Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126259 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hilman Wardhana
"Dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Indonesia melakukan upaya percepatan proyek infrastruktur, salah satu nya adalah Jalan Tol Trans Sumatera. Hal ini diharapkan mampu membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan konektivitas di pulau Sumatera. Pulau Sumatera merupakan wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan industri berbasis sektor unggulan di Kawasan Sumatera bagian Utara, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara, untuk meningkatkan potensi penggunaan Jalan Tol Trans Sumatera. Penetapan fokus industri dilakukan dengan menggunakan analisis location quotient dengan mempertimbangkan indikator pengembangan wilayah berupa distribusi Produk Domestik Regional Bruto, sektor potensi dan Indeks Pembangunan Manusia. Industri yang sudah ditetapkan kemudian diestimasi biaya awal yang diperlukan untuk pengembangan industri nya dengan pendekatan benchmarking dan survei harga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan industri berbasis sektor unggulan di Kawasan Sumatera bagian Utara diestimasikan memerlukan biaya awal sebesar Rp 15,998,182,018,281.70 untuk 4 jenis industri yaitu industri pengolahan padi, pengolahan kelapa terpadu, pengolahan makanan, dan pengolahan kelapa sawit. Rencana lokasi pabrik untuk industri pengolahan padi, pengolahan kelapa terpadu, dan pengolahan kelapa sawit menggunakan data produktivitas dari masing – masing komoditas sektor unggulan. Untuk rencana lokasi pabrik dari industri pengolahan makanan menggunakan data jumlah pasar yang ada.

In order to increase economic growth, the Government of Indonesia is making efforts to accelerate infrastructure projects, one of which is the Trans Sumatera Toll Road. This is expected to help increase economic growth and connectivity on the island of Sumatera. Sumatera Island is an area that has abundant natural resource potential. This study aims to develop leading sector-based industries in the Northern Sumatera Region, namely the Province of Nanggroe Aceh Darussalam and North Sumatera Province, was carried out to increase the potential use of the Trans Sumatera Toll Road. Determination of industrial focus is carried out using location quotient analysis by considering regional development indicators in the form of Gross Regional Domestic Product distribution, sector potential and the Human Development Index. The industry that has been determined is then estimated the initial costs required for the development of the industry using a benchmarking approach and a price survey. The results show that the development of leading sector-based industries in the Northern Sumatera Region is estimated to require an initial cost of Rp. 15,998,182,018,281.70 for 4 types of industry, namely rice processing industry, integrated coconut processing, food processing, and palm oil processing. The factory location plan for the rice processing, integrated coconut processing, and palm oil processing industries uses productivity data from each of the leading sector commodities. For the plan of the location of the plant from the food processing industry using data on the number of existing markets."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sampe, Hisky Robinson
"Sebagai wilayah penghasil komoditas dari sumber daya alam, Pulau Sumatera menjadi lokasi strategis bagi kegiatan ekspor ke berbagai tujuan, baik ke antar provinsi di Indonesia maupun ke luar negeri. Nilai barang dari hasil kegiatan ekspor yang dilakukan oleh Indonesia pada tahun 2020 mencapai Rp2.366.281.100.000.000,00 dari kategori migas maupun non migas dengan kategori non mgas sebagai kategori dengan kontribusi terbesar terutama dari sektor industri. Mengingat besarnya peran industri dalam menyumbangkan pendapatan negara, Indonesia ditargetkan untuk mengembangkan sektor industri dengan skala besar. Sektor industri yang ingin dikembangkan akan difokuskan dengan memanfaatkan komoditas yang dihasilkan dari sektor ekonomi unggulan di Pulau Sumatera, secara spessifik kawasan Sumatera bagian Tengah di Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Pengembangan kawasan industri di kawasan Sumatera bagian Tengah akan memanfaatkan kehadiran infrastruktur Jalan Tol Trans Sumatera yang sampai tahun 2020 telah terhubung sepanjang total 513 km. Tahapan yang dilakukan dalam rencana menyusun sebuah pengembangan kawasan industri dimulai dari studi literatur dan benchmarking, kemudian menganalisis sektor ekonomi unggulan yang dimiliki masing-masing provinsi dengan memilih lima kabupaten atau kota mewakili setiap provinsi yang memiliki nilai PDRB terbesar. Sektor ekonomi unggulan yang telah diketahui kemudian dianalisis lebih lanjut untuk menentukan jenis industri yang dikembangkan dengan melihat hasil produksi setiap komunitas dari sektor ekonomi unggulan terpilih. Selain itu dari setiap jenis industri akan direncanakan jumlah pabrik yang akan dibangun yang diperoleh dari hasil perhitungan total komoditas per tahun dibagi waktu operasional pabrik hasil benchmarking, dibagi kapasitas produksi pabrik hasil benchmarking. Penentuan initial cost pengembangan kawasan industri wilayah Sumatera bagian Tengah mengacu pada harga peralatan dan permesinan, luas tanah, luas bangunan, waktu operasional pabrik, dan kapasitas produksi pabrik yang seluruhnya diperoleh dari hasil benchmarking. Harga-harga yang diperoleh tersebut akan disesuaikan kembali dengan harga yang berlaku saat ini dengan analisis time value of money, juga memasukkan unsur harga tanah, harga bangunan, dan faktor inflasi yang berlaku saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor ekonomi unggulan di kawasan Sumatera bagian Tengah didominai dari sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Jenis industri yang dikembangkan yaitu industri pengolahan padi, pengolahan kelapa modern, pengolahan kelapa sawit, pengolahan minyak bumi dan gas, dan pengolahan beton precast dengan total 56 pabrik dengan initial cost sebesar Rp179.364.877.179.100,00.

As a commodity producing area from natural resources, the island of Sumatra is a strategic location for export activities to various destinations, both between provinces in Indonesia and abroad. The value of goods from export activities carried out by Indonesia in 2020 reached IDR 2,366,281,100,000,000.00 from the oil and gas and non-oil and gas categories with the non-gas category as the category with the largest contribution, especially from the industrial sector. Given the large role of industry in contributing state income, Indonesia is targeted to develop the industrial sector on a large scale. The industrial sector to be developed will be focused on utilizing commodities produced from the leading economic sectors on the island of Sumatra, specifically the Central Sumatra region in the Provinces of West Sumatra, Riau, and Jambi. The development of industrial estates in the Central Part of Sumatra will take advantage of the presence of the Trans Sumatra Toll Road infrastructure which until 2020 has been connected along a total of 513 km. The stages carried out in the plan to compile an industrial estate development start from literature studies and benchmarking, then analyze the leading economic sectors owned by each province by choosing five districts or cities representing each province that has the largest GRDP value. The known leading economic sectors are then further analyzed to determine the type of industry developed by looking at the production results of each community from the selected leading economic sector. In addition, from each type of industry, the number of factories to be built will be planned which is obtained from the results of the calculation of total commodities per year divided by the operational time of the benchmarking plant results, divided by the production capacity of the benchmarking plant. The determination of the initial cost of developing an industrial estate in the Central Sumatra region refers to the price of equipment and machinery, land area, building area, factory operational time, and factory production capacity, all of which are obtained from benchmarking results. The prices obtained will be readjusted to the current prices with a time value of money analysis, also including elements of land prices, building prices, and current inflation factors. The results showed that the leading economic sectors in the Central Sumatra region were derived from the agricultural, forestry and fisheries sectors. The types of industries developed are the rice processing industry, modern coconut processing, palm oil processing, petroleum and gas processing, and precast concrete processing with a total of 56 factories with an initial cost of Rp179,364,877,179,100.00."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Many developing countries have relied quite heavily on the policy of industrial decentralization to uplift the lagging economies of their peripheral regions. In Malaysia, the MIDA plays a major role in persuading foreign enterprises to locate in the periphery. In addition to MIDA, there are plethora of state agencies which implement state industrial policy. Development officials in their effort to attract more industries to their respective regions, work on the premise that certain locational factors are critical to investors locational decision-making process. Obviously development officials have their own perceptions of the attractions and disadvantages of the periphery. This paper examines whether the officials have a good gasp of the industrialist dominant motives for selecting Kedah as production location and discusses the implications for industrial development in officials assumptions do not occur with industrialists real reasons for selecting Kedah.
"
GEOUGM 21:61 (1991)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Azwar
"Kelahiran Forum Lingkar Pena (FLP) yang fenomenal menarik untuk diteliti dalam pandangan kajian kritis industri budaya. Organisasi penulis ini lahir dalam rangka ideologis untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat Indonesia, namun dalam perkembangannya FLP mengalami benturan kekalahan ketika berhadapan dengan industri fiksi Indonesia. Beberapa hal yang lebih tragis adalah ketika FLP merasa sudah memberikan yang terbaik dalam rangka mencerahkan pembaca Indonesia, namun sebenarnya hal itu hanyalah kesadaran semu belaka. Kesadaran yang terbentuk di dalam FLP bahwa mereka sudah berhasil melakukan perlawanan terhadap tema fiksi Indonesia, perlawanan terhadap pola distribusi karya dan perlawanan terhadap ekslusifitas karya fiksi sebenarnya hanyalah bentuk lain dari dominasi industri dimana mereka telah melakukan komodifikasi, standarisasi dan massifikasi terhadap FLP. Untuk itu sangat pantas bila penelitian ini mengungkap bagaimana kesadaran semu yang terbentuk di FLP dan menunjukkan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah dominasi industri terhadap FLP. Hal-hal tersebut tentunya sangat relevan dengan pendekatan teori kritis Mazhab Frankfurt terutama merujuk pada pemikiran Theodore W Adorno yang menyatakan bahwa telah terjadi komodifikasi, standarisasi, dan massifikasi terhadap produk budaya demi memenuhi kebutuhan pasar. Hal itu membuat para penulis tidak lagi independen dalam menyampaikan ideide mereka untuk melakukan pencerahan di tengah-tengah masyarakat.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis dengan tipe penelitian kualitatif. Untuk mengumpulkan data di lapangan digunakan tiga teknik yaitu pertama interview mendalam dengan pendiri FLP, anggota FLP dan pengamat fiksi atau industri fiksi Indonesia. Kedua observasi terhadap kegiatan FLP dan ketiga analisis pustaka berupa buku dan dokumen resmi FLP.
Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa industri fiksi yang dilakoni FLP telah berubah orientasi dari ideologi menuju industri. Namun hal itu dipandang oleh FLP sebagai sebuah kemenangan mereka dalam perlawanan terhadap industri seperti perlawanan tema fiksi, perlawanan pola distribusi dan perlawanan terhadap ekslusifitas karya fiksi. Namun sebenarnya yang terjadi adalah FLP telah dikomodifikasi, distandarisasi dan dimassifikasi untuk kepentingan industri. Hal tersebut adalah bentuk dominasi industri terhadap penulis.

Pen Circle Forum (Forum Lingkar Pena-FLP) is a phenomenal, interesting to study in view of the critical study of cultural industries. FLP was born to give enlightenment to the people of Indonesian, but in its development FLP lost when dealing with fiction Indonesia industry. Some things are more tragic is when the FLP was already providing the best in order to enlighten the reader Indonesia, but in fact it is superficial consciousness. Consciousness formed in the FLP that they've managed to take the fight to the theme of fiction Indonesia, resistance to the distribution pattern of resistance to the exclusion of works and works of fiction is really just another form of domination in which they have committed industrial commodification, standardization and massification to the FLP. For it is very decent when the study reveals how false consciousness is formed in the FLP and the show is actually happening is that the industry dominance of the FLP. Those things are very relevant to the Frankfurt School of critical theory approach, especially referring to Theodore W. Adorno thought that states that have taken place commodification, standardization and massification of cultural products to meet market needs. It made the authors are no longer independent in presenting their ideas for enlightenment in the midst of society.
Paradigm used in this study are critical to the type of paradigm of qualitative research. To collect data in the field used three techniques: first in-depth interview with the founder of FLP, FLP members and observers of Indonesia fiction or fiction industry. The second observation of the activities of FLP, and third analysis of literature in the form of books and official documents FLP.
The findings in the field shows that the industry acted fiction that FLP has changed the orientation of ideology into the industry. But it was viewed by the FLP as a victory in the fight against industrial fiction themes such as resistance, resistance patterns and the distribution of resistance to the exclusion of fiction. But actually what happens is commodification, standardization and massification by industry. It is a form of industrial domination of the author."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T29577
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Acry Deo Datus
"ABSTRAK
Pembangunan industri akhir-akhir ini mempunyai dilema. Pertama, industri sebagai indikator ekonomi ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, sedangkan misi lain sebagai sarana politik ingin mewujudkan pemerataan dan keadilan dalam menikmati pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Pemerataan dan keadilan tersebut seringkali tidak tercapai dan karena itu menimbulkan konflik. Konflik dalam bentuk apa saja tidak diinginkan oleh pemerintahan manapun. Oleh karenanya setiap pemerintahan akan berusaha untuk melaksanakan pemerataan dan keadilan dengan sebaik-baiknya. Cara yang digunakan oleh pemerintahan negara-negara yang sudah maju maupun negara-negara yang sedang berkembang akhirakhir ini ialah antara lain dengan upaya mengatasi kemiskinan, pengangguran, keadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan. Kedua, industrialisasi akan berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam untuk peningkatan produksi. Kelemahan yang sering dipermasalahkan ialah eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang cenderung merusak kelestarian alam dan pencemaran lingkungan hidup.
Ada berbagai pandangan mengenai dilema pertama. Menurut Dorodjatun, ada dua pandangan terhadap suatu peristiwa ekonomi. Pandangan dari kelompok ekonomi murni dan non ekonomi, murni. Kelompok ekonomi murni berpendirian bahwa fakta ekonomi harus bisa diukur baik secara "cardinal" maupun secara "ordinal". Hal itu berarti suatu peristiwa ekonomi harus dapat diperhitungkan prospek dan hasil penjualan, pembelian, laba atau rugi. Tujuan terutama ialah memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya dengan biaya yang serendah-rendahnya. Kelompok ini tidak akan mengaitkan proses ekonomi dengan masalah pemerataan kesejahteraan dan distribusi pendapatan maupun kekayaan. Sehingga nampak ciri khasnya dalam pengkajian selalu menggunakan metode kuantitatif, yang tidak dapat diganti dengan analisa politik atau sosiologi.
Sedangkan, Kelompok Kedua, menganggap bahwa cara pandang Kelompok Pertama hanya mampu melihat indikator-indikator dipermukaan (keuntungan ekonomi), tetapi tidak mampu menjangkau "arus bawah" yaitu kondisi sosial, politik, ekonomi masyarakat, yang lebih menceriterakan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Menurut Kelompok Kedua, variabel maupun parameter ekonomi hanya merupakan tujuan sementara dari sejumlah aktor yang berada dibelakang variabel atau parameter dimaksud. Diduga bahwa aktor yang dimaksudkan Dorodjatun adalah para penentu kebijaksanaan (policy maker) dan pengambil keputusan (decision making), sehingga dengan demikian sangat bertalian erat dengan suatu sistem politik tertentu. Menurut Dorodjatun dalam karya tulisnya "Pendekatan Politik Ekonomi (Political-Economy)" berpendapat bahwa :
Kegiatan ekonomi sebagaimana halnya kegiatan-kegiatan lainnya di masyarakat, tidak terlepas dari konteks politik yang ada di masyarakat yang bersangkutan, karena sistem politik bukan saja membentuk "power relationship" di suatu masyarakat, akan tetapi juga turut menentukan nilai serta norma yang berlaku yang dirasakan pengaruhnya bahkan di dalan kegiatan ekonomi. "
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sri Soesilowati
"Seperti yang tercanangkan dalam PELITA demi PELITA, maka PELITA IV yang telah berakhir ini, telah ditentukan sebagai permulaan era industrialisasi ekonomi Indonesia. Diharapkan agar pertumbuhan industri lebih cepat dari sektor-sektor lainnya. Sejalan dengan pengembangan industri, akan membawa pula perubahan-perubahan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya entah positif maupun negatif. Daerah Cilegon, dengan semakin berkembangnya industri di sana, yang dimulai sejak tahun 1960-an, yaitu didirikannya pabrik baja Trikora yang kini menjadi PT Krakatau Steel, tentunya telah mengakibatkan perubahan-perubahan. Untuk melihat perubahan-perubahan apa yang terjadi, dilakukanlah penelitian ini.
1. Pembatasan konsep industrialisasi
Industrialisasi menurut Moore, berarti digunakannya sumber-sumber kekuatan nirnyawa (in-animate) secara meluas dalam produksi ekonomi, dan sering digunakan dalam pengertian yang sama dengan modernisasi ekonomi. Moore sendiri menggunakannya dalam pengertian yang lebih luas. Secara sederhana dikemukakan oleh Dharmawan bahwa industrialisasi pada suatu masyarakat berarti adanya pergantian teknik produksi dari cara yang masih tradisional ke cara modern, yang dalam segi ekonomi industrialisasi berarti munculnya kompleks industri yang besar dimana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana produksi, diusahakan secara massal. Dalam tulisan ini industrialisasi secara operasional dimaksudkan dengan berdirinya sebuah perusahaan industri baja di sebuah daerah pedesaan, yaitu tumbuhnya industri baja PT Krakatau Steel di Cilegon.
2. Syarat-syarat Perkembangan Industrialisasi
Dikemukakan oleh Soemiatno, bahwa masyarakat Barat yang bersifat individualistis, materialistis, rasionil, berani dan penuh tanggung jawab serta senantiasa mencari sesuatu yang baru, merupakan pra kondisi yang menguntungkan bagi lahirnya industri disana. Berdasarkan pengamatannya sebelum PELITA II dikatakan bahwa kondisi tersebut belum ada pada masyarakat Indonesia. Sedangkan Mountjoy mengemukakan bahwa industrialisasi bukan hanya sekedar mendirikan perusahaan-perusahaan industri, akan tetapi pembangunan itu meminta dan sekaligus menghasilkan perubahan-perubahan besar dalam masyarakat dan struktur kehidupan sosial. Dalam memajukan ekonomi faktor terpenting adalah manusia itu sendiri, sehingga bagi negara-negara berkembang yang ingin memajukan sektor industri dalam perekonomiannya, mereka harus meningkatkan kualitas penduduknya sampai ke tingkat yang memadai.
Demikian halnya dengan Indonesia, walaupun Soemiatno telah mengatakan pada PELITA II masyarakat Indonesia belum siap untuk menghadapi industrialisasi, kini dalam rangka menyongsong tahap lepas landas diharapkan kondisi tersebut sudah berubah, Diasumsikan bahwa masyarakat sudah siap mengikuti irama kehidupan industrial, yang mungkin tidak dapat dihindari menuju ke masyarakat industri."
Depok: Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ine Minara S. Ruky
"Latar Belakang Permasalahan
Beberapa waktu terakhir ini industrialisasi di Indonesia, telah berkembang menjadi suatu permasalahan yang ramai dibicarakan. Gejala permasalahannya mulai timbul kira-kira pada tahun 1979 ketika perkembangan ekonomi internasional menunjukan indikasi yang kurang menggembirakan, serta usaha negara-negara maju untuk menekan laju pertumbuhan konsumsi energi dan meningkatkan effisiensi pemakaian energi, memberikan hasil yang nyata, sehingga mengakibatkan prospek pasar migas kita tidak secerah dimasa lalu.
Situasi di atas mempunyai dampak yang luas terhadap perekonomian Indonesia. Hampir 5 tahun sejak tahun 1982, tahun mana merupakan awal dari kesulitan ekonomi Indonesia, masih memperlihatkan gambaran yang kurang menggembirakan. Sampai dengan tahun 1985, perekonomian Indonesia masih memperlihatkan ketidakseimbangan. Ketergantungan kepada sektor primer ditunjukan dengan kenyataan bahwa 40 persen dari GDP masih berasal dari sektor ini, dan proses industrialisasi, baru mengantarkan sektor industri pada urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 15,8 persen. Dengan demikian strategi perencanaan dengan maksud merubah struktur perekonomian, belum merubah peranan sektor sekunder sebagaimana yang diharapkan.
Ketimpangan yang lain, dapat kita amati dalam komposisi ekspor. Dari kontribusi sebesar 22.6 persen dalam GDP, sumbangan sektor pertanian terhadap total ekspor hanya sebesar 7,9 persen saja, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian yang dalam GDP memberikan kontribusi sebesar. 18,2 persen menyumbang 69,47 persen.
Kecilnya peranan sektor pertanian dalam ekspor, dapat dimengerti mengingat tidak elastisnya penawaran dan permintaan akan produk sektor tersebut. Lonjakan ekspor kalaupun ada, seringkali bukan disebabkan oleh kenaikan permintaan karena perubahan tingkat pendapatan, tetapi lebih banyak disebabkan oleh karena faktor-faktor lain yang kebanyakan kurang dapat diduga sebelumnya."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Perindustrian, 1983
338 IND i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tobing, Parbadiany
"Melihat kejayaan ataupun keistimewaan-keistimewaan suatu negara tanpa mengetahui sejarah pendirian dan perkembangannya tidaklah ada artinya sama sekali, dan pada hakekatnya sama halnya dengan seseorang yang mengagumi suatu karya seni tanpa margetahui latar belakang dan sifat-sifat penciptanya. Demikianpun halnya dengan melihat Jerman sebagai salah satu negara industri terbesar di dunia dewasa ini. Kiranya tepatlah bila penulis dalam atau me_lalui skripsi ini membahas sebagian kecil sejarah Jerman tersebut. Kemampuan Jerman membangun diri dalam rangka mening_katkan taraf hidup rakyat dan perekonomian negaranya,yang kemudian telah melahirkan Jerman menjadi suatu negara industri, telah menarik perhatian penulis untuk membahas masalah tersebut. Minat itu sendiri timbul karena didasari oleh pengamatan penulis terhadap usaha pembangunan yang begitu pesat yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah R.I"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1981
S14814
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>