Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 207301 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyu Pito Supeni
"Tujuan Penelitian: Penelitian ini mengukur rata-rata kinerja petugas dengan melakukan pengamatan terhadap penampilan kerja petugas pengelola program TB Paru di Puskesmas, dan kemudian melihat hubungannya dengan faktor individu, faktor psikologis dan faktor organisasi. Pengumpulan data selain dengan pengamatan juga dilakukan wawancara untuk mengetahui faktor individu, faktor psikologis dan faktor organisasi.
Metode Penelitian: Desain studi crossectional. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan menggunakan checklist dan wawancara menggunakan kuesioner.
Hasil Penelitian: Hasil dari penelitian ini adalah rata-rata kinerja petugas pengelola TB Paru mencapai skor 45,54. Dalam faktor individu penghasilan berhubungan bermakna dengan kinerja petugas demikian juga kemampuan berhubungan bermakna dengan kinerja petugas. Sedangkan dalam faktor psikologis motivasi dan persepsi peran keduanya berhubungan bermakna dengan kinerja petugas. Adapun faktor organisasi, sumberdaya dan struktur organisasi berhubungan dengan kinerja petugas. Analisa multivariat menghasilkan model dimana kemampuan, sumberdaya, motivasi, struktur, penghasilan dan interaksi sumberdaya dan motivasi berhubungan dengan kinerja petugas secara bersama-sama. Model yang dihasilkan bermakna dengan nilai p pada uji F kurang dari 0,05 dan R square sebesar 0,782.
Rekomendasi : Melihat rata-rata kinerja yang baru mencapai 45,54 maka masih perlu ditingkatkan lagi. Peningkatan kinerja dapat dilakukan dengan meningkatkan kemampuan, sumberdaya, motivasi dan penghasilan. Perlu dilakukan peningkatan kemampuan teknis petugas Kabupaten, pedoman supervisi dan advokasi kepada pengambilan keputusan di daerah.

Objectives: This research has objectives to measured provider?s performance by making observation to such on lung tuberculoses program at health center and then examines correlations between the individual, the psychology and the organization factors.
Method: Study design in this research is crossectional study. Collecting the data has been done by observation which the checklist used and interview which questionnaire used.
Result: This research show that the averages score of performance as much as 45.541. On the individual factor, level of income variables correlations significantly performance, so do with the level of competency show significant correlations. Furthermore motivation and perception (Psychology factors) correlation significantly to the provider's performance. Within the organization factor, variable of resources and organizational structure are significantly correlated. The multivariate analysis showed variables of competency, resources, motivation and income together explain the performance significantly with p value on the F test less of 0,05 and adjusted R Square of 0.773.
Recommendation: Considering low provider's performance it is suggested that specific intervention should bee done on improving provider's competency, providing adequate resources, improving motivation level, and providing attractive incentive for the providers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Budi Waluyo
"Salah satu aspek penting dalam upaya meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam menunjang keherhasilan program pemberantasan penyakit TB Paru adalah melalui penyebarluasan informasi penyakit TB Paru pada masyarakat luas. Maka dengan demikian komunikasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam penyampaian pesan yaitu komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Dari kenyataan yang ada ternyata sebagian besar (56%) masyarakat di Kabupaten lndramayu belum pernah terpapar dengan informasi penyakit TB Paru.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketakterpaparan informasi penyakit TB Paru pada masyarakat di Kabupaten lndramayu tahun 2001, berdasarkan hasil analisis data sekunder Survei Evaluasi Manfaat (SEM) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) bekerjasama dengan Biro Pusat Statistik (BPS) di Kabupaten Indramayu tahun 2001. Dalam penelitian ini, sebagai variabel dependen adalah ketakterpaparan informasi penyakit TB Paru dan variabel independen adalah umur, jenis kelamin, pendidikkan, pekerjaan, pendapatan dan jarak ke fasilitas kesehatan.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study dengan populasi aktual seluruh responden dalam Survei Evaluasi Manfaat (SEM). Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 3.359, jumlah ini melewati jumlah sampel minimum yang diperoleh dengan perhitungan. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar atau prevalensi ketakterpaparan informasi penyakit TB Paru cukup besar yaitu 56%. Dari 6 variabel independen yang secara statistik bermakna adalah faktor umur (p=0,000, OR-1,52, 95% CI: 1,249 - 1,845), jenis kelamin (p=0,000, OR=1,32, 95% CI: 1,140 - 1,540), pendidikkan (p=0,000, CR=4,28, 95% CI : 3,518 - 5,216), pekerjaan (p=0,000, OR=I,47, 95% CI : 1,284 - 1,718) dan pendapatan (p 0,000, OR=1,37, 95% CI : 1,170 - 1,602). Berdasarkan perhitungan dampak potensial, variabel yang paling dominan adalah pendidikkan yang memberikan kontribusi terbesar dengan ketakterpaparan informasi penyakit TB Paru yaitu 68,4%.
Berdasarkan temuan peneliti, disarankan pertama perlu adanya kebijakan dari Dinas Kesehatan dalam upaya penyebarluasan informasi penyakit TB Pam. Kedua perlunya perhatian dari Dinas Kesehatan Indramayu pentingnya penyebarluasan informasi penyakit TB Pam yang dapat menjangkau seluruh masyarakat terutama kelompok masyarakat lanjut usia, pendidikan rendah, pengangguran dan pendapatan rendah, karena kelompok inilah yang mempunyai resiko besar terhadap penularan penyakit TB Paru. Ketiga bagi puskesmas perlu memanfaatkan jaringan komunikasi yang ada di masyarakat untuk menyebarluaskan informasi penyakit TB Paru. Keempat peningkatan pendidikkan non formal bagi masyarakat melalui kegiatan penyuluhan agar masyarakat meningkat pengetahuannya terhadap penyakit TB Paru.
Daftar bacaan : 41 ( 1971- 2002)

Factors Related to Non-Exposure Status Of Information About Pulmonary Tuberculosis in A Community in Kabupaten Indramayu, Year 2001One important aspect in enhancing knowledge, attitude, and practice in a community, as a part of supporting pulmonary tuberculosis (TB) control program, is information dissemination throughout the community. Therefore, communication is an important component in message transmission. There is a fact that most of people in the community (56%) in Kabupaten Indramayu are not sufficiently exposed with information regarding pulmonary TB disease.
The objective of this study was to know what factors are related to non-exposure of information about pulmonary tuberculosis in the community in Kabupaten Indramayu, by the year of 2001. The study was based on secondary data analysis of Survei Evaluasi Manfaat (SEM), a survey conducted by an institution named Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), in collaboration with Central Bureau of Statistics (Biro Pusat Statistik).
In this research we defined the non-exposure status of information about pulmonary tuberculosis in the community as a dependent variable, while age, gender, education, occupation, income and distance to health facilities were defined as independent variables. The actual population in this cross-sectional study was all respondents surveyed in Survei Evaluasi Manfaat. As many as 3,359 samples were recruited in this study. Our sample size exceeded the minimum required sample size. In this study all steps of analysis, i.e. univariate, bivariate and multivariate analyses were done.
Our findings demonstrated that a prevalence of non-exposure of information about pulmonary TB was quite high (56%). There were 6 significant independent variables influencing the non-exposure status of information, i.e. age (p=0.000, OR=1.52, 95% CI: 1.25 - 1.85), gender (p=0.000, OR=1.32, 95% CI: 1.14 - 1.54), education (p=0.000, OR=4.28, 95% CI: 3.52 - 5.22), occupation (p=4.040, OR=1.47;, 95% CI: 1.28 - 1.72) and income (p=0.000, OR=1.37, 95% CI: 1.17 -- 1.60). Considering the potential impact fraction, the most dominant variable was the education, which provided the highest contribution to the non-exposure status of information regarding pulmonary TB disease (68.4%).
Based on our findings, it is firstly suggested that District Health Office should have a policy to disseminate information regarding pulmonary TB. Secondly, to support information dissemination, means and equipment are essentially needed. Thirdly, to disseminate information about TB, the Puskesmas needs to make use of the existed communication networking in the community. Finally, it is also recommended to improve non-formal education in the community in order to increase their knowledge about pulmonary TB disease.
Reference list: 38 (1971-2002)"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T9901
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah
"Penyakit tuberkulosis di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pemerintah memperkirakan saat ini setiap tahun terjadi 583.000 kasus bare dengan kematian 140.000 orang. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan TB dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse) sejak tahun 1995.
Untuk mengetahui keberhasilan program DOTS, menggunakan indikator atau tolok ukur angka konversi pada akhir pengobatan tahap intensif minimal 80%, angka kesembuhan minimal 85% dari kasus baru BTA positif, Di Puskesmas Kecamatan Jatinegara, angka kesembuhan tahun 2001 baru mencapai 80% dan angka konversi sebesar 90,65%. Angka kesembuhan tersebut sangat berkaitan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru bersangkutan. Oleh karena itu secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang hubungan persepsi , pengetahuan penderita, dan Pengawas Menelan Obat dengan kepatuhanberobat penderita TB paru di Puskesmas Kecamatan Jatinagara tahun 2001.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan memanfaatkan data primer dan sekunder. Penulis melakukan pengumpulan data dengan wawancara berpedoman pada kuesioner pada tanggal 29 Maret 2002 sampai 8 Mei 2002 dad seluruh penderita TB paru BTA positif sebanyak 92 orang yang mendapat pengobatan kategori-1 dan telah selesai berobat di Puskesmas tersebut tahun 2001. Variabel dependen adalah kepatuhan berobat, dan variabel independen adalah persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat minus rintangan , persepsi ancamanlbahaya, pengetahuan dan pengawas menelan obat. Sedangkan variabel confounding terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Untuk pengolahan data, penulis menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat dengan regresi logistik Banda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang patuh berobat 73,9 % dan tidak patuh berobat 26,1%_ Dui basil analisis bivariat didapatkan variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kepatuhan berobat adalah variabel persepsi kerentanan P value=4.045 dan OR=0,314 , persepsi keseriusan P value 0,034 dan OR=3,26 , persepsi manfaat minus rintangan P value-0,023 dan OR=3,70 , persepsi ancamanl bahaya P value~,030 dan OR=0,310 dan pengawas menelan obat P value-0,008 dan OR=0,171. Sedangkan basil analisis multivariat mendapatkan tiga variabel yang berhubungan dengan kepatuhan berobat yaitu keseriusan P value=0,013 dan OR=6,221, manfaat minus rintangan P value 0,019 dan OR=5,814 , dan pengawas menelan obat P value= 0,024 dan OR ,174. Namun yang paling dominan diantara ketiga variabel tersebut adalah variabel keseriusan P value-0,013 dan OR-6,221.
Peneliti menyarankan kepada pengelola program penanggulangan TB pare di Puskesmas untuk memberikan informasi yang cukup dan lebih jelas lagi tentang TB pare kepada setiap penderita dengan menggunakan bahasa sederhana agar penderita mudah memahami dan melaksanakannya. Sebaiknya di ruang tunggu Puskesmas diadakan penyuluhan TB paru melalui TV dan poster. Meningkatkan pecan PMO melalui penyuluhan dan pertemuan yang efektif dengan kader kesehatan , TOMA dan terutama dengan PMO dari keluarga. Mensosialisasikan Pedoman Umum Promosi Penanggulangan TB yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2000 .

Tuberculosis remains to become a large public health problem in Indonesia. This time the government estimates that there are 583.000 new cases of tuberculosis and up to 140.000 persons die from tuberculosis annualy. Solving this problem the government has carried out the program to fight against tuberculosis by DOTS (Directly Observed Treatment Short course) strategy since 1995.
To know the success of DOTS program we use indicator or yard stick i.e. conversion rate at the end of intensive medication stage is minimal 80% and cure rate is minimal 85% of acid-fast bacilli positive new cases. In Puskesmas Kecamatan Jatinegara in 2001, the cure rate achieved 80% and the conversion rate was 90,65%. The cure rate is closely related to medication compliance of those lung tuberculosis patients. Therefore in general, the aim of this study is to obtain information about the relationship between perception, patient's knowledge , PMO (Drug Swallowing Observer), and medication compliance of lung tuberculosis patients in Puskesmas Kecamatan Jatinegara, year of 2001.
This study used cross sectional design employing both primary and secondary data. The writer collected data based on interview with questionnaires on 29 March 2002 to 8 May 2002 from all smear-positive lung tuberculosis patients as much as 92 persons who have received category-1 therapy and have completed the medication in the Puskesmas in the year 2001. The dependent variable is the medication compliance, and the independent variables are the perceived susceptability, perceived seriousness, perceived benefits minus barriers, perceived threat, knowledge of TB, and PMO. Whereas the confounding variables consist of age, gender, education and job. Processing the data the writer used univariate, bivariate analysis and multivariate analysis with multiple regression logistic.
The result of this study showed that respondents who complied with medication was 73,9% and those who uncomplied with medication was 26,1%. From the result of bivariate analysis found variables which had significant relationship to medication compliance. Those variables were perception of susceptability P value=4,045 and OR=0,314 , perception of seriousness P value= 0,034 and OR=3,26 , perception of benefits minus barriers P value 0,023 and ORO,370 , perception of threat P value x,030 and OR=0,310 ,and PMO P value-3,008 and OR=0,171. Whereas the result of multivariate analysis found three variables which had significant relationship to medication compliance i.e. persception of seriousness P value=0,013 and OR=6.221, benefits minus barriers P value-A019 and OR=5,814 , and PMO Pvalue=0,024 and OR=0,174. Nevertheless the most dominant amongst those three variables was perception of seriousness P value 0,013 and OR=6,221.
The writer suggests the management of the program to fight against lung tuberculosis in Puskesmas to give adequate and clearer information about lung tuberculosis to each patients using simple and plain language in order the patients to understand and practice it easily_ It is best that Puskesmas carries out lung tuberculosis counseling by TV and poster in the waiting room. To increase the role of PMO by the way of effective counseling and meeting with health cadres or volunteers , TOMA (public vigors) and especially with PMO who comes from family. Socialization of Pedoman Umum Promosi Penanggulangan TB published by Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Linglcungan year of 2000.
BibIiograhy : 41 (1965 - 2001)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi
"Program penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) telah dimulai sejak tahun 1995. Diantara indikator yang dapat digunakan melihat keberhasilan strategi DOTS adalah angka kesembuhan dan angka konversi. Di kota Jambi angka kesembuhan pada tahun 2000 sebesar 87,5% di atas target nasional sebesar 85%, dan tahun 2001 turun menjadi 80%. Sedangkan angka konversi BTA (+) menjadi BTA (-) tahun 2001 hanya mencapai 65% di bawah target nasional sebesar 80%,. Terjadinya penurunan angka kesembuhan dan angka konversi tersebut mengindikasikan adanya penurunan persentase penderita Tb Paru yang patuh berobat di kota Jambi tahun 2001. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di kota Jambi tahun 2001.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 2 bulan, dengan menggunakan data primer yang di peroleh dari basil wawancara melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah seluruh penderita Tb Paru yang telah selesai berobat sejak 1 November 2000 sampai 31 Oktober 2001 sebanyak 133 orang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, efek samping obat (ESO), jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, persepsi terhadappersediaan obat, penyuluhan oleh petugas, jenis PMO dan peran PMO mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru.
Dan hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa faktor jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, penyuluhan oleh petugas, dan peran PMO merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di Kota Jambi tahun 2001.
Penelitian ini menyarankan pihak program dapat memanfaatkan tenaga kesehatan yang berdomisili dekat dengan penderita untuk memperrnudah pasien mengambil obat misalnya bidan di desa, perawat, petugas kesehatan di Puskesmas Pembantu.
Agar PMO benar-benar dapat melaksanakan tugas sesuai fungsi dan peranya dengan baik, maka dimasa yang akan datang disarankan perlu melakukan pemilihan PMO yang lebih selektif, dan semua PMO tersebut di beri pelatihan secara khusus sebelum pengobatan dimulai. Dengan memperhatikan kuatnya hubungan antara penyuluhan yang diberikan petugas dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru serta didukung hasil beberapa penelitian terdahulu, maka di masa akan datang perlu pengamatan secara kualitatif tentang penyuluhan langsung perorangan yang diberikar petugas kepada penderita Tb Paru di Puskesmas, dan kemungkinan altematil pengembangan keterampilan petugas dalam memberi penyuluhan lansung perorangan (misalnya dengan mengikuti pelatihan atau kursus berhubungan dengan penyuluhan tersebut).

Lung Tuberculosis control program by Directly Observed Treatment Short course (DOTS) has been started since 1995. Among the indicators that suggested the ? level of successfulness of DOTS strategy are cure rate and conversion rate. In Jambi recovery rate in year 2000 is 87,5% higher than 85% of national target, but in 2001 decrease to 80%. Whereas conversion rate of Acid-Fast Bacilli positive to negative in 2001 is only 65% below 80% of national target. The decreasing rate of recovery and conversion indicating the decreasingly of lung TB patient which obey regular medication in Jambi. This study generally to find out factors related to medication compliance of lung TB patient in Jambi year of 2001.
This study using a cross sectional design, carried out in two months, primary data obtained from interview with questionnaires. The sample is all of the 133 lung TB patients that have been taking medication since 1st of November 2000 to 31st of December 2001.
This study suggest that such factors like knowledge, drugs side effect, distance from home to community health centre, transportation, perception to drugs availability, information dissemination by health officer, and drug usage supervising have significance correlation to patient's obedient to medication. From multivariate analysis, can conclude that distance factor from house to community health centre, transportation, information by healthcare staff, and drug usage supervising are dominant variable related to lung TB patient's compliance in medication in Jambi year of 2001. This study recommended that program planner to involve every healthcare staff which living nearby patient to help patient in this medication such as midwife or community health centre staffs.
In order to encourage PMOs to do the task appropriately, in the future all PMOs should be rained before doing their job. By considering relationship between educations by healthcare staff with patient's compliance to medication and supported by the results from previous study, so in the future need qualitative observation about information directly to TB lung patient in community health centre, and alternative for developing skill of healthcare staffs in disseminating information directly to an individual.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardjono Samad
"Penyakit Tuberkulosis Paru pada umumnya menyerang penduduk usia produktif. Dari segi ekonomi penyakit ini dapat menimbulkan dampak terhadap produktivitas seseorang dan keluarga, yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi menjadi terganggu.
Dalam rangka mengefektifkan program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru, maka sejak tahun 1993 Indonesia telah menetapkan strategi baru dalam pemberantasan penyakit Tb.Paru, yang dikenal dengan stratagi DOTS (Directly Obseved Treatment Short Course).
Hasil analisis data program P2.Tb.Paru di Kota Palu selama kurun waktu tahun 1997-1999, menunjukan bahwa cakupan penggunaan pelayanan kesehatan oleh penderita tersangka Tb.Paru di Kota Palu baru mencapai 28,5% pertahun. Di wilayah Kecamatan Palu Selatan, khususnya di Puskesmas Kawatuna dan Puskesmas Petobo cakupan tersebut Baru mencapai 27,4% dari perkiraan jumlah penderita tersangka Tb.Paru yang ada di wilayah tersebut. Rendahnya cakupan penggunaan pelayanan Kesehatan diperkirakan berhubungan dengan faktor pengetahuan, dan faktor-faktor lainnya seperti: pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, persepsi bahaya, biaya pengobatan, penerimaan informasi tentang Tb.Paru dan dorongan keluarga.
Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kecamatan Palu Selatan Kota Palu, tepatnya di Puskesmas Kawatuna dan Puskesmas Petobo pada Tahun 2001. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasus-kontrol tidak berpadanan. Sebagai populasi adalah semua penderita tersangka Tb.Paru yang berusia >15 tahun dan berdomisili di wilayah penelitian tahun 2001. Sedangkan sampel adalah semua penderita tersangka Tb.Paru yang mempunyai gejala batuk berdahak > 3 minggu, ditemukan pada saat dilakukan skrining. Kasus adalah penderita tersangka Tb.Paru yang tidak menggunakan pelayanan kesehatan dan kontrol adalah penderita tersangka Tb.Paru yang menggunakan pelayanan kesehatan. Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 306, yang terdiri dari 80 sampel pada kasus , dan 226 sampel kontrol.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola penggunaan pelayanan kesehatan, menilai kekuatan hubungan antara faktor pengetahuan setelah dikontrol dengan variabel pendidikan, pekerjaan, persepsi bahaya, biaya pengobatan, dorongan keluarga dan faktor penerimaan informasi tentang Tb.Paru dengan penggunaan pelayanan kesehatan bagi penderita tersangka Tb.Paru.
Hasil penelitian menunjukan, berdasarkan analisa bivariat terdapat 4 (empat) variabel yang secara statistik mempunyai hubungan yang signifikan dengan penggunaan pelayanan kesehatan, yaitu pengetahuan, pendidikan, persepsi bahaya dan penerimaan informasi Tb.Paru. Hasil analisa multivariat menunjukan, bahwa dua variabel yang dinilai mempunyai kekuatan hubungan, yaitu variabel pengetahuan, dan penerimaan informasi tentang Tb.Paru. Variabel pengetahuan dalam penelitian ini dinilai mempunyai kekuatan hubungan yang lebih besar OR = 13,811 ; 95% Cl = 7,318 - 26,067 dibanding dengan variabel penerimaan informasi tentang Tb.Paru dengan OR = 2,417 ; 95% CI=1,305 - 4,476. Artinya penderita tersangka Tb.Paru yang mempunyai pengetahuan rendah tentang penyakit Tb.Paru mempunyai risiko sebesar 13,8 kali untuk tidak menggunakan pelayanan kesehatan dibanding dengan yang mempunyai pengetahuan tinggi.
Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan cakupan penggunaan pelayanan kesehatan oleh penderita tersangka Tb.Paru di Kecamatan.Palu Selatan, adalah upaya peningkatan promosi kesehatan/penyuluhan tentang penyakit Tb.Paru secara berkesinambungan kepada masyarakat, yang klaim pelaksanaanya perlu didukung unsur advocacy, social support dan empowerment.

The Factors that Related to the Use of the Health Service for Suspected Lung Tuberculosis in South Palu Sub-district, Palu City, 2001Lung Tuberculosis Disease usually attacks people at the reproductive age economically, this disease can emerge the impact to productivity of them as well as their family and furthermore to national economic growth.
In order to make effective the program on lung tuberculosis eradication, since 1993 Indonesia has decided the new strategy in combating this disease namely DOTS (Directly Observed Treatment Short Course).
According to the data analysis on lung tuberculosis in Palu City within 1997 to 1999, it showed that the coverage of the use of health care by suspected lung tuberculosis was only 285% per year. In South Palu Sub-district, especially at Kawatuna and Petobo Community Health Centers, the coverage was only 27A% from the estimation figures to all suspected lung tuberculosis in these areas. The low of its coverage was related to the factors such as knowledge, education, occupation, sex, perception of dangerous, cost of medication, information on lung tuberculosis, and motivation of their families.
The research was conducted in the area of South Palu Sub-district, Palu City, at Kawatuna and Petobo Community Health Centers at the year of 2001. The design used in this research was un-matching case-control. The population was all suspected lung tuberculosis who more 15 years of age and selected in the research area in 2001. While the samples were all suspected lung tuberculosis who's indicated cough sputum symptom more than 3 weeks, at the time of screening. The cases were suspected lung tuberculosis that did not used the health care, while the control were those who used the health care. The samples were 306 consist of 80 cases and 226 controls.
The objective of the research was to know the pattern of the use of the health care, to grade the power relationship between the knowledge after controlled by the factors such as education, occupation, perception of dangerous, cost of medication, motivation of family, and the information received by them on lung tuberculosis and the use of the health care for suspected lung tuberculosis.
The result of the research showed that based on bivariates analysis there were four variables which statistically have significant relationship to the use of the health care. Those variables were knowledge, education, perception of dangerous, as well as information received on lung tuberculosis. According to multivariate analysis showed that two variables, which graded have power relationship, those were variable knowledge, and information received on lung tuberculosis. Knowledge variable in this study graded has greater power relationship (OR = 13,811; 95% CI = 7,318-26,067) than information received on lung tuberculosis (OR = 2,417; 95% CI = 1,305-4,476). It means that those who had lower knowledge on lung tuberculosis had risk 13,8 times for not use the health care compared to who with higher knowledge.
Considering the result of the research it was suggested to increase the coverage of the use of the health promotion as well as giving information about lung tuberculosis continuously to the community supported by advocacy, social support and community empowerment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Handayani
"Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang masih menjadi permasalahan di dunia. TB dapat menyebabkan kematian pada penderitanya. Salah satu tempat penyebaran tinggi TB adalah Penjara. Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa prevalensi TB di Penjara lebih besar dibandingkan dengan prevalensi TB di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya hubungan status HIV dengan kejadian TB Paru berdasarkan karakteristik individu, kepadatan hunian kamar, kontak dalam sel, dan faktor perilaku pada narapidana di Lembaga Permasyarakatan Narkotika Kelas II A Jakarta tahun 2013. Penelitian ini dilakukan denngan desain cross sectional, dengan sampel 250 naparidana yang terdata pada tahun 2013 dan masih berada di Lapas Narkotika Kelas II A Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 6,2% responden yang mengalami TB Paru. Berdasarkan hasil uji bivariat didapatkan bahwa ada hubungan antara status HIV dengan kejadian TB Paru. Setelah dilakukan stratifikasi, di dapatkan bahwa hubungan status HIV dengan kejadian TB Paru lebih cenderung terjadi pada responden yang memiliki kepadatan hunian kamar yang memenuhi syarat, memiliki kontak dalam sel dengan pasien TB, atau pernah merokok.

Tuberculosis (TB) is communicable infection disease that still is problem in the world. TB can make people who affected with bacteria of TB dead. One of high-risk group of TB is prisoners. Recent researches show that prevalence of TB in prisons higher than prevalence of TB in public. This research then comes to find the relationship between status of HIV and Pulmo TB be stratificated based on individual factors, rooms occupy density, contact in cell, and behavior factors on prisoners in Lembaga Permasyarakatan Narkotika Kelas II A Jakarta on 2013. The research was done with cross-sectional design with 250 samples of prisoners who registered on 2013 and still is in Lembaga Permasyarakatan Narkotika Kelas II A Jakarta. It found that 6,2% respondents were have Pulmo TB. Based on bivariate analysis, the research also found that there are relationships between status of HIV with pulmo TB. After stratification, it show that relationship between status of HIV and pulmo TB have preference happen in respondent who having good Room occupy density, having contact in cell with patients of TB, or have been smokers in the past."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S45895
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhbarona Fauzan
"Skripsi ini membahas terjadinya peningkatan kejadian kasus Tuberkulosis paru BTA (+) di Kota Sukabumi dan belum diketahuinya pola penyebaran penyakit Tuberkulosis paru BTA (+) dengan analisis spasial berdasarkan faktor kependudukan dan pelayanan kesehatan, bertujuan untuk mengetahui analisis spasial kejadian Tuberkulosis paru BTA (+) di Kota Sukabumi tahun 2010-2012. Penelitian menggunakan desain studi ekologi jenis multiple group dengan time trend menggunakan pendekatan analisis spasial.
Hasil penelitian bahwa kasus baru dan insiden Tuberkulosis paru BTA (+) di Kota Sukabumi tahun 2010-2012 meningkat dan cenderung mengikuti pola persebaran kepadatan penduduk, jumlah fasilitas pelayanan kesehatan dan jumlah tenaga kesehatan. Dari hasil penelitian ini menyarankan agar program pemberantasan dan pengendalian penyakit Tuberkulosis paru BTA (+) sebaiknya diprioritaskan pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi.

This essay discusses the increased incidence of pulmonary Tuberculosis cases of Acid-Resistant Bacteria (+) in Sukabumi and not knowing the pattern of spread of disease pulmonary Tuberculosis Acid-Resistant Bacteria (+) with a spatial analysis based on demographic factors and health services, spatial analysis aimed to determine the incidence of pulmonary Tuberculosis Acid–Resistant Bacteria (+) Sukabumi in 2010-2012. Research design using multiple types of ecological study group with a time trend using spatial analysis approach.
The results of that study and the incidence of new cases of pulmonary Tuberculosis Acid–Resistant Bacteria (+) in Sukabumi in 2010-2012 increased and tend to follow the pattern of distribution of population density, the number of health care facilities and health workers. From the results of this study suggest that eradication programs and disease control pulmonary Tuberculosis Acid–Resistant Bacteria (+) should be prioritized in areas with high population density.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55132
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atik Yuliharti
"Penyakit tuberkulosis paru sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius terutama di negara-negara berkembang. Indonesia sendiri merupakan negara ke 3 terbanyak penderita tuberkulosisnya setelah India dan China, diperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis paru dengan kematian 140.000 penderita.
Dalam program penanggulangan tuberkulosis paru ini, tujuan dari pemeriksaan dahak adalah untuk menegakkan diagnosis, menilai kemajuan pengobatan dan menentukan tingkat penularan. Melihat kompleksnya permasalahan pada keteraturan pemeriksaan dahak tersebut mendorong penulis untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pemeriksaan dahak.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan beberapa faktor terhadap ketidakpatuhan memeriksakan dahak pada fase intensif pengobatan tuberkulosis paru di Kota Sukabumi tahun 2002.
Desain penelitian ini adalah kasus kontrol, populasi penelitian adalah penderita tuberkulosis paru berumur ≥ 15 tahun yang berobat di seluruh puskesmas di Kota Sukabumi. Kasus adalah penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang tidak memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru yaitu pada hari ke 53-60 pada kategori-1 dan kategori-3 atau hari ke 83-90 pada kategori-2 dan kontrol adalah penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru yaitu pada hari ke 53-60 pada kategori-1 dan kategori-3 atau hari ke 83-90 pada kategori-2. Alat pengumpul data berupa Kartu Pengobatan TB 01 dan kuesioner dengan sampel sebanyak 144 orang yaitu 72 kasus dan 72 kontrol.
Hasil analisis bivariat terhadap 12 variabel independen dengan variabel dependen, menghasilkan 4 variabel yang mempunyai hubungan bermakna (p < 0,05). Variabel yang berhubungan dengan ketidakpatuhan memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru adalah pengetahuan yang rendah (OR = 5,58; p = 0,000), sikap yang buruk (OR = 2,25; p = 0,018), status belum/tidak kawin (OR = 2,31; p = 0,020), dan tipe puskesmas (Puskesmas Rujukan Mikroskopis OR = 2,50 dan Puskesmas Pelaksana Mandiri OR= 3,99 dengan nilai p = 0,008).
Hasil analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik metode enter dari 6 variabel independen yang menjadi kandidat untuk masuk dalam model (p < 0,25), ternyata hanya 3 variabel yang masuk dalam model akhir yakni; pengetahuan (OR = 8,46 ; p = 0,000), status perkawinan (OR = 4,82 ; p = 0,001) dan tipe puskesmas (Puskemas Rujukan Mikroskopis OR = 2,87, p = 0,014; Puskesmas Pelaksana Mandiri OR = 6,09, p = 0,008 ; Puskesmas Satelit OR = 1,00, p = 0,006).
Kemudian disarankan agar lebih mengintensifkan program penyuluhan kesehatan dengan menggunakan leaflet atau poster. Perlunya ditunjuk tenaga PMO yang dibekali dengan buku pintar (buku saku) berisi tentang penyakit tuberkulosis dan cara penanggulangannya secara singkat dan jelas. Petugas laboratorium hendaknya memberikan pengertian kepada setiap penderita tuberkulosis tentang pentingnya pemeriksaan dahak yang teratur dan tepat waktu. Kemudian adanya upaya kemitraan dengan kalangan swasta, organisasi profesi atau Lembaga Swadaya Masyarakat.

The Factors Related to in-Obedience for Having Sputum Examination at the End of Intensive Phase of Pulmonary Tuberculosis Treatment at Sukabumi, 2002Pulmonary tuberculosis disease up to present remains a serious public health problem, especially in developing countries. Indonesia is the third biggest country having tuberculosis after India and China, it was estimated that each year occur 583,000 new cases of lung tuberculosis with the death 140,000 sufferers.
The National tuberculosis program, smear sputum examination is an important part of the entire processes of pulmonary 'tuberculosis treatment. The objective of the sputum examination for follow up is to make the appropriateness of diagnoses, to measure the progress of the treatment and to determine the level of communication. Considering the problems were complex on the regularity of sputum examination for follow up, it is encourage the writer to determine what factors related to in-obedience of the sputum examination for follow up.
The objective of this study is to determine the relationship of some factors of in-obedience of check the sputum at the end of intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment in Sukabumi, in 2002. The study design was control cases, with the population are the pulmonary tuberculosis patient?s age ≥ 15 years who have had their treatment at the entire of the Health Centers of Sukabumi City. The tools of data collection were TB 01 treatment card and questionnaires. The total samples was 144 patients, covering of 72-cases group and 72-control' group. Cases are those of 15 years old or over who have not examined their sputum for follow up. Controls are those of 15 years old or over who have their sputum examined for follow up.
The result of bivariate analysis of 12 independent variables with dependent variables, shown that four variables having significant relationship (p < 0.05). The variable that related to in-obedience of checking the sputum at the end of the intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment were education (OR = 5, 58; p = 0,000), attitude (OR = 2, 25; p = 0,018), marital status (OR = 2, 31; p = 0,020), and type of the Health Center (Microscopic Referral Health Center OR = 2, 50 and Self-implemented Health Center OR = 3, 99 with value p = 0,008).
The result of multivariate analysis using logistic regression enter method, out of 6 independent variables who became the candidate to be a model (p < 0,25), the fact that only three variables whom enter at the end of model, i.e. knowledge (OR = 8.46; p = 0,000), marital status (OR = 4.82; p = 0,001) and the type of Health Center (Microscopic Referral Health Center OR = 2.87, p = 0.014; Self-implemented Health Center OR = 6,09, p = 0,008; Satellite Health Center OR = 1.00, p = 0,006).
Based on this study, it is recommended to provide more intensive health education in order to improve the attitude and knowledge of the TB patients. Selection of PMO (treatment observer) is crucial. The PMO has to be supplied the pocket book on tuberculosis treatment. The book has to be simple but easy to understand. Besides that, the laboratory technician should give information to every TB patient that they should come to check the sputum for follow up the important of having sputum examination for follow up on routine base and on time has to be explained to the patients. Efforts to increase collaboration to the private sectors, the professionals and non government organization are encouraged."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10356
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jajat Hidajat
"Tuberkulosis Paru (TB. Paru) merupakan masalah kesehatan masyarakat penting, WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya ada 581.000 kasus baru tuberkulosis dengan 140.000 kematian dan merupakan penyumbang ke tiga terbesar kasus tuberkulosis di dunia setelah India dan Cina.
Berdasarkan survei tahun 1979 - 1993 didapat prevalensi BTA (+) rata-rata 0,29%, terendah di Bali (0,08%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,79%). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menyebutkan bahwa TB. Paru adalah penyebab kematian ketiga, sesudah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan. Di Kabupaten Pontianak prevalensi TB. Paru BTA (+) tahun 1994 adalah 0,55 per 1000 penduduk. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2000, disain penelitian adalah kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB. Paru berumur 14 tahun dengan BTA (+) yang bertempat tinggal di Kabupaten Pontianak pada tahun 1999 - 2000 dan mendapat pengobatan dengan OAT, baik kategori-1 maupun kategori-2; sedangkan jurnlah sampel yang diambil berjumlah 108 kasus dan 108 kontrol.
Hasil yang diperoleh, dari 459 penderita TB. Paru BTA (+) yang diobati yang dinyatakan sembuh 74,1%, pengobatan lengkap 21,3%, lalai berobat 0,9%, gagal 2% dan meninggal 1,7%. Hasil analisis univariat, dari 216 responden 64,35% jenis kelamin laki-laki dan 33,65% perempuan; umur terbanyak pada kelompok umur 34-43 tahun (31,02%), tingkat pendidikan terbanyak pendidikan rendah (66,2%) dan pekerjaan terbanyak petani/pedagang (60,19%). Pada analisis univariat, dari 14 variabel independen temyata hanya 12 variabel yang dianggap potensial sebagai faktor risiko (p<0,25), variabel yang dianggap sama untuk kedua kelompok (p>0,25) adalah variabel jenis kelamin dan pendidikan.
Hasil analisis multivariat dengan metode regresi logistik dari 12 variabel independen yang diambil sebagai model, ternyata hanya 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p<0,05), yaitu tidak mengerti materi penyuluhan (OR=5,6 95% CI : 2,3 ; 13,8 dan p=0,000), tidak ada PMO (OR-16,2 95% CI : 4,7 ; 56,0 dan p4,1,000), pengetahuan tentang TB. Paru kurang (OR=31,9 95% CI : 11,3 ; 89,9 dan p=0,000), pelayanan tidak Iengkap (OR-7,0 95% CI : 1,3 ; 36,2 dan p 0,000) dan kelompok umur. Kelompok umur di klasifxkasikan ke dalam 6 kelompok dengan kelompok umur 64-73 tahun sebagai referensi; hasilnya adalah kelompok umur 14-23 tahun (OR-12,9 95% Cl : 1,5 ; 108,5 dan p 0,019), kelompok umur 24-33 tahun (OR-8,3 95% CI : 2.0 ; 68.6 dan p 4l.048), kelompok umur 34-43 tahun (OR-4,9 95% CI : 0,8 ; 32,2 dan p=0,095), kelompok umur 44-53 tahun (OR=11,0 95% CI : 1,5 ; 82,0 dan p--0,020) dan kelompok umur 54-63 tahun (OR-2,7 95% CI : 0,3 ; 20,9 dan p=0,348).
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu faktor tidak mengerti materi penyuluhan, tidak ada PMO, pengetahuan kurang mengenai TB. Paru, pelayanan tidak lengkap, umur yang secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak tahun 1999-2000.
Selanjutnya dapat disarankan agar faktor penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan supaya lebih di intensifkan lagi, dilakukan pembinaan secara berkesinambungan terhadap PMO dan meningkatkan kemampuan pengelola program P2 TB Paru di Puskesmas. Selain itu juga juga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ketidakpatuhan berobat, terutama terhadap faktor stigma masyarakat, ESO, PMO dan persepsi terhadap kemajuan pengobatan dengan suatu alat ukur atau instrurnen yang lebih baik.
Daftar Pustaka 46 : (1986 - 2000)

Pulmonary Tuberculosis (Pulmonary TB) is serious public health problem, WHO estimated about 140 thousands of TB deaths in Indonesia annually, and every year 483 thousands new TB Cases and contributed the 3 rd greatest number of TB cases in the world after India and China. Based on survey between 1979 - 1993, the prevalence of AFB (+) is about 0.29%, the lowest is in Bali (0.08%) and the highest is in East Nusa Tenggara (0.79%). The Household Health Survey (SIKRT) in 1995 mentioned that Pulmonary TB was the Std caused of death after Cardiovascular Diseases and Respiratory Diseases. In Pontianak Regency prevalence of Pulmonary TB in 1994 is 0.55% per 1000 people and there is no formal research result about incompliance treatment of pulmonary TB AFB (+) patient mentioned in area.
The objective of this research is to understand key factors associated with incompliance treatment of patients of Pulmonary TB AFB (+) in Pontianak Regency. Research was done in June 2000, by using case control design. Population sample are the Pulmonary TB patients in the age over 14 year old with AFB (+) who live in Pontianak Regency in 1999 - 2000 with anti-TB drugs treatment, not only the first category but also the second category. The sample size were 108 cases and 108 controls.
The results pre, from 459 Pulmonary TB treated patients AFB (+), 74.1% recovery, 21.3% completed treated, 0.9% defaulted, 2.0% failure and 1.7% dead. The univariate analysis results from 216 respondences 64.35% male and 35.65% female; 31.02% at age group of 34-43 years old, most of them have low education level (66.2%) and 60.19% stated as farmer/merchant. Based on univariate analysis, from 14 independent variables found that only 12 considered as potential risk factors (p<0,25), the variables considered as similar for two categories (p>0.25) are gender and education.
In logistic regression method using 12 independent variables in the model and incompliance toward treatment variable as dependent variable, there were only 5 independent variables that have significant relationship (p<0.05). The 5 variables were : the lack of understanding of health promotion materials (OR=5.6 95% CI : 2.3 ; 13.8 and p=0.000), the availability of overseer of the DOT (OR-I6.2 95% Cl : 4.7 ; 56.0 and p=0.000), the lack of knowledge of Pulmonary TB (OR=31.9 95% CI : 11.3 ; 89.9 and p=q.000), the incomplete of facilities service (OR-7.0 95% CI : 1,3 ; 36,2 and p=0,000) and the age groups. The age groups were classified into 6 groups; i.e. 14-23 year old, 24-33 year old, 3443 year old, 44-53 year old, 54-63 year old and 64-73 year old, The age group of 64-73 year old had become a reference for other groups. Each other groups was compared to reference (64-73 year old). The comparisons result in OR-12,9 95% CI : 1.5 ; 108.5 and p=0.019 (group of age 14-23 year old), OR=8.3 95% Cl : 2,0 ; 68.6 and p O.048 (group of age 24-33 year old), OR=4.9, 95% CI : 0.8 ; 32.2 and p=0.095 (group of age 34-43 year old), (OR-11.0 95% CI : 1,5 ; 82,0 and p=0,020 (group of age 44-53 year old) and OR=2.7 95% CI : 0.3 ; 20.9 and p=0.348 ( group of age 54-63 year old ).
The conclusion is that the lack of understanding of health promotion materials, the availability overseer of the DOT, the lack of knowledge of Pulmonary TB, the uncompleted of facilities service and the age group have significant relationships (p<0.05) with incompliance toward treatment among patients of Pulmonary TB AFB (}) in Pontianak Regency in 1999 - 2000. Furthermore, it is suggested to make health promotion from health staff more intensive, cultivate the overseer of DOT continuously and improve the capability of the organizer TB Program in health center (Puskesmas). Besides that, it needs to do further research on incompliance toward treatment, mainly on community stigma, drug side effect, efficacy of overseer of the DOT and the perceived treatment using a better indicator or instrument.
Reference : 46 (1986 - 2000)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T2755
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wayan Apriani
"Program Pemberantasan TB Paru bertujuan untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB Paru. Salah satu upaya dalam pemutusan rantai penularan adalah menemukan dan mengobati penderita BTA (+) sampai sembuh, dengan menggunakan obat yang adekuat dan dilakukan pengawasan selama penderita minum obat.
Kegiatan pemberantasan TB Paru dengan strategi DOTS di Kabupaten Donggala telah dilaksanakan sejak tahun 1995, tetapi penderita baru tetap ditemukan dan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat disebabkan adanya kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan atau memang dimasyarakat TB Paru masih banyak ditemukan.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kabupaten Donggala. Jenis disain yang digunakan adalah kasus kontrol dengan menggunakan 2 jenis kontrol. Kasus adalah penderita TB Paru BTA (+), kontrol-1 yang merupakan kontrol yang berasal dari sarana pelayanan kesehatan yaitu adalah tersangka TB Paru dengan hasil pemeriksaan BTA (-) dan tidak diobati dengan obat anti tuberkulosis serta pada saat wawancara tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih dan kontrol-2 berasal dari masyarakat yaitu tetangga kasus dengan criteria tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih. Jumlah sampel yang diwawancarai sebanyak 270 kasus dan 540 kontrol.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-1 adalah umur, adanya sumber penular, cahaya matahari dalam rumah, kepadatan penghuni rumah, interaksi antara sumber penular dan cahaya matahari dalam rumah, dan sumber penular tidak berobat.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-2 adalah jenis kelamin, status vaksinasi BCG, keeratan kontak, lama kontak, sumber penular tidak berobat dan kepadatan penghuni rumah.
Dari basil penelitian ditemukan bahwa adanya kontak dengan penderita TB yang tidak berobat merupakan faktor risiko yang erat hubungannya dengan kejadian TB, sehingga disarankan untuk meningkatkan penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin hingga penderita sembuh dan dilakukan penyuluhan secara terus menerus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar segera mencari pengobatan.

The objective of Pulmonary Tuberculosis Control Programme is to reduce TB transmission. In order to reduce the transmission, the first priority is to decrease the risk of infection by case finding, treatment and cure of AFB (+) tuberculosis patients with adequate regimens and proper supervision during the treatment.
TB Control Programme activities with DOTS strategy in Donggala District has been implemented since 1995. Due to the increasing of case finding of new AFB (+) patients, tuberculosis still remain as public health problem. This is caused by the awareness of community to get the treatment or the existence of Pulmonary Tuberculosis in the community.
The research aim is to identify the related factors to Pulmonary Tuberculosis in Donggala District. The case-control method had been used with two different controls. The case is the new AFB (+) tuberculosis patients while the first control is the TB suspect with the result of the examination is negative as facilities based control and the second is the neighbor of cases as community based control. Both controls were not coughing for last 3 weeks at the time of the interview. 270 cases and 540 control had been interviewed as the respondents.
The result of the research reveals that related factors to Pulmonary Tuberculosis with facilities based control are age, source of infection, house lighting, house density, interaction of house lighting and source of infection, and the source of infection who were not treated.
Related factors to the incidence of Pulmonary Tuberculosis with community based control are sex, BCG vaccination status, contact closeness, duration of contact, the source of infection who were not treated and house density.
Based on the result of the study, it is identified that a contact with TB patients who were not treated is the risk factor that closely relates to the Tuberculosis. Therefore, it is recommended to improve the case finding, early treatment and cure the patients. In addition, it is necessary to provide continuous health education in order to improve the awareness of community to seek the treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T622
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>