Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180768 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ananda Natasya Berliana Putri
"Kebijakan pembatasan dalam melakukan interaksi sosial, menyebabkan penggunaan media sosial meningkat selama pandemi COVID-19. Mahasiswa merupakan pengguna media sosial terbanyak di Indonesia, dimana media sosial Instagram dan TikTok populer di kalangan mahasiswa. Adanya beragam fitur yang ada pada Instagram dan TikTok dapat menyebabkan mahasiswa melakukan social comparison, dimana hal tersebut dapat menimbulkan emosi negatif yang mengarah pada penurunan subjective well-being mahasiswa. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki tujuan untuk melihat hubungan antara social comparison dan subjective well-being pada mahasiswa pengguna Instagram dan TikTok. Terdapat dua alat ukur yang digunakan, yaitu The Iowa-Netherlands Comparison Orientation Scale untuk mengukur social comparison dan The Perma-Profiler untuk mengukur subjective well-being. Partisipan di dalam penelitian ini berjumlah 191 mahasiswa pengguna media sosial Instagram dan TikTok, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dengan rentang usia 19-25 tahun (M = 21,37, SD = 1,028) dari berbagai wilayah di Indonesia. Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan menggunakan teknik analisis Pearson Correlation, ditemukan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara social comparison dan subjective well-being pada mahasiswa pengguna Instagram dan TikTok (r (191) = -0,130, p < 0,05). Oleh karena itu, semakin tinggi social comparison yang dilakukan mahasiswa, semakin rendah pula subjective well-being mahasiswa, demikian pula dengan sebaliknya.

The policy of limiting social interactions caused the use of social media increases during the COVID-19 pandemic. College students are amongst the most active users on social media, also Instagram and TikTok are popular among them. The various features on Instagram and Tiktok can cause college students to do social comparison, which can elevate negative emotions that lead to decreased student’s subjective well-being. Thus, this study aims to find out whether social comparison has an effect on college student’s subjective well-being. There are two measurement instruments used, The Iowa-Netherlands Comparison Orientation Scale to measure social comparison and The Perma-Profiler to measure subjective well-being. Participants in this study were 191 college students using Instagram and TikTok, consisting of male and female, with an age range of 19-25 years (M = 21,37, SD = 1,028) from various areas in Indonesia. According to the correlation test that conducted using Pearson Correlation, there is a negative and significant correlation between social comparison and subjective well-being of college students using Instagram and TikTok (r (191) = -0,130, p < 0,05). Thus, the higher level of social comparison that students did, the lower the subjective well-being of college students using Instagram and TikTok as well, and vice versa."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggis Laras Damayanti
"ABSTRAK
Anak-anak di Indonesia cenderung memiliki tingkat kesejahteraan obyektif yang rendah, tetapi kesejahteraan subyektif yang menarik dari anak-anak Indonesia cukup tinggi. Sejumlah penelitian sebelumnya menemukan bahwa struktur sosial ekonomi dan keluarga sebagai faktor yang berkontribusi pada tingkat kesejahteraan subjektif anak-anak yang tinggi. Untuk memperkaya studi sebelumnya, peneliti menggunakan faktor lain untuk menjelaskan tingginya tingkat kesejahteraan subjektif anak-anak, yaitu dukungan sosial dari orang tua, guru, dan teman. Dalam penelitian ini, jenis kelamin dan tingkat sekolah digunakan sebagai variabel kontrol dalam melihat hubungan antara dukungan sosial dan kesejahteraan subjektif anak-anak. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan survei terhadap 340 anak-anak dari SMP Negeri 2 dan SMA Negeri 3 Depok yang dipilih melalui multistage stratified random sampling. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak memiliki tingkat kesejahteraan subjektif dan dukungan sosial yang tinggi. Dukungan sosial dari orang tua, guru, dan teman berkorelasi positif dengan kesejahteraan subjektif anak-anak. Selanjutnya, hasil menunjukkan bahwa jenis kelamin mempengaruhi hubungan antara dukungan sosial dan kesejahteraan subyektif anak-anak dengan model elaborasi dari pola spesifikasi, sedangkan tingkat sekolah mempengaruhi hubungan antara dua variabel dengan model elaborasi dari pola penjelasan.

ABSTRACT
Children in Indonesia tend to have low levels of objective well-being, but attractive subjective well-being of Indonesian children is quite high. A number of previous studies have found that socioeconomic and family structures are factors that contribute to the high level of subjective well-being of children. To enrich previous studies, researchers used other factors to explain the high level of subjective well-being of children, namely social support from parents, teachers, and friends. In this study, gender and school level were used as control variables in seeing the relationship between social support and children's subjective well-being. This research was conducted using a survey of 340 children from SMP Negeri 2 and SMA Negeri 3 Depok selected through multistage stratified random sampling. The results show that children have a high level of subjective well-being and social support. Social support from parents, teachers and friends is positively correlated with children's subjective well-being. Furthermore, the results show that gender influences the relationship between social support and subjective well-being of children with the elaboration model of the specification pattern, while the school level influences the relationship between the two variables with the elaboration model of the explanation pattern."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ukhti Salamah
"ABSTRAK
Dibalik popularitasnya, Instagram merupakan media sosial yang memiliki dampak negatif paling tinggi bagi penggunanya. Hal ini dikarenakan konten yang diunggah oleh pengguna Instagram merupakan gambar ideal yang dapat mengecilkan hati pengguna lain yang melihatnya. Penelitian ini menguji hubungan antara up-social comparison dengan self-esteem pada siswa yang menggunakan Instagram. Penelitian ini menggunakan Skala Self-Esteem Rossenberg sebagai alat pengukur harga diri, serta Social Comparison di Facebook yang dikonstruksikan oleh Vogel et al (2014) yang telah diadaptasi oleh peneliti sebagai alat ukur dari upward social comparison. Sebanyak 472 mahasiswa S1 terlibat dalam penelitian ini. Data partisipan diolah dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan sosial ke atas secara signifikan berkorelasi negatif dengan harga diri. Hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi perbandingan sosial ke atas yang dialami individu diikuti dengan harga diri yang semakin rendah. Selain itu, ditemukan juga bahwa 2,3% varians harga diri dapat dijelaskan dengan perbandingan sosial ke atas
ABSTRACT
Behind its popularity, Instagram is a social media that has the highest negative impact on its users. This is because the content uploaded by Instagram users is an ideal image that can discourage other users who see it. This study examines the relationship between up-social comparison and self-esteem in students who use Instagram. This study uses the Rossenberg Self-Esteem Scale as a means of measuring self-esteem, as well as Social Comparison on Facebook which was constructed by Vogel et al (2014) which has been adapted by researchers as a measuring tool for upward social comparison. A total of 472 undergraduate students were involved in this study. Participant data was processed using simple linear regression analysis. The results showed that upward social comparison was significantly negatively correlated with self-esteem. This shows a tendency that the higher the upward social comparison experienced by the individual is followed by the lower self-esteem. In addition, it was also found that 2.3% of the variance in self-esteem can be explained by upward social comparisons"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Gatari
"Seorang ibu bekerja mempunyai beragam peran, yaitu sebagai seorang istri, ibu, dan pekerja. Ia bisa mendapat keuntungan dari perannya yang beragam, seperti meningkatkan self-esteem dan kepercayaan diri, sehingga subjective well-being (SWB)-nya meningkat. Di sisi lain, adapula masalah yang dapat mengurangi SWB-nya dari keberagaman peran tersebut, seperti kelebihan beban pada perannya (role overload) dan konflik peran. Adanya dampak yang berlawanan dari keberagaman peran tersebut membuat peneliti merasa perlu mengidentifikasi ciri-ciri SWB yang tinggi pada ibu bekerja. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi SWB, adanya dukungan sosial adalah faktor yang menarik untuk mengidentifikasi ibu bekerja dengan SWB yang tinggi. Ketertarikan tersebut antara lain datang dari pernyataan bahwa keuntungan fisik dan psikologis dari pekerjaan seorang ibu dapat menjadi tidak berguna apabila dukungan yang diberikan kurang. Untuk mengetahui apakah memang ibu bekerja dengan SWB yang tinggi memiliki dukungan sosial yang tinggi, peneliti mengangkat permasalahan tersebut di dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan perceived social support (PSS) untuk menjelaskan konsep dukungan sosialnya, menganalisis hubungan antara komponen-komponen SWB (kepuasan hidup secara global, afek positif, dan afek negatif) dengan PSS selain SWB secara keseluruhan. Sampel penelitian ini adalah 82 ibu bekerja berusia 25 ? 40 tahun yang berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi, bekerja minimal 35 jam dan tidak memiliki bawahan dalam pekerjaan tersebut, mempunyai anak di bawah umur 15 tahun, mempunyai suami yang bekerja fulltime, dan mempunyai orang (selain kerabat dan suami) yang membantu pekerjaannya di rumah. Data yang didapatkan kemudian dianalisis korelasinya dengan menggunakan SPSS 11.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara PSS dengan SWB dan komponen-komponennya.

An employed mother have multiple roles, that is, as a wife, mother, and worker. She could have benefits from her multiple roles, such as increasing self-esteem and self-confidence, so her subjective well-being (SWB) could improve. On the other hand, there are problems from multiple roles that could lower her SWB, such as role overload and role conflict. The conflicting effects from multiple roles mentioned above make the researcher feel there is a need to identify the characteristics of employed mothers with high SWB. Among other factors that influence SWB, social support was an interesting factor to be researched for employed mothers with high SWB identification. That interest came from the statement that pyshical and psychological benefits coming from an employed mothers' job could be less useful if there are only little support given to her. To know whether or not employed mothers' with high SWB has high social support, the researcher raises that problem in this research.
This research used perceived social support (PSS) to conceptualize social support, and analyze the relationship between SWB components (global life satisfaction, positive affect, and negative affect) with PSS aside from SWB as a whole. The sample in this research are 82 employed mothers with the age between 25 - 40 years old, living in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, or Bekasi, worked 35 hours a week at minimum and didn't have any staff under her, had a child under 15 years old, had a husband that worked full-time, and had someone (aside from her husband and child) that helped her doing houseworks. Acquired data was analyzed using Pearson Product Moment correlation with SPSS 11.0. The results show that there are significant relationships between perceived social support with SWB and its components.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
155.633 GAT h
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Melia Fahira Fazrine
"Untuk membantu proses pembelajaran, memperoleh informasi, dan berkomunikasi, mahasiswa membutuhkan sarana yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, salah satunya adalah media sosial. Namun, penggunaan media sosial memiliki dampak negatif, salah satunya yaitu munculnya ujaran kebencian. Ujaran kebencian dapat berdampak negatif bagi kondisi psikologis mahasiswa dan menurunkan kesejahteraan subjektif. Maka, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara ujaran kebencian di media sosial dengan kesejahteraan subjektif dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang pelaku ujaran kebencian dan sudut pandang yang mengungkap ujaran kebencian. Sebanyak 200 mahasiswa (M=21.39, SD=1.021) berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasional untuk melihat hubungan kedua variabel. Alat ukur The PERMA-Profiler untuk mengukur kesejahteraan subjektif dan alat ukur kecenderungan melakukan ujaran kebencian untuk mengukur perilaku ujaran kebencian yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan menggunakan teknik analisis Pearson Correlation, ditemukan bahwa tidak ada hubungan positif dan signifikan antara ujaran kebencian dengan kesejahteraan subjektif dari sudut pandang pelaku (r = -0.078, p > 0.05) dan tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kebencian berbicara dengan kesejahteraan subjektif dari sudut pandang yang terpapar (r = 0.073, p > 0.05). Artinya, ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara ujaran kebencian dengan kesejahteraan subjektif pada mahasiswa.

To help the learning process, obtain information, and communicate, students need tools that can meet these needs, one of which is social media. However, the use of social media has a negative impact, one of which is the emergence of hate speech. Hate speech can negatively affect a student's psychological condition and degrade subjective well-being. Thus, this study aims to see the relationship between hate speech on social media and subjective welfare from two points of view, namely the point of view of the perpetrator of hate speech and the point of view that reveals hate speech. A total of 200 students (M= 21.39, SD= 1,021) participated in this study. This study used a correlational research method to see the relationship between the two variables. The PERMA-Profiler measuring instrument for measuring subjective well-being and the tendency to measure hate speech to measure hate speech behavior were used in this study. Based on the correlation test conducted using the Pearson Correlation analysis technique, it was found that there was no positive and significant relationship between hate speech and subjective well-being from the perpetrator's point of view (r = -0.078, p > 0.05) and there was no positive and significant relationship between hate speech and subjective well-being from the exposed point of view (r = 0.073, p > 0.05). Which means, it was found that there is no relationship between hate speech and subjective well-being in students."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Nugroho
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara social comparison dan citra tubuh pada mahasiswa. Pengukuran social comparison menggunakan alat ukur Body Comparison Scale milik Fisher, Dunn, & Thompsom (2002). Untuk pengukuran citra tubuh menggunakan alat ukur MBSRQ dari Thomas Cash (1989). Partisipan berjumlah 102 responden mahasiswa dengan rentang usia 18 sampai 29 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara social comparison dan citra tubuh pada mahasiswa. (r=0,121; p=0,210). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar dalam mengembangkan penelitian selanjutnya mengenai social comparison dan citra tubuh.

This research was conducted to find the correlation between social comparison and body image among college students. Social comparison was measured using instrument of Body Comparison Scale from Fisher, Dunn, & Thompsom (2002). Body image was measured using instrument of MBSRQ from Thomas Cash (1989). The participants of this research are 102 responden of college studets who have emerging adulthood ages, 18 until 29 years old (r=0,121; p=0,210). The main results of this study showed no significant relationship between social comparison and body image among college students. The results of this study are expected to be the basis of data in developing further research on social comparison and body image.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63799
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Julian Devianti
"Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui peran psychological capital (PsyCap) dalam memediasi hubungan antara perceived social support dan subjective well-being pada istri yang bekerja. Penelitian ini penting karena belum ada pemahaman yang jelas terkait dengan bagaimana perceived social support dapat berperan pada subjective well-being istri yang bekerja. Pada penelitian ini, subjective well-being diukur dengan Satisfaction with Life Scale dan Scale of Positive Affect and Negative Experience, perceived social support diukur menggunakan Multidimensional Scale of Perceived Social Support, dan psychological capital diukur dengan PCQ-12. Penelitian ini dilakukan pada 117 istri yang bekerja. Hasil penelitian menemukan bahwa psychological capital memediasi hubungan antara perceived social support dan subjective well-being. Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya literatur terkait variabel perceived social support, psychological capital, dan subjective well-being.

This study aimed to examine the role of psychological capital (PsyCap) in mediating the relationship between perceived social support and subjective well-being of working wives. This study is important because there is yet a clear understanding on how perceived social support can contribute to subjective well-being of working wives. In this study, subjective well-being was measured by Satisfaction with Life Scale and Scale of Positive Affect and Negative Experience, perceived social support was measured using Multidimensional Scale of Perceived Social Support, and psychological capital was measured by PCQ-12. This study was conducted on 117 working wives. The results found that psychological capital mediates the relationship between perceived social support and subjective well-being. The results of this study can be useful for enriching the literature related to the variables of perceived social support, psychological capital, and subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Dwi Syafina
"Tujuan penelitian ini ingin melihat hubungan antara school belonging dan subjective well-being in school pada remaja awal di pesantren. Banyaknya peraturan dan tuntutan di pesantren bukanlah hal mudah untuk dijalani oleh para remaja awal. Mereka sangat rentan melakukan berbagai pelanggaran di sekolah yang merupakan indikator rendahnya subjective well-being in school. Padahal subjective well-being in school yang tinggi akan meningkatkan keberhasilan akademik dan membuat mereka memiliki kesehatan mental serta fisik yang baik. Salah satu faktor penting yang memengaruhi subjective well-being in school adalah school belonging. Di pesantren, para siswa diharuskan tinggal bersama dan lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman dan para guru dibandingkan sekolah lainnya, sehingga seharusnya school belonging yang mereka miliki tinggi. School belonging juga merupakan kebutuhan penting bagi para remaja awal. Dengan demikian, remaja awal di pesantren seharusnya memiliki school belonging yang tinggi yang akan berhubungan dengan subjective well-being in school mereka. Responden penelitian ini terdiri dari 167 siswa remaja awal dari 4 pesantren di wilayah Depok dan Bogor. School belonging diukur menggunakan Psychological Sense of School Membership Among Adolescents dan subjective well-being in school diukur menggunakan Brief Adolescents rsquo; Subjective Well-Being in School Scale. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara school belonging dan subjective well-being in school pada remaja awal di pesantren.

The purpose of this study is to know the relationship between school belonging and subjective well being in school among early adolescents in pesantren. The number of rules and demands in pesantren is not easy for early adolescents. They are very vulnerable to violations in school that are indicators of low level subjective well being in school. In fact, high level of subjective well being in school can improve their academic success and have good mental and physical health. One important factor that affecting subjective well being in school is school belonging. In pesantren, students are required to live together and interact more with friends and teachers than any other school. That situation should make their school belonging higher. School belonging is an important needs for early adolescents. Thus, early adolescents in pesantren should have high level school belonging that will relate to their subjective well being in school. The respondents consisted of 167 early adolescents from 4 pesantren in Depok and Bogor. School belonging was measured using Psychological Sense of School Membership Among Adolescents and subjective well being in school were measured using the Brief Adolescents 39 Subjective Well Being in School Scale. The results showed a significant positive correlation between school belonging and subjective well being in school among early adolescents in pesantren."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khumaira Azzahrah Shakti Sahidah
"Berbagai perubahan yang dialami pada saat bertransisi ke perguruan tinggi dapat memengaruhi afek positif dan negatif subjective well-being, tetapi perceived social support dapat berfungsi sebagai pelindung (stress-buffer). PSS memiliki tiga sumber, yaitu teman, keluarga, dan significant other. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bersama-sama dari setiap dimensi atau sumber PSS terhadap afek positif dan negatif SWB serta sumber manakah yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap afek positif dan negatif SWB. Partisipan terdiri dari 361 mahasiswa baru S1 yang berusia 18-21 tahun dan melaksanakan pembelajaran daring sehingga saat ini tinggal bersama keluarga. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik statistika multiple linear regression dengan metode stepwise. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PSS keluarga dan significant other merupakan sumber yang berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap afek positif. PSS keluarga memiliki peran yang lebih besar daripada PSS significant other terhadap afek positif (R2 = 0,215, p< 0,001). Selanjutnya, PSS keluarga merupakan satu-satunya sumber yang secara negatif dan signifikan berpengaruh terhadap afek negatif (R2 = 0,066, p< 0,001). Hasil penelitian dapat dimanfaatkan oleh konselor mahasiswa di perguruan tinggi.

Changes experienced by freshmen when transitioning to college influence both their positive and negative affects of SWB, but the existence of perceived social support may act as a protector (stress-buffer). PSS has three sources, namely friends, family, and significant other. Thus, this study aims to determine the joint effect of each dimension or source of PSS towards positive and negative affects of SWB and which sources have a greater influence towards positive and negative affects of SWB. Participants consisted of 361 freshmen college students aged 18-21 years and attended lectures by an online learning system so they currently live with their families. Data analysis is done using multiple linear regression statistical techniques with stepwise method. The results showed that family and significant other PSS are sources that have a positive and significant effect toward positive affect. Family PSS has a greater role than the significant other PSS toward positive affect (R2 = 0.215, p <0.001). Furthermore, family PSS is the only source that has a negative and significant effect toward negative affect (R2 = 0.066, p <0.001). The research results can be used by student counselors in universities"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Mardiyanah
"Peluang mendapatkan pendapatan lebih tinggi mendorong pekerja untuk bermigrasi ke berbagai daerah di Indonesia. Namun, hal ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi kesejahteraan subjektif pekerja migran seperti stres, kesepian, dan rendahnya modal sosial. Penelitian ini menguji hubungan antara persepsi dukungan sosial dan kesejahteraan subjektif pada 86 karyawan migran berusia 20-40 tahun di Indonesia. Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan alat ukur The-PERMA-Profiler dan Social Provision Scale (SPS). Hasil penelitian menunjukan adanya korelasi positif secara signifikan antara persepsi dukungan sosial dan kesejahteraan subjektif (r=0.382, p<.01, two-tailed) yang menunjukan semakin tinggi pekerja memiliki persepsi dukungan sosial, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektif yang dirasakannya. Dimensi persepsi dukungan sosial yang berhubungan erat dengan kesejahteraan subjektif adalah meyakinkan keberhargaan diri, disusul dengan dimensi integrasi sosial dan dimensi bimbingan. Oleh karena itu, perusahaan perlu merancang kebijakan yang mendukung apresiasi pekerja, lingkungan yang menciptakan integrasi sosial dan mentor bagi karyawan migran serta memberikan dukungan yang memadai untuk meningkatkan persepsi dukungan sosial dan kesejahteraan karyawan migran.

Opportunities for higher incomes encourage workers to migrate to various regions in Indonesia. However, this poses its own challenges to the subjective well-being of migrant workers such as stress, loneliness, and low social capital. This study examined the relationship between perceived social support and subjective well-being in 86 migrant employees aged 20-40 years in Indonesia. Data were collected through questionnaires with The-PERMA-Profiler and Social Provision Scale (SPS) measurement tools. The results showed a significant positive correlation between perceived social support and subjective well-being (r=0.382, p<.01, two-tailed), indicating that the higher the workers' perceived social support, the higher their subjective well-being. The dimension of perceived social support that is closely related to subjective well-being is self-esteem, followed by the social integration dimension and the guidance dimension. Therefore, companies need to design policies that support worker appreciation, environments that create social integration and mentors for migrant employees and provide adequate support to improve the perceived social support and well-being of migrant employees."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>