Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63696 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Audaraziq Ismail
"Diskresi menjadi isu krusial karena memberikan peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang atau perbuatan sewenang-wenang yang dapat menimbulkan kerugian negara yang berakibat pada tindak pidana korupsi. Secara sempit, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan kehendak pejabat administrasi negara yang berwenang sebagai pelengkap dari asas legalitas yang tidak mungkin diakomodir oleh undang-undang. Secara luas, diskresi dapat diartikan menjadi 3 hal yakni Pertama, sebagai kewenangan Pejabat Administrasi Pemerintahan Daerah untuk mengelola keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN atau APBD. Kedua, diskresi diartikan sebagai pengelolaan kekayaan negara, Ketiga, sebagai bentuk pelaksanaan Inovasi Daerah oleh Pejabat Pemerintah Daerah. Berkenaan dengan pelaksanaan Inovasi Daerah, dalam rangka pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, seorang pejabat administrasi daerah dapat melakukan inovasi dimana bila tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan tidak dapat dipidana. Oleh karenanya diskresi yang dilaksanakan oleh Pejabat Pemerintah Daerah seharusnya dipertimbangkan sebagai bentuk dari Inovasi Daerah. Metode penelitian tesis ini bersifat normatif yuridis dengan tipe penelitian hukum deskriptif sehingga permasalahan hukum dalam penelitian ini dapat dipaparkan berdasarkan pada hasil studi kasus. Secara singkat, hasil penelitian tesis ini, masih dipertimbangkannya prinsip dan etika sebagai bahan pertimbangan lain dalam menuntut, mendakwa, maupun memutus oleh Jaksa Penuntut Umum maupun Majelis Hakim sehingga perlu untuk dibuktikan terlebih dahulu di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Discretion is a crucial issue because it provides an opportunity for abuse of authority or arbitrary actions that can cause state losses resulting in criminal acts of corruption. Narrowly, discretion is defined as the freedom of the will of the authorized state administration official as a complement to the legality principle which cannot be accommodated by law. Broadly speaking, discretion can be interpreted into 3 things: First, as the authority of Regional Government Administration Officials to manage state finances in the context of implementing the APBN or APBD. Second, discretion is defined as the management of state assets. Third, as a form of implementation of Regional Innovation by Regional Government Officials. With regard to the implementation of Regional Innovation, in the context of reforming the implementation of Regional Government, a regional administration official can make an innovation where if it does not achieve the predetermined target, it cannot be convicted. Therefore the discretion exercised by Regional Government Officials should be considered as a form of Regional Innovation. This thesis research method is normative juridical with descriptive legal research type so that the legal problems in this research can be described based on the results of the case study. In short, the results of this thesis research, principles and ethics are still being considered as other considerations in prosecuting, accusing, or making decisions by the Public Prosecutor and the Panel of Judges so that it needs to be proven first in the State Administrative Court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Korupsi dikategorikan sebagai ke jahatan luarbiasa, karena dapat
memengaruhi citra negara, sekaligus mengguncang kestabilan sosial politik sebuah
pemerintahan. Kendati tuntutan pemberantasan korupsi di dalam negeri sangat tinggi,
kenyataannya, para penegak hukum Indonesia belum mampu menghapuskan korupsi.
Bagi beberapa aktor korupsi, motif di balik perilaku korupnya bersumber pada
wewenang yang dimiliki. Tulisan ini berfokus pada situasi di mana pejabat publik
tersangka korupsi dituduh melakukan kejahatan karena kuasa diskresinya. Ini berarti,
korupsi yang dituduhkan padanya merupakan konsekuensi dari wewenang
pengambilan keputusan. Terperangkap oleh kuasa diskresinya, kategori tertuduh
semacam ini tetap dikenai dakwaan korupsi, kendati uang atau fasilitas yang diperolehnya tidak dinikmatinya secara pribadi."
340 MIMBAR 27:2(2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiandriatmoko
"Dalam suatu proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, fase penanganan awal merupakan fase yang paling krusial, karena merupakan fase yang sangat penting dalam menentukan “nasib” tersangka, apakah akan ditahan, direhabilitasi atau dibebaskan. Pada fase ini juga terjadi penggunaan diskresi yang paling intensif oleh Penyidik Polri, yaitu ketika Penyidik Polri menggunakan kewenangannya untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab atau bertindak menurut penilaiannya sendiri sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian. Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama dengan menggunakan metode survei terhadap 124 Penyidik Polri, diketahui bahwa Penyidik Polri memang masih tidak konsisten dalam penggunaan kewenangan diskresinya. Setelah dilakukan penelitian tahap kedua dengan menggunakan metode empiris, diketahui bahwa penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri hanya mempedomani ketentuan yang tertulis dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian, dan kurang mempedomani teori dasar diskresi sebagaimana dikemukan oleh para ahli hukum yang pada intinya menegaskan bahwa diskresi adalah merupakan ide atau gagasan tentang moral, yang letak kedudukannya ada pada zona abu-abu antara hukum dan moral, dalam penggunaan diskresi semestinya lebih mengutamakan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum, dan harus mendasarkan pada akal sehat serta itikad baik. Akibatnya, penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri cenderung lebih mengejar kepastian hukum dari pada mewujudkan keadilan, lebih mengutamakan pertimbangan hukum dari pada pertimbangan moral, dan cara berpikirnya lebih berorientasi pada hukum positif dari pada hukum alam. Hal itulah yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kelebihan hunian di Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia. Ketika hasil penelitian empiris dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan metode normatif, diketahui bahwa pengunaan diskresi oleh Penyidik Polri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari aspek hukum atau perundang-undangannya, aspek aparat penegak hukumnya, sarana pendukung penegakan hukumnya, maupun kondisi masyarakat dan budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, agar penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika menjadi lebih baik, maka perlu dilakukan upaya penataan ulang terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut.

In the process of investigating crimes of narcotics abuse, the initial handling phase is the most crucial phase, because it is a very important phase in determining the "fate" of the suspect, whether they will be detained, rehabilitated or released. In this phase, the most intensive use of discretion by the Indonesian National Police Investigators also occurs, namely when the Indonesian National Police Investigators use their authority to carry out other actions according to the law that are responsible or action according to their own judgment as regulated in the Criminal Procedure Code and the Police Law. Based on the results of the first stage of research using a survey methode of 124 National Police Investigators, it is known that Indonesian National Police Investigators are still inconsistent in the use of their discretionary authority. After carrying out the second stage of research using empirical methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators only guided the provisions written in the Criminal Procedure Code and the Police Law, and did not follow the basic theory of discretion as put forward by legal experts who essentially emphasized that discretion is moral ideas, which are located in the gray zone between law and morals, in the use of discretion should prioritize moral considerations over legal considerations, and must be based on common sense and good faith. As a result, the use of discretion by Indonesian National Police Investigators tends to pursue legal certainty more than realizing justice, prioritizes legal considerations over moral considerations, and their way of thinking is more oriented towards legal positivism than natural law. This is thought to be one of the causes of excess in detentions and prisons throughout Indonesia. When the results of the empirical research were analyzed further using normative methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators was influenced by various factors, such as legal or statutory aspects, aspects of law enforcement officers, supporting facilities for law enforcement, or the condition of society and the culture of the community. Therefore, in order for the use of discretion by Indonesian National Police Investigators in investigating crimes of narcotics abuse to be better, efforts need to be made to reorganize the various factors that influence this."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
"ABSTRAK
Dalam negara hukum modern (negara kesejahteraan), diskresi yang
dilakukan oleh pejabat administrasi negara merupakan hal yang tak terhindarkan.
Dinamisnya tugas-tugas administrasi negara serta keterbatasan peraturan
perundang-undangan dalam merespon kemajuan masyarakat menjadikan diskresi
acapkali dilakukan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul.
Walaupun diskresi sering diartikan sebagai kewenang bebas atau kebebasan dalam
bertindak, namun sejatinya penggunaan disresi dalam administrasi negara tidak
benar-benar bebas, tetap harus memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kedua hal tersebut
merupakan acuan ketika menggunakan wewenang diskresi agar tidak menjadi
penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang yang justru malah merugikan
masyarakat. Selain itu, pejabat administrasi negara pun harus dapat
mempertanggungjawabkan diskresi yang telah dilakukan, tanggung jawab ini
berupa tanggung jawab moral dan tanggung jawab hukum.

ABSTRACT
In modern state law( welfare state ), discretion by administrative officials
is inevitable. Dynamic state administration tasks as well as the limitations of
legislation in response to the progress of society often make discretionary done in
solving the problems that arise. Although discretion is often interpreted as free
authority or freedom to act, but actually the use of discretion in the administration
officials is not really free, but still have to pay attention to the laws in force and
the general principles of good governance. Both of these are a reference when
using discretionary powers so as not to be an abuse of authority and arbitrary that
it actually detrimental to society. In addition, administration officials must be
accountable discretion that has been made, the liability is a moral liability and
legal liability."
2014
T38720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kelling, George L.
Washington, DC.: Department of justice, 1999
363.2 KEL b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alfa Nurul Atika
"Tulisan ini membahas mengenai penerapan diskresi polisi dalam proses penyelidikan kasus tindak pidana narkotika dan pencucian uang dari hasil kejahatan narkotika yang dilakukan di lingkup Ditresnarkoba Polda Metro Jaya. Dengan memanfaatkan data hasil wawancara serta data kasus di Ditresnarkoba, penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan diskresi dalam proses penyelidikan kasus kejahatan narkotika dan pencucian uang direpresentasikan melalui penyaringan perkara. Diskresi yang dilakukan pada proses penyelidikan kejahatan narkotika dan pencucian uang merujuk pada situasi penerapan diskresi oleh pandangan Wilson. Penerapan diskresi dilakukan dengan mempertimbangkan adanya faktor internal direktorat yang terkait dengan nilai organisasi di lingkup Ditresnarkoba. Identifikasi lima pendekatan normative order meliputi aturan hukum; kontrol birokrasi; pengalaman; kemampuan; dan moralitas memberikan penjelasan bahwa nilai dan budaya organisasi di Ditresnarkoba dapat menjadi pengaruh perilaku polisi terkait penerapan diskresi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Setyawan
"ABSTRAK
Tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 adalah tindak pidana yang mempunyai karakteristik sebagai tindak pidana yang white collar crime hal ini berhubungan dengan pelaku yang mempunyai kekuatan ekonomi ataupun kekuatan politik , subyek atau pelaku tindak pidana individu sebagai manusia dan juga dapat sebuah korporasi, berbentuk organitation crimes berkaitan dengan lintas batas wilayah negara atau transnational. Dalam melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang diatur dalam KUHAP, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan surat-surat Keputusan Kapolri yang merupakan petunjuk lapangan dan petunjuk teknis, serta Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Selanjut memberikan aturan melakukan tindakan lain sesuai dengan penilaian kualitas individu dan untuk kepentingan umum yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP dengan dibatasi persyaratan a).tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b).selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; c). tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d). atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; e).menghormati hak asasi manusia. Selanjutnya dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, mengatur juga kewenangan diskresi. Makna dikresi dikaitkan dengan penyidikan adalah kewenangan yang diberikan .berdasarkan asas kewajiban {plichmatigheids beginsel) sebagai tindakan individu dari penyidik dengan dibatasi dengan norma-norma professional, norma hukum, norma moral dan kemasyarakatan, karena tidak adanya perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya sehingga dapat mengatur semua prilaku manusia, adanya keterlambatan-keterlambatan untuk menyesuaikan perundang undangan dengan perkembangan- perkembangan dalam masyarakat yang dapat menimbulkan ketidakpastian, kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undangundang, adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus, atau memperluas atau mengisi kekosongan hukum, sehingga penerapan diskresi oleh penyidik akan lebih baik untuk mengurangi kekurangan dari peraturan-peraturan yang tertulis dalam pelaksanaan di masyarakat. Penerapan diskresi yang menyimpang dalam penyidikan tindak pidana pada umumnya dan khusus untuk tindak pidana pencucian uang di Bareskrim Mabes Polri dikaitkan dengan pelanggaran Kode Etik Profesi yang diatur dalam Peraturan Kepala Polisi RI No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian RI (yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/32/VII/2003) dan dibentuk Komisi Rode Etik Kepolisian RI berdasarkan Peraturan Kepolisian RI No. Pol. 8 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Rode Etik Kepolisian RI (yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/321VII/2003),dengan "peraturan kepolisian" yang dapat juga merupakan kontrol dari masyarakatlmedia massa atau tidak mempengaruhi dalam hal-hal yang melanggar Mode Etik Profesi Kepolisian RI, sehingga penerapan diskresi dalam penyidikan tindak pidana terutama tindak pidana pencucian uang dapat dikontrol dan'pengawasan baik dari luar maupun dari dalam, misalnya kasus Brigjen Pol. Drs. Samuel Ismoko, yang telah melakukan penyimpangan penerapan diskresi dianggap melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian RI melalui proses Sidang Komisi, Komisi Kode Etik Kepolisian RI, dengan dinyatakan tidak layak menjalankan Profesi Kepolisian sebagai penyidik pada fungsi Reserse seiama 1 Tahun, selanjutnya terdapat dorongan dari masyarakat (melalui media massa) karena adanya tindak pidana maka diproses secara hukum pidana.

ABSTRAK
Criminal act of money laundering as had been provided with Laws No. 15 year 2002 on Criminal Act of Money Laundering as had been revised by Laws No. 25 year 2003 is that of having characteristics as white collar crimes, it is pertained to such criminal actor who has economic or political power, subject or individual actor as human or even corporation as national or international organized crimes. In doing investigation for criminal act of Money Laundering as had been provided with Criminal Code, Laws No.2 year 2002 on Police Republic Indonesia and which of decrees of Head of Police Department of Republic of Indonesia as instructional and technical guidance and Laws No. 15 year 2002 on Criminal Act of Money Laundering as had been revised by Laws No. 25 year 2003. Thereafter, it had set out other commitment in accordance with individual quality evaluation and for public interests had been regulated in Article 7 paragraph (1), letter j Criminal Code by limited requirements, i.e.,: a). it had not contradicted with legislation; b). in line with legal obligation which requires occupational acts; c). such acts should be proper and reasonable and included in occupational area; d). and by proper consideration based on forcing condition; e). respect to human rights. Subsequently, in article 18 paragraph (1) Laws No. 2 year 2002 regarding Police of Republic of Indonesia, also it set out discretional authority. The meaning of discretion being correlated with investigation is authority based on - obligation principles (plichmatigeheids beginsei) as individual act of investigator limited by professional, legal, moral and society norms, as result of no legislation being complete to regulate all human behavior, the delays to adjust legislation. with society changes that may result in uncertainty, lack of budget for applying -law wished by legislator (s), individual
"
2007
T19209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Astuti
"Kewenangan Diskresi bagi pemerintah dalam prakteknya menimbulkan kontroversial Disatu sisi pemerintah gamang untuk menggunakan diskresi namun disisi lain dipandang sebagai bentuk ldquo kemerdekaan rdquo atau ldquo kebebasan bertindak rdquo tanpa batas hingga akhirnya mengakibatkan banyaknya pejabat pemerintah yang tersandung kasus hukum Hal ini dikarenakan pada saat itu belum adanya ketentuan yang menjadi dasar pedoman bagi pemerintah untuk menggunakan diskresi Hingga pada Tahun 2014 setelah melalui proses yang panjang lahirlah Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang didalamnya mengatur mengenai diskresi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan menjadi hukum materil dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan Kajian ini menelaah kewenangan diskresi pemerintah pasca lahirnya UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan keterkaitan kewenangan diskresi dengan prinsip prinsip good governance dan implikasi kewenangan diskresi terhadap perlindungan bagi masyarakat dan bagi pemerintah Kajian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder guna menghasilkan penelitian yang lebih komprehensif Hasil kajian menyatakan bahwa kewenangan diskresi bagi pemerintah pasca UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan telah lebih tegas mengatur batasan prosedur dan akibat hukum diskresi dan mewajibkan pemerintah untuk berpedoman kepada prinsip prinsip good governance Undang Undang ini juga telah memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dan pemerintah karena menjadi dasar hukum materiil di bidang Administrasi Pemerintahan.

Principles In practice discretion for the government raises some controversy Basically the government is still in doubt for taking such a discretion but in the other side they see it as the independency or ldquo freedom to act rdquo which lead some of government officers into legal case This thing is caused by the inexistence of rules and guidance for the government in the implementation of discretion Until 2014 and after a long way process Indonesian government has published the Law Number 30 of 2014 on Government Administration to become the material law in the enforcement of government duty This study analyze discretion after the enforcement of Law Number 30 of 2014 on Government Administration the link between discretion with the good governance principle and the implication of discretion towards the protection for society and government This study uses both of primary and secondary data for obtaining more comprehensive result of research The result of study states that discretion for the government after the enforcement of Law Number 30 of 2014 on Government Administration has regulated the limitation procedure and legal consequences in firmer basis towards of discretions and obliges the government to follow the good governance principles This regulation also gives legal protection for society and government for being the substantive legal basis in the field of Public Administration."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chryshnanda Dwi Laksana
"Tesis ini adalah tentang corak diskresi dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas di Polres blambangan. Perhatian utama dalam kajian ini adalah pada tindakan-tindakan penyidik dan penyidik pembantu dalam melakukan tindakan diskresi pada proses penyidikan kecelakaan lalu lintas yang cenderung menjadi korupsi.
Tujuan dalam tesis ini adalah untuk menunjukan bentuk atau corak diskresi kepolisian yang merupakan diskresi birokrasi pada tingkat lokal, yaitu pada polres Blambangan yang cenderung menjadi korupsi corak diskresinya bisa bervariasi antar satu polres dengan polres lainnya dalam menyelesaikan penyidikan kecelakaan lalu lintas .
Masalah penelitian dalam tesis ini adalah Diskresi birokrasi kepolisian dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas pada tingkat polres yang tercermin pada tingkat kebijaksanaan birokrasi serta pada tingkat individual petugas polisi yang cenderung menjadi korupsi.
Dalam mengkaji tindakan diskresi yang cenderung menjadi korupsi digunakan pendekatan kualitatif dengan metodologi etnografi, yang dilakukan dengan cara pengamatan terlibat , pengamatan dan wawancara dengan pedoman.
Hasil dari penelitian ini ditemukan adanya tindakan-tindakan diskresi yang menyimpang sebagai akibat lemahnya sistem kontrol dan kendali, yang ditunjukan adanya tindakan-tindakan kolusi antara Penyidik dan Penyidik Pembantu dengan pihak tersangka, pihak Kejaksaan atau pihak Pengadilan. Di samping itu juga adanya pemerasan yang dilakukan oleh Penyidik Pembantu terhadap pihak tersangka. Tindakan penyuapan yang dilakukan oleh pihak tersangka kepada Penyidik atau Penyidik Pembantu untuk menagguhkan atau menghentikan perkaranya.
Pertimbangan dilakukannya tindakan diskresi oleh petugas dalam menyelesaikan atau menangani kasus kecelakaan lalu lintas, di samping kebijaksanaan Penyidik atau Penyidik Pembantu juga dipengaruhi beberapa faktor antara lain karena tuntutan dari pihak korban pada umumnya adalah tuntutan ganti rugi atau santunan dari pihak tersangka dan adanya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau organisasi. Tindakan tersebut bukan semata-mata kesalahan oknum Penyidik atau Penyidik Pembantu tetapi juga dari faktor kebijaksanaan dalam organisasi yang menjadikan diskresi sebagai upaya untuk mencari keuntungan untuk pribadi atau organisasi.
Tindakan diskresi yang menyimpang sebagai akibat lemahnya sistem kontrol dan kendali,kurangnya dukungan anggaran untuk operasional, adanya tuntutan atau kewajiban yang harus dipenuhi baik untuk pribadi atau dalam unit di samping itu juga kurangnya gaji petugas kepolisian."
2001
T1417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>