Ditemukan 198839 dokumen yang sesuai dengan query
Agnes Wulandari
"Yayasan diperbolehkan oleh Undang-undang Yayasan untuk mendirikan badan usaha. Hal tersebut menjadi dasar bagi suatu Yayasan untuk melakukan penyertaan modal pada suatu Perseroan Terbatas. Penyertaan modal yang dilakukan oleh suatu Yayasan dapat dilakukan dalam hal menjadi pemegang saham dalam satu Perseroan Terbatas. Sebagai pemegang saham dalam perseroan, Yayasan tentunya memiliki hak sebagaimana yang dimiliki oleh pemegang saham suatu Perseroan Terbatas pada umumnya, salah satunya yaitu untuk menjual atau mengalihkan saham yang dimilikinya. Namun, terdapat beberapa larangan dalam kaitanya dengan pertanggungjawaban pengurus Yayasan untuk menghindari transaksi afiliasi yang disebabkan oleh adanya benturan kepentingan bagi Yayasan. Undang-undang Yayasan mengatur mengenai larangan untuk mengalihkan atau membagikan kekayaan Yayasan kepada Organ Yayasan serta untuk mengadakan perjanjian dengan yang terafiliasi dengan Organ dan Karyawan Yayasan. Pertama-tama, tesis ini membahas permasalahan mengenai keadaan dimana suatu transaksi dapat dikatakan sebagai benturan kepentingan bagi Yayasan. Yang kedua tesis ini membahas permasalahan mengenai peran dan tanggung jawab dari seorang Notaris dalam hal terdapat benturan kepentingan dalam transaksi jual beli saham antara suatu Yayasan dengan Perseroan Terbatas. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun tesis ini merupakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipologi deskriptif-analitis yang menggunakan jenis data sekunder. Transaksi jual-beli saham yang dilakukan dalam kasus ini merupakan transaksi afiliasi yang mengandung benturan kepentingan yang dilarang oleh Yayasan. Notaris dalam transaksi jual-beli saham berperan untuk memberikan penyuluhan hukum, pemeriksaan warkah sampai pada pembuatan akta pemindahan hak atas saham. Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam kaitannya dengan perbuatan notaris pengganti akibat batalnya akta pemindahan hak atas saham yang telah dibuat olehnya.
A Foundation is allowed by Law to participate in a business activity. This becomes the legal basis for a foundation to put its investment in a Limited Liability Company. Equity participation might be done by any Foundation, by becoming a Shareholder. As shareholder, Foundation certainly has the rights that are given by the Company Law such as to sell and transfer its own shares. However, there are several prohibitions in relation to the accountability of Foundation management to avoid any kind of affiliated transaction caused by conflict of interest transaction. Foundation law regulates the prohibition of transferring or distributing Foundation assets to any Foundation Organs as well as entering into agreements with those affiliated Organs or Employees. Firstly, the author would discuss issues regarding transaction defined as a conflict of interest transaction for a Foundation in the context of Foundation Law. Secondly, the author would discuss regarding the role and responsibility of a Notary if there is a conflict of interest detected in a share sale and purchase transaction between a Foundation and a Limited Liability Company. Research method used by the Author in drawing up this research is a normative juridical with descriptive-analytic typology using secondary data types. The Share sale and purchase transaction conducted in this case in an affiliated transaction containing a conflict of interest in it. It is prohibited by the foundation law. A notary, in the context of share sale and purchase transaction, plays a role to provide legal counselling, examining required documents and drawing a notarial deed. Notary can be held liable in relation to the act of the substitute notary due to the cancellation of the share sale and purchase deed made by the substitute notary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Karizza Rakmavika
"Konsep nominee berasal dari Pranata Hukum Trust yang berasal dari Tradisi Hukum Common Law. Dapat masuk konsep nominee-nya di Indonesia yang menggunakan Tradisi Hukum Civil Law, dilatarbelakangi oleh adanya proses perdagangan lintas negara dan proses globalisasi. Dalam praktiknya, konsep nominee dapat digunakan karena adanya sistem hukum terbuka dan asas kebebasan berkontrak pada hukum perjanjian di Indonesia. Namun perlu diingat agar suatu perjanjian sah dan memiliki kekuatan hukum maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sah perjanjian, salah satunya ‘sebab yang halal’.
Di Indonesia, terdapat peraturan yang melarang praktik nominee atas saham, yaitu pasal 33 ayat (1) dan (2) Undang Undang Penanaman Modal. Dengan adanya ketentuan tersebut maka perjanjian yang terdapat ketentuan nominee atas saham adalah perjanjian yang batal demi hukum. Kemudian, sesuai dengan ketentuan pasal 584 KUHPer, Indonesia menerapkan sistem penyerahan kausal dimana sah atau tidaknya perjanjian obligator juga akan mempengaruhi sah atau tidaknya proses penyerahan hak milik. Dengan demikian, penyerahan hak milik atas saham PT KISB yang didasari oleh perjanjian jual beli saham yang terdapat ketentuan nominee saham tidaklah sah.
Nominee concept come from Legal Institution Trust which is come from Common Law Legal Tradition. The Inclusion of nominee concept in Indonesia, who use Civil Law Legal Tradition, is caused by the international trading and globalization. In practice, nominee concept can be used because of open system and principle of freedom of contract in Law Agreement in Indonesia. But it must be remembered, that agreement should follows the requisite legal agreement, which one of them is ‘legal cause’.In Indonesia, there is a regulation that prohibit the practice of nominee share, and that regulation is article 33 paragraph (1) and (2) of Investment Law. So, with that regulation, any agreement contained the nominee share clause will be null and void. Then refer to the article 584 of The Books of Civil Law, Indonesia use the causal system, where in this system the validity of the obligator agreement will be influence the validity of the transfer ownership process. Thus, the transfer ownership of PT KIBS shares, which are based on share purchase agreement that contained nominee share clause, is invalid."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45170
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Zaki Al Wafi
"Peralihan hak katas tanah yang umum digunakan di Indonesia ialah Jual Beli. Metode yang dapat digunakan dalam jual beli tanah yaitu Perjanjian Pengikat Jual Beli (PPJB) dan Akta Jual Beli (AJB). Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian pendahuluan yang mana harus dilengkapi dengan AJB untuk dapat dilakukan pemindahan hak atas tanah. Perjanjian Pengikatan Jual-Beli dengan objek tanah seharusnya dibuat oleh notaris manakala terdapat syarat-syarat peralihan hak atas tanah yang belum dapat dipenuhi oleh para pihak. Peralihan hak atas tanah di Indonesia wajib dilakukan dengan memenuhi syarat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan dihadapaan pemimpin adat (pejabat) yang menangani masalah pertanahan (tetua adat) sedangkan tunai berarti peralihan hak dari penjual kepada pembeli berlangsung secara seketika itu juga, pada saat terjadi pembayaran dari pembeli kepada penjual. Pada kenyatannya seringkali notaris tetap menggunakan Perjanjian Pengikatan Jual-beli sebagai instrumen transaksi jual-beli atas tanah meskipun syarat peralihan hak atas tanah telah dipenuhi oleh para pihak,yang mana hal tersebut kurang menyelesaikan permasalahan hukum dalam suatu peralihan hak atas tanah. Tesis ini membahas mengenai urgensi pembuatan ppjb serta konstruksi transaksi jual beli atas tanah yang dilakukan para pihak dalam Putusan Nomor 52/PDT.G/2020/PN.PTK .Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan ppjb tidak relevan manakala syarat jual beli tanah sudah terpenuhi dan konstruksi jual beli yang seharusnya digunakan adalah AJB dengan memperhatikan bahwa seluruh dari syarat jual beli tanah telah terpenuhi dan selanjutnya jika masih terdapat sisa pembayaran dalam pembuatan AJB dapat dilakukan dengan menggunakan surat perjanjian hutang piutang dan hak tanggungan dalam menyelesaikan sisa pembayaran jika metode yang digunakan ialah dengan pencicilan
The transfer of land rights that is commonly used in Indonesia is buying and selling. The methods that can be used in buying and selling land are the Binding Sale and Purchase Agreement (PPJB) and the Sale and Purchase Deed (AJB). The Sale and Purchase Agreement (PPJB) is a preliminary agreement which must be completed with the AJB in order to transfer land rights. In reality, notaries often continue to use the Sale and Purchase Agreement as an instrument for land sale and purchase transactions even though the conditions for the transfer of land rights have been fulfilled by the parties, which does not resolve legal issues in a transfer of land rights. This thesis discusses the urgency of making PPJB and the construction of land sale and purchase transactions carried out by the parties in Decision Number 52/PDT.G/2020/PN.PTK.. The results of the research show that making a PPJB is not relevant when the land sale and purchase conditions have been fulfilled and the sale and purchase construction that should be used is AJB, taking into account that all land sale and purchase conditions have been fulfilled and furthermore, if there is still remaining payment in making the AJB, it can be done using a letter. debt and receivable agreements and mortgage rights to settle the remaining payments if the method used is installments"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Viria Chandra
"Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mengatur kewenangan direksi sekaligus pembatasan dari kewenangan-kewenangan tersebut dalam kondisi tertentu antara lain benturan kepentingan ketika direksi berperkara melawan Perseroan. Hal tersebut diatur dengan tujuan agar anggota direksi dapat menjalankan pengurusan dan perwakilan dengan itikad baik dan bertanggung jawab. Penelitian ini membahas mengenai: (i) kewenangan menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) oleh anggota direksi yang sedang berperkara melawan perseroan; (ii) peran dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta RUPS perseroan terbatas yang direksinya melawan perseroan; dan (iii) pertimbangan hakim mengenai benturan kepentingan dalam RUPS yang diselenggarakan oleh direksi yang sedang berperkara melawan perseroan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1212 K/PDT/2018. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder disertai tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil penelitian ini yaitu (i) kewenangan menyelenggarakan RUPS tidak dibatasi oleh Pasal 99 ayat (1) UUPT dan tetap dapat dilaksanakan oleh direksi; (ii) Notaris berperan untuk memastikan syarat formil pembuatan akta dan penyelenggaraan RUPS telah terpenuhi; dan (iii) pertimbangan hakim mengenai tidak adanya benturan kepentingan dalam penyelenggaraan RUPS sudah tepat, perbuatan memanggil, menyelenggarakan dan memimpin RUPS tersebut tidak bisa dikatakan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, karena perbuatan tersebut merupakan kewajiban yang diamanatkan UUPT kepada organ direksi yang wajib dijalankan untuk mencapai maksud dan tujuan perseroan.
Law Number 40 of 2007 concerning Company Law (Company Law) regulates the authority of the Board of Directors (BOD) as well as the limitation of these powers under certain conditions, including conflicts of interest when the directors have dispute against the company. This is regulated with the aim that members of the BOD can carry out management and representation in good faith and responsibly. This research discussses (i) the authority to hold a General Meeting of Shareholders (GMS) by member of the BOD who are currently having a dispute against the Company, (ii) The roles and responsibilities of a Notary in drafting the deed of the GMS of a Company whose BOD is currently having a dispute against the Company and (iii) Judge’s considerations regarding conflict of interest in the GMS held by the BOD who are currently having a dispute against the Company. This research is a normative juridical research using secondary data accompanied by an explanatory typology. The results of this research are (i) the authority to hold a GMS is not limited by Article 99 paragraph (1) the Company Law and can still be implemented by the BOD; (ii) Notary have a role to ensure that the formal requirements for the preparation of the deed and the holding of the GMS have been fullfilled; and (iii) The judge’s consideration regarding the absence of a conflict of interest in holding the GMS is correct. The act of inviting, holding and chairing the GMS can’t be categories as tort, because basically that act is an obligation mandated by the Company Law to the BOD that must be carried out to achieve the aims and objectives company. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Esther Pascalia Ery Jovina
"Dalam pelaksanaan jual beli saham, ada persyaratan Undang-Undang yang harus dipenuhi antara lain seperti diperolehnya persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan (RUPS) yang harus dimuat dalam akta notaris dan kemudian harus dibuatkan akta jual beli atas saham-saham tersebut. Tanpa dibuatnya akta jual beli tersebut, maka jual beli saham tersebut adalah batal demi hukum. Dalam putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung mengenai kasus jual beli saham dalam PT.Bumi Mansyur Permai membatalkan putusan-putusan di ketiga tingkat peradilan karena terbukti terdapat kekhilafan dalam putusanputusan sebelumnya, dimana majelis hakim di ketiga tingkat keadilan menganggap dengan diadakannya RUPS, maka telah terjadi jual beli saham.
Kasus ini dianalisis secara deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan menitikberatkan pada sumber-sumber berupa peraturan perundang-undangan yakni antara lain peraturan mengenai pengalihan hak atas saham yang terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1995 dan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas serta teori-teori hukum yang diperoleh dari tulisantulisan para ahli hukum. Sebagai hasil analisa penelitian ini dapat di tekankan pentingnya pembuatan akta jual beli saham sebagai persyaratan formal jual beli saham, setelah diperolehnya persetujuan jual beli saham dari RUPS yang sebenarnya hanya merupakan pemberian persetujuan kolektif atas penjualan saham.
There are some requirements and procedure outlined by Law and Regulation that has to be met in order to properly executing sale and purchase of shares, among others, such as obtaining the approval from General Meeting of Shareholders that has to be made in notarial deed and to execute the deed of sale and purchase for such shares. Without executing the later then the sale and purchase of such shares is null and void. In reviewing the decision of the Supreme Court to cancel the verdicts on all three levels of judiciary regarding the case of sale and purchase shares in PT.Bumi Mansyur Permai, as it was proven that there has been a mistake in the verdicts by which the panel of judges at those three levels considered that by General Meeting of Shareholders agreeing for such transfer of shares can be treated equally as the act of sell and purchase itself. This case is analyzed on descriptive analytical basis by using normative juridical approach, namely by focusing on sources such as the prevailing regulation and law as well as literature-literature related to such matters. As the result of research conducted for this matter it is to be emphasized the importance of executing deed of sale and purchase shares as one of the formal requirements after obtaining approval from General Meeting of Shareholders by which only is a collective agreement given for such transfer of shares."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30233
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Surti Ramadani
"Berlakunya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI Nomor 5 Tahun 2017 untuk pelayanan pengecekan sertipikat tanah pada Kantor Badan Pertanahan Nasional dilakukan dengan sistem elektronik yang terintegrasi secara online. Hasil pengecekan sertipikat tanah secara online berupa dokumen yang ditandatangani digital menggunakan sertipikat elektronik BsrE dan kode QR. Berbeda dengan hasil pengecekan sebelum online yang fisik sertipikatnya mendapatkan cap serta diberi tanggal oleh Kantor Badan Pertanahan, dengan demikian rumusan masalah yang dibahas yakni bagaimanakah keabsahan dokumen fisik sertipikat tanah yang diterima PPAT dan peran PPAT melakukan pengecekan sertipikat tanah secara online. Penelitian ini memakai metode kepustakaan bersifat yuridis normatif dan menganalisa isu hukum mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan objek penelitian dari bahan pustaka serta hukum positif. Hasil penelitian menunjukan alasan yuridis bahwa PPAT tidak berwenang menguji dan tidak bertanggung jawab terhadap syarat materil keabsahan dokumen fisik sertipikat tanah sepanjang PPAT melakukan tugas jabatannya sesuai kode etik dan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
The enactment of Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of BPN RI Number 5 of 2017 for land certificate checking services at the National Land Agency Office is carried out with an electronic system that is integrated online. The results of checking the land certificate online are in the form of a digitally signed document using the BsrE electronic certificate and QR code. In contrast to the results of checking before going online, where the physical certificate is stamped and dated by the Land Agency Office, thus the formulation of the problem discussed is how the legality of the physical documents for land certificates received by PPAT and the role of PPAT in checking land certificates online. This study uses normative juridical literature and analyzes legal issues regarding everything related to the object of research from library materials and positive law. The results of the study show the juridical reason that PPAT is not authorized to examine and is not responsible for the material requirements for the validity of the physical documents for land certificates as long as the PPAT performs its duties in accordance with the code of ethics and applicable laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Muhamad Rizki
"Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) lunas yang dibuat dibawah tangan merupakan suatu bentuk perjanjian pendahuluan yang dibuat oleh para pihak secara tertulis dan dibuktikan melalui kuitansi pembayaran lunas. Perjanjian pendahuluan tersebut dimaksudkan untuk mengawali dilakukannya perbuatan hukum jual beli hak atas tanah. Perjanjian yang dilakukan dibawah tangan masih banyak ditemukan di masyarakat meskipun pada kenyataannya, nilai pembuktian dari perjanjian dibawah tangan tidak sekuat perjanjian yang dituangkan ke dalam akta notariil. PPJB lunas yang dibuat dibawah tangan dalam kenyataannya dapat memicu terjadinya sengketa sebagaimana ditemukan dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Subang Nomor 11/Pdt.G/2023/PN.Sng. Perkara yang ada dalam putusan tersebut adalah berkaitan dengan PPJB lunas dibawah tangan yang dibuat antar Perseroan Terbatas (PT) untuk mengawali dilakukannya perbuatan hukum jual beli hak atas tanah dengan status Hak Milik. Oleh karena itu masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang akibat hukum dari PPJB lunas yang dilakukan dibawah tangan antar PT dalam jual beli Hak Milik Atas Tanah dan pertimbangan hakim dalam putusannya berkenaan dengan hal tersebut. Penelitian doktrinal ini mengumpulkan data sekunder melalui studi kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa PPJB lunas dibawah tangan antar PT dalam perbuatan hukum jual beli hak atas tanah adalah semestinya batal demi hukum karena PT tidak berhak memiliki, menjual ataupun menguasai Hak Milik atas tanah. Adapun pertimbangan hakim berkenaan dengan perbuatan hukum jual beli hak atas tanah dengan status Hak Milik (HM) antar PT melalui PPJB dibawah tangan adalah didasarkan pada hukum adat terkait jual beli yakni dipenuhinya syarat terang dan tunai sehingga PPJB lunas dibawah tangan dinyatakan dapat diakui. Selanjutnya hakim memerintahkan untuk menerbitkan Sertipikat Hak Milik dengan nama PT. Citra Mutiara Agung melalui kantor pertanahan setempat. Hal ini tentu saja perlu dikritisi karena PPJB belum dapat mengalihkan hak atas tanah dan kepada PT tidak dapat diberikan hak penguasaan atas tanah dengan status HM sehingga semestinya status hak penguasaan atas tanah diturunkan menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) agar PT dapat secara sah menguasainya
A fully paid Sales and Purchase Agreement (PPJB) is a form of preliminary agreement made by the parties in writing and proven by a receipt for payment in full. The preliminary agreement is intended to initiate the legal act of buying and selling land rights. Agreements made privately are still often found in society, although in reality, the evidentiary value of private agreements is not as strong as agreements outlined in notarial deeds. PPJB in full which is made privately can actually trigger disputes as found in the case of Subang District Court Decision Number 11/Pdt.G/2023/PN.Sng. The case in the decision is related to the PPJB in full in full under the hand made between Limited Liability Companies (PT) to initiate the legal action of buying and selling land rights with Ownership Rights status. Therefore, the issue raised in this research is about the legal consequences of a paid PPJB carried out under the hands of PT in the sale and purchase of land ownership rights and the judge's considerations in his decision regarding this matter. This doctrinal research collects secondary data through literature study which is then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be explained that the PPJB paid off under the hands of PT in the legal act of buying and selling land rights should be null and void because the PT has no right to own, sell or control land ownership rights. The judge's considerations regarding the legal act of buying and selling land rights with Ownership Rights (HM) status between PTs through underhand PPJB are based on customary law relating to sale and purchase, namely the fulfillment of clear and cash conditions so that the fully paid PPJB underhand can be recognized. Next, the judge ordered the issuance of a Certificate of Ownership in the name of PT. Citra Mutiara Agung through the local land office. This of course needs to be criticized because PPJB cannot transfer land rights and PT cannot be given control rights over land with HM status, so the status of land control rights should be reduced to Building Use Rights (HGB) so that PT can legally control it. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Soraya Syafrida
"Tesis ini membahas mengenai benturan kepentingan atas rangkapnya kedudukan organ perseroan yang berakibat ketidakefektifan di dalam melakukan fungsi pengawasan,sehingga tidak terdapat kontrol atas tindakan pendiri yang menjadi pemegang saham. Pendiri. Akan terbuka kemungkinan melakukan aktivitas menyimpang yang merugikan Perseroan. Penulis berfokus pada kemungkinan terjadinya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemegang saham,mayoritas yang merangkap sebagai direksi yang memanfaatkan pengalihan kekayaan perseroan untuk kepentingan pribadi atau penyalahgunaan kekayaan perseroan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis-normatif yang dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisa konsep hukum yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti, khususnya yang berkaitan dengan hukum Perseroan terbatas, benturan kepentingan atas organ Perseroan yang rangkap, dan peranan notaris dalam membuat akta pendirian dan penyusunan Anggaran Dasar Perseroan.
Hasil penelitian menyarankan bahwa perlu dilakukan reformasi hukum perusahaan agar pembuat undang-undang dalam hal ini legislative, dapat membuat pengaturan mengenai penerapan prinsip piercing the corporate veil yang tegas dalam UU PT khususnya mengenai pelaksanaan penjatuhan sanksi terhadap rangkap jabatan organ perseroan yang melakukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan yang mengakibatkan kerugian, sehingga tidak perlu menunggu putusan pengadilan sebagai penyelesaiannya.
This thesis discusses a conflict of interest over the dual position of the company's organs which can cause an ineffectiveness in carrying out the supervisory function, so that there is no control over the actions of the founder who becomes a shareholder. Founder. It will be open to the possibility of conducting deviant activities that harm the Company. The author focuses on the possibility of unlawful acts committed by shareholders, the majority of which are concurrently as directors who utilize the transfer of company assets for personal gain or misuse of the company's wealth. The research method used in this paper is juridical-normative conducted by reviewing and analyzing legal concepts relating to the legal issues under study, especially those relating to the law of limited liability companies, conflicts of interest over multiple organs of the Company, and the role of notaries in making deeds establishment and preparation of the Company's Articles of Association. The results of the study suggest that legal reform needs to be done so that lawmakers in this legislative matter can make arrangements regarding the application of the principle of piercing the corporate veil that is firm in the PT Law specifically regarding the imposition of sanctions on multiple positions of corporate organs that carry out transactions containing collision interests that result in losses, so there is no need to wait for court decisions as a solution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52113
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Andalia Farida
"Suatu perseroan, sebagaimana dimuat dalam penjelasan Undang-undang nomor 1 tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995 tentang Perseroan Terbatas, diharapkan menjadi salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional yang berasaskan kekeluargaan menurut dasar-dasar demokrasi ekonomi sebagai pengejawantahan dari Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Pada dasarnya dalam pendirian suatu perseroan terbatas, para pendiri mempunyai tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan. Sebagai suatu asosiasi modal, para pemegang saham perseroan telah menyisihkan dari kekayaannya ke dalam setoran modal yang terbagi atas saham, dan yang menjadi salah satu kepentingan pokok pemegang saham adalah perusahaan harus dapat memupuk keuntungan yang dapat meningkatkan nilai perusahaan bagi pemegang saham."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18937
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Naja Nurizkya
"Penelitian ini menyoroti kekosongan pengaturan secara khusus mengenai transaksi benturan kepentingan oleh Direksi PT yang memiliki unsur kepentingan pribadi sehingga dapat merugikan PT atau dalam doktrin hukum dikenal sebagai self dealing transaction. Bahwa UUPT di Indonesia hanya memberikan penekanan terhadap tugas fidusia (fiduciary duty) yang diemban oleh Direksi PT, tanpa secara tegas melarang self dealing transaction. Pengaturan di Amerika Serikat, Australia, dan Belanda mengakui langkah-langkah preventif dalam menghadapi self dealing transaction. Model Business Corporation Act 2016 di Amerika Serikat mengatur kriteria seperti pengungkapan kepentingan pribadi yang material, voting oleh mayoritas anggota Direksi atau pemegang saham yang tidak berkepentingan, dan aspek keadilan transaksi bagi perseroan. Di Australia, Corporations Act 2001 membutuhkan pengungkapan kepentingan dan persetujuan RUPS yang mempertimbangkan keuntungan perseroan. Di Belanda, Burgerlijk Wetboek Boek 2 menyatakan Direksi yang berkepentingan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan transaksi. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan prinsip pengaturan self dealing transaction dengan memberikan precaution indicators untuk menjaga keadilan dan kepentingan PT. Dalam memeriksa dan memutus kasus terkait transaksi benturan kepentingan, Majelis Hakim di Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam mendefinisikan transaksi benturan kepentingan antara Direksi dan perseroan yang dipimpinnya. Hakim cenderung bersifat normatif dengan hanya mempertimbangkan aspek formalitas, yaitu adanya persetujuan RUPS. Pada beberapa kasus, ketiadaan dalam hal transparansi Direksi dalam hal pengungkapan kepentingan pribadi maupun tidak adanya keterlibatan dari Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham yang tidak berkepentingan dalam pengambilan keputusan terkait transaksi benturan kepentingan. Berbeda dengan negara-negara tiap perbandingan, langkah-langkah preventif oleh Direksi yang memiliki kepentingan menjadi sangat penting dalam mengevaluasi keabsahan persetujuan RUPS oleh Majelis Hakim dan mencegah terjadinya praktik self dealing transaction yang merugikan PT. Melalui penilaian Hakim terhadap langkah-langkah preventif tersebut, persetujuan RUPS dapat memenuhi standar hukum yang ditetapkan dan melindungi kepentingan perseroan, para pemegang saham, dan memberikan perlindungan hukum bagi Direksi yang berkepentingan.
This thesis sheds light on the specific lack of regulations regarding self-dealing transactions by Directors of PT (Limited Liability Company) in Indonesia, where personal interests can harm the company. Unlike other countries like the United States, Australia, and the Netherlands, Indonesian law does not explicitly prohibit self-dealing transactions, focusing only on fiduciary duty obligations. In the United States, the Model Business Corporation Act 2016 outlines criteria such as disclosing material personal interests, voting by disinterested Directors or shareholders, and ensuring fairness in transactions. Australia's Corporations Act 2001 requires interest disclosure and approval from shareholders, considering the company's benefit. In the Netherlands, the Dutch Civil Code Book 2 states that interested Directors should not participate in decision-making. These regulations emphasize preventive measures and protect the company's interests. However, Indonesian judges face challenges in defining conflict of interest transactions between Directors and their companies. They often consider formal aspects, like approval from shareholders, without assessing transparency or the involvement of disinterested parties. This differs from other countries that emphasize preventive measures taken by Directors with personal interests to evaluate the validity of shareholder approvals and prevent harmful self-dealing practices. To ensure fairness and protect the company, shareholders, and interested Directors, Indonesian law should adopt precautionary indicators and encourage transparency in disclosing personal interests. By incorporating preventive measures into the evaluation of shareholder approvals, Indonesian judges can uphold legal standards and safeguard the company's interests. In conclusion, addressing the regulatory gaps regarding self-dealing transactions is essential in Indonesia. Implementing preventive measures and emphasizing transparency can protect the company and stakeholders, aligning Indonesian law with international practices."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library