Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49917 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nawan Sumardiono
"Pandangan patriarki dalam norma heteronormatif menempatkan maskulinitas pada kedudukan sosial yang lebih tinggi dibanding femininitas. Akibatnya, laki-laki gay dengan ekspresi gender feminin sering mendapatkan marginalisasi dan kriminalisasi yang membuat mereka kekurangan ruang aman untuk mengekspresikan diri. Studi ini mengeksplorasi Instagram sebagai ruang aman untuk mengekspresikan gender feminin bagi laki-laki gay karena memiliki karakteristik heterotopik. Michel Foucault mendeskripsikan heterotopia sebagai ruangan perbatasan antara distopia dan utopia, yaitu ruang berbeda/nondominan yang masih berhubungan dengan ruang dominan. Studi ini berargumen dalam ruang berbeda ini, laki-laki gay yang memiliki ekspresi gender tidak sesuai norma heteronormatif memperoleh rasa aman dari norma dominan untuk mengekspresikan diri dan memainkan peran tertentu. Menggunakan argumen Judith Butler tentang performativitas gender, studi ini akan menganalisis performa ekspresi gender laki-laki gay melalui tampilan karakter-karakter feminin di media sosial Instagram. Penelitian ini dilakukan dalam paradigma interpretif dengan strategi etnografi digital yang berfokus pada eksplorasi pengalaman hidup. Penelitian ini melibatkan subjek penelitian yang merupakan laki-laki gay dengan ekspresi gender feminin dalam komunitas pecinta kontes kecantikan. Pengalaman marginalisasi yang laki-laki gay terima membuat mereka melakukan upaya aktif untuk membangun ruang aman mereka sendiri guna mengekspresikan femininitas. Maka berdasarkan studi ini, heterotopia bukanlah sesuatu yang diberikan, melainkan memerlukan upaya aktif penggunanya untuk membangun ruang sesuai kebutuhan personal. Sementara itu, performa femininitas mereka tampilkan dengan melakukan peniruan terhadap sosok idola. Tujuannya adalah supaya mereka lebih mudah diterima oleh masyarakat. Maka, hal yang ingin mereka tiru pada dasarnya adalah penerimaan positif oleh kelompok dominan. Caranya dengan menampilkan ekspresi gender yang memiliki citra positif di masyarakat Indonesia dengan mengedepankan pertimbangan kekhasan lokal, seperti yang dilakukan oleh sosok idola mereka. Dalam studi ini, hubungan antara individu LGBTQ dengan sosok idola dijembatani oleh motivasi pribadi di mana mereka juga ingin memperoleh manfaat ekonomi. Dengan demikian, hubungan yang tercipta adalah parasitic relationship

The patriarchal view in heteronormative norms places masculinity in a higher social position than femininity. As a result, gay men with feminine gender expression often get marginalized and criminalized which makes them lack a safe space to express themselves. This study explores Instagram as a safe space to express feminine gender for gay men because it has heterotopic characteristics. Michel Foucault describes heterotopia as a border space between dystopia and utopia, which is a different/non-dominant space that is still related to the dominant space. This study argues that in this different space, gay men whose gender expression does not conform to heteronormative norms gain a sense of security from the dominant norm to express themselves and play certain roles. Using Judith Butler's argument about gender performativity, this study analyzes the performance of gay men's gender expression through the display of feminine characters through Instagram. This research was conducted in an interpretive paradigm with a digital ethnographic strategy that focuses on exploring life experiences. This research involves research subjects who are gay men with feminine gender expressions in a beauty pageant lover community. The experience of marginalization that gay men get makes them make an active effort to build their own safe space to express their femininity. So based on this study, heterotopia is not something given, but requires the user's active effort to build a space according to personal needs. Meanwhile, their performance of femininity is displayed by imitating idol figures. The goal is to make them more easily accepted by society. So, what they want to emulate is basically positive acceptance by the dominant group. This is done by displaying gender expressions that have a positive image in Indonesian society by prioritizing local uniqueness considerations, as their idol figures do. In this study, the relationship between LGBTQ individuals and idols is bridged by personal motivations where they also want to obtain economic benefits. Thus, the relationship created is a parasitic relationship."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Kiasatina
"Tubuh yang atletis dan dan berotot menjadi komponen yang penting bagi laki-laki gay. Laki-laki gay yang maskulin, menarik, dan berotot lebih disukai daripada laki-laki yang memilikiberat badan berlebih, lemah, dan tidak menarik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana menjadi muscular atau berotot memainkan peran penting dalam kehidupan gay. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menjadi berotot memainkan peran penting dalam gagasan picking up atau mencari pasangan untuk laki-laki gay dengan tubuh yang serupa. Gay lebih menyukai laki-laki maskulin, dengan menggunakan istilah seperti manly, macho, dan maskulin. Adanya hegemoni maskulinitas melanggengkan dominasi laki-laki terhadap laki-laki dan juga menentukan bagaimana seharusnya menjadi laki-laki, sehingga muncul pandangan pada akhirnyalaki-laki seharusnya menjadi maskulin terlepas dari statusnya sebagai gay. Pada akhirnya dalam hubungan gay seharusnya terjadi antar laki-laki dengan sesama laki-laki. Sehingga menjadi “laki- laki” merupakan suatu kebutuhan dalam dunia gay. Mereka harus mempertahankan tubuh yang berotot, keras, dan hipermaskulin untuk mempertahankan rasa maskulinitas dan tidak dikaitkan dengan femininitas. Pengaturan laki-laki gay yang ideal tidak hanya terjadi di antara laki-laki gay, tetapi juga dalam masyarakat heteroseksual yang lebih luas. Terdapat anggapan masyarakat dapatlebih menoleransi laki-laki gay asalkan mereka tidak menantang tatanan gender antara maskulin dan feminin. Penelitian ini melihat bagaimana laki-laki gay kelas menengah merawat tubuhnya dalam bentuk pembentukan otot, yang mana beperan untuk memunculkan maskulinitasnya. Laki- laki gay dapat bertahan di tengah lingkungan yang berpegang pada nilai-nilai heteronormatif dan memelihara keberadaannya di dalam dunia gaynya melalui identitas maskulin yang dimilikinya. Laki-laki gayseperti mengejar gambaran “maskulin” dengan mewujudkan citra tubuh yang ideal untuk dapat diterima baik oleh lingkungan gaynya maupun masyarakat pada umumnya. Namun kemudian gayakan dihadapkan dengan kekhawatiran akan citra tubuh sebagai konsekuensi dari gambaran tubuhyang berotot dan atletis yang ada pada budaya gay

Athletic and muscular body is an important component for gay men. Masculine, attractive, and muscular gay men are more preferred over overweight, weak, and unattractive men. This studyaims to explain how being muscular plays an important role in gay life. The results of this study indicate that being muscular plays an important role in the idea of picking up or finding a partner for gay men with similar bodies. Gay men prefer masculine men, using terms such as manly, “macho”, and masculine. The existence of hegemony masculinity perpetuates the dominance of men over men and also determines how men should be, Therefore, men should be masculine regardless of their status as gay. In the end, gay relationships should occur between men and fellowmen. So being a “man” is a necessity in the gay world. They must maintain a muscular, hard, andhypermasculine body to maintain a sense of masculinity and not be associated with femininity. The ideal gay male arrangement does not only occur among gay men, but also in the wider heterosexual society. There is an assumption that society can be more tolerant of gay men as longas they do not against the gender order between masculine and feminine. This study looks at how middle class gay men take care of their bodies in the form of muscle building, which plays a role in bringing out their masculinity. Gay men can survive in an environment that adheres to heteronormative valuesand maintain their existence in the gay world through their masculine identity. Gay men seem to pursue a "masculine" image by creating an ideal body image to be accepted both by their gay environment and by society in general. But then, gay men will be faced with body image concernsas a consequence of the muscular and athletic body image that exists in gay culture"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"A Companion to Lesbian, Gay Bisexual, Transgender, and Queer Studies is the first single-volume survey of current discussions taking place in this rapidly developing area of study. --
The Companion breaks new ground for scholarship on gender and sexuality. Recognizing the multidisciplinary nature of the field, the editors gathered original essays by established and emerging scholars, addressing the politics, economics, history, and cultural impact of sexuality. The book engages the futures of queer studies by asking what sexuality stands in for, what work it does, and how it continues to structure discussions in various academic disciplines as well as contemporary politics. --Book Jacket."
Hoboken : Wiley Balckwell, 2015
306.766 COM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tanalin Norfirdausi
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara gender role conflict dan psychological well-being pada laki-laki gay dewasa muda. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini ialah Gender Role Conflict Scale Short Form (GRCS-SF) dan Ryff’s Scales of Psychological Well-Being (RPWB). Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 99 orang laki-laki berusia 20-40 tahun yang memiliki orientasi seksual homoseksual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gender role conflict dan psychological well-being (R=-0,023; p>0,05). Meskipun demikian, salah satu dimensi gender role conflict yaitu keterbatasan afeksi antar laki-laki menunjukkan korelasi negatif yang siginifikan dengan psychological well-being (R=-0,261; p<0,01.

This research is conducted to find the correlation between gender role conflict and psychological well-being among young adult gay men. This research used the Gender Role Conflict Scale Short Form (GRCS-SF) and Ryff’s Scales of Psychological Well-Being (RPWB). The participants of this research are 99 homosexual self-identified men aged between 20-40 years old.
The result of this research showed that there is no significant correlation between gender role conflict and psychological well-being (R=-0,023; p>0,05). However, one of the gender role’s dimensions, restrictive affectionate behavior between men, showed that there is a significant negative correlation with psychological well-being (R=-0,261; p<0,01).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S57731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tempat ngèbèr sebagai tempat pertemuan laki-laki gay tersebar meskipun relatif terselubung?di berbagai tempat- tempat publik di seluruh Indonesia. Tempat ngèbèr sebagai salah satu titik utama dalam konstelasi dunia gay berfungsi tidak hanya untuk mencari pasangan hubungan seksual, tapi juga untuk bersosialisasi, membuka diri, dan mendapat
penerimaan. Surabaya memiliki banyak tempat
ngèbèr yang cukup dikenal di kalangan laki-laki gay, dengan Pataya
sebagai satu tempat
ngèbèr terbesar. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tampak adanya perubahan-perubahan yang
menyebabkan Pataya tidak lagi sehidup dulu. Melalui metode
partisipasi observasi dan wawancara non-formal, kajian
ini berupaya untuk memahami bagaimana Pataya menjadi pilihan tempat ngèbèr di Surabaya, perubahan-perubahan apa
saja yang terjadi dan menyebabkan penyusutan kehidupannya. Dari penelitian ini, diharapkan ada penelitian lanjutan
untuk mempelajari adaptasi-adaptasi yang terjadi atau dapat dilakukan di luar situs ngèbè.

Abstract
Tempat ngèbèr, or hanging-out places where gay men in Indonesia meet, can be found in various?though relatively
hidden?public places across Indonesia.
Tempat ngèbèr as one of the more prominent sites in the constellation of gay serves not only as a space to find sexual partners, but also to
socialize, to be open in expressing oneself, and to gain
acceptance from one?s peers. Surabaya
has a number of famous, well-known tempat
ngèbèr , with Pataya being one of
the largest places. Yet changes within the
last few years have diminished its popularity. Through participant observation and non-formal interviews, this research attempts to understand how Pataya became the more prominent
tempat ngèbèr in Surabaya, and what kind of changes have happened that reduced its popularity. Hopefully, this research will bring
about future studies that will investigate various adaptations
that can be carried out inside or outside the site itself. "
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, Universitas Airlangga. Fakultas Ilmu Budaya], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Dinda Sani
"Penelitian ini membahas mengenai pengalaman hidup lelaki gay dalam konteks Indonesia dalam membangun narasi resistensi dan kontestasi identitas demi melawan budaya kelompok dominan. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis serta desain fenomenologi, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan lima lelaki gay yang tinggal di berbagai kota di Indonesia. Melalui Teori Ruang Ketiga yang dicetuskan Homi K. Bhabha, peneliti mampu mengeksplorasi bagaimana individu membangun narasi resistensi berbentuk mimikri untuk mengganggu relasi kuasa budaya dominan. Ada empat narasi resistensi yang dibangun melalui praktik komunikasi dalam ruang publik, yakni: edukasi, aktivisme, keterbukaan identitas seksual, serta keterlibatan dalam hubungan sesama jenis. Selain itu, peneliti juga mengeksplorasi bagaimana individu dapat menciptakan ruang ketiga dan hibriditas untuk mendestabilisasi identitasnya sebagai "gay" atau "warga Indonesia", dan justru menggabungkan keduanya dalam ruang intrapersonal. Identitas hibrid tersebut diciptakan melalui kontestasi hegemoni heteronormatif, norma agama, dan nasionalitas. Pada akhirnya, individu dapat merekonstruksi dan meredefinisi identitasnya melalui narasi resistensi terhadap budaya dominan, dimana mereka dapat menciptakan kekuasaannya sendiri di dalam ruang ketiga.

This research discusses the lived-experiences of Indonesian gay men and how they created resistance narratives and contested identities to counter the dominant group culture. Using a qualitative approach with a critical paradigm and phenomenology design, researcher conducted in-depth interviews with five gay men who live in various cities in Indonesia. Through employing Third Space Theory by Homi K. Bhabha, researcher manages to explore how individuals built the resistance narratives in the form of mimicry to disrupt the power dynamics of the dominant culture. There are four resistance narratives created through communication practices in the public space, which are: education, activism, openness about sexual orientation, and engagement in same-sex relationships. Aside from that, researcher also explores how Indonesian gay men can construct the third space and hybridity to destabilize their fixed identity as a "gay" or "Indonesian", and mix it instead in the intrapersonal space. Hybrid identity is constructed through the contestation of hegemonic heteronormativity, religious norms, and nationality. In the end, Indonesian gay men are able to reconstruct and redefine their identities through the resistance narratives against the dominant culture, where they can build their own power in the third space."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raintung, Agalliso Mario
"Melangkah jauh dari persoalan seksualitas gay laki-laki, tulisan ini berusaha menganalisa penindasan dan penolakan yang dialami oleh gay laki-laki di Indonesia saat ini. Penindasan dan penolakan tersebut berlandaskan nilai-nilai heteronormativitas serta terwujud dalam sikap homonegativism yang membuat gay laki-laki di Indonesia terkungkung dan terasing ke ruang yang maya. Peneliti menempatkan fenomena kriminologi budaya sebagai sebuah tanda dalam dalam semiotika. Eksplorasi mitos berupa penguraian mitos dilakukan untuk mengetahui makna dibalik keterkungkungan dan keterasingan gay laki-laki. Pembentukan mitos baru dilakukan peneliti untuk memunculkan makna-makna tersembunyi dibalik penggunaan Twitter, Grindr, Jack’D, dan GROWLr oleh gay laki-laki. Dari hasil eksplorasi mitos ditemukan bahwa ada sebuah makna besari dibalik penggunaan ke-empat jejaring sosial tersebut oleh gay laki-laki; bahwa Twitter, Grindr, Jack’D, dan GROWLr digunakan oleh gay laki-laki karena mereka terasing dari ruang yang nyata ke dalam ruang maya. Dalam ke-empat jejaring sosial tersebut, gay laki-laki merasa lebih bebas dan membentuk sebuah ruang heterotopia. Kebebasan gay laki-laki di ruang heterotopia ternyata merupakan sebuah paradoks karena masyarakat terus mengawasi dengan kuasa-nya yang panoptic.

Moving faraway from the gay men sexuality itself, this research trying to analyzes the rejections and oppressions towards gay men. Those behaviors are based on the heteronormativity values that manifested in homonegativism acts-this Indonesia’s status quo marches gay men into a captivity circumstances and alienate them into the virtual space. Researcher sees this cultural criminology phenomenon as a sign in a semiotic world. To embrace the meaning behind those status quo, researcher intend to do some myth exploration by deciphering it as well as making a new myth to restore and notify the meaning that has been hiding behind the uses of Twitter, Grindr, Jack’D, and GROWLr by gay men. From the exploration, researcher found that there is a huge meaning behind the uses of those four social network sites by the gay men society; that Twitter, Grindr, Jack’D and GROWLr uses by gay men as the society alienates them from the physical space into the virtual space. On those four social network sites, gay men do feel freer as they also signify and occupy the heterotopian space. The freedom in heterotopian space apparently is just a paradox since they are always under the scrutiny of society's panoptic power.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S57318
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dienny Widya Permatasari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana Terapi Kognitif- Perilaku dapat menurunkan tingkat depresi pada Gay Dewasa-Muda yang Belum Coming Out. Teknik-teknik Terapi Kognitif-Perilaku seperti psikoedukasi, restrukturisasi kognitif, jadwal aktivitas harian, relaksasi, jurnal pantau pemikiran, dan tugas rumah digunakan untuk mencapai tujuan terapi. Rancangan kuasi eksperimen dengan pola nonequivalent control group design dipilih peneliti sebagai metode penelitian dengan one group pretestposttest design. Pengukuran kuantitatif dilakukan dengan menggunakan The Center of Epidemiological Studies-Depression Scale (CES-D), Self-Rating Depression Scale (SDS) dan Self-Rating Anxiety Scale (SAS) di awal dan akhir asesmen. Pengukuran dilakukan kepada tiga orang partisipan yang sebelumnya telah disasar dengan menggunakan alat ukur The Beck Depression Inventory II (BDI II). Selanjutnya, observasi dan wawancara merupakan metode kualitatif yang digunakan untuk memperkuat gambaran hasil terapi. Teknik psikoedukasi dan relaksasi merupakan dua teknik yang paling bermanfaat dalam menurunkan tingkat depresi partisipan. Berdasarkan hasil penghitungan skor di awal dan akhir asesmen terdapat penurunan tingkat depresi yang signifikan. Pada alat ukur CES-D dan SDS terdapat penurunan tingkat depresi dua partisipan yang semula berada di taraf sedang dan satu di taraf tinggi, menjadi tidak terdapat indikasi depresi klinis pada ketiga partisipan. Sedangkan melalui alat ukur SAS yang mengukur kecemasan juga menunjukkan penurunan tingkat kecemasan hingga tidak terdapat indikasi kecemasan klinis pada tiga partisipan.

This research aims to know how far the Cognitive-Behavioral Therapy lowering the level of depression in Young Adults Gay Who Has Not Coming Out. Cognitive-Behavioral Therapy techniques such as psychoeducation, cognitive restructurization, daily activities schedule, relaxation, mind observed journal, and homework used in order to achieve the goals of therapy. The quasi experimental design with nonequivalent control group design selected by researcher as a research methods with one group pretestposttest design. Quantitative measurement conducted by using The Center of Epidemiological Studies-Depression Scale (CES-D), Self-Rating Depression Scale (SDS) and Self-Rating Anxiety Scale (SAS) at the beginning and the end of the assessment. The measurement is carried out to the three participants who assessed previously with The Beck Depression Inventory II (BDI II). Furthermore, observation and interview are qualitative methods used to support the results. Psychoeducation and relaxation techniques are two of the most useful techniques in decreasing levels of depression in participants. Based on the results of the calculation of the score at the beginning and end of the assessment, there is a significant decrease in the level of depression. The result score for CES-D and SDS show decreased levels of depression for two participants who were originally located on moderate level and one participant at the severe level of depression, showing that there is no indication of clinical depression in all three participants. While SAS that measure anxiety also showed a decrease in anxiety levels becoming there is no indication of clinical anxiety on three participants.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T42160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Ratna Devitasari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S2016
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mamay Kusumawaty
"Pendahuluan: Pasien kanker yang menjalani perawatan intensif menjadi beban keluarganya. Masalah yang timbul seperti ketakutan, kecemasan, sedih, lelah, nyeri, makan tidak teratur, menghadapi kematian, kurang tidur, peran terganggu dan ekonomi. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pengalaman keluarga dari pasien kanker yang menjalani perawatan intensif. Metode: Desain penelitian yang digunakan kualitatif deskriptif dengan sampel 10 partisipan sesuai kriteria inklusi. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Hasil: Tema yang ditemukan meliputi; 1) tekanan emosional dalam menghadapai kondisi kritis, 2) menjaga kesehatan tubuh untuk tetap bertahan, 3) meningkatnya kedekatan diri pada Tuhan, 4) financial toxicity, 5) perubahan peran pada anggota keluarga, dan 6) kebutuhan terhadap pelayanan ICU yang belum terpenuhi. Kesimpulan: Perawatan intensif dirasakan oleh keluarga yang menunggu sebagai beban psikologis, fisik, spiritual, sosial dan finansial, sehingga diperlukan pengkajian yang komprehensif terkait masalah tersebut.

Introduction: Cancer patients undergoing intensive care are a burden to their families. Problems that arise such as fear, anxiety, sadness, fatigue, pain, eating irregularly, facing death, lack of sleep, and disrupted roles and the economy. Objective: The purpose of this study was to obtain an overview of the family experiences of cancer patients undergoing intensive care. Methods: The research design used was descriptive qualitative with a sample of 10 participants according to the inclusion criteria. The sampling technique used is purposive sampling. Results: The themes found include; 1) emotional stress in dealing with critical conditions, 2) maintaining a healthy body to survive, 3) increasing closeness to God, 4) financial toxicity, 5) changing roles for family members, and 6) unmet needs for ICU services. Conclusion: Intensive care is felt by waiting families as a psychological, physical, spiritual, social and financial burden, so a comprehensive assessment of the problem is needed"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>