur (P = 0,047). ALC yang lebih rendah (748 (99-3312)) dibandingkan dengan kelompok kontrol (1635 (259-2743)) juga secara signifikan berkorelasi dengan terjadinya infeksi jamur pada pasien yang didiagnosis dengan SLE.
Kesimpulan: Mengidentifikasi faktor predisposisi pada pasien SLE penting untuk mencegah terjadinya infeksi jamur serius yang merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien SLE.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghefira Nur Imami
"Kepatuhan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) berperan penting dalam mencapai aktivitas penyakit yang terkontrol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi ketidakpatuhan, faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan, dan hambatan minum obat pada pasien LES. Data potong lintang diperoleh dari pasien Poliklinik Alergi-Imunologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo secara konsekutif pada Juli–Agustus 2023. Dilakukan evaluasi terhadap ketidakpatuhan pengobatan (self-report medication-taking behaviour measure for thai patients scale; MTB-Thai), komorbiditas, jumlah obat, aktivitas penyakit (skor MEX-SLEDAI), depresi (Hospital Anxiety and Depression Scale; HADS), dan hambatan lain dalam pengobatan (Identification of Medication Adherence Barriers Questionnaire; IMAB-Q 30). Data kategorik dianalisis dengan uji Chi-square atau Fisher, sedangkan data numerik dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Dari 100 pasien LES dewasa, mayoritas merupakan perempuan (97%), dewasa muda (61%), menamatkan pendidikan tinggi (48%), dan memiliki aktivitas penyakit remisi˗ringan (90%). Median (IQR) jumlah obat yang dikonsumsi 6 (5–8). Prevalensi ketidakpatuhan minum obat mencapai 27%. Tingkat pendidikan pasien ditemukan berhubungan dengan ketidakpatuhan (pendidikan menengah vs. pendidikan tinggi, 59,3% vs. 40,7%; p=0,035). Pasien yang tidak patuh memiliki skor hambatan minum obat yang lebih tinggi secara signifikan (p<0,001). Hambatan yang paling banyak dialami pasien yang tidak patuh adalah kekhawatiran terhadap efek samping dan mudah terdistraksi dari mengonsumsi obat-obatan.

Medication adherence among patients with systemic lupus erythematosus (SLE) is essential to achieve controlled disease activity. This study aimed to investigate the prevalence of non-adherence, associated factors, and medication adherence barriers among patients with SLE. Cross-sectional data were obtained from consecutive patients at Allergy-Immunology Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital between July–August 2023. Evaluation was conducted on medication non-adherence (self-report medication-taking behavior measure for thai patients scale), comorbidities, number of medications, disease activity (MEX-SLEDAI score), depression (Hospital Anxiety and Depression Scale), and other adherence barriers (Identification of Medication Adherence Barriers Questionnaire-30). Categorical data were analyzed with Chi-square or Fisher test, while numerical data were analyzed with Mann-Whitney test. Of 100 adult SLE patients, most were female (97%), young adult (61%), completed higher education (48%), and had remission˗mild disease activity (90%). The median (IQR) number of medications consumed was 6 (5–8). The prevalence of medication non-adherence was 27%. Patient's educational level was found to be associated with non-adherence (secondary education vs. higher education, 59.3% vs. 40.7%; p=0.035). Non-adherent patients had significantly higher medication adherence barrier scores (p<0.001). The most common barriers experienced by non-adherent patients were concerns about harmful side effects and easily distracted from taking medications."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maula Utrujah
"Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit kronis yang dapat dirasakan oleh pasien dengan SLE seumur hidup. Manifestasi klinis dari SLE berbeda-beda pada tiap individu, sehingga dibutuhkan perawatan yang tepat agar komplikasi yang parah dapat diminimalisasi. Discharge planning merupakan solusi untuk perawatan anak ketika sudah pulang ke rumah. Discharge planning bertujuan untuk memberikan  pembekalan perawatan di rumah sehingga orangtua atau keluarga dapat merawat pasien secara mandiri. Karya Ilmiah ini ditulis dengan tujuan memberikan informasi tentang hasil implementasi discharge planning pada anak dengan SLE. Metode yang digunakan untuk oenulisan karya ilmiah ini menggunakan studi kasus pada anak dengan SLE yang diberikan intervensi discharge planning sejak pasien pertama kali masuk dan dilakukan pemantauan selama lima hari  dengan pemberian asuhan keperawatan. Hasil discharge planning menunjukkan peningkatan keterampilan orangtua dan keluarga dalam merawat anak dengan SLE yang dibuktikan dengan hasil observasi selama masa perawatan. Sehingga, discharge planning tepat digunakan untuk pasien dengan SLE dalam perawatan lanjutan di rumah sehingga pasien dengan SLE dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan mencegah kejadian eksaserbasi berat dan komplikasi yang parah. Discharge planning yang dilakukan memberikan dampak yang positif bagi pasien dan keluarga.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a chronic disease. Clinical manifestations of SLE vary in each, so proper care is needed so that severe complications can be minimized. Discharge planning is a solution for childcare when they have returned home. Discharge planning aims to provide debriefing at home so parents or families can take care of patients independently. This Scientific Work was written to provide information about the results of discharge planning implementation in children with SLE. The method used for writing scientific papers uses case studies on children with SLE who are given discharge planning intervention since the patient first entered and monitored for five days with the provision of nursing care. The discharge planning results show an increase in parental and family skills in caring for children with SLE as evidenced by the results of observation during the treatment period. Thus, discharge planning is appropriate for patients with SLE in continuing care at home so that patients with SLE can improve their quality of life and prevent severe exacerbations and complications. Discharge planning carried out had a positive impact on patients and families.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gestana Andru
"Latar Belakang. Gangguan tidur sering dijumpai pada penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (LES). Tidur yang buruk berdampak pada kualitas hidup yang rendah serta eksaserbasi akut dari inflamasi akibat LES. Penelitian mengenai kualitas tidur yang buruk pada pasien LES serta faktor - faktor yang berhubungan di Indonesia masih terbatas.
Tujuan. Mengetahui proporsi kualitas tidur yang buruk pada pasien LES di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan.
Metode. Metode yang digunakan adalah studi potong lintang, melibatkan 166 subjek LES berusia minimal 18 tahun yang berobat ke poliklinik Alergi Imunologi RSCM sejak Januari 2019. Subjek mengisi secara mandiri kuesioner kualitas tidur menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index(PSQI) dan kuesioner gejala depresi dan ansietas menggunakan Hospital Anxiety Depression Scale(HADS). Skala nyeri dinilai mengggunakan Visual Analogue Scale(VAS), aktivitas penyakit LES dinilai menggunakan Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000(SLEDAI-2K). Subjek menjalani pemeriksaan imbalans otonom yang dinilai menggunakan rasio Low Frequency/High Frequency (LF/HF) dari Heart Rate Variability(HRV), dan pemeriksaan kadar high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP).Analisis bivariat menggunakan uji Chi Squaredan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil. Rerata untuk skor PSQI global pada 166 subjek sebesar 9,36 (3,61) dengan proporsi kualitas tidur buruk sebanyak 82,5%. Pada analisis bivariat didapatkan dua variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk yaitu gejala depresi (OR: 5,95; p: 0,03) dan gejala ansietas (OR: 2,44; p: 0,05). Regresi logistik tidak menunjukkan variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk.
Simpulan.Proporsi kualitas tidur buruk pada pasien LES sebesar 82,5%. Tidak terdapat faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk pada LES.

Background. Sleep disturbances are often seen in systemic lupus erythematosus (SLE). Poor sleep will lead to poor quality of life and frequent exacerbations of SLE. However, studies about poor sleep quality in SLE patients as well as the contributing factors are limited.
Objectives. The aim of this study is to determine the proportion of poor sleep quality in SLE patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM) and to assess its contributing factors.
Methods. This study used a cross sectional design involving 166 subjects of SLE patients from Immunology clinic since January 2019. The Pittsburgh Sleep Quality Index was used to assess sleep quality of subjects. Depression and anxiety symptoms was assesed using the Hospital Anxiety Depression Scale (HADS). Pain scale was assesed using Visual Analogue Scale (VAS) and SLE activity was assessed using Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000 (SLEDAI-2K). Autonomic imbalance was assesed using Low Frequency/High Frequency(LF/HF) ratio from Heart Rate Variability(HRV), and subjects went through high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP) test. Bivariate analysis using Chi Square test and multivariate analysis using logistic regression.
Result.The mean global score for the PSQI among 166 subjects was 9,36 (3,61). The proportion of poor sleep quality was 82.5%. There were two variables with significant association including depressive symptoms (OR 5.95; p 0.03) and anxiety symptoms (OR 2.44; p 0.05). There were no variable with significant association through logistic regression.
Conclusion. The proportion of poor sleep quality from SLE patients in RSCM was 82.5%. This study did not find any factors associated with poor sleep quality in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Choirurrizqi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah sebuah penyakit autoimun yang memicu inflamasi kronik sistemik yang umumnya terjadi pada perempuan usia reproduktif. SLE berpotensi mempengaruhi luaran reproduksi perempuan melalui berbagai mekanisme sejak di masa pra-konsepsi hingga pasca konsepsi. Pasien SLE memiliki karakter yang berbeda-beda baik dari aspek demografik, maupun dari karakter kliniknya. Karakter pasien SLE yang bervariasi kemungkinan berperan dalam luaran maternal dan janin pada penderita SLE yang hamil. Tatalaksana SLE yang diterima oleh pasien tentunya bervariasi sesuai dengan berat ringannya SLE. Seorang pasien SLE seharusnya mencapai tahapan remisi minimal 3 bulan dengan menggunakan terapi yang minimal sebelum diizinkan untuk hamil. Meski demikian kemungkinan terjadinya komplikasi kehamilan yang mempengaruhi luaran ibu maupun janin tentunya masih sangat mungkin terjadi.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara karakter pasien SLE dengan luaran maternal dan janin.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, Penelitian ini telah dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi bekerja sama dengan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Imunologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia Divisi Immunoendokrinologi RSCM tahun 2019-2020.
Hasil: Dari 120 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi didapatkan 104 orang dengan kriteria jenis SLE Neuro 52,9%, Hematologi 1,9%, Muskulo 28,8%, dan Renal 16,3%. Terdapat hubungan antara SLE dengan luaran Neonatal (IUFD, PJT, dan Abortus), dan terdapat hubungan antara SLE dengan Preeklampsia.
Kesimpulan: Penyakit lupus mempengaruhi wanita terutama pada usia reproduksi yang dimulai dengan mempengaruhi siklus menstruasi seorang wanita penderita, yang selanjutnya dipengaruhi oleh penggunaan jenis terapi sebelum pasien mengalami kehamilan. Dan apabila pasien tidak mematuhi pemakaian obat dapat mengakibatkan terjadi luaran ibu dan bayi karena pengaruh penyakit lupus tersebut.

ABSTRACT
The focus of this study is the freshman student of Faculty of Psychology at University of Indonesia experience of acquiring, evaluating and using information, when they enroll in "Program Dasar Pendidikan Tinggi (PDPT)" 2003. The purpose of this study is to understand how freshman students acquire, evaluate and use information. Knowing this will allow library to identify changes should be made to improve user education program at University of Indonesia. This research is qualitative descriptive interpretive. The data were collected by means of deep interview. The researcher suggests that library should improve the user education program and provide facilities which can help students to be information literate.
Introduction: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is an autoimmune disease that triggers chronic systemic inflammation commonly occurs in women of reproductive age. SLE is a potential influence on women's reproductive outcomes through a variety of mechanisms from pre-conception to post-conception. SLE patients have different characters both from the demographic aspects, and the clinical characters. The varied character of SLE patients may have a role in maternal and fetal outcomes in pregnant SLE patients. The management of SLE received by patients varies according to the severity of SLE. The patient should reach at least 3 months' remission using minimal therapy before being allowed to become pregnant. Nevertheless the possibility of pregnancy complications that affect both maternal and fetal outcomes is likely possible to occur.
Aim: To determine the relationship between the character of SLE patients and maternal and fetal outcomes.
Method: This is an observational analytic research using a cross sectional design, conducted in the Obstetric and Gynecology Department in collaboration with the Internal Disease Department Division of Immunology, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia Division of Immunoendocrinology, RSCM 2019-2020.
Result: From 120 research subjects who met the inclusion criteria, 104 people were obtained with SLE Neuro 52.9%, Hematologist 1.9%, Muskulo 28.8%, and Renal 16.3% criteria. There is a relationship between SLE and neonatal outcomes (IUFD, PJT, and Abortion), and there is a relationship between SLE and preeclampsia.
Conclusion: Lupus affects women especially in reproductive age starts by affecting the menstrual cycle of a sufferer, which is further influenced by the use of type of therapy before the patient have a pregnancy. The result in maternal and infant outcomes due to lupus, caused if the patient does not obey when using the medicines.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marantika, Fajar Wati
"Di Indonesia, belum ada data pasti mengenai angka insidens dan jumlah kasus penyakit Lupus Eritematosus Sistemik. Penelitian ini bertujuan untuk dijelaskannya analisis spasial lupus eritematosus sistemik di provinsi DKI Jakarta dan kota Depok, Jawa Barat dan identifikasi faktor lingkungan fisik (kawasan industri, suhu, kelembapan, curah hujan, kecepatan angin dan lamanya penyinaran matahari) terhadap jumlah kasus di kota/kabupaten yang memiliki jumlah kasus terbanyak. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan studi ekologi yang menggunakan analisis univariat, uji korelasi dan analisis spasial. Hasil penelitian ini menemukan tidak ditemukan adanya hubungan signifikan faktor lingkungan fisik pada kejadian lupus eritematosus sistemik tahun 2014-2018. Yayasan Lupus Indonesia atau yayasan autoimun lainnya dapat memberikan edukasi kepada masyarakat awam dan odapus terkait gambaran angka insidens kejadian lupus dan faktor lingkungan yang dapat menjadi pencetus. Selain itu, peneliti lain dapat menggunakan penelitian ini sebagai data dasar dan disarankan untuk memperkecil unit analisis agar mendapatkan hasil yang lebih komprehensif. Serta untuk pemilik industri harus memperhatikan dampak lingkungan, karena dapat mempengaruhi perubahan lingkungan yang berdampak pada tercetusnya penyakit di masyarakat.

In Indonesia, there are no data regarding the incidence rate and the number of cases of Systemic Lupus Erythematosus. This study aims to explain the spatial analysis of systemic lupus erythematosus in DKI Jakarta province and Depok city, West Java and identify physical environmental factors (industrial area, temperature, humidity, rainfall, wind speed and duration of solar radiation) to the number of cases in cities/districts which has the highest number of cases. This study uses secondary data with ecological studies using univariate analysis, correlation testing and spatial analysis. The results of this study found there was no significant association physical environmental factors with the incidence rate of systemic lupus erythematosus. The Indonesian Lupus Foundation or other autoimmune foundations can provide education to ordinary people and lupus patients regarding the count of lupus incidence and environmental factors that can trigger it. In addition, other researchers can use this research as baseline data and are advised to reduce the analysis unit in order to obtain more comprehensive results. And for industry owner must pay attention to environmental impacts, because it can affect environmental changes that have an impact on the emergence of diseases in the community."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pernanda Selpia S.
"Latar Belakang. Lupus Eritematosus Sistemik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang banyak terjadi pada usia reproduktif. Kehamilan pada LES adalah kehamilan risiko tinggi dengan kemungkinan luaran kehamilan buruk pada maternal dan fetal/neonatal. Belum ada data dalam 5 tahun terakhir di RSCM mengenai proporsi luaran kehamilan buruk tersebut.
Tujuan. Mengetahui proporsi luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal pada pasien LES di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang berhubungan
Metode. Dilakukan studi cohort retrospective melalui telaah rekam medis pada pasien LES mulai 1 Januari 2015-Mei 2021. Dilakukan analisis bivariat dengan chi square untuk variabel kategorik. Variabel yang bermakna selanjutnya dilakukan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan menggunakan SPSS.
Hasil. Dari 173 subjek dengan 150 kehamilan, didapatkan luaran kehamilan buruk maternal sebanyak 47,4% (flare 43,3%, preeklamsia/eklamsia 12,1%, kematian maternal 3,6%). Luaran kehamilan buruk fetal/neonatal 65,3% (kelahiran prematur 31,2%, BBLR 32%, still birth 8,1%, SGA 34%, IUGR 16,2%, abortus 19,5%). Berdasarkan analisis multivariat terdapat 2 faktor yang berhubungan dengan kejadian luaran kehamilan buruk maternal yaitu aktivitas LES tinggi OR: 2,25 (IK95% [1,199-4,225], p=0,012) dan hipertensi OR 3,007 (IK95% [1,425-6,341), p=0,004). Sedangkan hasil analisis multivariat pada luaran kehamilan buruk fetal/neonatal, ditemukan aktivitas LES tinggi OR: 2,40 (IK95% [1,041-5,534], p=0,040) dan hipertensi OR: 5,988 (IK95% [1,640-21,870], p=0,007) berhubungan dengan kejadian luaean kehamilan buruk fetal/neonatal.
Kesimpulan. Proporsi luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal pada pasien LES di RSUPN Cipto Mangunkusumo cukup tinggi. Aktivitas LES tinggi dan hipertensi merupakan faktor yang berhubungan dengan luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal.

Background. Systemic Lupus Eritematosus is a chronic systemic inflamatory disease found in reproductive age. Pregnancy in SLE patients is a high risk pregnancy mainly with the possibility of adverse outcome in maternal and fetal/neonatal. There is no data in last 5 years about proportion of adverse pregnancy outcome at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Aim. To determine proportions of adverse pregnancy outcomes of maternal and fetal/neonatal in Systemic Lupus Eritematosus patients at Cipto Mangunkusumo Hospital and it’s related factors.
Method. A retrospective cohort study was done through medical records study in medical record installation at SLE Patient from 1 January 2015 to Mei 2021. Bivariate analysis was done with chi square for categorical variable. Statistically significant variable then analyzed with multivariate analysis with logistic regression analysis. Bivariat and Multivariate analysis was done using SPSS.
Result. Of the 173 subjects with 150 pregnancies, the maternal outcome was 47.4% (43.3% flare, 12.1% preeclampsia/eclampsia, 3.6%). Fetal/neonatal poor pregnancy outcome was 65.3% (31.2% premature birth, 32% LBW, 8.1% still birth, 34% SGA, 16.2% IUGR, 19.5% abortion). Based on multivariate analysis, there were 2 factors associated with maternal adverse pregnancy outcomes, namely high LES activity OR: 2.25 (CI 95% [1.199-4.225], P = 0.012) and hypertension OR 3.007 (CI 95% [1.425-6.341), p =0.004). Meanwhile, the results of multivariate analysis on the outcome of poor fetal/neonatal pregnancy, found high LES activity OR: 2.40 (CI 95% [1.041-5.534], P=0.040) and hypertension OR: 5.988 (CI 95% [1.640-21.870], p= 0.007) associated with fetal/neonatal pregnancy outcome.
Conclusion. The proportion of maternal and fetal/neonatal adverse pregnancy outcomes in SLE patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital is quite high. High SLE disease activity and hypertension are factors associated with poor maternal and fetal/neonatal outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwitya Elvira
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun
dengan penyebab multifaktorial. Ketidakseimbangan sitokin Th17 (Interleukin-17; IL-
17) dan T-regulator (Transforming Growth Factor-; TGF- and Interleukin-10; IL-10)
diduga terlibat dalam patogenesis LES yang mempengaruhi aktivitas penyakit.
Tujuan: Penelitian dilakukan untuk menguji perbedaan rerata IL-17, TGF- dan IL-10
dengan aktivitas penyakit LES dan menguji korelasi sitokin Th17/T-regulator.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang melibatkan 68 pasien LES
berdasarkan kriteria inklusi MEX-SLEDAI <2 untuk LES inaktif dan >=2 untuk LES
aktif. Kriteria eksklusi adalah pasien LES dengan riwayat autoimun lain, inflamasi
kronik; infeksi akut secara klinis; serta asma bronkial, dermatitis atopi dan urtikaria
didasarkan pada catatan rekam medis. Serum IL-17, TGF-, IL-10 diperiksa dengan
metode ELISA. Data dianalisis dengan perangkat lunak SPSS 20 menggunakan uji-T
independen untuk data berdistribusi normal dan uji Mann-Whitney untuk data tidak
normal.
Hasil: Rerata IL-17 serum adalah 19,67 (1,299) pg/ml. Median TGF- dan IL-10 adalah
175,02 (132-396) pg/ml dan 2,96 (0-11) pg/ml. Tidak terdapat perbedaan rerata yang
signifikan dari kadar IL-17, TGF- dan IL-10 serum pasien LES aktif dan tidak aktif.
Didapatkan korelasi positif sedang yang signifikan antara IL-17 dan IL-10 (p<0,005;
r=0,529) dan korelasi yang tidak signifikan antara IL-17 dan TGF- (p>0,005; r=-
0,142).
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan rerata yang signifikan sitokin Th17/Treg pasien
LES aktif dan inaktif. Terdapat korelasi positif signifikan sedang antara IL-17 dan IL-
10, sementara tidak terdapat korelasi signifikan antara IL-17 dan TGF-. Penelitian
lanjutan dengan disain kohort prospektif diperlukan untuk mengkonfirmasi peran
sitokin jalur Th17/Treg ini pada pasien LES aktif dan inaktif.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oriana Zahira Putri
"Latar Belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang dapat melibatkan berbagai organ dan sistem tubuh. Pasien dengan LES tidak bisa disembuhkan, melainkan dikontrol dengan pendekatan terapi treat-to-target bertujuan mencapai low lupus disease activity state (LLDAS) atau remisi. Pemantauan dilakukan secara berkala setiap 3-6 bulan sekali untuk menghindari kerusakan organ lebih lanjut. Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien LES di RSCM. Didapatkan total 66 pasien yang telah berobat selama 6 bulan pada Mei 2021—Juni 2022. Respons yang dilihat yaitu status aktivitas penyakit berdasarkan skor SLEDAI-2K pada bulan pertama dan keenam serta luaran penyakit, meliputi remisi, perbaikan, persisten aktif, dan perburukan.
Hasil: Sebagian besar pasien LES adalah perempuan (95,5%), rerata usia 31,23 tahun, dan keterlibatan organ terbanyak muskuloskeletal (93,9%). Hidroksiklorokuin dan metilprednisolon merupakan terapi yang paling banyak didapatkan pasien. Setelah 6 bulan terapi, status aktivitas penyakit pasien membaik dengan luaran penyakit perbaikan (33,3%) dan remisi (10,6%).
Kesimpulan: Setelah menjalani pengobatan selama 6 bulan, status aktivitas penyakit pasien membaik dari kategori aktivitas penyakit sedang (37,9%) menjadi ringan (48,5%). Terdapat perbedaan yang bermakna signifikan secara statistik dan klinis antara skor SLEDAI-2K bulan pertama dengan bulan keenam (p = 0,000).

Introduction: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune disease that involve various organs and body systems. Patients with SLE cannot be cured, but rather controlled with a treat-to-target therapy approach aimed at achieving low lupus disease activity state (LLDAS) or remission. Monitoring is carried out regularly every 3- 6 months to avoid further organ damage.
Method: Observational analytical study with retrospective cohort design using database from medical records of SLE patients at RSCM. There were a total of 66 patients who had received treatment for 6 months in May 2021—June 2022. The interests were disease activity based on the SLEDAI-2K score in the first and sixth months as well as disease outcomes, such as remission, improvement, persistently active, and flare.
Results: Most SLE patients were women (95.5%), the average age was 31.23 years, and the most organ involvement was musculoskeletal (93.9%). Hydroxychloroquine and methylprednisolone are the most common therapy received by patients. After 6 months of therapy, the overall patient's disease activity status improved with an outcome of improvement (33.3%) and remission (10.6%).
Conclusion: After undergoing treatment for 6 months, the patient's disease activity status improved from moderate (37.9%) to mild (48.5%) disease activity category. There was a statistically and clinically significant difference between the SLEDAI-2K score for the first month and the sixth month (p = 0.000).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>