Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156499 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Handayani Primandiri
"

Dalam pembuktian di Pengadilan, akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari akta tersebut. Untuk dapat dikatakan sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna maka harus memenuhi syarat autentisitas yang telah ditentukan dalam undang-undang dan juga kekuatan pembuktian dari akta tersebut. Syarat yang ditentukan dalam undang-undang yakni yang ada dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang mana dibuat berdasarkan bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat. Sementara kekuatan pembuktian terbagi menjadi tiga yakni, kekuatan pembuktian lahiriah, formil, dan materiil. Baik Notaris/PPAT sebagai pejabat umum memiliki kewajiban berdasarkan undang-undang untuk mencatatkan setiap akta yang dibuat oleh atau dihadapannya dalam suatu buku daftar akta atau repertorium. Buku daftar atau repertorium ini juga menjadi tanggung jawabnya selama menjalankan profesinya. Lantas bagaimana jika suatu akta yang telah dikeluarkan oleh Notaris/PPAT tidak dicatatkan didalam buku daftar akta atau repertorium. Apakah hal ini akan berpengaruh pada kekuatan pembuktian akta tersebut? Hal inilah yang menjadi dasar penulisan skripsi dengan metode penelitian yuridis normatif. Bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan ditemukan fakta bahwa dalam hal Notaris/PPAT tidak mencatatkan akta-akta tersebut pada buku daftar akta atau repertorium tidak akan mengakibatkan akta tersebut berubah nilai kekuatan pembuktiannya. Sebab proses pencatatan ini hanya merupakan proses administratif saja. Terkait dengan tidak dicatatkannya akta ini pada buku daftar akta atau repertorium merupakan suatu pelanggaran administratif yang sanksinya dapat berupa sanksi administratif, kode etik, atau apabila pihak lain merasa sangat dirugikan maka Notaris/PPAT dapat bertanggung jawab secara pidana maupun perdata juga.

 


In evidentiary court, an authentic deed has the power of proof that is perfect for those who have litigated or have obtained the right from the deed. To be able to be said as evidence that has a perfect proof of strength, it must meet the requirements of authenticity specified in the law and also the strength of proof of the deed. The conditions specified in the law, namely in Article 1868 of the Civil Code that made based on the form determined by law, made by or in front of the public official authorize for that place where the deed was made. While the strength of proof is divided into three namely, the strength of physical evidence, formal, and material. Both the notary / PPAT as a public official has an obligation under the law to record each deed made by or in his presence in a deed register book or repertorium. The register book or repertorium is also his responsibility while carrying out his profession. So what if a deed that has been issued by a notary / PPAT is not recorded in the deed register book or repertorium. Will this affect the strength of proof of the deed? This is the basic questions of writing in this thesis with normative juridicial research methods. Based on the research conducted, it was found that in this case the notary / PPAT does not record the deed in the deed register book or the repertorium will not cause the deed to change the value of the strength of the proof. Because this recording process is only an administrative process. Related to the non-registration of this deed in the register book of the deed or repertorium is an administrative violation whose sanctions can be in the form of administrative sanctions, code of ethics, or if other parties feel very disadvantaged then the notary / PPAT can be held liable both criminal and civil.

 

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasya Rizki Asti
"Peralihan hak atas tanah dapat dilakukan salah satunya dengan cara jual beli, syarat agar dapat melakukan pendaftaran peralihan hak melalui jual beli di kantor pertanahan adalah menggunakan bukti Akta Jual Beli yang dibuat di hadapan PPAT yang berwenang. Namun masih banyak masyarakat yang tidak melakukan proses balik nama atau perubahan kepemilikan sertipikat hak atas nama dari pemilik hak yang lama (penjual) kepada penerima hak (pembeli). Adanya kewajiban untuk mendaftarkan setiap perubahan data fisik maupun data yuridis tanah tanpa adanya sanksi bagi yang melanggar membuat penyelenggaraan tertib administrasi terhambat dan tidak terpenuhinya asas publisitas. Kekuatan pembuktian pemilikan hak atas tanah yang telah dibuat akta jual beli namun belum didaftarkan di kantor pertanahan serta urgensi penegakan kewajiban balik nama demi terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan serta asas publisitas pun dipertanyakan. Penelitian menggunakan metode doctrinal dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh adalah kekuatan pembuktian pemilikan hak atas tanah yang akta jual belinya belum didaftarkan pada kantor pertanahan adalah akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian sempurna sebagai akta autentik tetapi kehilangan asas publisitasnya. Selanjutnya penegakan kewajiban melakukan balik nama atas sertipikat tanah yang dibeli menggunakan akta jual beli demi terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dan asas publisitas sangat dibutuhkan supaya mengurangi resiko terjadinya sengketa di kemudian hari dan melindungi pihak ketiga yang memiliki itikad baik untuk membeli tanah yang peralihan haknya belum didaftarkan tersebut. Sanksi yang dapat diberlakukan dapat merupakan sanksi administratif seperti teguran ataupun denda dengan jumlah tertentu.

The transfer of rights to land can be done one way by buying and selling. The requirement to be able to register rights through buying and selling at the land office is to use proof of the Sale and Purchase Deed made before the authorized PPAT. However, there are still many people who do not carry out the process of changing names or changing ownership of title certificates in the name of the old rights owner (seller) to the rights recipient (buyer). The existence of an obligation to register every change in physical and juridical land data without any sanctions for those who violate it makes the implementation of administrative order hampered and publicity is not fulfilled. The strength of proof of ownership of land rights for which a sale and purchase deed has been made but has not been registered at the land office as well as the urgency of enforcing the obligation to transfer names for the sake of maintaining orderly government administration and the principle of publicity are also examined. The research uses doctrinal methods with qualitative analysis methods. The research results obtained are that the strength of proof of ownership of land rights for which the sale and purchase deed has not been registered at the land office is that the deed has perfect proof power as an authentic deed but loses its publicity. Furthermore, enforcing the obligation to transfer names to land certificates purchased using a sale and purchase deed in order to maintain orderly land administration and the principle of publicity is very necessary to reduce the risk of future incidents and protect third parties who have good faith in purchasing land whose rights protection has not been registered. . Sanctions that can be imposed can be in the form of administrative sanctions such as warnings or fines of a certain amount."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gustito Agung Diaussie
"ABSTRAK
Pada era globalisasi, masyarakat Indonesia sudah mulai mengenal perbuatan hukum yang akan menimbulkan akibat hukum. Untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tersebut, biasanya masyarakat menggunakan alat bukti tertulis sebagai tanda terikatnya para pihak. Guna menjamin kepemilikan seseorang terhadap hak-hak yang diperolehnya, baik melalui jual beli, hibah, maupun sewa menyewa biasanya orang tersebut akan membuat fotokopi terhadap alat bukti tertulis yang dimilikinya. Fotokopi alat bukti tertulis tersebut dibuat dengan keyakinan apabila terjadi kehilangan pada alat bukti tertulis yang asli, maka seseorang tersebut masih dapat menunjukkan bukti kepemilikannya melalui sebuah fotokopi akta. Dalam hal demikian, bagaimanakah kedudukan fotokopi terhadap pembuktian akta otentik dalam perkara perdata? Serta bagaimanakah kedudukan alat bukti lain sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari fotokopi akta otentik berdasarkan Putusan Pengadilan? Untuk itu, Penulis melakukan penelitian hukum dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan alat pengumpulan data melalui studi dokumen. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder sebagai penunjang, kemudian dianalisis dengan metode analisis kualitatif serta pada akhirnya ditarik kesimpulan, dari keseluruhan hasil pembahasan dan hasil analisis permasalahan tersebut dilaporkan dalam bentuk evaluatif analitis. Melalui analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 235/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Tim. disimpulkan bahwa bukti fotokopi akta otentik dapat diterima jika bersesuaian atau dikuatkan dengan alat bukti lain berupa: pengakuan, saksi, dan/atau sumpah. Selanjutnya bukti fotokopi akta otentik tersebut memiliki kekuatan pembuktian bebas atau penilaiannya diserahkan kepada hakim.

ABSTRACT
In the era of globalization, the people of Indonesia have started to recognize legal actions that will cause legal consequences. To perform such legal acts, people usually use written evidence as a sign of bonding parties. In order to guarantee an ownership rights, whether through sale or purchase, grant or lease, many person usually photocopy their written evidence. They belief that event they loss the original written evidence, the photocopy of that is acceptable, then they still prove the ownership through the photocopy. In such case, how about the position of photocopy of authentication deed in civil cases And how about the position of other evidences as an integral part of copy of authentic deeds based on Court Decisions Therefore, the author conducted legal research using normative juridical research methods with data collection tools through document studies. The kind of data is secondary data, then analyzed by qualitative method and in the end get then conclusion, the result reported by evaluative analysis. The analysis of Jakarta Timur District Court Verdict Number 235 Pdt.G 2014 PN.Jkt.Tim. concluded that evidence of copy of authentic deed is acceptable if it is compatible or corroborated with other evidence in the form of acknowledgment, witness, and or oath. Further evidence of copy of the authentic deed has free evidentiary power or its judgment is submitted to the judge. "
2017
T48838
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Kurnia Dewi
"Pasal 35 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan harta bawaan dari masing-masing suami yang diperoleh karena hadiah atau warisan menjadi penguasaan masing-masing. Berakhirnya harta bersama hanya karena putusnya perkawinan. Obyek jual beli tanah saat suami istri dalam proses gugatan cerai di pengadilan agama yang dijual dengan dasar Akta Pembagian Harta Bersama tetap membutuhkan persetujuan pasangan. Tujuan penelitian ini untuk mengembangkan pengetahuan dibidang hukum. Sehingga penulis ingin mengetahui mendalam bagaimana kedudukan Akta jual beli atas harta bersama yang masih dalam proses peradilan dan bagaimana keabsahan Akta jual beli Nomor 487/20/Skr/2003 dikaitkan putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 111/PDT/2017/PT.PLG. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dengan data utama yang digunakan yaitu data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Disimpulkan bahwa kedudukan Akta jual beli atas harta bersama yang masih dalam proses peradilan adalah sah ketika ditandatangani suami dan istri/tetap memerlukan persetujuan pasangan, terkait pembuatan Akta Pembagian Harta Bersama ketika perkawinan belum berakhir merupakan perbuatan menyalahi hukum. Akta jual beli Nomor 487/20/SKR/2003 masih diakui keabsahannya untuk dipakai dalam perbuatan hukum oleh pihak yang mendapat hak atasnya.

Article 35 of the Marriage Law No. 1 of 1974 states that the property acquired during marriage becomes a joint asset and the inheritance of each husband is obtained because the gift or inheritance is the control of each. The end of joint property is only due to the breakup of marriage. The object of buying and selling land when a husband and wife are in divorce proceedings in a religious court that is sold on the basis of the Joint Asset Sharing Act still requires the approval of the couple. The purpose of this study is to develop knowledge in the field of law. So the author wants to know in depth how the Deed of sale and purchase of shared assets is still in the judicial process and how the validity of the sale and purchase Deed Number 487/20 / Skr / 2003 is attributed to the decision of the Palembang High Court Number 111 / PDT / 2017 / PT. PLG. In conducting research, the author uses a juridical-normative library research method with the main data used, namely secondary data obtained from library materials in the form of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. It was concluded that the position of the Deed of sale and purchase of shared assets that are still in the judicial process is valid when signed by the husband and wife / still requires the approval of the spouse, related to the making of the Shared Assets Deed when the marriage is not over. The sale and purchase deed Number 487/20 / SKR / 2003 is still recognized as valid for use in legal actions by the party who has the right to it."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T54288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Jayaputeri
"Saksi menurut Pasal 164 HIR semestinya melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa hukum. Namun dalam kenyataannya, saksi yang tidak melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa hukum dapat memberikan kesaksian di hadapan pengadilan dan diterima kesaksiannya oleh majelis hakim. Dalam kenyataannya, saksi yang tidak mengalami, melihat, mendengar secara langsung dalam putusan a quo dibenarkan sebagai alat bukti saksi yang meyakini hakim bahwa transaksi jual beli tanah telah dilakukan hingga menimbulkan pertanyaan tentang pemenuhan asas terang dan tunai sebagai persyaratan jual beli tanah. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, penelitian dilakukan dengan mengkaji kedudukan saksi perkara jual beli tanah untuk mengetahui hak dan kewajiban saksi serta menganalisa fungsi saksi guna memenuhi asas terang dan tunai dalam jual beli tanah, serta mengapa hakim perkara a quo tidak mempertimbangkan menghadirkan saksi instrumenter dalam proses pembuktian. Hasil penelitian menghasilkan bahwa kedudukan Saksi TY dalam proses pembuktian jual beli tanah perkara a quo adalah permulaan pembuktian saja. Saksi TY dalam kapasitasnya memberi kesaksian memiliki hak dan kewajiban sebagai saksi. Diketahui juga bahwa belum ada ketentuan mengenai unsur yang harus dicapai asas terang dan tunai dalam jual beli tanah sesuai hukum tanah nasional. Namun, dapat diketahui bahwa sekurang-kurangnya sifat kontan/terang dalam hukum adat mengandung pengertian bahwa suatu perbuatan itu nyata, suatu perbuatan itu simbolis, suatu perbuatan itu telah selesai seketika itu juga. Dalam kasus a quo, AJB 45/2021 dibuat di hadapan notaris/PPAT HH, S.H. telah memenuhi unsur kontan, di mana perbuatannya nyata dilaksanakan di hadapan pejabat umum. Asas tunai yang diformulasikan dari prinsip konkret atau visual tidak terpenuhi dalam perkara a quo karena hubungan jual beli tidak dapat dianggap terjadi karena tidak ada ikatan yang dapat dilihat atau alat bukti tertulisnya, walaupun ada saksi YT yang menyatakan bahwa dirinya hanya mengantarkan sekretaris Tn. JK ke notaris dengan membawa uang Rp700.000.000,- untuk penyerahan uang tanpa alasan-alasan lebih lanjut. Majelis hakim gagal untuk mengidentifikasi bahwa terdapat saksi akta dalam AJB 45/2015 yang seharusnya menyaksikan pembuatan AJB 45/2015 yang menyatakan kepada siapa uang tersebut diserahkan.

Witnesses according to Article 164 HIR should see, hear and experience a legal event themselves. However, in reality, witnesses who have not seen, heard or experienced a legal event themselves can testify before the court and have their testimony accepted by the panel of judges. In reality, witnesses who have not experienced, seen or heard directly in the said case are justified as evidence for witnesses who believe the judge that a land sale and purchase transaction has been carried out, raising questions about the fulfillment of the principle of light and cash. as a condition of buying and selling land. By using doctrinal research methods, research is conducted by examining the position of the witness in a land sale and purchase case is to find out the rights and obligations of the witness and to analyze the function of the witness in order to fulfill the principles of light and cash in land buying and selling, and in this case why the judge in the said case did not consider presenting an instrumental witness in the evidentiary process. The results of the research show that the position of Witness TY in the process of proving the sale and purchase of land in the a quo case is just the beginning of proof. Witness TY in his capacity to testify has rights and obligations as a witness. It is also known that there are no provisions regarding the elements that must be achieved when applying the clear and cash principles in a land sale and purchase in accordance with national land law. However, it can be seen that at least the direct/bright character in customary law implies that an action is real, an action is symbolic, an action is completed instantly. In the a quo case, AJB 45/2021 was made before a notary/PPAT HH, S.H. has fulfilled the cash element, in which the actual action was carried out before a public official. The principle of cash, which was formulated from concrete or visual principles, was not fulfilled in the a quo case because the sale and purchase relationship could not be assumed to have taken place because there were no visible ties or written evidence, even though there was witness YT who stated that he only accompanied Mr. JK to the notary with Rp. 700,000,000 to hand-over the money without further reasons. The panel of judges failed to identify that there were deed witnesses in AJB 45/2015 who should have witnessed the making of AJB 45/2015 which stated to whom the money was handed over."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Fadhilah Rachmawati
"Sehubungan dengan berlakunya UUPA, terhitung sejak tahun 1961 tidak ada lagi tanah yang dapat dikenakan Verponding Eropa, Verponding Indonesia dan Landrente/Pajak Bumi. Namun hingga saat ini, bentuk produk hukum atas pembayaran pajak tanah bekas hak barat seperti Eigendom Verponding masih digunakan sebagai dasar untuk melakukan kegiatan jual-beli tanah melalui pembuatan akta otentik, sehingga menimbulkan masalah mengenai kepemilikan atas tanah itu sendiri di kemudian hari. Berdasarkan dengan apa yang telah dirumuskan diatas, maka penulis bermaksud melakukan penelitian hukum dengan perumusan masalah mengenai kedudukan Eigendom Verponding sebagai bukti kepemilikan tanah dalam pembuatan suatu akta otentik pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 82/PK/PID/2017 dan posisi Notaris dalam pembuatan akta otentik mengenai peralihan hak atas tanah bekas hak barat. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif dengan jenis data sekunder yang didapat dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Berdasarkan pada putusan tersebut, kedudukan Eigendom Verponding dalam pembuatan suatu akta otentik adalah merupakan suatu bukti yang menguatkan seseorang sebagai pemilik tanah asalkan riwayatnya jelas dan pemilik Eigendom Verponding tersebut memang benar adalah pemilik tanah yang bersangkutan sedangkan dalam menangani pembuatan akta otentik mengenai tanah bekas hak barat, posisi Notaris terbatas pada pembuatan Akta Pengikatan Jual Beli, Akta Kuasa Menjual dan Akta Pelepasan Hak.

With respect to the entry into force of Basic Agrarian Law, starting from 1961, there is no land which can be charged with Verponding of Europe, Verponding of Indonesia, and Landrente Land Tax. However, until now, the form of a legal product on the payment of land tax from the former Western rights, such as Eigendom Verponding, is still used as the basis for buying and selling land through the issuance of authentic deed, so it causes a problem about the land ownership itself in the future. Based on what is formulated above, the researcher intends to conduct a legal research with a problem formulation about the position of Eigendom Verponding as the proof of land ownership in issuing an authentic deed in Supreme Court Decision No. 82 PK PID 2017 and the position of notary in issuing an authentic deed concerning the transition of land rights from former Western rights. This research used the normative juridical method with secondary data which were obtained from the literature study which consists of primary, secondary, and tertiary legal materials. Based on the verdict, the position of Eigendom Verponding in issuing an authentic deed is a proof for a person as the landowner as long as the history is obvious and the owner of Eigendom Verponding is truly the owner of the related land, while the position of notary, in handling the transition of land rights from the former Western rights, is only limited to issuing Deed of Sale and Purchase, Deed of Authority to Sell, and the Deed of Release of Right."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51071
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frita Sofia Haryana
"Keberadaan lembaga notaris dilandasi oleh kebutuhan masyarakat dalam membuat akta otentik. Sebagaimana Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, akta otentik yang diterbitkan notaris memberikan jaminan kepastian hukum. Dalam Pasal 1868 KUHPerdata dikatakan bahwa akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Fungsi akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna di pengadilan. Konsekuensi yuridisnya adalah setiap akta otentik yang dibuat oleh notaris harus dianggap akta yang sah sepanjang tidak ada pihak lain yang membuktikan sebaliknya. Pada praktiknya masih ditemukan adanya salinan akta yang dibuat notaris tanpa adanya minuta akta. Berdasarkan pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, notaris wajib membuat minuta akta dan menyimpannya sebagai protokol notaris. Dalam hal ini, pihak yang dirugikan dalam pembuatan salinan akta tanpa adanya minuta akta dapat meminta pertanggungjawaban kepada notaris secara administratif, perdata maupun pidana. Permasalahan tersebut menyebabkan penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan pembuatan salinan akta pengikatan jual beli tanpa adanya minuta akta dengan menggunakan penelitian yuridis normatif dan pendekatan deskriptif analitis dengan metode penelitian kepustakaan untuk kemudian menghasilkan data kualitatif.

The existence of notary institution is based on the needs of the community in making authentic deeds. As in Article 15 paragraph (1) of Law Number 2 Year 2014 concerning Amendments of Law Number 30 Year 2004 concerning the Position of Notary Public, an authentic deed issued by a notary provides guarantee of legal certainty. In Article 1868 of the Civil Code, it is stated that an authentic deed is a deed which is in the form determined by law, made by or in front of public officials who are in power for it at the place where the deed was made. The function of an authentic deed is perfect evidence in court. The juridical consequence is that every authentic deed made by a notary must be considered a valid deed as long as no other party proves otherwise. In practice, there are founded notary made copies of deeds without a minute deed. Based on article 16 paragraph (1) of Law Number 2 Year 2014 concerning Amendments of Law Number 30 Year 2004 concerning the Position of Notary Public, notaries are obliged to make a minute deed and keep it as a notary protocol. In this case, the party who is aggrieved in order to making copy of deed without minute deed by notary may ask the responsibility of notary either administrative, civil and criminal responsibility. These problems caused the authors interested in further research on the problem of making copy of sale and purchase binding deeds without any minute deeds using normative juridical research and analytical descriptive approaches with library research methods which produce qualitative data."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Asina Rohani
"Akta otentik merupakan salah satu bukti yang kuat apabila dipergunakan dimuka pengadilan tanpa menggunakan alat bukti lainnya. Akta otentik dibuat Pejabat Pembuat Akta. Peranan Notaris dan PPAT sebagai Pejabat umum sangat penting dalam kehidupan masyarakat, karena masyarakat semakin membutuhkan suatu bukti tertulis berupa akta otentik agar dapat dijadikan kepastian hukum. Dalam membuat sebuah akta otentik Notaris dan PPAT sebagai pejabat umum diharapkan untuk mentaati syarat sahnya perjanjian dan syarat sahnya sebuah akta otentik agar diantara para pihak tidak terjadi permasalahan dikemudian hari.

Deed authentic is one the strong evidence when used in court without using any other proof. The role of notary and PPAT is very important in public use. Authentic deed compiled in front of official public deed maker. The role of notary and PPAT is very important, because the needed of authentic proof for a law warranty. When compiled and make a authentic deed, notary and PPAT have to obey the terms of agreement and the terms of in making authentic deeds so in order to avoid the problem in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28820
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Velayo
"Tesis ini berjudul kekuatan pembuktian salinan akta dalam persidangan perdata studi putusan Mahkamah Agung No. 10 K/PDT/2015, terdapat tiga rumusan masalah yang dibahas yaitu keabsahan perjanjian yang dibuat di hadapan Notaris, kekuatan pembuktian Minuta Akta, Salinan Akta, Kutipan Akta dan Grosse Akta Notaris menurut ilmu hukum atau doktrin, dan pertimbangan hakim terhadap kekuatan pembuktian Salinan Akta Pengakuan Utang dalam Putusan Mahkamah Agung.
Tesis ini ditulis untuk mengkaji permasalahan mengenai kekuatan pembuktian akta autentik dalam persidangan, yang dilakukan dengan tujuan agar mengetahui pengaturan hukum terkait pembuktian akta autentik dan kekuatan pembuktiannya dalam persidangan. Metode penelitian yang dipakai adalah yuridis normatif, dengan teknik studi kepustakaan untuk mengumpulkan data sekunder, yang berupa bahan hukum primer dan sekunder. Sistematika penulisan dibagi dalam lima bab.
Hasil penelitian dari tesis ini yaitu bahwa perjanjian memiliki kekuatan hukum dan keberlakuan hukum yang mengikat bagi para pihak apabila dibuat dengan memenuhi syarat-syarat perjanjian, perjanjian yang dibuat dengan akta Notaris harus memenuhi peraturan agar dapat memenuhi syarat akta autentik agar dapat memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk minuta, salinan, kutipan, dan Grosse Akta memiliki kekuatan pembuktian akta autentik apabila terpenuhi syarat-syarat lahiriah, formil, dan materiil. Pada kasus ini, Akta Pengakuan Utang tidak memiliki kekuatan pembuktian, sehingga tidak ada perikatan hukum yang terjadi, dan semua akibat hukum yang telah terjadi harus batal demi hukum.

This thesis is entitled power of proof from copy of the deed in the civil trial of the Supreme Court decision case number 10 K/PDT/2015, there are three problems discussed, the validity of the agreement made by a Notary, the strength of proof of the Minutes of Deed, Copy of Deed, Quotation of Deed and Grosse Deed according to legal science or doctrine, and judges' consideration of the strength of proof from Copy of Deed Debt Recognition in the Decision of the Supreme Court.
This thesis was written to examine the problem about power of proof of authentic deeds during the trial, which was carried out with the aim of knowing the legal regulation relating to the verification of authentic deeds and the strength of their evidence in the trial. The method used in research is juridical normative, with techniques literature study to collect secondary data, consists of primary and secondary law materials. The writing is divided into five chapters.
The results of the research in this thesis are that agreement has legal force and legal enforcement that is binding on the parties if the agreement is made by fulfilling law regulate about agreement, an agreement made with the Notary deed must meet the regulations in order to fulfill the authentic deed requirements in order to have perfect proof power. For minuta, copies, quotations, and Grosse Deed have the power of authentic deed proving if the physical, formal and material requirements are met. In this case, the Debt Recognition Act does not have power of proving, so there is no legal engagement that occurs, all legal consequences that have occurred must be null and void.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53373
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christian Aryadi
"Konsep dasar jual beli tanah adalah terang dan tunai. Dalam prakteknya terang dan tunai tersebut bisa saja tidak terpenuhi sehingga dibutuhkan instrumen lain agar dapat melakukan jual beli kemudian, instrument tersebut dalam pengikatan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli. Tujuannya adalah mengikat antara penjual dan pembeli agar dikemudian hari jika syarat terang dan tunai terpenuhi dapat dibuatkan akta jual beli di hadapan PPAT. Jika pembayaran sudah lunas penjual dalam PPJB bisa saja tidak ikut hadir di hadapan PPAT saat akta jual beli dilangsungkan, karena dapat diwakili oleh pembeli dengan kuasa menjual dalam PPJB tersebut. Bagaimana kedudukan kuasa menjual sebagai klausul (accessoir) PPJB dengan objek hak atas tanah? Bagaimana perlindungan hukum kepada pembeli objek hak atas tanah berdasarkan kuasa menjual sebagai accessoir dari PPJB? Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normative yang dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan sehubungan dengan permasalahan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Di samping itu juga digunakan data primer sebagai pendukung bahan hukum data sekunder. Untuk analisis data dilkakukan dengan metode analisis yuridis kualitatif. Kuasa menjual sebagai klausul dalam PPJB dapat digunakan jika harga sudah lunas, kuasa menjual hanya untuk menjual kepada pembeli sebagai penerima kuasa dan harga jual beli sama dengan dalam PPJB. PPJB dapat digunakan sebagai bukti telah berpindahnya hak jika telah dibayar lunas dan sudah dikuasai oleh pembeli dengan itikad baik.

Transaction of property in Indonesia based on cash and carry, cash about a payment, and carry about a procedure. If one of this two based can`t accomplished, the transaction of property would by pre-sale agreement. That`s agreement not for transition of land rights, but for binding two parties when two based of the transaction accomplished. When the based of that transaction accomplished, the two parties must meet the officials of land rights (PPAT) to make Real Estate Purchase and Sale Agreement. If the seller can`t meet PPAT, the buyer can meet PPAT with two authority, the first as seller with power of attorney from the seller at pre-sale agreement, second as buyer. How the Power of Attorney as clause at pre-sale agreement? How legal protection for the buyer of land based on the power of attorney as clause of pre-sale agreement? Research methods used in this study are normative legal research being done in an effort to get the required data with respect to problems. The data used are secondary data composed of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. In addition the primary data is also used as the supporter of the legal materials of secondary data. For an analysis of the data by the method of analytic juridical qualitative. The power of attorney for property as clause of pre-sale agreement can be used if the price has paid by the buyer."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52244
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>