Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136821 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jajat Hidajat
"Tuberkulosis Paru (TB. Paru) merupakan masalah kesehatan masyarakat penting, WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya ada 581.000 kasus baru tuberkulosis dengan 140.000 kematian dan merupakan penyumbang ke tiga terbesar kasus tuberkulosis di dunia setelah India dan Cina.
Berdasarkan survei tahun 1979 - 1993 didapat prevalensi BTA (+) rata-rata 0,29%, terendah di Bali (0,08%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,79%). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menyebutkan bahwa TB. Paru adalah penyebab kematian ketiga, sesudah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan. Di Kabupaten Pontianak prevalensi TB. Paru BTA (+) tahun 1994 adalah 0,55 per 1000 penduduk. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2000, disain penelitian adalah kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB. Paru berumur 14 tahun dengan BTA (+) yang bertempat tinggal di Kabupaten Pontianak pada tahun 1999 - 2000 dan mendapat pengobatan dengan OAT, baik kategori-1 maupun kategori-2; sedangkan jurnlah sampel yang diambil berjumlah 108 kasus dan 108 kontrol.
Hasil yang diperoleh, dari 459 penderita TB. Paru BTA (+) yang diobati yang dinyatakan sembuh 74,1%, pengobatan lengkap 21,3%, lalai berobat 0,9%, gagal 2% dan meninggal 1,7%. Hasil analisis univariat, dari 216 responden 64,35% jenis kelamin laki-laki dan 33,65% perempuan; umur terbanyak pada kelompok umur 34-43 tahun (31,02%), tingkat pendidikan terbanyak pendidikan rendah (66,2%) dan pekerjaan terbanyak petani/pedagang (60,19%). Pada analisis univariat, dari 14 variabel independen temyata hanya 12 variabel yang dianggap potensial sebagai faktor risiko (p<0,25), variabel yang dianggap sama untuk kedua kelompok (p>0,25) adalah variabel jenis kelamin dan pendidikan.
Hasil analisis multivariat dengan metode regresi logistik dari 12 variabel independen yang diambil sebagai model, ternyata hanya 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p<0,05), yaitu tidak mengerti materi penyuluhan (OR=5,6 95% CI : 2,3 ; 13,8 dan p=0,000), tidak ada PMO (OR-16,2 95% CI : 4,7 ; 56,0 dan p4,1,000), pengetahuan tentang TB. Paru kurang (OR=31,9 95% CI : 11,3 ; 89,9 dan p=0,000), pelayanan tidak Iengkap (OR-7,0 95% CI : 1,3 ; 36,2 dan p 0,000) dan kelompok umur. Kelompok umur di klasifxkasikan ke dalam 6 kelompok dengan kelompok umur 64-73 tahun sebagai referensi; hasilnya adalah kelompok umur 14-23 tahun (OR-12,9 95% Cl : 1,5 ; 108,5 dan p 0,019), kelompok umur 24-33 tahun (OR-8,3 95% CI : 2.0 ; 68.6 dan p 4l.048), kelompok umur 34-43 tahun (OR-4,9 95% CI : 0,8 ; 32,2 dan p=0,095), kelompok umur 44-53 tahun (OR=11,0 95% CI : 1,5 ; 82,0 dan p--0,020) dan kelompok umur 54-63 tahun (OR-2,7 95% CI : 0,3 ; 20,9 dan p=0,348).
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu faktor tidak mengerti materi penyuluhan, tidak ada PMO, pengetahuan kurang mengenai TB. Paru, pelayanan tidak lengkap, umur yang secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak tahun 1999-2000.
Selanjutnya dapat disarankan agar faktor penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan supaya lebih di intensifkan lagi, dilakukan pembinaan secara berkesinambungan terhadap PMO dan meningkatkan kemampuan pengelola program P2 TB Paru di Puskesmas. Selain itu juga juga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ketidakpatuhan berobat, terutama terhadap faktor stigma masyarakat, ESO, PMO dan persepsi terhadap kemajuan pengobatan dengan suatu alat ukur atau instrurnen yang lebih baik.
Daftar Pustaka 46 : (1986 - 2000)

Pulmonary Tuberculosis (Pulmonary TB) is serious public health problem, WHO estimated about 140 thousands of TB deaths in Indonesia annually, and every year 483 thousands new TB Cases and contributed the 3 rd greatest number of TB cases in the world after India and China. Based on survey between 1979 - 1993, the prevalence of AFB (+) is about 0.29%, the lowest is in Bali (0.08%) and the highest is in East Nusa Tenggara (0.79%). The Household Health Survey (SIKRT) in 1995 mentioned that Pulmonary TB was the Std caused of death after Cardiovascular Diseases and Respiratory Diseases. In Pontianak Regency prevalence of Pulmonary TB in 1994 is 0.55% per 1000 people and there is no formal research result about incompliance treatment of pulmonary TB AFB (+) patient mentioned in area.
The objective of this research is to understand key factors associated with incompliance treatment of patients of Pulmonary TB AFB (+) in Pontianak Regency. Research was done in June 2000, by using case control design. Population sample are the Pulmonary TB patients in the age over 14 year old with AFB (+) who live in Pontianak Regency in 1999 - 2000 with anti-TB drugs treatment, not only the first category but also the second category. The sample size were 108 cases and 108 controls.
The results pre, from 459 Pulmonary TB treated patients AFB (+), 74.1% recovery, 21.3% completed treated, 0.9% defaulted, 2.0% failure and 1.7% dead. The univariate analysis results from 216 respondences 64.35% male and 35.65% female; 31.02% at age group of 34-43 years old, most of them have low education level (66.2%) and 60.19% stated as farmer/merchant. Based on univariate analysis, from 14 independent variables found that only 12 considered as potential risk factors (p<0,25), the variables considered as similar for two categories (p>0.25) are gender and education.
In logistic regression method using 12 independent variables in the model and incompliance toward treatment variable as dependent variable, there were only 5 independent variables that have significant relationship (p<0.05). The 5 variables were : the lack of understanding of health promotion materials (OR=5.6 95% CI : 2.3 ; 13.8 and p=0.000), the availability of overseer of the DOT (OR-I6.2 95% Cl : 4.7 ; 56.0 and p=0.000), the lack of knowledge of Pulmonary TB (OR=31.9 95% CI : 11.3 ; 89.9 and p=q.000), the incomplete of facilities service (OR-7.0 95% CI : 1,3 ; 36,2 and p=0,000) and the age groups. The age groups were classified into 6 groups; i.e. 14-23 year old, 24-33 year old, 3443 year old, 44-53 year old, 54-63 year old and 64-73 year old, The age group of 64-73 year old had become a reference for other groups. Each other groups was compared to reference (64-73 year old). The comparisons result in OR-12,9 95% CI : 1.5 ; 108.5 and p=0.019 (group of age 14-23 year old), OR=8.3 95% Cl : 2,0 ; 68.6 and p O.048 (group of age 24-33 year old), OR=4.9, 95% CI : 0.8 ; 32.2 and p=0.095 (group of age 34-43 year old), (OR-11.0 95% CI : 1,5 ; 82,0 and p=0,020 (group of age 44-53 year old) and OR=2.7 95% CI : 0.3 ; 20.9 and p=0.348 ( group of age 54-63 year old ).
The conclusion is that the lack of understanding of health promotion materials, the availability overseer of the DOT, the lack of knowledge of Pulmonary TB, the uncompleted of facilities service and the age group have significant relationships (p<0.05) with incompliance toward treatment among patients of Pulmonary TB AFB (}) in Pontianak Regency in 1999 - 2000. Furthermore, it is suggested to make health promotion from health staff more intensive, cultivate the overseer of DOT continuously and improve the capability of the organizer TB Program in health center (Puskesmas). Besides that, it needs to do further research on incompliance toward treatment, mainly on community stigma, drug side effect, efficacy of overseer of the DOT and the perceived treatment using a better indicator or instrument.
Reference : 46 (1986 - 2000)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T2755
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Amaliah
"TB paru merupakan masalah di Indonesia. Data Riskesdas 2010 menunjukkan, prevalensi TB Paru 2009/2010 sebesar 725/100.000 penduduk. Evaluasi hasil dilihat dengan angka konversi pada akhir pengobatan fase intensif sebesar 80%. Masalah utama kegagalan konversi adalah komponen perilaku penderita TB paru yaitu keterlambatan diagnosis dan tidak selesainya pengobatan yang berakibat resistensi ganda OAT. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol, populasi sebanyak 1.305 adalah penderita TB paru pengobatan fase intensif tahun 2010 yang tercatat di formulir TB 01 puskesmas di Kabupaten Bekasi. Sampel diambil sebanyak 170 penderita, dikelompokkan menjadi gagal konversi sebanyak 200 penderita dan konversi sebanyak 1.105 penderita. Setiap kelompok diambil masing-masing 85 penderita. Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Metode analisis data dengan uji Chi Square dan regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan responden tidak teratur minum obat lebih besar yang mengalami kegagalan konversi (74,1%) dibandingkan yang konversi (46,4%). Hasil uji Chi square ada hubungan yang bermakna antara keteraturan minum obat, sikap terhadap keteraturan minum obat, pengetahuan tentang TB, penyuluhan kesehatan, efek samping obat, dan status gizi dengan kegagalan konversi. Hasil uji statistik dengan regresi logistik menunjukkan faktor paling berhubungan dengan kegagalan konversi adalah status gizi OR: 4,705: 95% CI: 2,143-10,332. Status gizi penderita TB paru perlu ditingkatkan sebagai upaya bersama dengan pemberian OAT.

Pulmonary TB is a problem in Indonesia. Riskesdas 2010, the prevalence of pulmonary TB 2009/2010 for 725/100.000 population. Evaluation results conversion rate at the end of the intensive phase of treatment by 80%. The main problem is the conversion of a component failure behavior of patients with pulmonary TB is not the completion of delayed diagnosis and resulting treatment dual resistance OAT. Design study are casecontrol study. Population of 1305 patients with pulmonary TB is an intensive phase of treatment in 2010 are recorded in the TB form 01 health centers in the district of Bekasi. Samples were taken 170 patients, classified as many as 200 patients failed to convert and convert as many as 1.105 people. Each group of 85 patients taken at random. Data were collected by interview using a questionnaire. Methods of data analysis with chi square tests and logistic regression.
The results showed respondents do not regularly drink more drugs that have failed conversion (74.1%) compared to the conversion (46.4%). Chi square test results there was a significant association between the regularity of drug taking, attitudes toward medication order, knowledge of TB, health education, medication side effects, and nutritional status with conversion failure. The results of statistical tests with logistic regression showed factors associated with failure of the conversion is the nutritional status OR: 4,705: 95% CI: 2,143-10,332. Nutritional status of patients with pulmonary TB needs to be improved as a joint effort with the provision of OAT.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31309
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi
"Program penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) telah dimulai sejak tahun 1995. Diantara indikator yang dapat digunakan melihat keberhasilan strategi DOTS adalah angka kesembuhan dan angka konversi. Di kota Jambi angka kesembuhan pada tahun 2000 sebesar 87,5% di atas target nasional sebesar 85%, dan tahun 2001 turun menjadi 80%. Sedangkan angka konversi BTA (+) menjadi BTA (-) tahun 2001 hanya mencapai 65% di bawah target nasional sebesar 80%,. Terjadinya penurunan angka kesembuhan dan angka konversi tersebut mengindikasikan adanya penurunan persentase penderita Tb Paru yang patuh berobat di kota Jambi tahun 2001. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di kota Jambi tahun 2001.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 2 bulan, dengan menggunakan data primer yang di peroleh dari basil wawancara melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah seluruh penderita Tb Paru yang telah selesai berobat sejak 1 November 2000 sampai 31 Oktober 2001 sebanyak 133 orang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, efek samping obat (ESO), jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, persepsi terhadappersediaan obat, penyuluhan oleh petugas, jenis PMO dan peran PMO mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru.
Dan hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa faktor jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, penyuluhan oleh petugas, dan peran PMO merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di Kota Jambi tahun 2001.
Penelitian ini menyarankan pihak program dapat memanfaatkan tenaga kesehatan yang berdomisili dekat dengan penderita untuk memperrnudah pasien mengambil obat misalnya bidan di desa, perawat, petugas kesehatan di Puskesmas Pembantu.
Agar PMO benar-benar dapat melaksanakan tugas sesuai fungsi dan peranya dengan baik, maka dimasa yang akan datang disarankan perlu melakukan pemilihan PMO yang lebih selektif, dan semua PMO tersebut di beri pelatihan secara khusus sebelum pengobatan dimulai. Dengan memperhatikan kuatnya hubungan antara penyuluhan yang diberikan petugas dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru serta didukung hasil beberapa penelitian terdahulu, maka di masa akan datang perlu pengamatan secara kualitatif tentang penyuluhan langsung perorangan yang diberikar petugas kepada penderita Tb Paru di Puskesmas, dan kemungkinan altematil pengembangan keterampilan petugas dalam memberi penyuluhan lansung perorangan (misalnya dengan mengikuti pelatihan atau kursus berhubungan dengan penyuluhan tersebut).

Lung Tuberculosis control program by Directly Observed Treatment Short course (DOTS) has been started since 1995. Among the indicators that suggested the ? level of successfulness of DOTS strategy are cure rate and conversion rate. In Jambi recovery rate in year 2000 is 87,5% higher than 85% of national target, but in 2001 decrease to 80%. Whereas conversion rate of Acid-Fast Bacilli positive to negative in 2001 is only 65% below 80% of national target. The decreasing rate of recovery and conversion indicating the decreasingly of lung TB patient which obey regular medication in Jambi. This study generally to find out factors related to medication compliance of lung TB patient in Jambi year of 2001.
This study using a cross sectional design, carried out in two months, primary data obtained from interview with questionnaires. The sample is all of the 133 lung TB patients that have been taking medication since 1st of November 2000 to 31st of December 2001.
This study suggest that such factors like knowledge, drugs side effect, distance from home to community health centre, transportation, perception to drugs availability, information dissemination by health officer, and drug usage supervising have significance correlation to patient's obedient to medication. From multivariate analysis, can conclude that distance factor from house to community health centre, transportation, information by healthcare staff, and drug usage supervising are dominant variable related to lung TB patient's compliance in medication in Jambi year of 2001. This study recommended that program planner to involve every healthcare staff which living nearby patient to help patient in this medication such as midwife or community health centre staffs.
In order to encourage PMOs to do the task appropriately, in the future all PMOs should be rained before doing their job. By considering relationship between educations by healthcare staff with patient's compliance to medication and supported by the results from previous study, so in the future need qualitative observation about information directly to TB lung patient in community health centre, and alternative for developing skill of healthcare staffs in disseminating information directly to an individual.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Dahlan
"Environmental factors in connection with the TB Lung BTA (+) (case control study) in the city of Jambi 2000-2001As a living place, house is one of key basic need of human beings. A live able and healthy house is very important for people; a healthy one should fulfill health requirements such as physiological need, contagious disease and accident prevention. A sufficient lighting is a vital need of human in a cleaning house. The contagion of tuberculosis disease has tight relation to ventilation and lighting in the house. A house which doesn't have enough ventilation, a lack of lighting gives the bacteria an opportunity to breed, if there is a patient of tuberculosis in it, so it eases the contagion to other people living in it.
TB Lungs Disease is still a problem of health; the generation of TB Lungs derives from contribution of some physical environment of house and respondents characteristics. Tuberculosis is a contagious disease that is generated by Mycobacterium tuberculosis germs; they usually enter the human body system via respiration to the lungs. The TB patients are much founded in unhealthy settlement, and lack of lighting and ventilation one that is under the health requirement. The objective of this research is to recognize the risk of contribution factors of physical environment of house and respondent characteristic toward TB Lungs patients in the city of Jambi.
The methods of research design the control case. The samples were taken proportionally from 7 (seven) referred microscopic public health center (puskesmas), with 50 cases and 100 controls. The data are analyzed to verify hypotheses with univariate, bivariate and multivariate analyses phase. Independent research variables for respondents characteristics; age, gender, length of living, nutrition grade, knowledge, and physical factors of house: ventilation, crowd of settlement, humidity, and lighting.
The result of research shows respondents in Referred Microscopic Public Health Center (PRM); Pakuan Baru 26 % and 19 % controls, Putri Ayu 22% cases and 20% controls, Simpang Kawat 22% cases and 11 % controls. While PRM ; Koni, Simpang IV Sipin, Tanjung Pinang, and Olak Kemang 30% and 59 % controls. The result of bivariate analyses show the length of living, nutrition grade, knowledge, ventilation, crowd of settlement, bedroom and living room lighting, that statistically have significant connection for the appearance of TB Lungs with Odd Ratio 2.7 value (p3.021), 2.6 (p:1.008), 3.9 (p=0.001), 4.6 (p=4.0000) 3.S(p=0.000). 3.3(p).001), and 2.3 (p=0.015). From the result of multivariate analyses it is proved that house ventilation is the most contributed variable that arranges room temperature quality for the appearance of TB Lungs, statistically it shows significant relation p < 0.05 with Odd Ration 8.8 (p=0.000).
It is suggested that a healthy house program should be promoted based on environment to perish TB Lungs. The renovation of TB Lungs patient, mostly, by building windows and glass made roof utilization and also performing intensive information spreading about tuberculoses disease knowledge through direct or indirect information sharing."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T1477
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eulis Wulantari
"Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan suatu pengobatan yang telah dicapai adalah dengan melihat angka konversi pemeriksaan dahak setelah 2 bulan pengobatan (fase awal). Tingginya angka konversi diharapkan akan diikuti oleh tingginya angka kesembuhan.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi kasus kontrol berpadanan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Population target dari penelitian ini adalah 46 puskesmas dari 101 puskesmas yang ada di Kabupaten Bogor, dengan jumlah sampel penelitian terdiri dari 50 kasus dan 100 kontrol.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan keteraturan berobat dengan kegagalan konversi setelah pengobatan fase awal pada penderita TB Paru BTA positif. Variabel independen adalah keteraturan berobat sebagai variabel utama, dan variabel lain yaitu umur, jenis kelamin, beratnya penyakit (lama batuk darah), penyakit komorbid (diabetes melitus, asma rematik artritis) dan vaksinasi BCG. Variabel dependen adalah kegagalan konversi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB paru BTA positif yang teratur berobat pada kasus adalah sebesar 44% dan yang teratur berobat pada kontrol adalah sebesar 89%. Keteraturan berobat dari lama batuk darah juga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian kegagalan konversi setelah pengobatan pada fase awal. Setelah dikontrol dengan variabel lain, terbebas dari interaksi dan faktor konfounding maka model akhir dari kegagalan konversi setelah pengobatan fase awal adalah keteraturan berobat yang membetikan risiko sebesar 1/8 kali dibandingkan dengan penderita yang tidak teratur berobat.
Berdasarkan hasil penelitian, dianjurkan pada pelaksana program puskesmas untuk melakukan pemantauan makan obat dengan memotivasi penderita maupun dengan mengoptimalkan fungi pengawas makan obat (PMO). Disamping itu anamnese yang mendalam terhadap penderita diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya batuk darah dan lamanya batuk darah sebelum mendapat pengobatan.
Pada peneliti lain di sarankan untuk melakukan penelitian disain kohor dengan pemeriksaan laboratorium maupun radiologi. Sehingga informasi yang diperoleh berguna dan dapat dijadikan bahan masukan bagi pengambil kebijakan penyelenggaraan program TB Paru.

Regular Treatment and Failure Occurrence Risk after Initial Treatment Phase At Pulmonal Tuberculosis in Bogor Distric from 1999 to 2001Failure after initial phase treatment acts as an indicator in analyzing the improvement of the treatment in the initial phase. Conversion rate is expected to be followed by cure rate.
The research is designed as a matched case control study, and the data collected in this thesis are primary and secondary data. The target population of this research is those covered by 46 Health Centers of 101 Health Centers spread all over Bogor District. The number of the eases participate in this study is fifty while the control is one hundred.
The purpose of this thesis is to examine the relationship between treatment regularity patient and the occurrence of conversion failure after initial treatment phase. The independent variable of this research is treatment regularity as the main variable, while age, sex, severity of decease (prolonged bleeding cough), comorbid diseases (diabetes mellitus, rheumatic arthritis, asthma) and BCG vaccination as potential confounding variable. The dependent variable is conversion failure after initial treatment phase.
The result of this research showed that patients who follow their treatment schedule regularly in the control group (89%) is higher than those in the case group (44%). Treatment regularity and prolonged bleeding cough are significantly related to conversion failure after initial treatment phase in pulmonary tuberculosis.
Adjusted to the related factors by analyzing the confounding factors and interaction between them, the fixed model consisted of treatment regularity as risk protector for conversion failure after initial treatment phase lowering the risk to118 time than patient without regular treatment.
Based on the result of this study, it is suggested to the public health center programmers to observe the treatment regularity by motivating the patient and optimalizing the function of the drug-taking controller. Beside that, the in-depth anamnesis to the patient is needed to detect possibility of the existing and the length of the bleeding cough before getting the treatment.
It is also recommended to another researcher to investigate this issue using cohort design and comprehensive research through laboratory examination and radiology observation, it is expected that all information found in the research may help the stakeholders to implement the policies related to the advancement of TB program."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helda Suarni
"Penyakit tuberkulosis merupakan masalah global dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Bakteri Mycobacterium tuberculosis . WHO memperkirakan dalam dua dekade pertama di abad 20, satu miliar orang akan terinfeksi per 200 orang berkembang menjadi TBC aktif dan 70 juta orang akan mati akibat penyakit ini. Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TBC didunia. Angka kesakitan penyakit TB Paru dengan hasil BTA (+) di Kota Depok khususnya Kecamatan Pancoran Mas masih cukup tinggi. Adanya masalah penyakit TB Paru di sebabkan oleh beberapa faktor risiko, salah satunya adalah faktor lingkungan seperti kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni tahun 2009 di wilayah kerja empat puskesmas yang ada di Kecamatan Pancoran Mas yaitu Puskesmas Pancoran Mas, Puskesmas Cipayung, Puskesmas Rangkapan Jaya dan Puskesmas Depok Jaya. Sampel yang di ambil adalah semua tersangka TB Paru yang datang berobat ke puskesmas yang berumur >= 15 tahun dan tercatat di buku register TB Paru. Jumlah sampel yang diperlukan adalah 50 untuk kasus dengan hasil pemeriksaan BTA (+) dan 50 untuk kontrol dengan hasil pemeriksaan BTA (-), di mana pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematik random sampling. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan faktor risiko lingkungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok bulan Oktober tahun 2008- April tahun 2009.
Faktor risiko lingkungan yang di teliti adalah kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu, dan lantai rumah dengan memperhatikan karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, prilaku batuk dan kebiasaan merokok dari responden Metode yang digunakan adalah desain kasus kontrol dengan perbandingan 1:1 dengan 50 penderita TB Paru BTA positif sebagai kasus dan 50 penderita BTA negatif kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan faktor risiko lingkungan berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) adalah ventilasi rumah (OR=14,182 CI=5,412-37,160 %), pencahayaan (OR =9,117 CI= 3,668- 22,658) sedangkan faktor risiko lain adalah perilaku tidak menutup mulut saat batuk (OR =12,310 CI=3,375-44,890). Sedangkan untuk suhu dan kelembaban walaupun secara statistik tidak menunjukkan hubungan tetapi rata-rata tidak memenuhi persyaratan rumah sehat ( suhu rata-rata 30,84ºC dan kelembaban rata-rata 70,38 %).
Untuk itu disarankan kepada masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan rumah, berperilaku hidup bersih dan sehat dan melakukan penghijaun di rumah. Untuk petugas puskesmas sebaiknya lebih meningkatkan lagi kegiatan di klinik sanitasi, melakukan kunjungan langsung kerumah penderita TB Paru dan tidak henti-hentinya memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Untuk Dinas Kesehatan Depok sebaiknya tidak hanya menekankan kepada pengobatan penderita tetapi juga lebih kepada pencegahan penyakit ini dan kepada Pemerintah Kota Depok sebaiknya lebih meningkatkan perencanaan program rumah sehat seperti perencanaan perbaikan rumah masyarakat yang tidak mampu khususnya bagi penderita TB Paru BTA (+) dan meningkatkan program pemberantasan penyakit menular."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sugiarto
"Tuberkulosis paru adalah salah satu penyakit yang muncul sebagai pembunuh yang disebabkan oleh salah satu jenis kuman yaitu Mycrobucterium tuberculosis. Delapan juta penduduk dunia diperkirakan mengidap penyakit TB Paru dengan tingkat kematian penderita sekitar tiga juta orang (33,3 %). Penyakit ini 75 % menyerang kelompok usia produktif (15-50 tahun) dan kematian yang diakibatkannya merupakan 25 % dan seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah.
Indonesia pada tahun 1999 menempati peringkat ketiga sebagai negara yang jumlah penderita TB Paru terbanyak setelah India dan Cina. Peningkatan kasus tuberkuliosis, dari hasil beberapa penelitian yang teiah dilakukan selama ini, dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan diantaranya adalah lingkungan fisik, karakteristik ,individu dan lingkungan sosial yang ada disekilar pemukinnan atau perumahan penduduk.
Di Kabupaten Bengkulu Utara telah dilaksanakan upaya penemuan kasus secara terus-menerus, upaya ini mampu menemukan suspek TB Paru. Tahun 2001 dari 1307 suspek, diperiksa 5,121 specimen dan ditemukan penderita BTA (+) sebanyak 220 orang. Periode bulan Januari 2002 sampai dengan Desember 2002, jumlah specimen diperiksa sebanyak 5.343 specimen dari 1.781 orang dan ditemukan BTA (+) sebanyak 261 orang, sedangkan periode tahun 2003 dari 1687 suspek dan 5.061 specimen yang diperiksa ditemukan 258 orang dengan BTA (+).
Penelitian ini menggunakan desain case control dengan menggunakan data primer dan sekunder, penelitian dilakukan di 16 (enam helas) Puskesmas wilayah Kabupeten Bengkulu yaitu Puskesmas Penimnas, Kota Arga Makmur, Air Lais, Air Bintunan, Lubuk Durian, Pekik Nearing, Lubuk Pinang, Sebelat, Napa] Putih, Ketahun, D6 Ketahun, Karang Pulau, Kerkap, Karang Tinggi, Taba Penanjung dan Puskesmas Kembang Seri, Pengambilan sampel dilakukan dengan Cara random sederhana sebanyak 182 sampel yang terdiri dari 91 sampel kasus dan 9I sampel bukan kasus.
Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan tahapan analisis univariat, bivariat dan multivariate. Variabel independen dalam penelitian adalah karakteristik individu (usia, jenis'kelamin, kontak penderita, riwayat imunisasi, perilaku, status gizi), lingkungan fisik (ventilasi, suhu, pencahayaan, kclembaban), lingkungan social (kepadatan penghuni, pendidikan, pengetahuan, penghasi]an).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghuni rumah kebun yang pcrnah kontak dengan penderita TB paru BTA (+) mcmpunyai risiko 5,09 kali, status gizi yang kurang mempunyai risiko 2,26 kali, kelembaban tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3,56 kali, kepadatan hunian tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2,716 kali, tingkat pengetahuan tentang penyakit TBC yang kurang mempunyai risiko 2,37 kali untuk terkena TB paru BTA (+).
Saran yang dapat disampaikan, agar kegiatan program terkait di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Utara dapat melakukan penanganan masalah TB paru di rumah kebun ini melalui kegiatan pendataan dan pemetaan rumah kebun yang ada di tiap wilayah Puskesmas sehingga diperoleh gambaran populasi yang berisiko, penempatan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dengan rumah kebun,. melakukan koordinasi program gizi, P2M dan kesehatan Iingkungan serta promosi kesehatan.

Pulmonary tuberculosis (TB) is a severe disease caused by the bacterium Mycobacterium tuberculosis. Around 8 million people suffer from pulmonary TB with a death rate of 3 million people (3,3 %). Approximately 75 % of the pulmonary TB cases occur in the productive age group (15-50 year old) and 23 % of deaths are actually preventable.
Indonesia in 1999 occupy the third rank as a country that have the most cases of pulmonary TB after India and China. From previous studies, there are several environmental factors that influence the increase of pulmonary TB cases, such as physical environment, individual characteristics, and the social environment surrounding the residences.
In north Bengkulu, continuous efforts have yielded new cases suspected as being pulmonary TB sufferer. In 200], out of 1,707 people suspected, 5,121 specimens were examined and those with BTA (+) were 220 people. During January to December 2002, there were 5,343 specimens examined from 1,78I people, end there were 261 of of those with BTA (+). In 2003, of of 1687 suspected, 5,061 specimens were examined and those with BTA (+) were 258 people.
Design of this studying case control study using primary an d secondary data, and was undertaken in 16 public health centers in Bengkulu district, namely Perumnas, Kota Arga Makmur, Air Lais, Air Bintunan, Lubuk Durian, Pekik Nyaring, Lubuk Pinang, Sebelat, Napa! Putih, Ketahun, D6 Ketahun, Karang Pulau, Kerkap, KarangTinggi, Taba Penanjung and Kembang Seri. Samples were collected using a sample random method, and there are 91 case 91 case samples and 91 control sample.
Hypothesis testing was done through univariate, bivariate. and multivariate analysis. Independent variables of this study include individual characteristics (age, sex, Ievel of education, knowledge, contact with TB sufferer, history of immunization, behavior, and nutritional status), physical environment (ventilation, temperature, the amount of light entering the house, and humidity), and social environment (density of house occupants, and income).
The result of the study show that occupant of plantation house that have had contact with a pulmonary TB BTA (-i) sufferer are 5.09 times more likely to suffer from pulmonary TB BTA (t]. There are risks 2,26 times more for those with poor nutritional status, 3.56 times for poor humadity, 2.72 times for high density of occupants, and 237 times for a lack of knowledge about pulmonary TB.
Recommendations that can be derived from this study are the implementation of programs by the district health service of North Bengkulu that include data recording of plantation houses in the areas around various public health centers, thus enabling the District Health Service to determine the population at risk for pulmonary TB. as well as building several several health service facilities that can be easily accessed from the plantation houses, coordinating programs on nutrition, control of infectious diseases, environment health and health promotion.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12916
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifatun Nisa Ath Thoriqoh
"Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi salah satu masalah kesehatan dan menjadi 10 besar penyebab kematian di dunia. Kota Jakarta Timur menjadi wilayah dengan jumlah kasus TB paru BTA positif terbanyak di DKI Jakarta pada tahun 2017 sebanyak 4.100 kasus. Faktor iklim, yang meliputi suhu, kelembaban dan curah hujan diketahui dapat mempengaruhi keberadaan bakteri M.tb untuk dapat hidup dengan optimum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan korelasi faktor iklim dengan jumlah kasus TB paru BTA positif di Kota Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi berdasarkan waktu (time-trend study) dengan pendekatan spasial. Analisis data dilakukan dengan uji korelasi spearman dan analisis autokorelasi spasial dengan Moran’s I. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah kasus TB paru BTA positif di Kota Jakarta Timur tahun 2009-2018 sebanyak 257,5 kasus. Ada korelasi antara rata-rata suhu udara (p=0,005, r=0,255) dan kelembaban (p=0,005, r= -0,255) dengan jumlah kasus TB paru BTA positif di Jakarta Timur tahun 2009-2018. Ada autokorelasi spasial distribusi kasus TB paru BTA positif di Kota Jakarta Timur dengan distribusi kasus yang terjadi secara random (Moran’s I= 0,014; p= 0,247). Hasil penelitian menyarankan bahwa implementasi program pencegahan dan pengendalian TB paru dapat dilakukan terutama pada bulan Februari dan Juli, sehingga dapat mengantisipasi peningkatan kasus TB paru BTA positif 3 bulan setelahnya serta diperlukan perluasan wilayah ruang terbuka hijau sehingga dapat menciptakan kenyamanan dan menurunkan suhu serta meningkatkan kelembaban relatif di sekitarnya.

Tuberculosis (TB) is an infectious disease that still a health problem and become the top 10 cause of death in the world. East Jakarta is the region with the highest number of smear positive pulmonary TB cases in DKI Jakarta in 2017, which was 4,100 cases. Climatic factors, including temperature, humidity and rainfall can be known to influence M.tb bacteria to live optimally. This study aims to determine the distribution and correlate climatic factors with the number of smear positive pulmonary TB cases in East Jakarta. This study used a time-trend study design with a spatial approach. Data analysis was carried out by using the Spearman correlation test and spatial autocorrelation analysis with Moran's I. The results showed the average number of positive smear pulmonary TB cases in East Jakarta City 2009-2018 are 257.5 cases. There is a correlation between the average air temperature (p = 0.005, r = 0.255) and humidity (p = 0.005, r = -0.255) with the number of smear positive pulmonary TB cases in East Jakarta in 2009-2018. There was a spatial autocorrelation of the distribution of smear positive pulmonary TB cases in the City of East Jakarta with a random distribution of cases (Moran's I = 0.014; p = 0.247). The results suggest that implementation of TB prevention and control programs can be carried out, especially in the February and July to anticipate the increasing cases of smear positive pulmonary TB 3 months afterwards and an expansion of the green open space is needed so that it can create comfort and reduce temperature and increase humidity surrounding.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idris Ahmad
"Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebebakan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. pada tahun 2012 mencapai prevalensi 12 juta prevalensi kasus dan 990 ribu kematian di dunia. Di Indonesia prevalensi penyakit ini sebesar 423/100.000 penduduk dan mortalitas sebesar 27/100.000 penduduk. Salah satu provinsi yang memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari rata-rata nasional adalah Jawab Barat.Dalam sepuluh tahun terakhir pencapaian penemuan kasus baru TB BTA positif (CDR) kota Bekasi belum pernah mencapai target nasional. Selain itu, dari 31 puskesmas yang berada di wilayah Kota Bekasi hanya 3(10%) puskesmas yang mencapai target nasional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan penemuan kasus baru TB BTA positif di puskesmas wilayah Kota Bekasi tahun 2012. Penelitian ini menggunkan metode cross sectional deengan analisis uji T dan Chi square. Penelitian ini dilakukan bulan April–Juni 2013 dengan menggunakan data sekunder baik register TB di puskesmas, dinas Kesehatan, dan laporan pendukung lainnya. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem.
Hasil didapatkan bahwa dilihat dari kondisi SDM, terdapat 14 (54,8%) puskesmas dengan kondisi kurang, tingkat tanggung jawab yang dimiliki oleh penanggung jawab program TB 23 (74,2%) puskesmas tinggi, terdapat 26 (83,9%) puskesmas dengan penanggung jawab program TB dengan tingkat pengetahuan baik, dan 16 (51,6%) puskesmas memiliki proporsi pelatihan tinggi. Dari kondisi sarana dan prasarana diperoleh bahwa terdapat 23 (74,2%) puskesmas memiliki kondisi sarana dan prasarana yang baik.
Berdasarkan alokasi dana tersebar merata 45,2% puskesmas untuk rendah ataupun tinggi. Dilihat dari angka penjaringan suspek diperoleh bahwa 16 (51,6%) puskesmas memiliki angka penjaringan suspek tinggi, dilihat menurut frekuensi kegiatan KIE TB terdapat 26 (83,9%) puskesmas dengan frekuensi KIE TB tinggi, terdapat 20 (64,5%) puskesmas dengan tingkat pemeriksaan kontak tinggi, dan terdapat 16 (51,6%) puskesmas dengan tingkat kemitraan masyrakat rendah.
Hasil analisis antara proses dan output didapatkan adalah terdapat hubungan yang signifikan antara angka penjaringan suspek dengan cakupan penemuan kasus baru TB BTA positif. Didapatkan hubungan yang tidak signifikan antara KIE TB, pemeriksaan Kontak, dan juga kemitraan masyarakat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah angka penjaringan suspek berpengaruh terhadap cakupan penemuan kasus TB BTA Positif.

Tuberculosis is a disease that caused by the Mycobacterium tuberculosis. In 2012, the prevalence of the cases reached 12 million and caused 990 thousand death cases in the world. In Indonesia, the prevalence of this disease is 423/100.000 with 27/100.000 for the mortality rate. One of the provinces which have a higher prevalence than the national average is West Java. Bekasi, as one of the city in West Java still has problem in TB control. In the last ten years, the Case Detection Rate has not reached the national target. In addition, there are only 3 (10%) health centers in Bekasi City which are achieved the national target.
This reaserch is aimed to determine the factors related to the scope of tuberculosis new cases detection in Bekasi Regional Health Center Area in 2012. It then cross-sectional analysis with the T and Chi square test. The research was conducted on April-June 2013 by using secondary data from health centers, health departments, and other supporting reports. Furthermore, a system approach is used in this study.
The results obtained that the human condition 14 (54.8%) in health centers with the low conditions, the level of responsibility held by the person in charge of the TB program 23 (74.2%) in health centers with a high level of responsibility, there were 26 (83.9% ) which had charge of the TB program with a good level of knowledge, and 16 (51.6%) with high training proportions. In term of infrastructure condition, it is obtained that there are 23 (74.2%) health centers in the good condition.
Based on the fund allocation, it is equally spread 45.2% for good and low condition. In crawl suspect, it is obtained that 16 (51.6%) health center with high crawl suspect, seen by the frequency of Communication, Information, and Education of TB (KIE TB) activities there were 26 (83.9%) centers with a high frequency of KIE TB, then there are 20 (64.5%) health center with high examination for the person in contact, and there are 16 (51.6%) health centers with low levels of society partnerships.
The result for the process and output is obtained that there is a significant correlation between the number of crawl suspected to number of coverage of the Tuberculosis (+) new case detection. Meanwhile, there is no significant correlation between KIE TB, contact examination and as well as community partnerships. The conclusion of this study is the crawl of the suspect affects number of coverage of the Tuberculosis (+) new case detection.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S45762
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safriati
"Penyakit Tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena merupakan penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Pengobatan TB paru harus dilakukan secara adekuat, lengkap dan teratur supaya angka kesembuhan tinggi dan untuk mencegah resistensi. Angka putus berobat penderita TB paru di Kota Banda Aceh tahun 200I sebesar 21,5%. Putus berobat sangat mempengaruhi keberhasilan dari tujuan penanggulangan TB paru. Penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan putus berobat penderita TB paru di Puskesmas di Kota Banda Aceh tahun 2001 - 2002. Desain penelitian adalah cross sectional dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari TB 01 dan data primer yang didapat langsung dari penderita TB paru dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2003. Sampel penelitian yaitu 141 penderita TB paru berumur 15 tahun keatas yang datang berobat di Puskesmas di Kota Banda Aceh tahun 2001 - 2002 yang diambil secara simple random sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi responden penderita TB paru yang putus berobat di Puskesmas Kota Banda Aceh tahun 2001 - 2002 sebesar 30%. Gambaran karakteristik penderita, TB paru di Kota Banda Aceh adalah responden berumur rata-rata 35 tahun, penderita laki-laki lebih banyak 72% dari pada penderita TB paru perempuan 28%. Faktor karakteristik yang berhubungan bermakna dengan putus berobat adalah pekerjaan dan pengetahuan. Penderita TB paru dengan pengetahuan tentang TB paru rendah berpeluang putus berobat 3,69 kali (95% CI : 1,418 - 9,951) dibandingkan penderita TB paru yang berpengetahuan tinggi tentang TB paru. setelah dikontrol variabel efek samping obat.
Faktor lain yang berhubungan bermakna dengan putus berobat adalah ketersediaan obat, efek samping obat, dan PMO dan manfaat pengobatan. Penderita TB paru dengan persepsi tidak tersedia obat di Puskesmas mempunyai peluang putus berobat sebesar 4,67 kali (95% CI : 1,282 - 17,011) dibandingkan dengan penderita TB paru dengan persepsi obat tersedia di Puskesmas setelah dikontrol variabel efek samping obat, pengetahuan, dan PMO. Penderita TB paru dengan keluhan ada efek samping obat mempunyai peluang putus berobat 4,24 kaii (95% CI : 1,751 - 10,247) dibandingkan penderita TB paru yang tidak ada keluhan efek samping obat setelah dikontrol variabel pengetahuan dan PMO.
Demikian pula Penderita TB paru yang tidak didampingi PMO mempunyai peluang putus berobat 2,51 kali (95% 'CI : 1,081 - 5,851) dibandingkan dengan penderita TB paru ada didampingi PMO setelah dikontrol variabel ketersediaan obat, pengetahuan dan efek samping obat. Faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan putus berobat penderita TB paru adalah faktor ketersediaan obat.
Dengan hasil penelitian ini disarankan kepada Dinas Kesehatan untuk melakukan monitoring dan evaluasi OAT secara langsung ke Puskesmas, diseminasi informasi dan promosi kesehatan serta perencanaan dan pengadaan obat untuk mengatasi masalah efek samping obat. Untuk Puskesmas disarankan lebih aktif melakukan penyuluhan langsung untuk meningkatkan pengetahuan penderita tentang TB paru sehingga angka putus berobat penderita TB paru di Kota Banda Aceh dapat ditekan seminimal mungkin. Diharapkan ada penelitian lanjutan dengan menggunakan desain yang lebih baik.

Pulmonary TB is still the problem of health in Indonesia, because representing contagion able to result death, Important of medication of Pulmonary TB which is adequate, regular and complete can give high recovering number and prevent to resistance. The number of drop out of Pulmonary TB patient in Banda Aceh in 2001 equal to 21,5%. The drop out of pulmonary TB is very influencing of efficacy from target of treat of Pulmonary TB. The treat of Pulmonary TB with strategy of Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) can give high recovering number.
This research aim to know factors related to drop out of Pulmonary TB patient at the Public Health Center in Banda Aceh in 2001 - 2002. Research Design is sectional cross by using data of secondary coming from TB 01 and got primary data is direct the than Pulmonary TB patient by interview use questionnaire . Research done in March up to May 2003 . Research sample that is 141 Pulmonary TB patient age 15 years old incoming medicine at the Public Health Center in Banda Aceh in 2001 - 2002 which is taken by simple random sampling.
Result of research indicate that respondent proportion drop out of Pulmonary TB at the Public Health Center in Banda Aceh in 2001 - 2002 equal to 30%. Characteristic of Pulmonary TB patient in Banda Aceh is age mean 35 year, The men of Pulmonary TB more is 72% than the woman 28%. Respondent characteristic factor have a meaning of drop out is knowledge and work. Pulmonary TB patient with knowledge about low Pulmonary TB have opportunity 3,69 times (95% CI : 1,418 - 9,951) to drop out compared to patient of high knowledgeable Pulmonary TB about Pulmonary TB after controlled by side effects variable.
The other related factors have a meaning of drop out is the availability of drug, side effects, and the Observed Treatment. Pulmonary TB Patient with perception is not available drug at the Public Health Center have opportunity equal to 4,67 times (95% CI 1,282 - 17,011) to drop out compared to Pulmonary TB patient with perception of available drug at the Public Health Center after controlled side effects variable, knowledge, and PMO. Pulmonary TB patient with sigh there is side effects have opportunity to drop out 4,24 times (95% CI : 1,751 - 10,247) compared to Pulmonary TB patient which there is no sigh of side effects after controlled knowledge variable and PMO.
That way also Pulmonary TB patient which not consort by the Observed Treatment have opportunity to drop out 2,51 times (95% Cl : 1,081 - 5,851) compared to Pulmonary TB patient there is consorted by the Observed Treatment after controlled variable availability of drug, side effects and knowledge. The most dominant factor related to drop out of Pulmonary TB patient is availability of drug.
With result of this research suggested to Public Health Service to do evaluation and monitoring of OAT directly at the Public Health Center and desimination information and health promotion also planning and levying of drug to overcome the problem of side effects. For Public Health Center more active conduct direct consul to increase knowledge of patient about Pulmonary TB so the drop out of pulmonary TB patient in Banda Aceh can be depressed as minimum as possible. Expected there is research of continuation by using better design.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>