Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23378 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Affifah Tata Tanjung
"Penelitian ini memperluas konsep therapeutic landscape dalam geografi kesehatan dengan menguraikan pola ruang sehat pasien PPOK. Karakteristik pasien seperti usia dan diagnosa klinis, serta tiga aspek therapeutic landscape dalam perilaku keruangan pasien membentuk pola ruang. Dengan melibatkan 30 responden, pasien menjelaskan aktivitas dan tempat-tempat terkait pemeliharaan kesehatan dari aspek fisik, aspek mental, aspek spiritual kemudian diperkaya dengan deskripsi site dan situation pada tempat tersebut. Sehingga dapat menjelaskan bagaimana ruang tersebut dan pola spasialnya. Penelitian ini menemukan bahwa pola ruang sehat tidak hanya terbentuk dari kedua variabel, melainkan kedekatan antar tempat, situasi lingkungan di sekitar tempat yang memiliki keseragaman, dan karakteristik tempat itu sendiri.

This research expands the therapeutic landscape concept in health geography by describing the healthy space patterns of COPD patients. Patient characteristics such as age and clinical diagnosis, as well as three aspects of the therapeutic landscape in the patient's spatial behavior form the spatial pattern. By involving 30 respondents, patients explain the activities and places related to health care from physical aspects, mentality aspects, spirituality aspects and then enriched with a description of the site and situation at the place involved. Therefore that can explain how the space and spatial patterns. This study found that the pattern of healthy space is not only formed from the two variables, but the proximity between places, situations around places that have uniformity, and the characteristics of the place itself.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Prilia Damaranti
"PPOK merupakan penyakit pernapasan kronis penyebab morbiditas dan mortalitas terbanyak dengan dampak pembiayaan yang cukup tinggi di Indonesia. Clinical Pathway (CP) adalah bagian dari pelaksanaan tata kelola klinis rumah sakit dan salah satu tools dalam mewujudkan sistem kendali mutu dan kendali biaya di era JKN. Efektivitas kepatuhan penerapan clinical pathway (CP) terhadap luaran klinis pasien pada beberapa penelitian menunjukkan hasil yang positif. RS Paru Respira Yogyakarta telah menetapkan CP PPOK sebagai CP prioritas, namun dalam proses evaluasi kepatuhan CP belum menggunakan seluruh komponen PPA seperti yang diatur dalam Permenkes Nomor 30 Tahun 2022. Paradigma pelayanan kesehatan saat ini adalah value-based healthcare sehingga perlu dilakukan evaluasi dampak kepatuhan CP terhadap luaran klinis pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan CP terhadap luaran klinis pasien PPOK, dan proses penerapan kepatuhan CP PPOK di RS Pusat Paru Respira Yogyakarta tahun 2022. Desain penelitian adalah observasional (cross sectional) dengan pendekatan mix method. Pengambilan data metode kuantitatif menggunakan rekam medis pasien rawat inap dengan diagnosis utama PPOK tahun 2022 (n=57) dan metode kualitatif dengan wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Hasil penelitian kuantitatif didapatkan tingkat kepatuhan CP PPOK sebesar 87,7%, ada hubungan yang signifikan antara beban kerja DPJP dengan kejadian komplikasi (p value=0,003) dan antara kepatuhan CP dengan luaran klinis yaitu komplikasi (p value=0,05 dan OR=6,75), faktor yang paling berpengaruh pada luaran klinis pasien adalah kepatuhan terhadap CP. Metode kualitatif, berdasarkan perspektif 10 variabel dalam teori Gibson dan Mathis-Jackson, didapatkan hasil yang baik pada variabel sikap. Untuk variabel pengetahuan, supervisi, komunikasi, pelatihan, SDM, standar kinerja, sarana prasarana, insentif dan struktur organisasi masih perlu peningkatan. Untuk meningkatkan kepatuhan CP diperlukan komunikasi yang efektif antara pembuat dan pelaksana CP, pemahaman dan komitmen penuh para PPA, dukungan manajemen untuk rutin meninjau ulang tata laksana CP, meningkatkan sosialisasi, pelatihan, sarana prasarana, kebutuhan SDM, fasilitas IT penunjang serta regulasi terkait pelaksanaan CP.

COPD is a chronic respiratory disease that causes the most morbidity and mortality with a high cost impact in Indonesia. Clinical Pathway (CP) is part of the implementation of hospital clinical governance and one of the tools in quality and cost control system in JKN era. The effectiveness of clinical pathway (CP) compliance to patient clinical outcomes in several studies has shown positive results. Respira Pulmonary Hospital Yogyakarta has designated CP COPD as a priority CP, but in the process of evaluating CP compliance, it has not used all Profesional Caregiver components as stipulated in Health Ministerial Regulation No. 30 of 2022. The current paradigm of health services is value-based healthcare, so it is necessary to evaluate the impact of CP compliance on the patient's clinical outcome. This study aims to determine the association of CP compliance to the clinical outcome of COPD patients and the process of implementing COPD CP compliance at the Respira Pulmonary Hospital Yogyakarta in 2022. The research design is observational (cross sectional) with mix method approach. Quantitative method data collection using inpatient medical records with a primary diagnosis of COPD in 2022 (n=57) and qualitative method using with in-depth interviews, observation and document review. The results of quantitative study showed that COPD CP compliance rate is 87.7%, there is a significant relationship between doctor in charge of services workload with the incidence of complications (p value=0.003) and between CP compliance with clinical outcomes of complications (p value=0.05 and OR=6.75), factor that most influenced the patient's clinical outcome was CP compliance. Qualitative methods, based on the perspective of 10 variables in the theory of Gibson and Mathis-Jackson, showed good results on attitude variables. Knowledge, supervision, communication, training, human resources, performance standards, infrastructure, incentives and organizational structure variables still need improvement. To improve CP compliance, an effective communication between CP makers and implementer are required, full understanding and commitment of Profesional Caregivers, management support to regularly review CP governance, improve socialization, training, infrastructure, human resource needs, supporting IT facilities and regulations related to the implementation of CP are required."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Fatimah
"PPOK merupakan penyakit yang bersifat kronis, irreversible, dan progresif lambat semakin lama semakin memburuk. Hal tersebut membuat pasien PPOK mengalami ketergantungan terhadap obat dan orang lain, sehingga rentan mengalami gangguan status emosional. Maka, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan status emosional pada pasien PPOK. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik consecutive sampling. Data diolah menggunakan perangkat lunak dengan menggunakan uji statistik Chi Square.
Hasil analisis hubungan antara dukungan sosial dengan status emosional pada pasien PPOK menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan status emosional depresi p=0.921, status emosional kecemasan p=0.184, dan status emosional stress p=0.795. Namun, peneliti menyarankan pada rumah sakit agar melakukan skrinning status emosional pada setiap pasien, khususnya pasien PPOK agar dapat mencegah terjadinya perburukan.

COPD is a chronic disease, irreversible, slow progressive disease progressively worsens. This makes the COPD patient dependent on drugs and others, so vulnerable to emotional status disorders. So, researchers interested to know the relationship between social support with emotional status in patients with COPD. The sampling technique used in this research is consecutive sampling technique. Data is processed using software using Chi Square statistical test.
The analysis of the relationship between social support and emotional status in COPD patients showed no association between social support with emotional status depression p 0.921, emotional status anxiety p 0.184, and emotional status stress p 0.795 . Horever, investigators suggest that the hospital should screen for the emotional status of each patient, especially in the case of COPD to prevent worsening.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enadang Tinambunan
"ABSTRAK
Pajanan debu terus menerus dapat menyebabkan masalah kesehatan pada paru,
dan perlu dideteksi segera. Kapasitas paru dapat diukur dengan menggunakan
spirometer, sebagai standar emas penilaian fungsi paru. Sedangkan peak flow
meter, dapat pula digunakan untuk mendeteksi obstruksi paru. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian deteksi obstruksi paru antara
spirometer dan peak flow meter. Selain itu ingin diketahui persepsi pemilik usaha
terhadap pentingnya pemantauan kesehatan paru pekerja dengan menggunakan
spirometer dan atau peak flow meter. Dilakukan penelitian mix method, dengan
menggunakan desain cross sectional untuk mendeteksi perbedaan proporsi
obstruksi paru menggunakan 2 alat pemeriksaan pada pekerja mebel, serta
penelitian kualitatif untuk mengetahui persepsi pemilik usaha dengan metode
kelompok diskusi terarah. Uji Mc. Nemar dan Kappa dipakai untuk menilai
perbedaan proporsi dan kesesuaian menggunakan SPSS versi-16. Hasil survey
terhadap 80 pekerja industri mebel, dengan usia antara 20- 68 tahun menunjukkan
perbedaan bermakna persentase obstruksi paru hasil spirometer dengan peak flow
meter. Didapatkan 10% (8 pekerja) mengalami gangguan obstruksi berdasarkan
spirometer, sementara dari pemeriksaan peak flow meter 25 % ( 20 pekerja)
mengalami gangguan obstruksi, dan tingkat kesesuaian yang rendah dengan
Kappa bernilai 0,25 (p <0,05). Hasil penelitian kualitatif menunjukkan bahwa
para pemilik industri mebel lebih cenderung menggunakan alat peak flow meter
karena lebih praktis, user friendly, sederhana dan murah. Sebagai kesimpulan
penelitian ini, walaupun tingkat kesesuaian antara spirometer dengan peak flow
meter tergolong fair (rendah), namun peak flow meter dapat digunakan sebagai
alternatif skrining deteksi obstruksi saluran napas. Spirometer tetap merupakan
alat standar untuk mendiagnosis obstruksi saluran napas. ABSTRACT
Occupational lung disease remain one of the most common workplace health
challenges since the industrial revolution. The continuously dust exposure can
cause health problems in the lungs, and need to be detected immediately. The
measurement of lung capacity can be obtained using spirometer, a gold standards
tools to established obstructive lung disease. On the oher hand there is another
tools, peak flow meter, a simple, affordable and friendly users tool to detect lung
obstruction.
A mix method research, cross sectional and focused grop discussion was
conducted to the determine the level of suitability between spirometer and peak
flow meter, based on differences in the proportion of lung obstruction in workers .
Test results spirometer and peak flow meter is determined by two experts of the
80 workers in the furniture industry, aged 20 to 68 years. Mc Nemar test and
Kappa used to assess the suitability of the spirometer and peak flow meter using
SPSS version 16 .
There is a different percentage between the results of pulmonary obstruction by
using spirometer and peak flow meter ( 25 % vs 10 % ) . Both tools showed the
mismatch according to McNemar test ( p<0.05) and had a low level of suitability
from the Kappa test based on the value of 0.25 (p<0.05). This shows that there is
a low suitability between the spirometer and peak flow meter . Although peak
flow meters provide lower yields , because its use is more practical , simple and
cheap , the owner of the furniture industry is more likely to use this tool . It is
suggested to conduct similar studies with larger samples to assess the sensitivity
and specificity."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T5519
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alyanisa Ulfathinah
"Penyakit paru obstruktif kronik dapat menyebabkan seseorang mengalami keluhan pernapasan seperti sesak napas, batuk, sputum berlebih. Keluhan pernapasan dan berbagai faktor dapat mempengaruhi kualitas tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas tidur pada pasien PPOK. Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan purposive sampling. Sebanyak 200 sampel diambil di tiga rumah sakit daerah jakarta pada Mei-Juni 2018. Kuesioner menggunakan COPD Assesment Test dan Pittsburgh Sleep Quality Index.
Hasil penelitan menunjukkan 66 pasien PPOK memiliki kualitas tidur buruk dengan masalah tertinggi yaitu durasi tidur. Kualitas tidur buruk ditemukan rata-rata pada usia 62 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan SD/SMP, pendapatan kurang lebih Rp.2.000.000, menikah, IMT normal, memiliki >1 penyakit penyerta, terdiagnosis PPOK 12 bulan. Pasien PPOK yang mengalami kualitas tidur buruk mayoritas memiliki keluhan pernapasan sedang-berat. Tingkat keluhan pernapasan memiliki hubungan dengan kualitas tidur p = 0,016;OR:2,28. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan diharapkan dapat memperbaiki atau meningkatkan kualitas tidur pasien PPOK.

Chronic obstructive pulmonary disease can cause someone experience respiratory complaints such as shortness breath, coughing, excessive sputum. Respiratory complaints and many factors can influence sleep quality. This study purpose to describe sleep quality in COPD. Design used cross sectional purposive sampling in May June 2018. Respondents was 200 at three hospitals in Jakarta. Questionnaire used COPD Assesment Test and the PSQI.
Results showed that 66 COPD had poor sleep quality, the highest problems was sleep duration. Poor sleep quality was found average at 62 years old, male, education level in elementary junior high school, income Rp.2.000.000, married, had normal BMI and 1 comorbidities, diagnosed COPD for 12 months. Most of COPD who experience poor sleep had moderate severe respiratory complaints. There was relationship between respiratory complaints and poor sleep quality in COPD p 0.016 OR 2,28 . Nurses as caregivers is expected to correct or improve sleep quality in COPD.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwien Heru Wiyono
Jakarta: UI-Press, 2009
PGB 0289
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Sri Hastuti
"Pendahuluan : PPOK eksaserbasi akut dikaitkan dengan risiko kematian yang tinggi. Sebuah studi prospektif menemukan bahwa skor CURB-65 berhubungan dengan kematian pada PPOK eksaerbasi akut. Komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian pada PPOK derajat sedang dan berat. Hipotesis kami modifikasi skor CURB-65 skor (CURB-65 ditambah komorbid kardiovaskular) dapat memprediksi risiko kematian pada PPOK eksaserbasi akut.
Metode : Kami melakukan analisis secara prospektif dalam 1 tahun untuk mortalitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi potensi kematian pada pasien PPOK eksaserbasi akut antara Maret dan November 2012. Modifikasi skor CURB-65 dihitung dari penilaian awal saat pasien masuk ke IGD atau poli asma/PPOK di RSUP Persahabatan Jakarta. Skor terdiri dari satu poin untuk variabel confusion, urea> 7 mmol / L, frekuensi napas ≥ 30/min, tekanan darah sistolik <90 mmHg atau tekanan darah diastolik <60 mmHg, usia ≥ 65 tahun dan penyakit kardiovaskular (dinilai dengan EKG dan ekokardiografi). Setelah 12 bulan evaluasi, dilakukan analisis hubungan antara modifikasi skor CURB-65 dan risiko kematian menggunakan uji Chi Square, uji Fisher dan Kolmogorov Smirnov.
Hasil : Terdapat 76 subjek penelitian. Angka kematian selama 30 hari adalah 9,2% dan dalam satu tahun adalah 27,6%. Prevalensi penyakit kardiovaskular adalah 63,2%. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, frekuensi napas dan modifikasi skor CURB-65 dengan risiko mortalitas dalam 30 hari pasca eksaserbasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, IMT, lama PPOK, derajat PPOK, VEP1%, APE dan frekuensi napas dengan risiko mortalitas dalam 6 bulan. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, IMT, lama PPOK, derajat PPOK, VEP1%, APE dan frekuensi napas, komorbiditas kardiovaskuler dan modifikasi skor CURB-65 dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan. Modifikasi skor CURB-65 ≥ 2 dapat digunakan sebagai titik potong untuk memprediksi mortalitas dalam 12 bulan pasca PPOK eksaserbasi akut.
Kesimpulan : Angka mortalitas dalam satu tahun pada PPOK pasca eksaserbasi cukup tinggi. Modifikasi skor CURB-65 dapat memprediksi mortalitas dalam dalam 1 tahun pada PPOK eksaserbasi. Skor ini mungkin berguna dalam memprediksi prognosis untuk pasien PPOK dan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan pengobatan secara optimal.

Introduction : Acute exacerbation of COPD (AECOPD) is associated with a high risk of mortality. A prospective study found that CURB-65 score was associated with mortality in AECOPD. Comorbidity such as cardiovascular disease is major causes and, in mild-to-moderate COPD, are the leading causes of mortality. We hypothesized a risk-prediction model using modification of CURB-65 score (CURB-65 with cardiovascular disease) can predicted risk of death in AECOPD.
Methods: We investigated prospectively the 1-year mortality rate and potential determinants of mortality for all patients admitted to the hospital with an AECOPD between March and November 2011. The modification of CURB-65 Score were calculated from information obtained at initial hospital presentation. The modification of CURB-65 Score are one point each for Confusion, Urea > 7 mmol/L, Respiratory rate ≥30/min, Sistolic Blood pressure < 90 mmHg or diastolic blood pressure < 60 mmHg, age ≥ 65 years and present of cardiovascular disease (use echocardiography). After 12 months of evaluation, the relation between modification of CURB-65 score and risk of mortality will analyze using Chi Square test, Fisher?s test and Kolmogorov Smirnov.
Result: 76 patients have been collected. The mortality rate during 30 days was 9,2% and one-year mortality was 27,6%. The prevalence of cardiovascular disease was 63,2%. There was significant correlation between smoking status, respiratory rate and modification of CURB-65 score with 30 days risk of mortality. There was significant correlation between smoking status, BMI, duration of COPD, severity of COPD, FEV1%, PFR and respiratory rate with 6 months risk of mortality. There was significant correlation between smoking status, BMI, duration of COPD, severity of COPD, FEV1%, PFR and respiratory rate, cardiovascular comorbidity and modification of CURB-65 score with 12 months risk of mortality. Curb-65 Modifications score ≥ 2 can be used as a cut-off point for predicting mortality in 12 months in acute exacerbations of COPD.
Conclusion : 1-year mortality after AECOPD admission is high. The modification of CURB-65 score was effective in predicting mortality in our cohort of acute COPD exacerbations. This model may be useful in predicting prognosis for individuals and thus in guiding treatment decisions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Antono
"Latar Belakang: PPOK adalah penyakit yang penting di seluruh dunia baik di negara maju maupun berkembang. Penyapu jalan raya terpajan oleh partikel debu, bioaerosol dan berbagai gas berbahaya. Penelitian ini mengevaluasi prevalens PPOK pada penyapu jalan raya di Jakarta.
Metode : Penelitian potong lintang pada 153 subjek penyapu jalan raya di Jakarta, berusia lebih dari 40 tahun dengan masa kerja lebih dari 2 tahun. Pengumpulan subjek menggunakan metode cluster sampling berdasarkan lokasi kerja daerah kotamadya di Jakarta. Diagnosis PPOK berdasarkan kuesioner COPD Assessment Test CAT, The Modified British Medical Research Council mMRC, pemeriksaan spirometri berdasarkan Pneumobile Project Indonesia dan dilakukan uji bronkodilator bila didapatkan hasil obstruktif.
Hasil : Prevalens PPOK pada penyapu jalan raya di Jakarta adalah 10 dari 153 subjek 6,5 . Enam subjek laki-laki 60 , tidak menggunakan masker 80 , bekerja lebih dari 10 tahun 70 , perokok 60 dan indeks massa tubuh le;25 kg/m2 80. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara usia dan PPOK.

Background: Chronic obstructive pulmonary disease COPD is an important disease worldwide in both high income and low income countries. Dust has been known to increase COPD risk. During sweeping activity, sweepers are exposed to dust. The street sweepers are exposed to dust particles, bioaerosols, and various harmful gases. In this study we evaluates the prevalence of COPD among street sweepers in Jakarta.
Method: This is a cross sectional study among 153 street sweepers in Jakarta, Indonesia with age more than 40 years old with working period more than 2 years. Subjects were collected by cluster sampling method based on working location correlated with Jakarta regional district area. COPD was diagnosed by using questionnaires of COPD Assessment Test CAT, The Modified British Medical Research Council mMRC, spirometry examination based on Pneumobile Project Indonesia, and bronchodilator test if there was obstructive results.
Results A total of 153 subjects was selected for spirometry examination. The prevalence of COPD among street sweepers in Jakarta, Indonesia was 10 of 153 subject 6.5. Six of them were males 60, do not use face mask 80 , working years 10 years 70, smokers 60, and BMI le 25 kg m2 80 .There was a statistically significant relationship between age and COPD p 0,05.
Conclusion Prevalence of COPD among street sweepers in Jakarta is 6.5 . Factor related to the occurrence of COPD is age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ihsan Azizi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penurunan tekanan pada kabin pesawat dapat mencetuskan gejala hipoksia pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Saat ini belum ada laporan mengenai profil gejala hipoksia saat penerbangan dan gambaran penilaian kelaikan terbang berdasarkan kemungkinan kejadian hipoksia saat penerbangan pada jemaah haji dengan PPOK. Tujuan: Mengetahui profil pasien PPOK yang mengalami gejala hipoksia saat penerbangan dan penilaian kelaikan terbang tanpa menggunakan oksigen berdasarkan fungsi faal paru, saturasi oksigen dan aktifitas berjalan lebih dari 50 meter pada jemaah haji dengan PPOK. Metode: Studi kohort prospektif yang dilakukan pada jemaah haji Embarkasi Jakarta dengan PPOK saat pelaksanaan ibadah haji tahun 2011. Hasil: Pada studi ini didapatkan 36 subyek jemaah haji dengan PPOK. Pada penilaian pra-keberangkatan didapatkan 33 subyek yang dinilai laik terbang tanpa menggunakan oksigen. Saat penerbangan didapatkan tiga subyek mengalami gejala hipoksia. Dua orang berasal dari kelompok yang dinilai laik terbang tanpa menggunakan oksigen dan satu orang dari kelompok yang dinilai laik terbang dengan menggunakan oksigen. Karakterisitik subyek yang mengalami gejala hipoksia didapatkan pada perokok aktif (10,5%), tidak terdiagnosis PPOK sebelumnya (8,8%), PPOK derajat sedang (9,5%), usia lebih dari 60 tahun (5,3%) dan adanya komorbiditas (4,2%). Kesimpulan: Sebagian besar penderita PPOK dapat melakukan penerbangan tanpa menggunakan oksigen.

ABSTRACT
Background: The decreased pressure in aircraft cabins may cause hypoxia symptoms in patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Currently, there is no publication known to have reported the profile in-flight hypoxia symptoms and pre-flight medical screening to predict the need for oxygen supplementation in COPD pilgrims. Objective: To obtain profile of in-flight hypoxia and pre-flight assessment for fitness to fly without oxygen supplementation based on pulmonary function test, oxygen saturation, and the ability to walk more than 50 meters among pilgrims with COPD. Methods: This is a cohort-prospective study which was conducted during pilgrimage season during hajj year of 2011. Results: Thirty three COPD patients were identified and subsequently recruited to this study. Pre-flight medical assesment concluded that 33 subject were fit to fly without supplemental oxygen. Nevertheless, three subject developed in-flight hypoxia symptoms i.e. two of them were fit to fly without supplemental oxygen, while another subject was recommended to have supplemental oxygen. Characteristics of subjects with in-flight hypoxia were as follows: (10.5%) current smokers, (8.8%) not known to have COPD prior to health examination, (9.5%) moderate COPD category, (5,3%) above 60 years of age, and (4,2%) with comorbidity. Conclusion: Most pilgrims with COPD were fit to fly without oxygen supplementation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Sudirman Parningotan
"Latar Belakang: Disfungsi skeletal yang terjadi pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK mengakibatkan menurunnya kemampuan fungsi tangan terutama dalam menggengam dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari AKS . Latihan tanpa tumpuan pada anggota gerak atas telah terbukti dapat memperbaiki disfungsi skeletal pada PPOK. Metode latihan yang dapat diberikan yaitu dengan metode Proprioceptive Neuromuscular Facilitation PNF dan metode abduksi. Sampai saat ini belum terdapat bukti dalam menentukan metode yang terbaik dalam memperbaiki disfungsi skeletal pada PPOK. Pada penelitian ini akan membandingkan 2 bentuk metode latihan tanpa tumpuan pada anggota gerak atas antara metode PNF dan metode abduksi terhadap fungsi tangan pada program rehabilitasi paru.
Metode: Penelitian dengan desain eksperimental dengan consecutive sampling. Terdapat 32 subyek dengan PPOK derajat B,C dan D stabil secara medis yang datang ke RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteri inklusi dan eksklusi. Penilaian kekuatan genggaman tangan dengan Jamar handgrip dynamometer dan kemampuan dalam melakukan AKS dinilai dengan Uji Glittre yang dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Subyek dibagi dalam kelompok metode PNF dan metode abduksi. Kedua kelompok mendapatkan program rehabilitasi paru. Intervensi diberikan sebanyak 20 sesi latihan selama 8 minggu.
Hasil : Terdapat 21 subyek yang menyelesaikan program latihan sebanyak 20 sesi. Pada analisis kedua kelompok terdapat peningkatan yang bermakna secara statistik pada handgrip dynamometer, dan hanya pada kelompok metode PNF yang memberikan peningkatan bermakna secara statistik pada uji Glittre. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kelompok metode PNF dan metode abduksi terhadap peningkatan handgrip dynamometer dan uji Glittre, namun didapatkan perbedaan peningkatan yang bermakna secara klinis antara metode PNF dan metode abduksi terhadap uji Glittre.
Simpulan : Latihan tanpa tumpuan pada angggota gerak atas dengan metode PNF dapat memberikan peningkatan yang lebih baik secara klinis dibandingkan dengan latihan dengan metode abduksi pada program rehabilitasi paru untuk meningkatkan fungsi tangan dalam melakukan AKS.

Background: Skeletal dysfunction that occurs in Chronic Obstructive Pulmonary Disease COPD resulted in diminishing ability in hand function especially in hand grasp and activities of daily living ADL performance. Unsupported upper extremity exercise had proven to be useful in treating skeletal dysfunctions on COPD. The recommended exercise that can be prescribed is the Proprioceptive Neuromuscular Facilitation PNF method and abduction method. Until the recent time, there has been no evidence in determining the best method to improve skeletal dysfunction in COPD. This study will attempt to compare the two methods Unsupported upper extremity exercise between PNF and abduction for the hand function in pulmonary rehabilitation program.
Methods: This is an experimental study with consecutive sampling. There were 32 subjects with COPD of grades B, C, and D all are medically stable who came to Persahabatan General Hospital, after fulfilling all inclusion and exclusion criteria. Hand grip strength was graded by using the Jamar handgrip dynamometer, while the grading of ADL performance were assessed with Glittre Test that was done before and after intervention. Subjects were divided to two groups, the PNF method and abduction method. Both groups were given pulmonary rehabilitation program. Interventions consist of 20 exercise sessions for 8 weeks.
Results: There were 21 subjects that successfully completed 20 exercise sessions. In the analysis of both groups, there were significant increase in handgrip dynamometer, and only PNF method significantly improved ADL performance in Glittre Test. There was no statistically significant difference in between both groups on the increase of handgrip dynamometer and Glittre test, however there was clinically significant increase PNF method and abduction method on the Glittre test.
Conclusions: Unsupported upper extremity exercise with PNF methods give better clinically significant improvement on hands function for ADL compare to abduction methods in pulmonary rehabilitation program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>