Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171605 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Kiptiyah
"Tesis ini meneliti mengenai kebudayaan pesantren, manajemen dan perilaku santri yang berkenaan dengan kesehatan dalam konteks penciptaan dan pemeliharaan kondisi lingkungan yang bersih dan sehat di pesantren. Status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor keturunan, kualitas dan kuantitas sarana pelayanan kesehatan, perilaku hidup sehat seseorang atau masyarakat dan keadaan lingkungan hidupnya. Hal ini sebagaimana dikatakan Foster (1986) bahwa di samping faktor biologis, faktor-faktor sosial-psikologi dan faktor budaya sering memainkan peran dalam.mencetuskan penyakit Namun begitu lingkungan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kesehatan, tetapi memiliki arti penting karena sampai batas tertentu dapat dikendalikan terutama yang diakibatkan perilaku atau perbuatan manusia. Adapun kebijakan sosial dan ekonomi untuk mendapatkan makanan yang cukup, air yang sehat, atau yang membuat orang lalai bahwa peralatan-peralatan sanitasi yang tak sempurna, tradisi kebudayaan, lembaga ekonomi, sanitasi dan kebijakan lain yang mempengaruhi munculnya penyakit semuanya turut mempengaruhi kesehatan.
Pesantren sebagai salah satu elemen pendidikan juga menempatkan masalah tersebut dalam kurikulumnya, menyangkut di dalamnya kitab-kitab yang menjadi rujukan dan dipelajari serta dipergunakan di pesantren. Pesantren yang notabene merupakan lembaga pendidikan Islam tentu saja dalam praktek kesehariannya berdasarkan ajaran Islam pula. Secara universal Islampun juga mengangkat isu mengenai masalah kesehatan maupun kebersihan dan bahkan anjuran memakan makanan- minuman yang thoyyib yaitu makanan atau minuman yang bagus kualitas gizinya maupun halal cara memperolehnya. Dalam hal ini pula ada makanan yang secara tegas dilarang untuk dikonsumsi. Dalam Hadits (sumber hukum kedua setelah Alquran) dengan jelas juga dikatakan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari iman, mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah dan juga menganjurkan untuk menjaga kebersihan dengan segala usaha yang dapat dilakukan.
Pesantren memang merupakan suatu komunitas tersendiri dimana semua rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan, misalnya halal-haram, wajib-sunah, baik-buruk dan sebagainya dipulangkan kepada hukum agama, dan semua kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dan ibadah keagamaan dengan kata lain semua kegiatan kehidupan selalu dipandang dalam struktur relevansinya dengan hukum agama. Salah satunya dalam hal kebersihan atau kesehatan. Banyak hal-hal yang dianggap bersih dan suci oleh pesantren, karena dibolehkan oleh hukum agama tetapi tidak bersih atau tidak sehat menurut konsepsi ilmu kesehatan. Sehingga cara pandang ini tentu sangat membedakan antara komunitas pesantren dengan masyarakat "diluar" pesantren.
Masyarakat pada umumnya memberikan batasan tentang kesehatan adalah batasan yang diangkat dari batasan kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Kesehatan No.23 Tahun 1992, yaitu keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Sehingga secara normatif dan sistematik meskipun pesantren telah memiliki kurikulum dan pengajaran sebagaimana tersebut diatas, namun pada kenyataannya masalah-masalah kesehatan terutama hubungan mata rantai yang telah menyebabkan munculnya penyakit dapat terjadi. Hal ini disebabkan adanya pemahaman yang berbeda antara pesantren dengan masyarakat "diluar" pesantren terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah kesehatan. Masyarakat pesantren selalu mengembalikan pemahaman mereka kepada kaidah hukum Fiqh, sehingga mereka memiliki persepsi sendiri mengenai kebersihan lingkungannya terutama untuk sebagai sarana ibadah semata-mata kepada Allah SWT sehingga yang terpenting menurut pesantren adalah kesucian sarana tersebut, yaitu terbebas dari najis sehingga tidak menghalangi sahnya suatu ibadah. Hukum fiqh begitu menempati kedudukan yang dominan pada tata nilai dalam kehidupan di lingkungan pesantren. Sedangkan pengajaran mengenai fiqh ini sebagaian besar diperoleh pada kitab-kitab kuning. Kitab kuning merupakan kitab-kitab pengajaran Islam klasik, yang berbahasa Arab dan ditulis oleh para ulama abad pertengahan (7-13 Hijriah).Hal ini tentu turut menjadi pemicu terjadinya perbedaan pemahaman tentang kondisi pemeliharaan kebersihan dan kesehatan di pesantren dengan pemahaman masyarakat "diluar" pesantren. Demikian pula dengan kebudayaan pesantren dalam konteks ini yang merupakan keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas pesantren dimana di dalamnya berisi perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang terwujud dalam perilaku, tindakan, nilai-nilai yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan mengenai kesehatan lingkungan dan masalah-masalah kesehatan yang ditimbulkannya serta pengelolaan kebijakan-kebijakan pesantren yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kondisi kebersihan dan kesehatan lingkungan.
Disamping itu, terjadi kontradiksi (penafsiran/ pemahaman yang bertolak belakang) perilaku sehari-hari di pesantren dengan cara pandang masyarakat "diluar' pesantren mengenai kesehatan lingkungan hidup sehari-hari juga didukung oleh kurang memadainya fasilitas-fasilitas bangunan maupun tempat tinggal santri sehingga kurang mendukung terbentuknya kondisi lingkungan yang kondusif dan sehat serta nyaman untuk belajar. Kondisi ruangan, kamar mandi dan sarana sanitasi lainnya termasuk pengelolaan sampah dan sebagainya. Kondisi ini sangat mempengaruhi perilaku keseharian mereka terutama dalam upaya pemeliharaan sanitasi dan kesehatan lingkungan yang optimal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13779
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iklilah Muzayyanah Dini Fariyah
"This paper is based on the reflections of the life experiences of a woman that grew up within the cultures of the Pesantren. At first, this paper was merely for academic purposes that demanded reflective research. Most of the data was collected in a reasonably short amount of time in the last two months of 2010 by relying on life experience memories and enforced by data from results of observations, interviews and personal documents. This research tries to give an overview and becomes a small part of an effort to understanding how a human woman brought up within the cultures of the Pesantren interprets herself as a woman. A woman who deals with various feelings, thoughts, questions, concerns and expectations in between habits and habituations embedded in the existing culture. Although admittedly, this paper does not intend to give a generalization of the Pesantren culture, especially on the ways of how one ?grows into a woman? and the social consequences of the female self."
2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Suryana
"The implementation of local government policies during the New Order era has weakened Pesantren as local and Islamic education institution. The weakening is due to, firstly, the instructive position of central government to its local subordinates implying that this later apparatus be the instrument of gaining its target. Secondly, the head of local government as solely powerful figure in local structure has been decisive in many local policies. This local political situation has also implied a centralization of Islamic education policies during the era. The discussed cases of two Pesantren in two different districts in this article reveal that regional autonomy will be presumably strengthening this Islamic education institution."
[place of publication not identified]: Jurnal Antropologi Indonesia, 2001
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bachtiar Alam
"This article seeks to demonstrate the relevance of modern anthropological perspectives to the development of civil society in Indonesia. The concept of civil society has figured prominently in the political discourses taking place in Indonesia today. It has been largely interpreted as an intermediate sphere between the state and local communities, where the discourses on individual freedom as well as cultural and religious diversity can be effectively articulated without being co-opted by the state power, or being bogged down in communal conflicts. This paper argues that modern anthropological perspectives, centering on the idea of the development of polyphonic discourses on cultural identities, can offer a powerful conceptual tool to deconstruct the cultural essentialism perpetuated by the state power and social groups, thereby making a significant contribution to the development of civil society in Indonesia."
2006
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Farida Swasono
""Dengan tersedianya data etnografi suku-suku bangsa tersebut di atas, tahap awal daripemanfaatannya bagi Pembangunan Nasional dapat memperoleh momentumnya, meskipun dimensi, ciri-ciri khusus dan dinamikanya masing-masing masih harus diteliti dan diungkapkan. Pembangunan Nasional Indonesia melalui berbagai GBHN, Repelita dan RPJM, dan selanjutnya kelak RPJP, dilaksanakan meliputi seluruh penjuru Tanah Air Indonesia, baik Pembangunan Sektoral maupun Pembangunan Daerah. Pembangunan Nasional pada hakekatnya identik dengan Pembangunan Daerah, dalam artian Pembangunan Nasional dilaksanakan di daerah-daerah. Dalam era Otonomi Daerah saat ini, Pembangunan Daerah dalam rangka Pembangunan Nasional memperoleh ciri baru, yaitu Daerah Membangun untuk mengisi Pembangunan Nasional.""
2006
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mattulada, H. Andi
"In this article, the author describes the ethnography of the To-Kaili, the largest ethnics group in Central Sulawesi. To-Kaili had an important historical role in the period of Dutch colonization. At least four kingdoms tried to rebel against Dutch rule namely Moutong, Banawa, Sigi, and Kulawi. The author goes on to discuss the "modal personality" of Kaili people which covers social and religious life, ethos, language, art and literature. In the last section, he tries to predict how those people will face changes in the near future."
1991
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Amri Marzali
"This article was written in response to a challenge put forth by two non-anthropologists over the role of anthropologists in Indonesian national development. The challenge was made by the late Dr. Y.B. Mangunwijaya (Kompas 24 January 1996) and Dr. Benjamin Lumenta (Kompas 29 January 1996). In fact, a response was given by Prof. Parsudi Suparlan (Kompas3 February 1996) and the author (Republika 2 May 1996). Also related to the matter is an article by Prof. S. Budhisantoso (Republika 24 May 1996).This article is an extension of the author's own article that appeared in Republika of May2, 1996. He finds that his ideas on the role of anthropologists in national development could not be covered adequately in the brief newspaper article, and requires an extended and serious discussion-even more so since the present articles touches upon the anthropological education system in Indonesia, specifically at the Department of Anthropology at the University of Indonesia. Thus, the article brings forth three main points, that is the role of anthropologists in Indonesia, the development of the anthropological education system in Indonesia, and Indonesian development."
2000
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mattulada, H. Andi
"Pada hemat kami, sirik pada orang Bugis-Makassar, kalau itu masih benar potensial untuk dapat menemukan reorientasi dan transformasi ke dalam interpretasi yang dapat menekapi etos kebudayaan nasional Pancasila, yang segenap unsur-unsurnya merupakan darah-daging pribadi sirik, maka sirik itu niscaya dapat menjadi daya dorong yang kuat bagi pembinaan kebudayaan Indonesia."
1991
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mattulada, H. Andi
"In this article, the author describes the ethnography of the Bugis-Makassar, the largest inhabitants in South Sulawesi. His description includes: the historical background, their social stratification, kinship system, traditional political structure, and folklore. How the Bugis-Makassar elite groups are developed and how their social structure influenced by such development is also discussed by the author. Based on the historical evidences it is revealed that identification of the elite groups which is underlined by nobility, emerged in 15th century. In the period of Dutch colonization, composition of the elite groups changed into: pangreh-praja (government administration official) which subsequently emerged as a new elite group. In the era of independence, the position of elites were mostly occupied by the rulling class and well-educated persons. In the last section, the author explains the sirik an institution which refers to human dignity and self-respect - in relation to the conditioning of Indonesian national culture."
1991
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Warsani
"The decision of Supreme Court of Justice as the formal legal system should have been strongly applied to solve legal matters such as the problem of inheritance. Among the social life of Karo, a sub-ethnic group of the Batak of North Sumatera, the national legal system which should be applied to all citizens in Indonesia, has not yet been able to be fully accepted due to the discrepancies of the nature of legal system with the nature of cultural system of the people and their customary law."
1989
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>